Eksistensi Minimarket Terhadap Toko Atau Warung Kelontong
EKSISTENSI MINIMARKET TERHADAP TOKO
ATAU WARUNG KELONTONG
Rusmawati
Guru SMP Negeri 1 Satui Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu
ABSTRAKSI
Sektor informal hari ini yang dilirik banyak masyarakat adalah dengan mendirikan usaha eceran atau ritel. Bentuknya bisa beragam, ada yang berupa minimarket, supermarket, department store, hypermarket atapun grosir yang berbentuk perkulakan. Seiring berkembangnya jaman, keberadaan warung kelontong atau tradisional yang berbasis ekonomi kerakyatan mengalami penurunan. Dalam tulisan ini, mengambarkan bagaimana keberadaan atau eksistensi minimarket ini terhadap keberadaan toto-toko kelontong yang sudah ada selama ini ditengah-tengah masyarakat. Karena keterbatasan modal, sumber daya, akses keuangan, tidak terikat waktu dan tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga, menjadikan Warung kelontong atau tradisional memiliki ciri-ciri seperti halnya dengan sektor informal. Keberadaan warung moderen, pada akhirnya akan dapat mematikan pasar warung tradisional atau kelontong. Namun dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional tidak sepenuhnya disebabkan oleh hadirnya pasar modern. Hampir seluruh pasar tradisional di Indonesia masih bergelut dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pengelolaan, sarana dan prasarana yang minim dan yang lebih penting adalah kecilnya permodalan yang dimimiliki oleh para pedangan.
Kata kunci: Eksistensi Minimarket, Warung Kelontong, Pasar Moderen
PENDAHULUAN
Pertumbuhan jumlah penduduk tidak lagi semata-mata terasa mendesak dikota-kota besar saja. Namun di daerah-daerah atau kota-kota kecilpun juga merasakan dampak pertumbuhan penduduk tersebut, bahkan hingga ke kampung-kampung, pertumbuhan penduduk juga terlihat banyak peningkatan. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi aktifitas ekonomi yang ada di tengah masyarakat.
Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan bahkan diperdesaan tentu dengan sendirinya mengurangi posisi-posisi pekerjaan pada sektor-sektor formal. Hal inilah yang menyebabkan kegiatan sektor informal untuk dijadikan sebagai alternatif lahan mata pencaharian bagi masyarakat (Iryanti, 2003).
Kebanyakan sektor informal ini terjadi di wilayah perkotaan dan wilayah berkembang yang memiliki peluang besar untuk maju dan dikembangkan. Sektor informal di negara berkembang seperti Indonesia merupakan salah satu alternatif kesempatan kerja yang mampu menampung tenaga kerja tanpa persyaratan tertentu seperti tingkat pendidikan dan keterampilan kerja. Hal tersebut merupakan salah satu faktor utama yang memudahkan tenaga kerja memasuki sektor informal dan adanya sektor informal ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam menampung kelebihan tenaga kerja di Indonesia.
Keadaan ini dalam jangka pendek akan dapat membantu mengurangi angka pengangguran di Indonesia (Muzakir, 2010). Karakteristik sektor informal menurut Todaro (2000) meliputi kegiatan usahanya sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya tidak memiliki ijin usaha seperti sektor formal, untuk bekerja di sektor informal lebih mudah dibandingkan bekerja di sektor formal, penghasilannya umumnya relatif rendah meskipun keuntungannya cukup tinggi, tidak punya jaminan kesehatan dan fasilitas kesejahteraan, usaha sektor informal beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, penjual koran, warung nasi, warung kopi, dan lain-lain.
Sektor informal hari ini yang dilirik banyak masyarakat adalah dengan mendirikan usaha eceran atau ritel. Bentuknya bisa beragam, ada yang berupa minimarket, supermarket, department store, hypermarket atapun grosir yang terbentuk perkulakan. Seiring berkembangnya jaman, keberadaan warung kelontong atau tradisional yang berbasis ekonomi kerakyatan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan munculnya pasar modern yang dinilai cukup potensial oleh para pebisnis ritel. Ritel modern yang mengalami pertumbuhan cukup pesat saat ini adalah Minimarket dengan konsep waralaba atau franchise.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba mengambarkan bagaimana keberadaan atau eksistensi minimarket ini terhadap keberadaan toto-toko kelontong yang sudah ada selama ini ditengah-tengah masyarakat. Karena keterbatasan modal, sumber daya, akses keuangan, tidak terikat waktu dan tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga, menjadikan Warung kelontong atau tradisional memiliki ciri-ciri seperti halnya dengan sektor informal.
KAJIAN PUSTAKA
Pasar Modern
Pasar Modern adalah pasar atau toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Adapun ritel modern yang diatur keberadaan lokasinya bahwa minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk system jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota atau perkotaan. Berdasarkan luas lantai toko minimarket memiliki luas lantai < 400 m2 (Perpres No.112 Tahun 2007)
Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas). Pasar modern antara lain mall, supermarket, departement store, shopping center, waralaba, took mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya. Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barangbarang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor.
Pemerintah menggunakan istilah pasar modern dengan toko modern sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/MDAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, mendefinisikan toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Depaftment Store, Hypermarket ataupung grosir yang berbentuk perkulakan.
Minimarket
Minimarket, dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian “Toko Modernâ€. Peraturan mengenai toko modern diatur dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007â€). Pengertian took modern menurut Pasal 1 angka 5 Perpres 112/2007 adalah toko dengan system pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Setiap toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi mayarakat sekitar serta jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada (Pasal 4 ayat (1) Perpres 112/2007).
Minimarket adalah semacam “toko kelontong†atau yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Berbeda dengan toko kelontong, minimarket menerapakan system swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang dibutuhkan dari rakrak dagangan dan membayar dikasir.
Minimarket dan Pengecer (retail) Di kehidupan modern masyarakat saat ini kebutuhan primer atau pangan semakin dibutuhkan walaupun apa yang ingin dicari tersebut hanyalah berupa makanan ringan. Pada era sebelumnya untuk mendapatkan kebutuhan makanan ringan tersebut atau bahkan keperluan seharihari masyarakat perlu bepergian ke pasar tradisional atau bahkan ke supermarket yang persebarannya tidak banyak di kota. Dalam definisinya minimarket adalah toko atau swalayan kecil yang menjual sebgaian besar barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan oleh konsumen dengan luasan radius sales area antara 100 hingga 1000m2 (Sujana, 2005).
Minimarket sebagai perana kebutuhan masyarakat sehari-hari menjadi tempat belanja favorit masyarakat yang ingin belanja ringan tetapi tidak perlu pergi jauh seperti ke supermarket. Pada era modern kini sudah mulai banyak tumbuh minimarket-minimarket modern yang sudah menyediakan fasilitas yang memadai guna memanjakan konsumennya. Minimarket dapat dikatakan merupakan bagian dari pengecer. Definisi dari pengecer tersebut adalah semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi bukan untuk bisnis (Kotler, 2005).
Pengecer menghimpun barang-barang yang dibutuhkan konsumen dari berbagai macam sumber dan tempat, sehingga memungkinkan konsumen untuk membeli beraneka macam barang dalam jumlah kecil dengan harga yang terjangkau. Menurut Kotler (2005) retailing adalah Penjualan barang secara eceran yang meliputi semua aktivitas penjualan barang ataupun jasa pada konsumen akhir yang bersifat pribadi. Pendapat yang dikemukan oleh Sujana (2005) retailing adalah penghimpun barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen akhir, sehingga konsumen akan menjadikan toko retail sebagai tempat untuk mendapatkan barang kebutuhannya. Sedangkan Utami (2010) retailing adalah perangkat dari suatu aktivitas bisnis yang melakukan penjualan barang-barang maupun jasa kepada konsumen akhir untuk penggunaan konsumsi perseorangan maupun keluarga.
Berdasarkan definisi pengecer tersebut terdapat beberapa bentuk dari pengecer diantaranya adalah: 1). Toko khusus ( Speciality Store) Toko yang hanya menjual barang-barang khusus atau satu jenis produk pada dagangannya contoh yang dapat kita lihat di Indonesia adalah clothing store atau toko baju merk tersendiri seperti “Lea jeansâ€; 2). Toko Serba Ada (Departmen store) Toko yang menjual beberapa produk di dalam usahanya dan barang yang dijual bersifat umum seperti perabotan rumah tangga, kebutuhan rumah sehari-hari; 3).
Minimarket Toko yang menjual kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti makanan ringan, alat mandi, dan lain-lain namun dalam skala usaha yang kecil serta persebaran toko yang mendekati pemukiman warga; 4). Toko Swalayan (Supermarket) Sama seperti minimarket namun supermarket memiliki skala usaha yang besar dan letaknya berada di keramaian kota, seperti di dalam mall atau mendekati perkantoran. Barang yang dijual di supermarket meliputi kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti makanan, perabotan rumah, alat mandi, alat tulis,dan lain-lain.
Minimarket mempunyai jenis usaha dalam pengelolaan perusahaannya. Terdapat 2 jenis usaha yang biasa ada di kalangan masyarkat diantaranya adalah: 1). Minimarket yang bersifat Waralaba atau Franchising, dan 2). Usaha minimarket yang bersifat regular atau milik perusahaan tertentu tidak bekerja sama dengan perseorangan. Terdapat beberapa keunggulan dan kelemahaan dari minimarket, diantaranya adalah: 1). Menemukan gaya warung dengan bentuk yang menarik; 2). Memiliki keyamanan dalam ruangan dan kebersihan; 3). Pelayanan yang baik terhadap pembeli; 4). Selalu memunculkan promo produk baru. Adapun kelemahan minimarket adalah: 1). Harga pas tidak bisa tawar menawar; 2). Tidak bisa beli eceran; 3). SPG Kadang sangat tidak ramah atau tidak sopan
Warung Tradisional (klontong)
Usaha warung tradisional atau yang lebih dikenal warung kelontong memiliki struktur pasar yang cenderung bersifat monopolistik. Hal ini dikarenakan jumlah penjual yang banyak dan barang yang dijual adalah sejenis tetapi berbeda corak (bervariasi). Warung tradisional merupakan salah satu bentuk industri kecil atau usaha keluarga karena jumlah pekerjanya sedikit, yaitu sekitar 1-5 orang yang biasanya merupakan anggota keluarga sendiri. Dengan modal yang relatif kecil, jenis usaha warung tradisional tersebut relatif mudah masuk ke dalam industri atau pasar untuk mendirikannya. Dari segi harga, warung hanya mempunyai sedikit kekuatan untuk mempengaruhi harga. Harga yang diberlakukan disesuaikan dengan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap pemilik warung sendiri-sendiri.
Berdasarkan Undang Undang nomor 20 tahun 2008 usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki.
Kita juga mengenal dengan istilah usaha menengah yang merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan. Atau secara kriteria menurut undang-undang tersebut usaha kecil dan menengah mempunyai minimal kekayaan bersih Rp 50.000.000,-.
Usaha kecil dan menengah yang banyak dijalani oleh masyarakat adalah diantaranya usaha ritel. Usaha ritel disini salah satunya adalah Toko Kelontong atau usaha penjualan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Toko kelontong atau yang biasa disebut dengan warung penyedia barang kebutuhan sehari-hari merupakan usaha mikro yang kepemilikannya dimiliki oleh pribadi dan melakukan penjualan barang yang bersifat melayani pelanggan atau konsumen datang untuk membeli barang tidak dengan mandiri yaitu dengan dilayani langsung oleh pelayan took kelontong tersebut, dan pada umumnya pada toko kelontong yang skala kecil pelayan toko kelontong adalah sebagai kasir juga.
Pedagang toko kelontong dapat terbagi atas pedagang grosir, dan pedagang eceran. Pedagang eceran merupakan pedagang toko kelontong yang menjual barang langsung kepada konsumen yang akan langsung menggunakan barang tersebut atau tidak dijual kembali pada umumnya pedagang kelontong skala eceran ini memiliki modal usaha yang relative tidak besar.
Pedagang grosir merupakan pedagang toko kelontong yang menjual barang bersifat partai besar atau banyak. Konsumen yang datang biasanya adalah konsumen yang ingin menjual kembali barang yang dibeli di toko kelontong skala grosir tersebut. Modal usaha cenderung lebih besar dibanding dengan pedagang kelontong skala eceran.
Terdapat beberapa keunggulan dari Warung kelontong, yakni: 1). Bersahabat terhadap pembeli; 2). Harga barang bisa ditawar; 3). Bisa beli eceran; 4). Dapat memenuhi pesan untuk pelanggan; 5). Bisa berutang atau dibayar kemudian. Adapun kelemahaan warung kelontong adalah: 1). Bentuk warung tidak menarik; 2). Tata letak barang di dalam warung tidak diatur dengan nyaman dan efesien; 3). Tidak selalu memperhatikan dengan keyamanan dan kebersihan; 4). Kurangnya penerangan lampu; 5). Barang tidak lengkap; 6). Kekurangan modal
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Eksistensi Minimarket Terhadap Toko Atau Warung Kelontong
Seperti penjelasan pada pendahuluan di atas, bahwa perdagangan eceran (retail) merupakan salah satu kegiatan sektor informal di bidang perdagangan yang sangat strategis di Indonesia karena mampu menyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian. Bahkan pertumbuhan eceran moderen dan eceran tradisonal atau kelontong ini sangat pesat sekali. Kita bisa melihat setiap sudut jalan, pemukiman baru bahkan rumah-rumah warga banyak yang disulap jadi warung eceran moderen seperti minimarket atau eceran tradisional atau warung kelontong.
Namun, dilain sisi keberadaan bisnis ritel moderen yang salah satunya adalah minimarket ini tanpa ada regulasi yang efektif, akan dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif bagi pemilik usaha retail khususnya pemilik warung tradisional atau warung kelontong.
Secara teori, seperti penjelasan pada kajian pustaka di atas, jenis perdagangan retail ini terbagi dua, yakni retail tradisional yang secara langsung diwakili oleh warung kelontong yang berada di pasar tradisional maupun perumahan dan retail modern yang diwakili oleh hypermart, supermarket dan minimarket seperti Indomaret Alfamart, Circle K, Alfamidi, dan minimarket atau swalayan yang mengusung merek lokal atau perseorangan.
Kehadiran toko modern jenis minimarket di berbagai kota terlihat sudah sangat menjamur. Di berbagai lokasi bahkan merambah hingga ke permukiman padat penduduk. Pertumbuhan minimarket di kota-kota besar dan kecil cukup mengkhawatirkan, karena semakin lama akan semakin memberikan dampakburuk bagi warung tradisional pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan preferensi masyarakat yang memiliki kemungkinan untuk cenderung beralih berbelanja di minimarket dengan tingkat kunjungan yang tinggi dan mengabaikan eksistensi warung kelontong. Penulis akan memberikan gambaran diberbagai kota perkembangan minimarket berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Wita Dwika Listihana, Afvan Aquino dan Arizal dengan judul “Dampak Keberadaan Minimarket Terhadap Modal Kerja Dan Pendapatan Warung Tradisional Di Kecamatan Rumbai Dan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru: 2014†Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh serta wawancara dengan Pihak BPTPM (Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal) Kota Pekanbaru bahwa minimarket yang sudah memiliki izin operasional usaha di Kota Pekanbaru berjumlah 247 gerai. Dari jumlah tersebut, minimarket dengan merk lokal berjumlah 47 gerai dan izin waralaba sebanyak 200 gerai yang terbagi atas 100 gerai Indomaret dan 100 gerai Alfamart. Berdasarkan observasi yang dilakukan bahwa terdapat enam belas minimarket yang beroperasi di Kecamatan Rumbai dan Rumbai Pesisir yang terdiri dari sepuluh minimarket berlabel franchise (Indomaret dan Alfamart) dan lima minimarket dengan merk lokal milik perusahaan tertentu maupun pribadi. Kehadiran pasar modern (supermarket, hipermarket, minimarket), dianggap oleh berbagai kalangan telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional warung kelontong di perkotaan. Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen (2005), pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Hasil kajian Kementerian Koperasi dan UKM dengan PT Solusi Dinamika Manajemen (2005) menunjukkan bahwa kehadiran pasar modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional. Berdasarkan dari hasil penelitian Wita Dwika dkk, data hasil penjualan yang diterima oleh pedagang tradisional atau warung kelontong sesudah adanya perkembangan minimarket yang banyak, ternyata mengalami penurunan sebesar 2,5% sampai dengan 7,5% perharinya. Hal ini akan mengakibatkan adanya rata-rata perubahan penjualan secara keseluruhan. Dari hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa penurunan penjualan adalah sebesar Rp 16.084.400/hari dan penurunan rata-rata penjualan adalah sebesar Rp 402.150/hari. Hasil penelitian terhadap pendapatan yang diterima oleh pemilik warung sebelum dan setelah danya minimarket menunjukkan penurunan. Keberagaman penurunan pendapatan tersebut disamping disebabkan oleh adanya minimarket juga disebabkan oleh keberadaan warung tradisional lain yang juga menjadi pesaing dengan jarak yang relatif berdekatan. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat ditunjukkan bahwa penurunan pendapatan warung tradisional sesudah maraknya minimarket adalah sebesar Rp 2.568.850/hari dan penurunan rata-rata pendapatan adalah sebesar Rp 64.200/hari. Adapun jumlah warung yang mengalami penurunan pendapatan adalah sebanyak 10 warung atau sebesar 25% responden. Hal ini disebabkan karena persaingan yang terjadi cukup ketat, di samping bersaing dengan minimarket yang hanya berjarak rata-rata 100 – 500 m saja.
2. Dampak Minimarket Terhadap Eksistensi Warung Tradisional Di Kota Singaraja yang dilakukan oleh Ni Komang Ayu Triadi Dewi, Ida Bagus Made Astawa dan I Nyoman Suditha. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh modal kerja pedagang warung tradisional sebelum dan sesudah ada minimarket di Kota Singaraja, menunjukan terdapat perubahan modal kerja setelah ada minimarket. Keadaan ini terlihat dari rata-rata modal kerja yang dikeluarkan oleh pedagang warung tradisional sebelum ada minimarket yaitu sebesar Rp.920.144/bulan, kemudian rata-rata modal kerja yang dikeluarkan setelah ada minimarket yaitu sebesar Rp 534.883/bulan. Bila di rata-ratakan mengalami selisih modal sebesar Rp. 385.707/bulan dengan kata lain adanya minimarket menurunkan jumlah modal kerja yang dikeluarkan oleh pedagang warung tradisional sebesar Rp. 385.707/bulan. Sedangkan untuk jumlah penjualan barang sebelum dan sesudah ada minimarket di Kota Singaraja, menunjukan bahwa terdapat perubahan jumlah penjualan barang setelah ada minimarket. Keadaan ini terlihat dari rata-rata jumlah penjualan barang yang dikeluarkan oleh pedagang warung tradisional sebelum ada minimarket yaitu sebesar Rp. 4.959.329/bulan, kemudian ratarata jumlah penjualan barang yang dikeluarkan setelah ada Minimarket yaitu sebesar Rp 4.060.533/bulan. Bila di rata-ratakan mengalami selisih jumlah penjualan sebesar Rp. 898.795/bulan dengan kata lain dengan adanya minimarket menurunkan jumlah penjualan barang Warung tradisional sebesar Rp. 898.795/bulan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pendapatan pedagang warung tradisional sebelum dan sesudah ada minimarket di Kota Singaraja menunjukan terdapat perubahan pendapatan pedagang warung tradisional setelah ada minimarket. Keadaan ini terlihat dari rata-rata jumlah pendapatan pedagang warung tradisional sebelum ada minimarket yaitu sebesar Rp.1.832.922/bulan, kemudian rata-rata jumlah pendapatan yang diperoleh setelah ada minimarket yaitu sebesar Rp 1.394.660/bulan. Bila di rata-ratakan mengalami selisih jumlah pendapatan sebesar Rp. 438.261/bulan dengan kata lain dengan adanya minimarket menurunkan jumlah pendapatan pedagang warung tradisional sebesar Rp. 438.261/bulan. Menurunnya pendapatan pedagang warung tradisional disebabkan oleh menurunnya omset penjualan dan menurunnya jumlah konsumen.
3. Analisis Kiat Toko Tradisional (Warung) Untuk Bertahan Ditengah Maraknya Minimarket (Toko Modern) (Survey Pada Toko Tradisionl Di Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis) yang dilakukan oleh Yoga Tantular Rachman dan Dendy Syaiful Akbar Berdasarkan data yang diperoleh dari pemilik toko tradisional secara langsung mengenai perubahan omset penjualan akibat munculnya minimarket, di mana mereka menyatakan bahwa terjadi penurunan omset penjualan akibat munculnya minimarket. Penurunan Omset Penjualan Toko Tradisional Akibat Munculnya Minimarket menunjukkan sebesar 10% yang dialami oleh salah satu toko tradisional. Penurunan terbesar omset penjualan dialami oleh dua toko tradisional, yaitu sebesar 75%. Sedangkan rata-rata penurunan terhadap omset penjualan toko tradisional akibat munculnya minimarket di Kecamatan Cisaga adalah sebesar 34,21%. Dari data di atas menunjukan bahwa munculnya minimarket menyebabkan penurunan terhadap omset penjualan toko tradisional di Kecamatan Cisaga. Dan penurunan keuntungan terkecil dari toko kelontong adalah sebesar 10% dan penurunan keuntungan terbesar toko kelontong adalah sebesar 75%. Sedangkan rata-rata penurunan keuntungan toko tradisional akibat munculnya minimarket di Kecamatan Cisaga adalah sebesar 35,26%.
Analisis
Banyak sekali penelitian yang telah dilakukan terkait pengaruh keberadaan minimarket terhadap warung-warung tradisional yang diwakili oleh warungwarung kelontong. Dari banyak penelitian tersebut, menunjukan bahwa hasil penelitian memperlihatkan penurunan omset dan keuntungan toko kelontong dipengaruhi oleh berdirinya minimarket yang berdiri dalam rentang jarak yang sangat berdekatan. Berdasarkan literature dan hasil penelitian penulis mencoba mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persepsi pedagang terhadap upaya perlindungan terhadap warung-warung tradisional diberbagai daerah yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
1. Pemerintah dinilai kurang responsif dalam menyikapi berkembangnya minimarket dalan swalayan yang tumbuh dan berkembang diberbagai daerah
2. Belum terbentuknya komitmen yang kuat para pemangku kebijakan serta para pebisnis. Serta rendahnya pemahaman banyak pihak tentang pentingnya penataan dan pembinaan toko tradisional dan minimarket.
3. Belum tersedianya SDM yang minimal mampu membuat catatan keuangan sederhana.
4. Pelayanan yang seadanya
5. Kurangnya pembinaan terhadap para pelaku usaha toko tradisional atau warung kelontong
Sebagian besar alasan-alasan di atas dapat teratasi dengan berbelanja di minimarket (pasar swalayan) yang mengutamakan konsep keyamanan bagi konsumen termasuk di dalamnya kelengkapan produk yang dalam hal ini adalah produk-produk dasar kebutuhan rumah tangga bagi minimarket, tata letak produk yang baik dan tidak campur aduk, lokasi yang dekat dengan pemukiman, dan harga yang tidak terlalu tinggi.
Setiawan, dkk (2013) menyatakan dampak dari adanya minimarket terhadap Toko tradisional akan berpengaruh terhadap modal, pola kegiatan usaha, omset penjualan, konsumen, dan pendapatan. Ditambah lagi, persebaran took tradisional dipengaruhi oleh Jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga dan persentase rumah tangga yang memiliki anak. Penduduk merupakan sasaran utama dari usaha toko tradisional yaitu sebagai konsumen. Semakin banyak jumlah penduduk disuatu wilayah, semakin besar pula potensi penduduk tersebut menjadi konsumen.
Pada prakteknya, kehadiran pasar modern memberikan pengaruh yang negatif salah satunya terhadap UMKM sektor perdagangan salah satunya took tradisional atau kelontong yang jaraknya sangat berdekatan. Dan dampak dari adanya minimarket terhadap eksistensi toko tradisional yaitu menurunnya modal kerja, berkurangnya jam buka toko, menurunnya jumlah penjualan barang, jumlah pembeli dan pendapatan toko tradisional (Dewi 2012).
Selain itu dampak lainnya adalah memunculkan persaingan antara minimarket dan toko tradisional. Dampak lainnya juga terlihat dari adanya perubahan penggunaan tenaga kerja dan perubahan lama jam buka toko. Pada prakteknya, beberapa toko tradisional memilih untuk mengurangi jumlah tenaga kerja bahkan ada beberapa toko tradisional yang sudah tidak lagi menggunakan jasa tenaga kerja, dengan tujuan untuk mengurangi beban mereka dalam hal pengeluaran gaji tenaga kerja, dikarenakan mereka mengalami penurunan omset penjualan akibat munculnya minimarket.
PENUTUP
Dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional adalah dalam hal penurunan omzet penjualan. Penurunan kinerja pasar tradisional sebenarnya tidak sepenuhnya disebabkan oleh hadirnya pasar modern. Hampir seluruh pasar tradisional di Indonesia masih bergelut dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.
Keadaan ini secara tidak langsung menguntungkan pasar modern, dan keberadaan minimarke memberikan pengaruh terhadap penurunan kontribusi dan kinerja pasar tradisional. Namun secara kuantitatif, tidak terbukti adanya pengaruh yang nyata. Penurunan pasar tradisional lebih diakibatkan oleh factor internal yang mengakibatkan kurangnya daya saing dibanding pasar modern.
Lebih lanjut ditemukan, bahwa pasar tradisional yang berada dekat dengan supermarket terkena dampak yang lebih buruk dibanding yang berada jauh dari supermarket.
Dari banyak indikator persaingan yang dianalisis dari perilaku berbelanja masyarakat dan karakteristik warung kelontong dan minimarket diketahui bahwa kehadiran minimarket yang tumbuh dengan pesat belum sepenuhnya mampu menggantikan peran pasar tradisional untuk dibeberapa daerah. Karena penelitian yang selama ini dilakukan hanya berada dipusat-pusat kota, dan tiak sampai pada daerah-daerah pedesaan. Akan tetapi, keberadaan minimarket sebagai bentuk perwakilan pasar moderen pada akhirnya akan menggeser warung kelontong.
DAFTAR PUSTAKA
Christina Widhya Utami. 2010. Manajemen Ritel. Jakarta: Salemba Empat.A.C. Nielsen 2005 Dampak keberadaan minimarket terhadap modal kerja dan pendapatan warungtradisional di kecamatan rumbai dan rumbai pesisir kota pekanbaru Wita dwika listihana, afvan aquino & arizal. Fakultas ekonomi universitas lancang kuning (jurnal ilmiah ekonomi dan bisnis (Vol. 11, no. 1, maret 2014)
Dewi, dkk. 2012. Dampak Minimarket terhadap Eksistensi Warung Tradisional Di Kota Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha
Iffah, Melita, dkk. 2001. “Pengaruh Toko Modern Terhadap Toko Usaha Kecil Skala Lingkungan (Studi Kasus: Minimarket Kecamatan Blimbing, Kota Malang)â€. Jurnal Tata Kota dan Daerah. Volume 3. Nomor 1
Iryanti, Rahma. 2003. Pengembangan Sektor Informal sebagai Alternatif Kesempatan Kerja Produkti. Jakarta, kumpulan makalah.
Iryanti, Rahma. 2003. Pengembangan Sektor Informal sebagai Alternatif Kesempatan Kerja Produktif. Jakarta: UI Press.
Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT Indeks Kelompok GramediaSujana (2005)
Lestari, Dewi. (2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Audit Delay: Studi Empiris pada Perusahaan Consumer Goods yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Universitas Diponegoro. Semarang
Muzakir. 2010. Kajian persepsi harapan sektor informal terhadap kebijakan pemberdayaan usaha pemerintah Kabupaten, Tojo Unauna Sulewesi Tengah. Media Litbang Sulteng III (1): 12 -20 Mei 2010 ISSN: 1979 – 5971.Todaro (2000)
Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional
Perpres No.112 Tahun 2007) Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007â€).
Setiawan, Jeri, dkk. 2012. “Pengaruh Keberadaan Minimarket Terhadap Pendapatan Pedagang Kelontong Dikelurahan Klender Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timurâ€. SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi, Vol. 10, No.1
Setiawan, Jeri, dkk. 2012. “Pengaruh Keberadaan Minimarket Terhadap Pendapatan Pedagang Kelontong Dikelurahan Klender Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timurâ€. SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi, Vol. 10, No.1
Sinaga, Pariaman. 2006. Makalah Pasar Modern VS Pasar Tradisional. Kementrian Koperasi dan UKM. Jakarta: Tidak Diterbitkan.Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/MDAG/PER/12/2008
Sudjana.2005. Metode Statistika Edisi ke-6. Bandung: Tarsito
Sunjoyo, Setiawan dkk. 2013. Aplikasi SPSS untuk Smart Riset. Bandung: Alfabeta