HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS SOSIAL DAN

OTENTISITAS MAHASISWA FKIP – UKSW

Sumardjono Pm.

Umbu Tagela

Program Studi Bimbingan dan Konseling

FKIP – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk me­ngetahui signifikansi hubungan antara identitas sosial dan otentisitas. Skala motivasi beridentitas sosial yang bertolak dari teori determinasi diri dan skala otentisitas diadminis­tra­sikan kepada 76 mahasiswa FKIP – UKSW. Penelitian menghasilkan: (1) Hubungan yang positif signifikan antara identitas sosial yang ter­de­ter­­minasikan dengan otentisitas mahasiswa. (2) Hubungan negatif signifi­kan antara identitas sosial yang terdeter­mi­nasikan de­ngan mahasiswa yang menerima pengaruh dari luar dirinya. (3) Hubungan yang negatif signifikan antara identitas sosial yang terdeter­mi­nasikan dengan maha­siswa yang mengalami keterasingan diri.

Kata kunci:    Identitas Sosial, Otentisitas, Mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling

PENDAHULUAN

Otentisitas (authenticity) adalah konsep psikologis yang penting dalam konseling. Otentisitas mengandung tiga aspek: 1) Rendahnya keterasingan diri (self-alienation), berkenaan dengan rasa diri beridentitas yang mana pandangan hidup individu amat berakar, individu menghayati rasa sejati, cenderung bersikap alami dan menerima realitas objektif. 2) Individu menempuh kehidupan secara otentik, sejalan dengan rasa diri yang beridentitas. 3) Individu tidak menerima pengaruh dari luar diri sendiri yang berten­tangan dengan pandangan hidup yang diyakininya (Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph, 2008).

Makna otentisitas adalah jujur dan sederhana, tulus dan benar, individu memiliki tata nilai positif, mempromosikan pengalaman hidup yang positif, mengutamakan keunikan dan bertumbuh-kembang secara positif (Maltby, Wood, Day, dan Pinto, 2012). Klipfel (Octo­ber 21, 2013) merangkum temuan Kernis yang menyatakan bahwa harga diri berkorelasi secara signifikan dengan otentisitas pribadi. Harga diri meningkat ketika tindakan seseorang ditetapkan oleh dirinya sendiri (self-determined), selaras dengan intensitas kedirian­nya serta bukan refleksi dorongan dari luar diri. Otentisitas berhubungan pula dengan fungsi adaptif individu yang secara individual dan interpersonal menggunakan strategi penyesuaian diri yang berpumpun pada masalah, bersikap dan bertindak penuh pertimbangan (mindfulness), berperan positif, serta berhubungan dengan aspek kesejahteraan jiwa yang holistik yang dikenal sebagai well-being.

Penerapan prinsip otentisitas dalam konteks pendidikan dideskripsikan oleh Edward Deci (Klipfel, October 21, 2013) dengan argumentasi otentisitas meru­pakan konsep sentral dalam kebahagiaan hidup melalui mana individu membangun makna hidup; karenanya konstruk otentisitas ini memberikan sumbangan besar upaya mahasiswa dalam menimba ilmu melalui studi di Pendidikan Tinggi. Di lain pihak, Teori Determinasi Diri/Self Determination Theory (Ryan & Deci, 2004) mengartikan otentisitas sebagai deskrip­tor bagi perilaku individu yang mengekspresikan dirinya yang sejati (an expression of the true self). Diri individu yang sejati sangat berhubungan dengan kesejah­teraan diri (well-being) yang muncul dari upaya mahasiswa untuk mewujudkan potensi yang dimiliki. Terpenuhinya ketiga kebutuhan psikologis yang hakiki berupa otonomi (autonomy), kompetensi (competency) dan bersekutu (relatedness) berbuahkan kesejahteraan diri yang makin besar.

Penuangan teori determinasi diri ke dalam konteks identitas sosial adalah upaya untuk memahami perilaku mahasiswa di dalam kelompok mahasiswa satu fakultas. Untuk me­ma­hami alasan-alasan individu mengidentifi­ka­si­kan diri dengan kelompoknya, digunakan teori determinasi diri. Konstruk iden­titas sosial digunakan untuk menghu­bungkan gambaran kognitif individu atas keang­gotaannya dengan berbagai perilaku di dalam kelom­pok (intergroup). Iden­titas sosial dikon­sep­tualisasikan sebagai “lem sosial” melalui mana individu menjalin relasi dengan anggota kelompok dan meng­kinerjakan upaya bersi­nam­bung bagi kepentingan kolektif kelompoknya. Mahasiswa yang meng­iden­tifikasikan diri dengan kelompok sosial seperti himpun­an maha­siswa satu fakultas digunakan untuk meramalkan berbagai konsekwensi mulai dari meningkatnya bias kelompok internal sampai dengan berkompetisinya individu secara sosial; mening­katkan keeratan relasi di dalam kelompok dan motivasi kelompok, mem­baiknya rasa sejahtera serta berkembangnya perilaku keang­gotaan kelompok.

Tyler dan Blader (2002) mengukur orientasi otonomis dan komparatif mahasiswa terhadap fakultas maupun terhadap identitas kelompoknya. Orientasi otono­mis merujuk pada digunakannya norma-norma dan tata-nilai internal yang dianut fakultas untuk menilai posisi anggota kelompok di fakultas. Sedangkan orientasi kompa­ratif menggunakan pedoman eksternal dan pemadanan sosial guna mem­bandingkan kelompok atau diri sendiri dengan kelompok lain. Orientasi otonomis secara konsisten meramalkan lebih positif harga diri pribadi dan harga diri kolektif (pada aras perorangan) dan meramalkan secara positif perilaku saling menolong dan saling memberi dukungan di dalam kelompok (pada aras kelom­pok/fakultas). Temuan Tyler dan Blader (2002, dalam Amiot dan Sansfacon, 2011) ini menunjukkan pemadanan di dalam kelom­pok bukan satu-satunya landasan diru­muskannya identitas sosial. Norma dan tata-nilai individu yang intrinsik terjalin dalam identitas sosial ini juga penting, terutama untuk mera­malkan konsekwensi positif identitas sosial, yaitu rasa sejahtera dan kohesi/keeratan relasi mahasiswa di fakultas.

Roccas, Klar dan Liviatan (2006) memerik­sa dua dimensi lainnya dari iden­tifikasi sosial, yaitu pemujaan kelompok (group glorification) yang berhubungan dengan motivasi memandang kelompok sendiri (ingroup) sebagai kelompok terbaik dan menolak kritikan terhadap kelompok­nya itu. Di lain pihak, kelekatan pada kelompoknya (group attachment) meng­gam­barkan komitmen dan menjadikan kelompok sebagai bagian menyatu dari konsep diri. Hasilnya menya­takan kelekatan pada kelompok lebih kuat meramalkan rasa bersalah kelompok atas tanggungjawab kelompok itu pada konflik antar kelompok (inter-group conflict) sedangkan pemujaan pada kelompok hanya meramalkan ren­dahnya rasa bersalah kelompok atas terjadinya inter-group conflict.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud mengetahui signi­fikansi hubungan antara identitas sosial dan otentisitas mahasiswa FKIP-UKSW.

TINJAUAN PUSTAKA

Otentisitas Mahasiswa FKIP

Otentisitas merupakan konstruk tripartit yang didefinisikan oleh Barrett-Lennard (1998, dalam Wood, Linley, Maltby, Baliousis & Joseph, 2008) yang mengandung kon­sis­tensi diantara tiga taraf: 1) pengalaman primer individu, 2) kesadaran yang dilam­bangkan individu, dan 3) perilaku dan komunikasi individu dengan pihak di luar dirinya. Peristiwa ini diawali dengan mengkontraskan pengalaman sejati individu (the true self) dengan peng­alaman dalam kesadaran kognitifnya. Aspek pertama otentisitas berkenaan dengan ketidak-kesesuaian antara kesadaran individu (conscious awareness) dengan pengalaman nyata (actual experience) karena kesepa­danan (kongruensi) yang sempurna antara dua hal itu tidak pernah terjadi. Keterasingan diri (self-alienation) dari antara kedua hal itu mengarah ke gangguan jiwa karena individu merasa tidak bersentuhan dengan true self.

Aspek kedua otentisitas berkenaan dengan kongruensi antara pengalaman yang secara sadar dihayati dengan perilaku. Hidup otentik (authentic living) menyangkut berpe­ri­laku dan mengekspresikan perasaan yang konsisten dengan kesadaran individu. Dengan kata lain hidup yang otentik berarti jujur pada diri sendiri dalam berbagai situasi dan hidup selaras dengan tata nilai dan kepercayaan yang dianutnya.

Aspek ketiga otentisitas menyangkut seberapa individu menerima pengaruh orang-orang lain dan berpendapat dirinya perlu berkompromi dengan pengharapan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial sehingga keterasingan diri dan hidup yang otentik dipe­ngaruhi oleh lingkungan sosial. Mengintrojeksikan pandangan orang lain dan menerima pengaruh orang lain mempengaruhi self-alienation dan dialaminya authentic living.

Dalam wawasan konseling, otentisitas adalah aspek fundamental rasa sejahtera. Makin tinggi otentisitas, makin rendah kecemasan, stres dan depresi serta makin tinggi rasa diri berharga. Teori determinasi diri mengartikan otentisitas sebagai deskriptor perilaku yang mencerminkan diri individu yang sejati (the true self). Mengguna­kan teori determinasi diri, Kernis dan Goldman (2006) mendeskripsikan oten­tisitas sebagai berkiprahnya diri yang sejati yang menjadi pusat kepribadian individu dalam kehidupan kesehariannya.

Identitas Sosial Mahasiswa FKIP dalam Kerangka Teori Determinasi Diri

Teori Identitas Sosial digunakan untuk menggambarkan feno­mena relasi di dalam kelompok (Brown, 2000). Inti teori ini adalah “Bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan tentang ke­ang­­gotaannya pada satu kelom­pok sosial beserta tata nilai anutan dan keterikatan emosional yang melekat dengan kelompok sosial tersebut.” Melalui kerangka teori determinasi diri, identitas sosial dan relasi antar individu di dalam kelompok diberi konteks. Adanya perbedaan alasan, yaitu secara berdeterminasi diri atau bukan ber­determinasi diri yang berlatar-belakang anggota kelompok mahasiswa FKIP-UKSW mengidenti­fikasikan diri secara sosial dengan kelompok internal maha­siswa FKIP akan menghasilkan konse­kuensi tertentu.

Segi positif dan negatifnya konsekuensi tersebut tergantung pada faktor yang berbeda seperti terhadap siapa konsekwensi itu berlaku (pada diri sendiri atau orang lain dalam kelompok), atau pada kerangka prikologis yang terkena (pada aras individual atau aras relasi antar individu di dalam kelompok) serta pada konteknya (situasinya ringan atau gawat karena mengandung muatan konflik). Konsek­wensi negatif mengidentifi-kasikan diri secara sosial pada kelompok meliputi merasa dibatasinya atau rusaknya kebebasan, pengekspresian diri, integritas dan rasa sejahtera psikologis individu dan orang-orang lain di dalam kelompok. Sedangkan konsek­wensi positif meliputi diperolehnya du­kungan dan dikembangkannya kebebasan, pengek­spresian diri, integritas dan rasa sejah­tera secara psikologis individu dan orang-orang lain di dalam kelompok.

Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory/STD) Deci & Ryan (2002a, dalam Muller et al, 2006) adalah teori motivasi yang komprehensif melalui membeda­kan motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrin­sik ditetapkan sendiri oleh individu yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari luar dirinya. Sebaliknya, moti­vasi eks­trinsik bersifat instrumental karena tindakan individu dilakukan dalam kendali pihak di luar diri individu. Konsepsi motivasi yang dikotomis ini, yaitu pemilahan moti­vasi intrin­sik dengan ekstrinsik, digan­tikan dengan konsepsi Self Determination Theory.

Secara skematis determinasi diri digambarkan sebagai berikut:

Individu mengidentifikasikan diri secara sosial dengan rekan-rekan mahasiswa se Fakultas melalui motivasi yang berwujud:

Non-Self-Determination

Self-Determination

Non Regulation

External

Regulation

Introjected

Regulation

Identified

Regulation

Integrated

Regulation

Intrinsic

Regulation

Meng­iden­tifikasi­kan diri secara so­sial de­­­ngan Fakul­tas tak­kan membu­ah­kan ha­sil yang me­nye­nang­kan bagi mahasiswa yang bersangkutan

Untuk men­­dapat peng­aku­an dan meng­hin­dari penolakan dari rekan se Fakultas

Indi­vidu memak­sa­kannya pada diri sen­diri karena me­rasa harga diri­nya tergantung pa­da identitas sosial itu

Individu me­rasa per­lu dan penting punya identitas so­sial dengan Fakul­tasnya untuk mera­ih tujuan-tujuan yang sudah dite­tap­kannya

Individu merasa dengan beridenti­tas sosial dapat mengekspresikan tata nilai dan ke­percayaan yang amat dipenting­kannya

Individu meng­iden­tifika­sikan diri melalui motivasi intrinsik yang berbuah rasa me­nyatu dan nyaman di Fakultasnya

Gambar 1. Garis Kontinyu Determinasi Diri (Deci & Ryan, 2002a dalam Muller et al, 2006)

Dalam teori determinasi diri, aktivitas individu diamati sebagai gaya peng­aturan (regulatory styles) dalam taraf-taraf determinasi diri yang berbeda-beda yang terdiri dari amotivation, empat taraf gaya pengaturan yang terma­suk dalam motivasi ekstrinsik serta pengaturan intrinsik. Gaya pengaturan dalam taraf-taraf determinasi diri yaitu:

1) Amotivation: amotivation didefinisikan sebagai “non-regulation” yang menu­rut STD, tidak menggambarkan tindakan karena tidak memiliki orientasi sasar­annya. STD hanya membahas motivasi yang mengandung niatan untuk bertindak/an intention to act.

2) External regulation: external regulation seasas dengan definisi tradisional motivasi ekstrinsik.

3) Introjected regulation: introjection regulation mencakup tindakan yang ber­kaitan dengan meme­lihara harga diri seperti belajar guna memberi kesan baik kepada orang lain atau karena harapan individu bertindak yang selaras misalnya hadir dalam kuliah karena beranggapan mahasiswa harus hadir dalam kuliah secara teratur. Sumber tindakan dari diri sendiri meski hal ini tergolong pada determinasi diri taraf rendah.

4) Identified regulation: identified regulation bertolak dari relevansi perse­orangan da­lam bertindak, misalnya mahasiswa tidak berminat pada satu mata kuliah, ia berkepenting­an untuk mendapatkan nilai baik dalam kuliah tersebut karena berniat kuat meraih sukses menyele­saikan studi. Dalam bahasa determinasi diri, mahasiswa mengatur perilakunya setelah mengidenti­fi­kasikan diri dengan tujuan jangka menengah studinya.

5) Integrated regulation: integrated regulation bergantung pada determinasi diri. Gaya pengaturan diri ini dihasilkan oleh pengintegrasian tata-nilai yang diteri­ma individu yang disatukan ke dalam konsep dirinya. Tata nilai itu eksis secara harmonis dengan segi-segi lain dalam diri individu. Gaya pengaturan diri ini dekat dengan regulasi determinasi diri intrinsik dan sulit terbedakan dengan intrinsic regulation.

6) Intrinsic regulation: intrinsic motivation ini merupakan prototipe motivasi dalam determinasi diri dan menunjuk-kan kecenderungan inheren/asli untuk me­ne­mukan tan-tangan, pengetahuan, hal-hal baru serta pengalaman emo­si­onal yang positif se­olah individu amat larut terserap ke dalam kegiatannya (seperti konsep flow, meng­alir saja) Sesuai STD, mahasiswa secara intrin­sik mengatur diri ketika melakukan apa yang ingin dilakukannya. Jadi deter­minasi diri dapat digambarkan adanya “keselarasan subjektif antara diri individu dengan tindakan yang dilakukannya.”

Pengembangan dan pemeliharaan sistem pengaturan determinasi diri menurut STD tergantung pada terpenuhinya salah satu dari tiga kebutuhan psi­ko­logi asli yaitu kebutuhan otonomi, bersekutu dan berkompe­tensi. Autonomy adalah cakap memilih/choice dan ber­tindak/agency, individu dapat memilih dan melakukan tindakannya sendiri. Compe­tence menun­juk pada rasa efektif/effectiveness, individu memiliki kendali atas hasil-hasil tindak­an­nya dan memiliki kecakapan memberikan dampak pada lingkungannya. Relatedness merujuk pada dialaminya keter­hubungan sosial yang efektif dan relasi sosial yang bermakna, terjalin dalam interaksi dengan orang-orang yang dipentingkan-nya. Ling­kungan yang mengembangkan ketiga kebu­tuhan dasar itu meng­hasilkan perilaku berdeterminasi diri atau individu yang bermotivasi intrinsik.

METODE PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah 76 mahasiswa FKIP – Universitas Kristen Satya Wacana angkatan tahun 2010 dan 2011 yang menempuh kuliah kependidikan. Digunakan modifikasi “Motivation to Identity Scale University of Queensland (UQ) Student Identity” yang terdiri dari 18 butir, dengan reliabilitas Alpha Cronbach 0,826 dan rentang validitas antara 0,479 – 0,663. Dimofifikasi pula the Authenticity Scale yang keseluruhannya berjumlah 12 butir dengan sub-skala Authentic Living, reliabilitas Alpha Cronbach 0,845 dan rentang validitas antara 0,657 – 0,746; Accepting External Influence, reliabilitas Alpha Cronbach 0,826 dan rentang validitas antara 0,588 – 0,758; serta self-alienation, dengan reliabilitas Alpha Cronbach 0,716 dan rentang validitas antara 0,370 – 0,647.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran terhadap kedua variabel penelitian menghasilkan jumlah frekwensi dan kategori sebagaimana tertuang pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut.

Tabel 1. Kategori dan Jumlah Frekwensi Authentic Living

Mahasiswa FKIP – UKSW (N=76)

Authentic Living

Kategori

Frekwensi

Prosentase

Prosentase Kumulatif

Mean = 19.79

Std. Deviation = 4.751

Rentang skor = 21

7 – 11 = Rendah

6

7,9

7,9

12 – 16 = Agak Rendah

4

5,3

13,2

17 – 22 = Agak Tinggi

47

61,8

75,0

23 – 28 = Tinggi

19

25,0

100,0

Accepting External Influence

Kategori

Frekwensi

Prosentase

Prosentase Kumulatif

Mean = 15.86

Std. Deviation = 3.95

Rentang skor = 19

6 – 10 = Rendah

7

9,2

9,2

11 – 15 = Agak Rendah

27

35,5

44,7

16 – 20 = Agak Tinggi

34

44,7

89,5

21 – 25 = Tinggi

8

10,5

100,0

Self-Alienation

Kategori

Frekwensi

Prosentase

Prosentase Kumulatif

Mean = 14.28

Std. Deviation = 3.591

Rentang skor = 15

7 – 10 = Rendah

13

17,1

17,1

11 – 14 = Agak Rendah

27

35,5

52,6

15 – 18 = Agak Tinggi

28

36,8

89,5

19 – 22 = Tinggi

8

10,5

100,0

Pada Tabel 1. sebagian besar mahasiswa (47 orang/61,8%) berkategori agak tinggi dalam authentic living. Seluruhnya ada 66 mahasiswa (86,8%) masuk kategori agak tinggi sampai dengan tinggi dalam authentic living, yaitu sebagian besar mahasiswa berpe­ri­laku dan mengekspresikan perasaan yang konsisten dengan kesadaran dirinya. Atau dengan kata lain mahasiswa menjalani hidup otentik, jujur pada diri sendiri dalam berbagai situasi dan hidup selaras dengan tata nilai dan kepercayaan yang dianutnya.

Selanjutnya, sebagian besar mahasiswa (34 orang/44,7%) berkategori agak tinggi dalam accepting external influence. Sebagai totalitas, terdapat 42 mahasiswa (55,2%) kuat kecenderungannya mene­rima pengaruh orang-orang lain dan berpendapat dirinya perlu berkompromi dengan pengharapan orang lain sehingga kurang leluasa mengeks­presikan otentisitasnya. Terdapat pula 28 mahasiswa (36,8%) agak tinggi dalam self-alienation. Secara keseluruhan, ada 36 mahasiswa (47,3%) mengalami keter­asingan diri sehingga masih sukar berperilaku dan berekspresi diri selaras dirinya yang sejati (true self).

Tabel 2. Kategori dan Jumlah Frekwensi Identitas Sosial

Mahasiswa FKIP – UKSW (N=76)

Berdeterminasi Diri

Kategori

Frekwensi

Prosentase

Prosentase Kumulatif

Mean = 45.58

Std. Deviation = 5.756

Rentang skor = 28

31 – 37 = Rendah

7

9,2

9,2

38 – 44 = Agak Rendah

22

28,9

38,2

46 – 52 = Agak Tinggi

37

48,7

86,8

53 – 59 = Tinggi

10

13,2

100,0

Tampak pada Tabel 2. sebagian besar mahasiswa (37 orang/48,7%) berkategori agak tinggi dalam identitas sosial yang terdeterminasikan diri terhadap Fakultasnya. Selu­ruh­nya terdapat 47 orang (61,9%) mahasiswa berkategori agak tinggi dan tinggi dalam identitas sosial yang terdeterminasikan diri terhadap kelompok mahasiswa dan organisasi akademik FKIP-UKSW.

Selanjutnya dilakukan pembahasan hasil penelitian. Pada variabel otentisitas, perolehan 66 mahasiswa (86,8%) masuk kategori agak tinggi sampai dengan tinggi dalam authentic living, yaitu sebagian besar mahasiswa FKIP menjalani kehidupan yang otentik, jujur pada diri sendiri dalam berbagai situasi dan hidup selaras dengan tata nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Temuan ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa menyelaraskan diri dengan panggilan hidup sebagai mahasiswa kependidikan yang me­mang dituntut jujur pada diri sendiri, polos apa adanya sehingga dapat dikatakan sejahtera secara psikologis. Namun mahasiswa cenderung mene­rima pengaruh orang lain dan ber­pen­dapat perlu berkompromi dengan pengha­rapan orang lain. Ada 42 mahasiswa (55,2%) yang terkungkung oleh tuntutan tokoh-tokoh penting dalam hidupnya, terutama harapan orangtua dan dosen sehingga mahasiswa agak kurang leluasa mengeks­presikan kediriannya secara optimal. Sayangnya masih ditemukan 36 mahasiswa (47,3%) yang mengalami keter­asingan diri sehingga sukar berperilaku dan berekspresi selaras dirinya yang sejati (true self). Temuan ini perlu mendapat perhatian orangtua dan dosen agar membuka diri bagi mahasiswa untuk dapat berbagi mimpi dan aspirasi hidupnya meskipun kedua belah pihak ada kesenjangan dalam pengalaman dan tantangan hidupnya.

Selanjutnya, pada variabel identitas sosial, dapatan hasil 47 orang (61,9%) maha­siswa yang berkategori agak tinggi dan tinggi dalam identitas sosial yang terdetermina­sikan diri terhadap kelompok mahasiswa dan organisasi akademik FKIP-UKSW menun­jukkan hampir dua-pertiga responden mahasiswa FKIP merasakan kebutuhan bersekutu dengan sesama mahasiswa satu fakultas dan merasa bangga menjadi bagian yang bermakna di dalam keluarga mahasiswa FKIP. Perasaan menjadi bagian yang berarti/anggota internal FKIP amat penting untuk meniadakan dampak negatif “rasa lebih unggul” dari keanggotaan di program studi-program studi yang tergabung di dalam FKIP.

Selanjutnya hasil perhitungan korelasi antara kedua variabel dirangkum berikut.

Tabel 3. Korelasi antara Skor Identitas Sosial dan

Otentisitas Mahasiswa FKIP-UKSW (N=76)

Spearman’s rho

Otentisitas Mahasiswa FKIP

Keputusan

Identitas Sosial

Authentic Living

Hubungan positif signifikan

0,366**

0,001

Accepting External Influence

Hubungan negatif signifikan

– 0,383**

0,001

Self-Alienation

Hubungan negatif signifikan

– 0,362**

0,001

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel 3. menunjukkan hubungan antara skor identitas sosial dengan skor authentic living mahasiswa FKIP-UKSW dengan koefisien korelasi sebesar rxy = 0,366** pada p = 0,001 < 0,01. Disimpulkan ada hubungan positif signifikan antara identitas sosial dengan authentic living mahasiswa FKIP. Dengan kata lain, makin tinggi skor identitas maha­siswa, maka makin tinggi skor authentic living mahasiswa.

Disamping itu diperoleh hubungan antara skor identitas sosial dengan skor accept­ing external influence dengan koefisien korelasi sebesar rxy = – 0,383** pada p = 0,001 < 0,01. Diambil simpulan ada hubungan negatif signifikan antara identitas sosial dengan accepting external influence mahasiswa FKIP. Artinya, makin tinggi skor iden­titas maha­siswa, maka makin rendah skor accept­ing external influence mahasiswa.

Akhirnya didapat hubungan antara skor identitas sosial dengan skor self-alienation dengan koefisien korelasi sebesar rxy = – 0,362** pada p = 0,001 < 0,01. Dapat diambil simpulan ada hubungan negatif signifikan antara identitas sosial dengan self-alienation mahasiswa FKIP. Dapat dinyatakan, makin tinggi skor iden­titas maha­siswa, maka makin rendah skor self-alienation mahasiswa.

Adanya hubungan positif signifikan antara identitas sosial dengan otentisitas maha­siswa pada aspek authentic living mengandung makna FKIP perlu berupaya agar mahasiswa makin mendeterminasikan diri pada visi dan misi FKIP yang akan diikuti oleh meningkatnya kejujuran dan kesederhanaan, sikap tulus dan benar, mahasiswa memiliki tata nilai positif, mempromosikan pengalaman hidup yang positif, mahasiswa memiliki keunikan dan bertumbuh-kembang secara positif. Upaya FKIP melalui pendidikan dan pembelajaran untuk meningkatkan identitas sosial mahasiswa akan diikuti oleh menurunnya accepting external influence dan self-alienation mahasiswa. Pengalaman mahasiswa bersekutu yang makin intentif dan bermakna dengan civitas akademika FKIP akan diikuti oleh makin mampunya mahasiswa mengembangkan aspirasi pribadi sebagai calon pendidik serta makin mampu mengenal dan menerima diri sehingga keterasingan dari diri sendiri berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Amiot, C. E. and Sansfacon, S. 2011. Motivations to identify with social groups: a look at their positive and negative consequences. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, Vol. 15. No. 2. @ American Psychological Assocciation.

Brown, R. 2000. Social identity theory: Past achievements, current problems and future challenges. European Journal of Social Psyghology, 30.

Kernis, Michael H. & Goldman, Brian M. 2006. A multicomponent conceptualization of authenticity: theory and research. Advances In Experimental Social Psycho­logy, Vol. 38. DOI: 10.1016/S0065-2601(06)38006-9

Klipfel, Kevin Michael. October 21, 2013. Authenticity and Learning: Implications for Reference Librarianship and Information Literacy Instruction. Chico, CA: California State University, Chico. [email protected].

Maltby, John, Wood, Alex M., Day, Liza And Pinto, Diana. 2012. The position of authenticity within extant models of personality. Personality and Individual Differences, 52 (3).

Muller, Florian H; Palekcic, Marko; Beck, Matthias dan Wanninger, Sebastian. 2006. Personality, motives and learning environment as predictors of self-deter­mined learning motivation. Review of Psychology. Vol. 13. No.2. Diunduh 27 Februari 2012.

Roccas, S., Klar, Y., and Livitan, I. 2006. The paradox of group-based guilt: Modes of national identification, conflict vehemence, and reactions to the in-groups’ moral violations. Journal of Personality and Social Psychology, 9.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. 2004. Autonomy is no illusion: Self-determination theory and the empirical study of authenticity, awareness, and will. In J. Greenberg, S. L. Koole & T. Pyszcynski (Eds.), Handbook of Experimental Existential Psycho­logy (pp. 455-485). New York: The Guildford Press.

Tyler, T.R. and Blader, S.T. 2002. Autonomous vs. comparative status: Must we be better than others to feel goog about ourselves? Organizational Behavior and Human Decision Processes, 89.

Wood, A.M., Linley, P.A., Maltby, J., Baliousis, M., & Joseph, S. 2008. The authentic personality: A theoretical and empirical conceptualization, and the development of the Authenticity Scale. Journal of Counseling Psychology, 55.