Culture Bound Syndrome: Perilaku Kesurupan (Possession) Pada Tatung
CULTURE BOUND SYNDROME: PERILAKU KESURUPAN (POSSESSION) PADA TATUNG
Veronika Juliet Kamasi
Universitas Kristen Indonesia Tomohon
ABSTRAK
Cap Go Meh adalah puncak perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek yang dilaksanakan pada hari kelimabelas sesudah Imlek oleh etnis Tionghoa. Cap go meh atau pawai lampion terdiri dari arak-arakan gotong Toapekong, atraksi barongsai dan liong, dan atraksi tatung. Tatung dipercayai sebagai spirit-medium atau orang yang tubuhnya (sengaja) dipakai sebagai medium roh atau dewa yang (sengaja) dipanggil. Dalam aksinya, tatung menjadi kebal sehingga tidak mempan dengan benda tajam karena adanya pergantian kepribadian/diri menjadi roh atau dewa. Pergantian kepribadian/ diri ini dikenal dengan istilah kesurupan (possession). Pengalaman ini sekilas mirip dengan gangguan disosiatif identitas. Namun demikian, pengalaman dan perilaku kesurupan ini merupakan culture bound syndrome dan bukanlah gangguan disosiatif identitas karena tidak memenuhi kriteria diagnostik seperti yang dijabarkan dalam DSM-V.
kata kunci: tatung, kesurupan, culture bound syndrome
PENDAHULUAN
Cap Go Meh adalah puncak Tahun Baru Cina atau Imlek yang dirayakan setiap tahun pada hari kelimabelas sesudah Imlek oleh etnis Tionghoa (keturunan cina) di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Chan, 2009). Di Taiwan perayaan Cap Go Meh ini dikenal dengan Festival Lampion, sedangkan di Penang Malaysia dikenal dengan Hari Valentine Tionghoa (Muslim, 2012). Hari raya ini ditandai dengan munculnya bulan purnama pada awal Tahun Baru Cina (Suwito, 2012). Cap Go Meh dirayakan oleh China’s Three Great Religions yaitu Budha, Konghucu, dan Tao (Staub et al., 2011).
Sejak pertengahan abad ke-17, Indonesia telah mengenal perayaan Cap Go Meh (Ucup, 2011). Hal ini disebabkan kegiatan perniagaan antara kerajaan-kerajaan di Indonesia dan Cina. Kegiatan ini menyebabkan migrasi yang signifikan dari Cina Selatan ke Indonesia. Pada mulanya, perayaan ini bertujuan untuk mengusir hama di ladang pertanian pada zaman Dinasti Zhou (770-256 SM) sehingga warga memasang Chau Tian Can atau yang dikenal dengan lampion. Selain itu, untuk merayakan Kaisar Wu naik takhta pada tanggal limabelas bulan satu Imlek (104 SM) sehingga ditetapkanlah tanggal tersebut sebagai hari raya lampion (Fatkhurr, 2011).
Pawai lampion atau Kirab Cap Go Meh ini terdiri dari arak-arakan gotong Toapekong, atraksi barongsai dan liong, dan atraksi tatung. Toapekong berupa replika kelenteng yang dipercayai sebagai leluhur, yaitu “Dewa-Dewa Taoâ€. Barongsai atau Nong Shi atau Shiwu merupakan tarian singa—simbol kebahagiaan, sedangkan liong atau Nong Long adalah tarian naga sebagai dewa pelindung dan simbol rezeki (Ucup, 2011).
Chan (2009) mengungkapkan bahwa tatung (World Brotherhood) berasal dari kata tiao tong (dance/jump as a spirit medium) yang berarti “meloncat sebagai tatungâ€. Di Singkawang, tatung (spirit-media) juga disebut dengan lao ya. Lao ya berarti “Kakek Tua†(old grandfather/lao ye) atau “Tuan Ternama†(Eminent Lord). Tatung adalah orang-orang terpilih yang kesurupan roh untuk menangkal roh jahat yang hendak menggangu keharmonisan hidup masyarakat. Tatung melakukan atraksi seperti menusukkan senjata tajam ke tubuh sendiri tanpa terlihat kesakitan atau berdarah (Agmasari, 2019).
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, kesurupan berarti menyempitnya fokus perhatian sehingga apa yang di luar perhatian hilang dalam kesadaran. Castillo (1996) dalam bukunya “Culture and Mantal Illness†mengungkapkan kesurupan (possession) merupakan pergantian episodik dalam kesadaran yang ditandai penggantian identitas pribadi dengan identitas baru yang disebut possessing agent seperti roh, kekuatan, dewa, setan.
Perilaku kesurupan adalah dasar dari gangguan disosiatif (Castillo, 1996). Disosiatif merupakan konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Neorolog Prancis, Pierre Janet (1859-1947), yang menerangkan bahwa kesadaran gagal melakukan perannya dalam mengintegrasikan kognisi, emosi, motivasi, dan sensori-motorik (Castillo, 1996; Halgin & Whitbourne, 2005; dan Kring et al., 2007).
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V, perilaku kesurupan disinggung dalam gangguan disosiatif identitas (dissociative identity disorder) khususnya pada kriteria diagnostik A, yaitu individu dilaporkan terus-menerus memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau adanya pergantian diri/tubuh yang diikuti oleh pergantian afek, perilaku, kesadaran, ingatan, persepsi, kognisi, dan fungsi sensori-motorik. Dalam beberapa budaya tertentu pergantian diri/tubuh dikenal dengan pengalaman kesurupan (possession). Gejala ini terjadi berulang-ulang, tidak disengaja, tidak diharapkan atau melanggar ritual budaya atau agama, muncul sebagai reaksi-reaksi spontan terhadap tekanan traumatik atau kekerasan yang biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, dan berbanding lurus dengan tekanan psikososial yang berat dan berkepanjangan.
Selanjutnya, kriteria diagnostik B gangguan disosiatif identitas adalah adanya kesulitan terus-menerus dalam mengingat kejadian sehari-hari, informasi pribadi, atau kejadian traumatik. Misalnya, kesulitan mengingat keterampilan yang sebelumnya telah dikuasai, kehidupan masa kecil, apa yang baru saja di dengar, bagaimana bisa sampai di suatu tempat, bahkan tidak mampu mengingat nama/pasangan/anak-anak atau teman. Kriteria diagnostik C adalah gejala-gejala ini berdampak buruk terutama terhadap kehidupan sosial dan pekerjaan. Kriteria diagnostik D adalah gangguan ini bukanlah bagian dari ritual keagamaan atau kebudayaan yang secara luas diterima, dan kriteria diagnostik E adalah gejala-gejala ini tidaklah disebabkan oleh efek fisiologis dari zat-zat seperti alkohol atau kondisi medis lain.
Perilaku kesurupan dalam gangguan disosiatif identitas dapat dibedakan dari kesurupan yang diterima dalam konteks budaya. Perilaku kesurupan dalam konteks budaya tidaklah patologis dan sengaja dipertahankan dalam rangka menjaga struktur sosial, aktualisasi sistem agama, serta dalam pemahaman untuk menyembuhkan yang sakit dan menghibur yang berduka. Oleh sebab itu, masyarakat dalam budaya pramodern sangat terampil dalam pengalaman disosiatif (Castillo, 1996).
DSM V menjelaskan bahwa pada umumnya perilaku kesurupan di seluruh dunia adalah sesuatu yang normal dalam ritual keagamaan dan tidak dapat digolongkan dalam gangguan disosiatif identitas. Perilaku kesurupan dipertimbangkan sebagai psikopatologi dan gangguan hanya apabila terjadi di luar konteks budaya dan individu mengalami penderitaan dan disfungsi (Durand & Barlow, 2003; Seligman dan Kirmayer, 2008).
Perilaku kesurupan dalam kirab cap go meh tidak sesuai dengan kriteria diagnostik gangguan disosiatif identitas di atas. Pertama, perilaku ini sengaja dilakukan hanya pada saat ritual keagamaan semata (yaitu, pada saat kirab cap go meh) dan bukan disebabkan oleh pengalaman traumatik; Kedua, perilaku ini tidak diikuti amnesia; Ketiga, perilaku ini dipercayai sebagai rangkaian ritual yang dapat menangkal roh-roh jahat dan kesialan; Keempat, perilaku ini adalah ritual keagaamaan atau kebudayaan yang diterima masyarakat setempat dan masih berlaku sampai saat ini; dan Kelima, perilaku ini tidak disebabkan oleh keadaan fisiologis atau efek penggunaan zat. Jadi perilaku ini adalah normal sepanjang dilakukan dalam konteks budaya sehingga dapat digolongkan dalam culture bound syndrome (Lih. Castillo, 1996:37).
KESIMPULAN
Perilaku kesurupan pada tatung dalam kirab cap go meh tidak dapat digolongkan sebagai gangguan disosiatif identitas karena perilaku ini tidak sesuai dengan kriteria diagnostik gangguan disosiatif identitas dalam DSM-V. Perilaku ini adalah ritual etnis Tionghoa yang masih bertahan sampai saat ini. Oleh sebab itu, untuk menegakkan diagnostik yang tepat dan menghindari persepsi yang keliru kita perlu memperhatikan latar belakang budaya di mana individu hidup dan dibesarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Agmasari, S. (19 Februari 2019). 5 Fakta Tentang Perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Kompas.com. https://travel.kompas.com/read/2019/02/19/160400227/5-fakta-tentang-perayaan-cap-go-meh-di-singkawang. Diakses 01 Maret 2019.
Castillo, R.J. (1996). Culture and Mental Illness: A Client-Centered Approach. California: Brooks/Cole.
Chan, M. (2009). Chinese New Year in West Kalimantan: Ritual Theatre and Political Circus. Chinese Southern Diaspora Studies. Vol. 3, pp. 106-142.
Durand V.M. & Barlow, D.H. (2003). Essentials of Abnormal Psychology, Third Edition. USA: Wadsworth-thomson Learning.
Fatkhurr. (16 April 2011). Sejarah Cap Go Meh (1). Alumnimaterdei.com. http://alumnimaterdei.com/iptek-yang-perlu/sejarah-cap-go-meh-1.html. Diakses 26 Mei 2012.
Halgin, R.P & Whitbourne, S.K. (2005). Abnormal Psychology: Clinical Perspective on Psychological Disorders, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill.
Kring, A.M., Davidson, G.C. & Neale, J.M., Johnson, S.L. (2007). Abnormal Psychology: Tenth Edition. USA: John Wiley & Sons.
Muslim, A.J. (7 Februari 2012). Cap Go Meh di Tengah Muslim Tionghoa. Media Indonesia. http://www.indonesiamedia.com/2012/02/07/cap-go-meh-di-tengah-muslim-tionghoa/. Diakses 12 Mei 2012.
Seligman, R. & Kirmayer, L.J. (2008). Dissociative Experience and Cultural Neuroscience: Narrative, Metaphor, and Mechanism. Cultural Medical Psychiatry. Vol. 32, pp. 31-64.
Staub, P.O., et al. (2011). Incense and Ritual Plant Use in Southwest China: A Case Study Among the Bai in Shaxi. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. Vol. 7, pp. 1-6.
Suwito, H. (06 Februari 2012). Cap Go Meh, Ritual atau Tradisi? Kaltim Pos. http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=125324. Diakses 12 Mei 2012.
Ucup, M. (10 Februari 2011). Asal Muasal Cap Go Meh. http://web.budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/budaya-tionghoa/festival-dan-perayaan/420-asal-muasal-capgome-. Diakses 12 Mei 2012.
___________. (10 Februari 2011). Serba Serbi Cap Go Meh. http://web.budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/budaya-tionghoa/festival-dan-perayaan/423-serba-serbi-capgome. Diakses 12 Mei 2012.