TRADISI NYADRAN GUPITAN DAN NILAI GOTONG-ROYONG

DALAM MASYARAKAT DUSUN GUPITAN

KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG

 

Mia Fatmawati

Sunardi

Pendidikan Sejarah – FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

 

ABSTRAK

Tradisi Nyadran Gupitan dalam Masyarakat Dusun Gupitan, Candimulyo, Kabupaten Magelang merupakan suatu kegiatan bersih makam, karena roh orang yang sudah meninggal dipercaya masih ada bersama masyarakat dan dipercaya selalu melindungi masyarakat dan desanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosesi pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan dan nilai gotong-royong yang terkandung dalam tradisi tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan teknik studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa Tradisi Nyadran Gupitan pada setiap prosesinya menggambarkan nilai gotong-royong didalam masyarakatnya, yakni: persiapan dengan menyiapkan peralatan dan perlengkapan tradisi, bersih makam, masak makanan untuk sesaji (Nasi tumpeng, ingkung, lauk-pauk, dan jajanan pasar). Prosesi Tradisi Nyadran dimulai pada pagi hari Juru Kunci Makam yang disebut Moden memimpin doa serta menabur bunga diatas makam Kyai Candra Bumi, kemudian warga mengikuti doa tersebut. Setelah selesai doa, warga makan bersama berupa makanan pelengkap sesaji. Pada malam hari ketika pukul: 21:00 WIB masyarakat berebut mengambil bunga Kanthil yang ada di area makam Kyai Candra Bumi. Bagi warga masyarakat bunga Kanthil tersebut memiliki makna yakni melambangkan “Gumantheling/Katresnan” yang artinya lengket, yang diharapkan segala sesuatu yang diharapkan bisa dicapai.

Kata Kunci: Tradisi Nyadran, Kepercayaan, Nilai Gotong-royong

 

PENDAHULUAN

Jawa merupakan salah satu pulau besar yang terdapat di negara Indonesia, dan termasuk pulau yang memiliki populasi penduduk yang banyak dan padat. Selain dari segi jumlah penduduknya yang banyak, Jawa juga terkenal akan kemistikan masyarakatnya yang terkenal yakni “Kepercayaan Kejawen” yang telah diketahui oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Kepercayaan ini selalu dilibatkan didalam segala tradisi yang ada dipulau Jawa.

Kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan dalam sebuah masyarakat di mana manusia hidup bermasyarakat. Menurut Bastomi (1986: 14) mendefinisikan Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir di saat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Banyaknya tradisi yang berkembang dan diselenggarakan di masyarakat Jawa, maka penelitian ini difokuskan pada kaitannya dengan hubungan manusia dengan arwah leluhur. Tradisi tersebut dibatasi pada rangkaian upacara tradisional Nyadran Gupitan di Dusun Gupitan, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang.

Menurut Herusatoto (1983: 9-10) kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan sendiri terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Hal ini tercermin dalam rangkaian prosesi di Upacara Tradisi Nyadran Gupitan yang banyak menggunakan simbol-simbol dalam pengungkapan sebuah makna yang terkandung.

Didalam Upacara Nyadran segala lapisan masyarakat terjun secara langsung mengikuti segala prosesinya. Masyarakat saling gotong-royong dalam melakukan tradisi ini, saling membantu dan memupuk rasa toleransi. Pada Tradisi Nyadran Gupitan, masyarakat menjunjung tinggi rasa persamaan kepentingan dan menyampingkan berbagai perbedaan yang ada diantara mereka. Selain itu, pada Upacara Nyadran Gupitan terdapat ciri khas dalam prosesinya yakni adanya kegiatan berebut bunga Kanthil.

Pada dewasa ini, tradisi ini masih dipertahankan karena mengandung nilai tradisional yang wajib dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Nilai yang terdapat pada Tradisi Nyadran Gupitan yakni nilai gotong-royong atau kerukunan antar setiap warganya yang masih dipertahankan. Menurut peneliti, ini adalah sesuatu hal yang unik dan perlu diteliti, karena tradisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Dusun Gupitan, Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Sumber data dari: hasil wawancara dengan Juru Kunci, Kepala Desa, dan warga Dusun Gupitan. Wawancara untuk mendapatkan data mengenai Tradisi Nyadran Gupitan. Observasi dilakukan pada prosesi pelaksanaan yakni 13 Mei 2017 untuk mendapatkan gambaran mengenai prosesi Tradisi Nyadran Gupitan.

KAJIAN PUSTAKA

Koentjaraningrat (1974:19) mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan didasarkan pada penalaran, kesengajaan dan pandangan hidup orangnya. Kebudayaan memiliki sifat-sifat dan gejala-gejala dinamika, karena kebudayaan peka terhadap perubahan. Kebudayaan memang berubah-ubah dari generasi ke generasi. Kebudayaan generasi nenek moyang berbagi dengan kebudayaan kita sekarang.

Tradisi merupakan warisan atau norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi buakan suatu yang dapat diubah. Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Manusia yang membuat ia yang menerima, ia pula yang menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita perubahan-perubahan manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. (Reusen, 1992: 115)

Simbol atau Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan perantara pemahaman terhadap objek. Simbol atau Lambang juga bisa diartikan sebagai suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek pada objek. (Herusatoto, 2008: 18).

Kegiatan gotong-royong tolong menolong yang biasanya disebut dengan istilah sambatan atau sambat-sinambat itu merupakan suatu sistem penambahan tenaga kerja sebagai bantuan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu keluarga misalnya kegiatan dalam bidang pertanian, membuat rumah, dalam kesusahan, perkawinan dan lain sebagainya. Kegiatan gotong-royong, mereka yang aktif ikut terlibat di dalamnya tidak pernah mengharapkan adanya suatu imbalan jasa atau kompensasi yang diharapkan itu adalah bantuan tenaga kerja yang akan mereka peroleh bila pada suatu saat akan melakukan kegiatan serupa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: 1982: 48).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Geografis Dusun Gupitan

Dusun Gupitan merupakan Dusun Kecil yang terletak di Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Dusun Gupitan memiliki 18 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga. Selain itu, Dusun Gupitan dikelilingi oleh 8 Dusun lainnya yang ada di Kecamatan Candimulyo.

Berdasarkan letak geografis, Dusun Gupitan yang merupakan bagian dari daerah lereng gunung Merbabu menyebabkan mata pencaharian warga masih dalam sektor pertanian, namun tidak sedikit warganya juga yang telah bekerja sebagai karyawan swasta. (Wawancara, Yohanes 20 Agustus 2017).

Pengertian dan Pembahasan Tradisi Nyadran Gupitan Dusun Gupitan Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang

Tradisi Nyadran merupakan suatu tradisi yang diwariskan secara turun-menurun dengan tujuan menyelaraskan antara dua alam yakni alam ghaib dengan alam yang tampak atau alam kita saat ini. Mereka percaya adanya roh-roh halus yang memiliki peran dalam kehidupan pada umumnya. Nyadran Gupitan ini merupakan rangkaian budaya berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa Genduri selamatan di makam leluhur yang ada di Dusun Gupitan yakni Kyai Candra Bumi. Keunikan Nyadran Gupitan adalah terdapatnya sebuah prosesi perebutan Bunga Kanthil. Masyarakat meyakini akan para leluhur dapat memberikan sebuah pencerahan, banyak berkah, serta dapat terhindar dari mala-petaka. Hal ini yang menjadikan masyarakat desa pada umumnya menghormati keberadaan para roh leluhur dengan terwujudnya Upacara Nyadran Gupitan. (Wawancara, Kis 20 Agustus 2017)

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan

Tahap Persiapan

Pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan diawali dengan tahap persiapan yakni dengan membentuk kepanitiaan kegiatan dan menentukan hari pelaksanaan Upacara Tradisi Nyadran Gupitan. Panitia yang terbentuk terdiri dari Bupati, Kepala Desa, Juru Kunci, dan Moden Dusun Gupitan. Pengambilan waktu dilakukannya Tradisi Nyadran Gupitan diambil berdasarkan Kalender Jawa yakni pada Bulan Ruwah serta Hari Pasaran Pon kisaran tanggal 11-15 (pertengahan bulan). Guna mendukung kelancaran pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan warga memberikan kabar berita adanya Tradisi Nyadran Gupitan di balai desa.

a.    Tahap pelaksanaan

Prosesi utama Tradisi Nyadran Gupitan tahun ini jatuh pada Tanggal 13 Mei 2017, Sabtu Pon, Pukul 07:00 WIB sampai selesai. Namun, sebelumnya yakni pada tanggal 12 Mei 2017 seluruh warga yang ikut serta melaksanakan Upacara Nyadran Gupitan secara bergotong-royong dalam membersihkan makam Kyai Candra Bumi. Kyai Candra Bumi ialah seorang leluhur Dusun Gupitan. Setelah itu dilanjutkan persiapan perlengkapan upacara terdiri dari tumpengan, Ingkung, Kembang kemenyan, dan sesaji.

Perlengkapan Tradisi Nyadran Gupitan yang berupa makanan dipersiapkan seluruh warga yang mengikutinya. Seluruh warga bekerjasama, bantu membantu memasak makanan pelengkap Tradisi Nyadran Gupitan. Dalam Tradisi Nyadran Gupitan dipimpin oleh seorang Juru Kunci atau Moden. Juru Kunci memimpin Tradisi Nyadran Gupitan dengan menggunakan doa Kejawen berupa bacaan-bacaan dengan menggunakan bahasa Jawa, sedangkan doa Islam dengan doa Tahlil dan Dzikir. Namun dalam keseluruhan doa yang dipergunakan berdasarkan keyakinan yang dianut masing-masing, karena Nyadran Gupitan bersifat fleksible.

b.     Prosesi Tradisi Nyadran Gupitan

Pada prosesi utama Nyadran Gupitan yakni 13 Mei 2017, Sabtu Pon. Pada pagi harinya sekitar pukul 07:00 WIB masyarakat berbondong-bondong mendatangi tempat upacara di pemakaman Kyai Candra Bumi untuk ikut serta memeriahkan dan mengharapkan berkah. Warga datang dengan membawa berbagai macam sesaji yang berupa makanan (nasi tumpeng, ingkung, lauk-pauk, jajanan pasar), bunga, kemenyan dan lain sebagainya. Sesaji dianggap sebagai pemanggil atau penguhubung dengan para roh leluhur yang dianggap keramat oleh warga msyarakat. Oleh karena itu, sesaji berupa makanan (nasi tumpeng, ingkung, lauk-pauk, jajanan pasar), bunga, kemenyan dan lain sebagainnya ditata rapi dan bersih guna mendukung kesakralan dan kelancaran Upacara Tradisi. Selanjutnya Juru Kunci duduk dan mengantarkan pada susana khidmat memasuki inti upacara.

Diawali pembacaan doa oleh Juru Kunci dengan membakar dupa atau kemenyan, maka saat itulah upacara sesaji dimulai. Doa tersebut adalah Doa Tahlil dan Doa Dzikir. Setelah juru kunci dan Moden membacakan doa orang-orang mengambil makanan yang telah dibawa oleh semua warga yang mengikuti Tradisi Nyadran Gupitan, kemudian mereka memakan makanan tersebut bersama-sama. Para warga meyakini bahwa makanan yang telah didoakan akan memiliki kekuatan tersendiri yang dapat memberikan keselamatan dan banyak berkah.

Pada malam harinya terdapat sebuah pelaksanaan yakni perebutan bunga Kanthil yang dilakukan di area pemakaman Kyai Candra Bumi juga. Masyarakat desa maupun warga pendatang dari luar daerah banyak yang berantusias mengikutinya. Prosesi perebutan bunga Kanthil berkeyakinan bahwa akan dapat memberikan kelancaran dalam jodoh, rejeki, atau apapun yang diinginkannya bagi yang berhasil mendapatkannya. (Wawancara, Hadisaptono 20 Agustus 2017).

 

Lambang-lambang dan Maknanya dalam Sesaji

Sesaji melambangkan penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh perlindungan agar hidupnya terasa aman, tenteram dan diberi keselamatan lahir dan batih. Sesaji juga sebagai persembahan kepada leluhur masyarakat Dusun Gupitan. Sesaji tersebut berupa: (1) Tumpeng: Sesaji tumpeng berbentuk kerucut atau semakin keatas semakin runcing melambangkan bahwa dalam kehidupan hanya terdapat satu pusat yaitu Tuhan Yang Maha Esa; (2) Ingkung (Ayam utuh): Ingkung merupakan ayam utuh yang beserta organ dalam yang diikutkan. Hal ini melambangkan keutuhan dalam pengorbanan dan meninggalkan atau berserah diri dari yang lain-lain dan hanya terpusat untuk persembahan; (3) Apem Goreng: apem diambil dari kata “afwan” dalam bahasa Arab, yang berarti memohon ampunan; (4) Kembang Kanthil atau bunga Kanthil melambangkan “Gumantheling/Katresnan” yang artinya lengket, yang diharapkan segala sesuatu yang diharapkan bisa dicapainya; (5) Kemenyan: Kemenyan yang dibakar dan menimbulkan asap itu dipercaya akan membawa doa sampai ke Tuhan Yang Maha Esa. Dan ketika membakar menyan dengan disertai doa tertentu. (Wawancara, Banari 3 September 2017)

Nilai Gotong-royong dalam Tradisi Nyadran Gupitan

Kehidupan masyarakat Dusun Gupitan diwarnai oleh sikap solidaritas antar warganya, karena situasi sosial yang menuntut untuk sikap kerukunan dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan hidup. Sambatan atau Gotong-royong adalah salah satu wujud kebersamaan warga Dusun Gupitan yang terdapat pada semua kegiatan Tradisi Nyadran Gupitan yang dilaksanakan secara gotong-royong. Pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan selalu mengedepankan sikap gotong-royong yakni saling bahu-membahu dalam menyiapkan sampai dengan melaksanakan prosesi tradisi. Wujud gambaran dari nilai gotong-royong terdapat pada saat prosesi pembersihan makam, masak makanan, sampai dengan terdapatnya prosesi Genduren atau makan bersama-sama makanan yang telah disediakan.

Dengan demikian jelas bahwa Tradisi Nyadran Gupitan mempunyai nilai sosial yang dapat diambil yaitu nilai gotong-royong sebagai pemersatu atau jembatan antar warga untuk menjalin dan menumbuhkan rasa persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat. (Wawancara, Suyanti 3 September 2017).

Pergeseran Makna

Dari Pengamatan penulis telah terjadi pergeseran makna dari Tradisi Nyadran Gupitan. Pertama, Tradisi ini dahulunya menggunakan Tenong untuk meletakkan sesaji, namun saat ini tempat untuk meletakkan sesaji hanya menggunakan Besek atau tempat yang terbuat dari plastik. Kedua, pengaruh datangannya warga luar daerah yang mengikuti Tradisi Nyadran Gupitan mengakibatkan pertambahan sesaji yang diberikan bertambah yakni berupa Ayam dan Kambing.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisa, dan interpretasi data yang penulis paparkan dalam kajian “ Tradisi Nyadran Gupitan dan Nilai Gotong-royong di Dusun Gupitan Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang “ dapat disimpulkan bahwa Tradisi Nyadran Gupitan adalah bentuk tradisi masyarakat yang meyakini mengenai keseimbangan hidup baik dengan antar manusia, alam sekitar beserta keyakinan terhadap keselarasan terhadap alam ghaib. Bentuk tradisi yang dilakukan melalui prosesi pembersihan makam leluhur yakni Kyai Candra Bumi, berdoa bersama oleh seluruh warga yang mengikuti pelaksanaan yang pimpin oleh juru kunci atau moden, dan selanjutnya terdapat prosesi Genduren atau makan bersama oleh seluruh warga. Selain itu, didalam Tradisi Nyadran Gupitan juga memiliki prosesi yang unik yakni perebutan Kembang Kanthil oleh seluruh warga baik dari dusun ataupun luar daerah yang mempercayai bahwa apabila dapat mendapatkan bunga tesebut maka senantiasa apa yang diinginkan akan terkabul.

Warga Dusun Gupitan yang merupakan masyarakat tradisional yang masih mempertahankan nilai gotong-royong dalam kehidupan kesehariaannya, yang salah satunya terdapat dalam Tradisi Nyadran Gupitan. Gambaran nilai gotong-royong tampak dari prosesi pembersihan makam, memasak makanan, serta dalam kegiatan Genduren atau makan bersama-sama yang dilakukan secara bahu-membahu dalam mempersiapkannya. Seluruh warga dari desa maupun luar daerah saling bantu-membantu dalam mempersiapkan tradisi sampai dengan pelaksanaan Tradisi Nyadran Gupitan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Pustaka

Bastomi, Suwaji. 1986. Kebudayaan Apresiasi Pendidikan Seni. Semarang: IKIP.

Departemen P dan K. 1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta Departemen Pendidikan.

Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentaliet Dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.

Reusen, Van. 1992. Perkembangan Tradisi Dan Kebudayaan Masyarakat. Bandung: Tarsito.