Biografi Djenaldi Hadisiwaja Sebagai Pendeta
BIOGRAFI DJENALDI HADISISWAJA SEBAGAI PENDETA
DI WONOSARI DAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
Raditya Setya Jati
Sunardi
Emmy Wuryani
Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
This study is aimed at knowing The Biography of Djenaldi Hadisiswaja when he was a Preacher in Wonosari and Bethesda Hospital, Yogyakarta. The method used is historical method in a form of descriptive-narrative. The research result concludes that Djenadi Hadisiswaja is the fifth descendant of Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan ingkan Jumeneng Kaping III, Ngayogyakarta. He was a preacher in Gereja Kristen Jawa Wonosari for fifteen years who serves in main church (Gereja Kristen Jawa Wonosari), Pepanthan Wiladeg, Pepanthan Susukan, Pepanthan Tjandi, Pepanthan Pugeran, Pepanthan Cuwela, Pepanthan Jepitu-Baran, Pepanthan Kemadang, Pepanthan Kalongan, and Pepanthan Ngembes. That serving was still done until Djenadi Hadisiswaja was called for being special preacher in Bethesda Hospital, Yogyakarta. In 1960, Djenaldi Hadisiswaja was called for being special preacher in Bethesda Hospital as Pastoral Preacher and ordained on September 30, 1965 in Gereja Kristen Jawa Gondokusuman, Yogyakarta. Kinds of serving that Djenaldi Hadisiswaja done are sermon, cathechismal, Baptist sacrament or sidhi, and doing services in Wirogunan Penitentiary, Yogyakarta. Djenaldi Hadisiswaja passed away on December 31, 2000. Djenaldi Hadisiswaja’s principle was being responsible for doing minister from becoming a Gospel teacher to becoming a clergyman. Djenaldi Hadisiswaja’s roles that he did were being a teacher, as the member of Christian teachers community in Wates, being a headmaster in Demangan, being a gamelan teacher who was a master of playing kendhang. When he studied in the university, he became a leader of the theology students. Djenaldi Hadisiswaja became a spiritual political prisoner, he replaced Lamin Marthaharsana as the leader of Badan Pendidikan Kristen, and became a pastoral preacher in Bethesda Hospital, Yogyakarta as a preacher for the patients, employees, and the hospital management.
Keywords: Service, Special Servicing Clerygman, Clerygman Pastoral, Pastoral Counseling.
LATAR BELAKANG MASALAH
Daerah Jawa Tengah Utara dikelola oleh zending Salatiga. zending ini merupa–kan wadah kerjasama jemaat zending di Ermelo dan Neukirchener Mission. Di daerah ini kedatangan utusan zending di-dahului oleh munculnya jemaat Kristen Jawa, yakni nyonya Le Jolle, istri seorang pegawai perkebunan dekat Salatiga. Bersa–ma dengan seseorang jemaat Mojowarno, bernama Petrus Sedoyo, ia menyebarkan injil di tengah buruh perkebunan. Bersama–an waktu dengan berangkatnya Nyonya Le Jolle ke negeri Belanda, jemaat yang telah dikumpulkan pindah ke Nyemoh daerah Salatiga. Sedangkan di Nederland, nyonya Le Jolle mencari seorang pekabar Injil untuk jemaatnya. Di Ermelo ditemukan seorang anggota jemaat zending bernama R. De Boer, yang menyatakan bersedia untuk pergi. Usaha De Boer di Nyemoh (1869-1891) berhasil, hingga diperlukan tambahan tenaga. Karena Ermelo tidak mampu mengirimnya, maka lembaga Ne–uckirchener Mission (N. M.) mengisi ke–kosongan. Dengan demikian terbentuk zen–ding Salatiga. Zending di Salatiga, tidak mau tergantung pada sebuah asas ”fith mission”, artinya mereka tidak mau tergantung pada sebuah pengurus di negara secara keuangan dan organisasi. (Th. Van den End dan J. Weijens, S. J 1988:234-235)
Gereja di Jawa Tengah bagian selatan dibagi menjadi dua bentuk. Perta–ma, ialah gereja-gereja yang sudah ‘dide–wasakan’, artinya gereja yang sudah diberi majelis gereja sendiri, dan bisa mengatur pemerintahan sendiri. Kedua, gereja-gereja yang masih dibawah binaan zending, gere-ja yang dinyatakan belum layak dinyatakan sebagai gereja dewasa, dan untuk itu masih berada dalam pemberdayaan oleh pihak zending untuk sewaktu-waktu nanti dinyatakan layak untuk didewasakan. (S.H. Soekotjo 2009:356-357).
Pada tahun 1922, mulai dirasakan adanya kebutuhan kebersamaan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Gereja-gereja Geefor–mereerd mulai menggeliat, saling meno–long dan menguatkan, yang mulai tumbuh pertama kali di kawasan Purworejo. 21 Desember 1922 antara gereja Purworejo, Temon dan Kesingi diadakan pertemuan yang disebut “Sidang Klasis” yang pertama, sedangkan yang kedua diadakan di Yogyakarta pada 30 April 1926. Pertemuan ini membahas mengenai pengakuan perca–ya, tata gereja, Majalah Taman Kristen, lagu, nyanyian pujian dan sebagainya. Pada november 1927, sidang khusus para Pelayan Firman memutuskan untuk mendirikan klasis-klasis di daerah, yang telah memiliki tiga atau lebih gereja dewasa. Sidang klasis yang diadakan 15 Oktober 1929 membicarakan perlunya peran serta dan partisipasi gereja-gereja Jawa dalam pekabaran Injil. Dengan demikian, ide diadakannya Sidang Sinode bagi Pasamoewan-pasamoewan (Kristen) Djawi Gereformeerd se-Jawa Tengah bagi-an Selatan dikemukakan oleh Klasis Yog-yakarta yang dikemukakan dalam Sidang Klasis tahun 1929 yang terwujud dalam Sidanng Sinode yang pertama di Kebumen pada tahun 1931. (S.H. Soekotjo 2009:359-361)
Pada tahun 1950 Gereja-gereja Kristen Jawa Tengah memakai dan meng–anut struktur organisasi Gereja Presbiterial, yaitu sistem pemerintahan Gereja yang semula dianut oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan oleh Gereja-gereja Gereformeerd di Negeri Belanda. Sistem Presbiterial diakui sebagai sistem yang benar dan mendekati Alkitab. urutan dalam struktur gereja yang terdapat di GKJ adalah sebagai berikut, Majelis sebagai pimpinan gereja dan kemudian membawahi pendeta, pena–tua, dan diaken. Kemudian komisi-komisi dibawahi oleh pendeta, penatua, dan diaken serta urutan terakhir adalah warga gereja. (Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono 1986:46-48)
GKJ Gondokusuman yang berada di Klasis Yogyakarta dan berada di naung–an Sinode Salatiga menganut struktur Presbiterial. Salah satu bgaian dari struktur tersebut, yang penulis tulis adalah pende–ta. Pendeta tersebut bernama Pendeta Raden Djenaldi Hadisiswaja (Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja) yang berasala dari GKJ Wonosari. Djenaldi Hadisiswaja berada di GKJ Gondokususman karena ditahbiskan menjadi Pendeta Pelayan Khusus di Rumah Sakit (R.S.) Bethesda Yogyakarta pada 30 September 1965. Ketertarikan penulis yang menyangkut Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja adalah perjalanan hidup dalam masa pelayanan di GKJ Wonosari serta menjadi pendeta pelayan khusus di R.S. Bethesda. Penulis dalam hal ini akan menulis biografi Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja.
Rumusan Masalah
Bagaimana Biografi Djenaldi Ha–disiswaja sebagai Pendeta Jemaat di Wonosari dan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta?
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ten-tang Biografi Djenaldi Hadisiswaja sebagai Pendeta Jemaat di Wonosari dan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1. Memberikan tambahan pengetahu-an bagi dunia pendidikan sejarah pada khususnya yaitu mengenai materi sejarah gereja.
2. Menjadi model penulisan sejarah gereja bagi mahasiswa pendidikan sejarah dengan kajian biografi.
b. Manfaat Praktis
- Memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja Sebagai Pendeta di Wonosari dan R.S. Bethesda Yogyakarta.
- Memberikan sumbangan bermanfa-at bagi ilmu pendidikan, yaitu memberikan gambaran Djenaldi Hadisiswaja dalam sejarah gereja.
- Memberikan pelajaran tentang sumeh (murah senyum), ramah, ti–dak bermain kasar dalam mendidik anak, dan fokus dalam melakukan pelayanan.
KAJIAN TEORI
Biografi
Biografi berasal dari dua kata dalam Bahsa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup dan graphia yang berarti menulis. Oxford English Dictionory pada tahun 1971 memberikan dua definisi biografi. Pertama, biografi adalah sejarah kehidupan seorang manusia, sebagai cabang karya sastra. Kedua, biografi adalah rekaman tertulis dari kehidupan seseorang. New Oxford Dictionory English memberi definisi, catatan seseorang yang ditulis orang lain. Biografi dapat diartikan sebagai cerita seseorang yang dituliskan orang lain atau biografi adalah cerita tentang kehidupan beberapa orang. (Hermione Lee 2009:23-24)
Pendeta
Tata gereja dan tata laksana Gereja Kristen Jawa menyebutkan pendeta adalah pejabat gerejawi yang dipilih, dipanggil, dan ditahbiskan atau diteguhkan oleh jemaat secara khusus untuk melayanai jemaat Tuhan dengan penuh waktu, yang tugas utama mengajar. (Sidone GKJ, 2005:6). Pelayanan
Pelayanan dalam kamus Teologi merupakan keikutsertaan dalam peranan Kristus sebagai nabi, imam, dan raja. (Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, 1995:235). Sedangkan menurut tata gereja dan tata laksana Gereja Kristen Jawa, pelayanan kasih adalah tindakan yang dilakukan oleh gereja yang mencerminkan kasih Allah. (Sinode GKJ, 2005:6)
Gereja
Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Kehidupan bersama ini dibentuk oleh orang-orang atas pertolongan Roh Kudus menerima dengan percaya terhadap penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Gereja menurut kamus teologi adalah komunitas yang didirikan Yesus Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus sebagai tanda terakhir kehendak Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. (Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugi, 1995:86)
Pastoral
Sejarah komunitas Kristiani, proto-konseling Pastoral disebut sebagai cura anmarum (penyembuhan jiwa). Di Amerika Serikat, pada awal Abad XX proto-konseling Pastoral bisa disebut sebagai pastoral care atau pendampingan pastoral. Indonesia, secara tradisional pastoral care ini disebut sebagai penggembalaan. Pada awal Abad XX para perintis profesi konselor pastoral mengintegrasikan pastoral care dengan konseling psikologi. Upaya tersebut melahirkan sebuah spesialisasi baru, yaitu konseling pastoral. (Totok S. Wiryosaputra, 2014:v-vi)
Konseling pastoral merupakan sebuah perjumpaan di mana kedua belah pihak, konselor dan konseli secara sukarela bersedia saling menjumpai dan dijumpai. Pada dasarnya, pada proses perjumpaan, konselor makin menjadi konselor. Sebaliknya, konseli semakin menjadi konseli. Melalui proses konselor pastoral yang dinamis, konselor semakin menyadari dan menghayati bahwa dirinya adalah konselor yang keberadaannya bersama konseli yang bertujuan untuk pertolongan. (Totok S. Wiryosaputra, 2014:65)
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historio–grafi. Penelitian diawali dengan mengum–pulkan data yaitu menemukan subjek yang akan diteliti terlebih dahulu. Setelah itu, dikumpulkan sumber–sumber yang berhu–bungan dengan tema penulisan. Sumber–sumber penulisan yang terkait dengan per–masalahan yang penulis dapatkan adalah sumber primer dan sumber sekunder. Data primer diperoleh dari arsip dan dokumen yang ada serta hasil wawancara dari para saksi-saksi sejarah. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui serangkaian wawancara tokoh, kerabat atau keluarga saksi-saksi sejarah dengan daftar pertanya-an dan wawancara terbuka dengan meng-gunakan pedoman wawancara.
Tahapan berikutnya adalah tahap kritik sejarah yang terdiri dari kritik intern dan kritik ekstern. Dalam kritik intern, penulis membandingkan sumber yang satu dengan yang lainya untuk melihat relevansi sumber dengan tema penulisan. Tahapan ketiga adalah interpretasi, yaitu memberi–kan penafsiran terhadap data–data yang telah ditemukan. Dalam interpretasi, pene–litian subjektif sedapat mungkin penulis hindari dan diusahakan untuk bersikap objektif. Dalam langkah interpretasi data pada penelitian ini dipergunakan metode pendekatan sejarah. Tahapan akhir dalam metode penelitian sejarah adalah historiografi atau penulisan sejarah. Setelah melalui tahapan–tahapan sebelum–nya, penulis berusaha untuk menyusun secara kronologis atau sistematis.
HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Riwayat Hidup Pendeta Raden Djenal–di Hadisiswaja
Pendeta Raden Djenaldi Hadisiswa-ja (Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja), lahir di Yogyakarta 1 Agustus 1912. Ayahnya bernama Raden Samadi Krijadrana (R. Samadi Krijadrana) dan ibunya Raden Ayu Suratajem Kriyadrana (R. Ay Suratajem Kriyadrana). Orang tua Djenaldi Hadisiswaja merupakan abdi dalem Kraton Yogyakarta pada semasa Hamengku Buwana VII-IX. Mereka bekerja sebagai Kemasan (tukang emas). Abdi dalem, menerima gaji 4 rupiah abang (4 ketip). Saat itu ibunya, R. Ay. Suratajem Kriyadrana abdi dalem sebagai Bekel Sepoh Keparak Kraton Ngayogyakarta Hadining–rat, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Berdasarkan silsilah yang tertera pada layang kekancingan asal-usul (asal-usul silsilah), Djenaldi Hadisiswaja merupakan urutan ke V Sampeyan Dalem Ingkan Sinuwun Kangjeng Sultan ingkang Jumeneng Kaping III Ngayogyakarta. (Djenaldi Hadisiswaja, 1996:1)
Kehidupan keluarga Djenaldi Hadisiswaja tidak tercukupi dengan gaji ayahnya yang hanya 4 ketip. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ayah dan ibunya masih mencari pekerjaan samping–an. Penghasilan tambahan yang diperoleh ibunya, adalah berjualan daun pisang kluthuk (pisang biji) yang dititipkan ke warung-warung, sedangkan ayahnya terkadang menggantikan tugas sesama rekan abdi dalem. Dengan penghasilan tambahan itulah, keluarga Djenaldi Hadisiswaja dapat bertahan hidup. Sejak kecil, R. Ay Suratajem Kriyadrana mewajibkan Djenaldi Hadisiswaja untuk melakukan sholat lima waktu dan sholat malam (tahajut). Djenaldi Hadisiswaja selalu diminta belajar dan membaca buku-buku berkaitan dengan agama Islam, mengaji serta sholat Jumat di Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Kebiasaannya sholat dan mengaji sering diganggu oleh teman-teman sekampung yang tidak mempeduli–kan agama. Djenaldi Hadisiswaja pernah ditangkap oleh teman-temannya di kam–pung untuk dinajiskan dengan cara membiarkan anjing menjilati tubuhnya. Keadaan tersebut terjadi karena, kebanyakan penduduk di kampungnya miskin, pengangguran, malas, suka berjudi dan berfoya-foya. (Djenaldi Hadisiswaja, 1996:2-3)
Djenaldi Hadisiswaja semakin ter-tarik untuk Sekolah Teologi Kristen. Djenaldi Hadisiswaja akhirnya mendaftar di Sekolah Teologi di Klitren Lor. Ia mendaftar sebanyak tiga kali namun Djenaldi Hadisiswaja tidak diterima sebagai maha–siswa. Hadiswaja tidak mau mendaftar untuk keempat kalinya karena sudah tiga kali gagal. Suatu ketika Djenaldi Hadisiswa-ja dicari oleh Ds. D. J. B. Allaart untuk masuk ke Sekolah Teologi Kristen. Ternya-ta disampaikan alasan mengapa Djenaldi Hadisiswaja tidak diterima di Sekolah Teologi dikarenakan disaat Hadisiswaja menjadi pengajar belum ada yang menggantikan mengajar di Kelurahan Wirik Kulon namun sekarang sudah ada Pak Djuru yang lulus dari sekolah guru untuk menggantikan Djenaldi Hadisiswaja. Tertanggal 1 Agustus 1841 Hadisiswaja melalui surat dari Ds. G. J. Van Reenen (Missionair Predikant) diperbolehkan masuk ke Sekolah Teologi Klitren Lor, Yogyakarta. Dulu sekolah ini bernama Opleiding School (sekolah guru Injil). (Djenaldi Hadisiswaja, 1996:21-22).
Hadisiswaja dipanggil oleh Klasis Yogyakarta untuk memperoleh bimbingan dari komisi Pengkabaran Injil (P. I.) sebagai proses Djenaldi Hadisiswaja dapat diakui sebagai Guru Injil. Hadisiswaja menjalani bimbingan lima tahun lamanya dan akhirnya pada 9 September 1948 Hadisiswaja diakui oleh Klasis Yogyakarta sebagai Guru Injil. Djenaldi Hadisiswaja setelah ditahbiskan menjadi Pendeta pada tahun 1950 di GKJ Wonosari dan menikah dengan Endang Winarti pada 15 Maret 1951. Pemberkatan pernikahan dilakukan oleh Pendeta Raden Wijoto Hardjotaruno. Pemberkatan tersebut berlangsung di GKJ Wonosari. Setelah menikah, Djenaldi Hadisiswaja dikarunia lima orang anak, yaitu Cuk Setya Bekti, Dwi Hardjanto, Tri Susilo Budi, Tyas Supadmiasih, dan Ru-hemtahingsih. (Djenaldi Hadisiswaja, 1996: 67-68). Pelayanan Djenaldi Hadisiswaja berlanjut hngga mendapatkan panggilan menjadi pendeta pelayan khusus di R. S. Bethesda Yogyakarta. Ia ditahbiskan pada 30 September 1965 di GKJ Gondokusus–man.
KESIMPULAN
Pemikiran Djenaldi Hadisiswaja adalah sebagi pendeta ia tetap melayani dalam kondisi apapun. Pemikiran tetap bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pelayanan guru Injil dan menolak tawaran menjadi lurah. Selain itu, Djenaldi Hadisiswaja juga memiliki pemikiran tentang tetap rendah diri di hadapan tuhan dikala sakit. Ia tetap emberikan pengertian kepada calon istrinya agar tidak khawatir akan rencana pernikahan yang akan segera diselenggarakan. Dalam kesehatan Djenaldi Hadisiswaja berpikir maju. Ia mencarikan bantuan untuk mendirikan Poliklinik Kristen Menggoro yang ditujukan untuk warga Wonosari yang sering dilanda sakit-penyakit. Pemikiran Djenaldi Hadisiswaja dalam pelayanan pastoral di dasarkan pada Roma 1:16a. Dari dasar tersebut Djenaldi Hadisiswaja tidak mengkristenkan yang bukan beragama Kristen, namun memperkenalkan Kristen.
Peran yang dilakukan Djenaldi Hadisiswaja ada delapan, yakni bermula sebagai guru, menjadi anggota perkumpul-an guru-guru Kristen di Wates, kemudian diberi tanggung jawab sebagai kepala sekolah di Demangan. Selain itu, Djenaldi hadisiswaja menjadi guru karawitan dan mahir dalam bermain kendhang. Selama berkuliah di Sekolah Teologi Klitren Lor, Djenaldi Hadisiswaja sempat menjadi ketua Pengurus Murid Teologi.
Peran Djenaldi Hadisiswaja saat berada di R. S. Bethesda Setelah lima belas tahun menjadi Pendeta di GKJ Wonosari, Djenaldi Hadisiswaja dipanggil untuk menjadi Pendeta pelayan khusus di R. S. Bethesda untuk melayani pasien, karyawan dan pimpinan. Pada 30 November 1965, Djenaldi Hadisiswaja ditahbiskan di GKJ Gondokusuman sebagai Pendeta di R. S. Bethesda. Selain itu Djenaldi Hadisiswaja juga sebagai pendeta pelayan khusus menjadi bagi tahanan politik di Lembaga pemasyarakatan Wirogunan dan benteng Vedeburg (KamsingVII). Kemudian dilan–jutkan pada tahun 1979, Djenaldi Hadisis–waja diangkat sebagai ketua Badan Pendi–dikan Agama Kristen (BAPENDAK), meng–gantikan Lamin Marthaharsana.
Tugas Djenaldi Hadisiswaja sebagai pendeta pelayan khusus di R. S. Bethesda adalah katekisasi Baptis atau Sidhi, khotbah di GKJ Gondokusuman atau di gereja-gereja lain, dan melayani para tahanan di Rutan Lembaga Pemasyarakat-an, Wirogunan, Yogyakarta. Pada 23 November 1998 merupakan akhir dari pelayanan Djenaldi Hadisiswaja sebagai Pendeta pelayan khusus di R. S. Bethesda. Bertempat di GKJ Gondokusuman dan diadaka ibadah Emeritasi Pdt. R. Djenaldi Hadisiswaja. Setalah dua tahun kemudian, Djenaldi Hadisiswaja tutup usia pada 31 Desember 2000 di Yogyakarta.
SARAN
Akademisi
Mengenai penulisan Biografi tokoh Nasional sudah banyak dilakukan, namun untuk penulisa Biografi tokoh lokal masih masih sedikit peneliti yang meneliti terutama tokoh lokal Gereja Kristen Jawa. Kendala yang dialami adalah narasumber dalam mewawancari dan dokumen peningglan. Diharapkan, peneliti yang lain dapat meneliti penelitian yang berkaitan dengan tokoh lokal Geeja Kristen Jawa maupun lainnya.
Guru
Guru diharapkan untuk mengajar–kan pentingnya mempelajari Biografi tokoh, tertutama tokoh lokal yang terdapat di daerah masing-masing. Serta mengajarkan hal-hal yang positif, yang dapat diambil dari setiap tokoh yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Berkhof, H. Dan H. Enklaar. 1961. Sejarah Gereja. Degstgeest:
Gerald O’ Collins S. J. and Edward G. Farrugia S. J. 1996. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius
Hadisiswaja R. Dj. 1996. Catatan Pengalaman di Kebun Anggur Tuhan Memoar Pdt. R. Dj. Hadisiswaja. Yogyakarta: Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Lee. Hermione. 2009. Biography A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press (E-Book)
Purnomo Hadi, M. Suprihadi Sastrosupono. 1986. Benih Yang Tumbuh. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen
Setyawan, Yusak B. 2013. Eklesiologi. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press
Sinode GKJ. 2005. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereje Kristen Jawa. Salatiga: Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa
Soekotjo, S. H. 2009. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen
Van den End, Th. 2011. Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860an-sekarang. Jakarta: Pt Gunung Mulia
Wiryo, Totok S. 2014. Pengantar Konseling Pastoral. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia