IKONOGRAFI SEBAGAI ILMU BANTU,

DALAM MEMAHAMI TEOLOGI SASTRA

 

Christopher Alexander Setiawan Tampenawas

Komisioner komisi Youth

Pengurus Pusat Perkumpulan Filatelis Indonesia

 

ABSTRACT

Iconography which is an auxiliary science of art history which is very close to the culture of the development of the church in the world, is the knowledge of the symbol or cultural icons found in the culture of Christianity. Theology is the science that understands God positively and practically. Whereas Litterature Theology is how to review Theology from the perspective of Literature which in its context is Art and History. Iconography can help and review how to understand a Litterature Theology through the interpretation of existing symbols implicitly or explicitly from a study of Litterature Theology

Keyword: Iconography, Symbol, Literature Theology

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikonografi yang merupakan ilmu bantu dari ilmu sejarah seni yang sangat dekat hubungannya dengan budaya perkembangan gereja di dunia, merupakan ilmu yang memahami tentang simbol ataupun ikon-ikon budaya yang terdapat pada budaya kekristenan di dunia. Teologi adalah ilmu yang memahami tentang Tuhan secara ilmu pengetahuan positif maupun ilmu pengetahuan praktis. Sedangkan Teologi Sastra merupakan bagaimana cara meninjau ilmu Teologi dari cara pandang Sastra yang pada konteksnya merupakan Seni. Ikonografi dapat meninjau sebuah Teologi Sastra yang sarat akan makna simbolik secara tersurat maupun tersirat, dan oleh karena itu Ikonografi dapat dijadikan ilmu bantu yang tepat untuk memahami sebuah studi Teologi Sastra.

TUJUAN PENULISAN

·         Mengetahui kaitan-kaitan Ikonografi dengan Teologi Sastra

·         Mengetahui Analisa dan tahapan Ikonogradi dalam menginterpretasikan sebuah kajian Teologi Sastra

PEMBAHASAN

PENGERTIAN DAN KONSEP IKONOGRAFI

Iconography is that branch of the history of art, which concerns itself with the subject matter of meaning of works of art, as opposed to their form. Let us, then, try to define the distinction between subject matter or meaning on the one hand and form on the other. (Erwin, Panofsky. 1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 3).

Dapat dikatakan bahwa Ikonografi, merupakan ilmu yang mempelajari mengidentifikasi, mendeskripsikan , dan menginterpretasi sebuah konten dalam gambar yaitu subjek yang digambarkan, komposisi dan detail khusus, dan elemen lain yang berbeda dari gaya artistik. Secara etimologi Ikonografi berasal dari bahasa Yunani εἰκών yang berarti gambar dan γράφειν yang berarti menulis.

Dalam sejarah seni, ikonografi dapat juga diartikan sebagai penggambaran tertentu dari subjek dalam isi gambar, seperti jumlah angka yang digunakan, penempatan dan isyaratnya. Istilah ini juga digunakan di banyak bidang akademik selain sejarah seni, misalnya semiotika dan kajian media, dalam penggunaan umum, untuk konten gambar, dan penggambaran subjek yang khas dalam sebuah gambar.

Ikonografi sendiri merupakan bagian dari Ikonologi atau ilmu yang mempelajari tentang interpretasi sebuah symbol ataupun ikon-ikon tertentu yang telah di buat dalam suatu karya hasil dari perkembangan kebudayaan. Perbedaan antara Ikonografi dan Ikonologi sendiri terletak pada, fase interpretasinya, kata kunci dalam konsep perbedaan Ikonografi dan Ikonologi berada pada kata Deskripsi dan Interpretasi

Ikonografi merupakan sebuah tahap penulisan dari sebuah studi interpretasi dari Ikonologi, sesuai dengan bagan diatas. Konsep studi dari Ikonografi sendiri di gambarkan secara gamblang oleh Erwin Panofsky dalam sebuah contoh:When an acquaintance greets me on the street by removing his hat, what I see from a formal point of view is nothing but the change of certain details within a configuration forming part of the general pattern of colour, lines and volumes which constitutes my world of vision. When I identify as I automatically do, this configuration as an object (gentleman), and the change of detail as an event (hat-removing), I have already overstepped the limits of purely formal perception and entered a first sphere of subject matter or meaning (Erwin, Panofsky.1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 3). sudah sangat jelas digambarkan bahwa Ikonografi adalah penggambaran dari pokok masalah dan makna dari sebuah peristiwa, dan atau subjek tertentu termasuk sebuah gambar atau karya sastra yang dapat di interpretasikan lewat Sejarah dan kebudayaan dalam sebuah pemilihan kata ataupun penempatannya serta latar belakangnya, pada suatu karya sastra.

Selanjutnya Ikonografi mempelajari tentang interpretasi makna yang di lihat dari fakta yang ada, interpretasi tersebut melihat dari sisi emosional maupun dari latar belakang sebuah karya itu dibuat, from the way my acquaintance performs his action I may be able to sense whether he is in a good or bad humour, and whether his feelings towards me are indifferent, friendly or hostile. These psychological nuances will invest the gestures of my acquaintance with a further meaning which we call expressional. It differs from the Factual one in that it is apprehended,not by simple identification, but by “empathy” to understand it. (Erwin, Panofsky.1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 3). Dalam kutipan tersebut ia menjelaskan konsep lebih lanjut dari cara interpretasi dari sebuah simbol yang faktual dengan menggunakan pendekatan emosional untuk memahami serta menginterpretasikan sebuah simbol.

Tahap selanjutnya dari sebuah interpretasi dari simbol adalah penulisan atau pendeskripsian dari hasil interpretasi yang dilakukan dengan pendekatan Ikonologi, tahap penulisan tersebutlah yang dinamakan konsep dari Ikonografi, tahap dimana sebuah hasil interpretasi dari sebuah simbol faktual maupun yang ada pada sebuah karya sastra ataupun seni dimana hal tersebut merupakan fungsi asal dari Ikonografi yaitu interpretasi serta penulisan dari sebuah simbol pada sebuah karya seni ataupun karya sastra seperti ilustrasi dari sebuah prosa maupun ilustrasi dari sebuah karya sastra lainnya, sebagai contoh Ilustrasi yang dibuat oleh Gustave Doré, pada The Doré Illustrations for Dante’s Divine Comedy, dan ilustrasi pada Christmas Carol karya Charles Dickens yang dibuat oleh John Leech, merupakan sebuah contoh konkrit dari penggambaran ilustrasi dari sebuah prosa, yang dapat ditinjau oleh interpretasi Ikonologi dan dituliskan dengan konsep studi Ikonografi.

TAHAPAN IKONOGRAFI, SEBAGAI ILMU

Dalam Studi Ikonografi sebagai ilmu dapat dibagi menjadi tiga tahap sebuah penulisan atau pendeskripsian dalam Ikonologi, yang merupakan bentuk interpretasi dari Ikonografi, proses pembagian itu meliputi: Primary or Natural Subject Matter, Secondary or Conventional Subject Matter dan Intrinsic Meaning or Content

·         Primary or Natural Subject Matter

Yang pertama adalah Natural Subject Matter, yang terbagi menjadi faktual dan ekspresional, hal ini dijelaskan sebagai berikut; It is apprehended by identifying pure forms, that is: certain configurations of line and colour, or certain peculiarly shaped lumps of bronze or stone, as representations of natural objects such as human beings, animals, plants, houses, tools and so forth; by identifying their mutual relations as events; and by perceiving such expressional qualities as the mornful character of a pose or gesture, or the homelike and peaceful atmosphere of an interior. (Erwin, Panofsky.1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 5). Natural Subject Matter, menjelaskan subjek dari pengamatan secara umum yang dapat dilihat oleh orang tanpa perlu identifikasi ataupun interpretasi lagi dari sebuah pengamatan tersebut, fase ini merupakan fase awal dari Ikonografi yang melihat dari sisi luar tanpa memperhatikan latar belakang maupun sisi lainnya secara Ikonologi dalam konsep interpretasi untuk pendeskripsiannya.

·         Secondary or Conventional Subject Matter

In doing this we connect artistic motifs and combinations of artistic compositions with themes or concepts. (Erwin, Panofsky.1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 6) dalam fase ini dijelaskan bahwa ini merupakan pengabungan antara komposisi atau motif dengan tema ataupun konsep, hal ini pun di umpamakan dengan sebuah konsep interpretasi orang suci dengan membawa sebilah pisau menggambarkan St Bartolomeus , seorang figure perempuan dengan buah peach di tangannya yang merupakan personifikasi dari Veracity. Dan gambar sekelompok orang duduk di sebuah meja dan ditengah ada sesok figure, hal ini di interpretasikan sebagai Perjamuan Terakhir. Komposisi yang dimaksud adalah komposisi yang terdapat pada objek pengamatan yang merupakan sarana pendukung untuk kita mengenali dan menginterpretasikan objek lebih lanjut, dengan adanya ciri tertentu hal itu jelas akan memudahkan kita untuk melakukan interpretasi dengan benar. Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari interpretasi awal yang dilakukan secara umum.

·          Intrinsic Meaning

Fase terakhir dari proses Ikonografi sebagai ilmu sebelum dilakukan penulisan dari deskripsi Ikon dalam Ikonografi adalah mengenali makna intrinsic yang terkandung dalam subjek. It is apprehended by ascertaining those underlying principles which reveal the basic attitude of a nation, a period, a class, a religious or philosophical persuasion-unconsciosly qualified by one personality and condensed into one work. (Erwin, Panofsky.1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Arts of Renaissance. Oxford: Oxford university press, halaman 7). yaitu fase dimana kita harus memahami latar belakang dari subjek yang kita amati latar belakang dan arti intrinsic yang terdapat pada subjek tersebut yang kita bisa cari dari latar belakang terbentuknya subjek tersebut maupun dari hasil interpretasi subjek tersebut secara semata, fase ini merupakan fase paling krusial bagi proses Ikonografi, karena ini merupakan kunci keberhasilan dari interpretasi sebuah subjek pengamatan yang mengandung banyak nilai-nilai simbolik yang ada. Dalam mencari sebuah makna intrinsic dalam sebuah karya seni maupun karya sastra diperlukannya data dan riset terlebih dahulu terhadap sejarah serta latar belakang penulis ataupun seniman yang membuat karya tersebut, untuk menghindari adanya kesalahan dalam interpretasi sebuah Ikon tersebut.

OBJECT OF

INTERPRETATION

ACT OF

INTERPRETATION

I. Primary of natural subject matter – (A) Factual (B) expressional, constituting the world of artistic motifs.

Pre – Iconographical description

II. Conventional Subject matter, constituting the world of images, stories and allegories

Iconographical analysis

III. Intrinsic Meaning, or content, constituting the world of “symbolic” values

Iconographical Interpretation

 

Tahap-tahapan tersebut dalam proses Ikonografi juga dapat disebut sebagai perilaku dari interpretasi yang dibagi menjadi tiga , Pre Iconographical description, Iconographical analysis dan Iconographical Interpretation, yang akan di jelaskan dalam bagan Dalam bagan diatas dijelaskan secara singkat bagaimana proses interpretasi yang ditinjau Ikonografi sebagai ilmu, maupun sebagai ilmu bantu bagi memahami sebuah karya sastra maupun karya seni yang memiliki banyak nilai-nilai simbolik.

KONSEP TEOLOGI SEBAGAI ILMU

Dalam konsep Teologi sebagai ilmu, dapat dipahami beberapa konsep-konsep dasar yang menggambarkan Teologi sebagai ilmu, yaitu: Positivisme logis, Rasionalisme, sebagai “ Human Science “, serta konsep Teologi sebagai ilmu Ketuhanan. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep Teologi sebagai ilmu.

·         Positivisme Logis

Every form of positivism takes some fact or institution as the ultimate basis of its arguments. In the case of legal positivism it is existing laws, which are not open to question (Wolfhart Pannenberg.1976. Theology And The Philosophy Of Science. Philadelphia: The Westminster Press , halaman 29) Dalam pandangan Positivisme Logis yang konservatif menyatakan bahwa ke absolutan kata Tuhan atau wahyunya dalam Kristus, seperti teori yang disampaikan Karl Barth. Tetapi dalam Positivisme Logis modern peranannya pun berubah, poin awalnya dari pengetahuan atau terkonsentrasi terhadap objeknya seperti pada teori positivism logis yang lama, tetapi menjadi lebih sederhana, paradigma untuk kemungungkinan asersi. Oleh pergerakan Positivisme Logis, format yang dimulai dari analisis dari pengertian asersi.

·         Rasionalisme dalam mengkritisi Theologi

In giving falsifiability of theories a central plave in his study of the logic of scientific enquiry, immediate aim was to separate science from “metaphysics”, but also regarded the basic idea as having much wider relevance. The social sciences too, to extent that they were sciences, were expected to put forward hypotheses and theories and test them for falsifiability (Wolfhart Pannenberg.1976. Theology And The Philosophy Of Science. Philadelphia: The Westminster Press , halaman 43) Dalam buku The Open Society and its Enemies karya Karl Popper, ia mengembangkan cara pandang dari ilmu pengetahuan kedalam sebuah basis eksplisit untuk pandangan lain masyarakat umum: sebagai alternative terhadap kehidupan sosial dalam filsafat dogmatis, ia menggabungan antara “ Open Society “ dengan cara pemikiran “ Critical Thought “ dalam cara pandang yang progresif sebagai hipotesis dari kritik terhadap Teologi. (Disarikan dari Karl Popper.1945. The Open Society and Its Enemies. London: Routledge)

·         Konsep “Human Science “ dan Teologi sebagai “ Human Science”

Konsep “Human Science“ adalah “The Totality of the sciences which have as their object historical and social reality”. (Disarikan dari Wilhelm Dithey.1989. Introduction to Human Science. New Jersey: Princeton University Press) Human Science comprised not only the disciplines which deal with the “interpretation of the world” in language, myth, art , Religion, Philosophy and Science, but also those concerned with “ the structures of life in state and society, law, morals, education, the economy and manufacture” (Erich Rothacker.1947. Logik und Systematik der Geisteswissenschaften. Darmstadt: Wiss. Buchges, Halaman 3) hal ini berarti Human Science tidak hanya tentang interpretasi dari dunia dalam Bahasa, Mitos, Seni, Agama, Filsafat dan Pengetahuan, tetapi juga focus kepada struktur dari kehidupan dalam negara dan masyarakat, hukum, moral, pendidikan, ekonomi dan manufaktur”. Konsep “Human Science” juga harus dibagi menjadi konsep Fisik dan Moral, konsep yang di gambarkan bahwa “Human Science” adalah konsep fisik yang berarti dapat diartikan secara fisik yang ada apakah itu konsep “Human Science” juga secara moral. Teologi Sebagai “ Human Science “ menurut Ernst Troltsch, Althogh Troeltsch’s writings are often classified as a Theological variety of historicism, his theory of theology might be more accurately describe as based on the human sciences (Wolfhart Pannenberg.1976. Theology And The Philosophy Of Science. Philadelphia: The Westminster Press , halaman 103).

 

·         Teologi Sebagai Ilmu Ketuhanan

 Richard Hooker mendefinisikan “teologi” dalam bahasa Inggris sebagai ” the science of things divine ” yang dapat diartikan sebagai ilmu Ketuhanan, (Teologi juga merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang secara etimologi Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, ” Tuhan”, dan λογια, logia, “kata-kata,” “ucapan,” atau “wacana”) adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan.Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Oleh dasar itu sudah cukup menyatakan bahwa Teologi adalah ilmu Ketuhanan, yang menempatkan Tuhan sebagai objek dari Teologi tersebut, An examination of the various forms in which the self-understanding of theology has been emobodied in the course of its history has led us to the conclusion the theology, as it appears in the history of Christian theology, can be adequately understood only as a science of God. (Wolfhart Pannenberg.1976. Theology And The Philosophy Of Science. Philadelphia: The Westminster Press , halaman 297).

 PENGERTIAN DAN KONSEP TEOLOGI SASTRA

Augustine dari Hippo mendefinisikan theologi sebagai theologia, “reasoning or discussion concerning the Deity”;(City of God Book VIII. i. “de divinitate rationem sive sermonem” Archived 4 April 2008 at the Wayback Machine.) yang berarti Teologi adalah ilmu yang mendiskusikan tentang Keilahian, pada bab ini akan dibahas bagaimana konsep- konsep dasar bisa lahirnya sebuah Teologi Sastra. Dari bermacam-macam konsep ilmu dari Teologi dapat ditarik simpulan bahwa Teologi bukan hanya ilmu yang mempelajari tentang Tuhan, walaupun secara Etimologi demikian. Tetapi konsep Teologi juga di pengaruhi oleh adanya unsur-unsur sastra. Pengertian Sastra sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.

Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:

·         Novel

·         Cerita/cerpen (tertulis/lisan)

·         Syair

·         Pantun

·         Sandiwara/drama

·         Lukisan

·         kaligrafi

·         Babad

Sedangkan Pengertian Teologi Sendiri dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang Ketuhanan, Ilmu Manusia, Ilmu pengetahuan positif dan ilmu yang rasional. Konsep dari Teologi Sastra sendiri terbagi atas dua cara pandang yaitu Sastra dalam Teologi dan Teologi dalam Sastra, dengan dua objek yang sama tetapi menggunakan pendekataan yang berbeda.

·         Sastra Dalam Teologi

Yang dimaksud dengan cara pandang Sastra dalam Teologi adalah, sebuah karya sastra yang didalamnya mengandung nilai-nilai religi atau nilai-nilai teologis, tetapi dalam bentuk sebuah karya sastra, seperti dalam Babad Demak, yang menjelaskan perjalanan ziarah Ki Ageng Pandanaran dari Semarang sampai ke Bayat Klaten, yang didalamnya mengandung banyak sekali nilai-nilai Teologis yang dapat diambil yang dituliskan alam sebuah karya sastra, hal tersebut jua berlaku pada karya sastra barat seperti karya Dante Alighieri yang berjudul Divina Commedia yang menceritakan fase-fase manusia setelah ia meninggal, dan ia pun menggambarkan Neraka dan menuliskannya dalam bentuk puisi, contoh berikut merupakan Sebuah karya sastra yang memiliki nilai-nilai teologis, dan yanga dikaji lewat ilmu kesusastraan.

·         Teologi Dalam Sastra

Yang selanjutnya adalah Teologi dalam sastra, konsep ini merupakan konsep paradoks dari Sastra dalam Teologi sendiri, Teologi dalam sastra adalah, sebuah ilmu tentang manusia, ilmu pengetahuan positif yang berhubungan dengan Ketuhanan, yang disalin dan di tuliskan serta di kumpulkan dan dijadikan sebuah buku ataupun karya sastra lainnya, konsep Teologi dalam Sastra sendiri merupakan sebuah konsep ajaran religi atau telogi yang dijadikan sebuah tulisan sastra. Yang mungkin sang penulis pun mengetahui ajaran tersebut melalui Tulisan, tetapi yang ia ambil bukan hasil ataupun latar belakang dari tulisan tersebut, melainkan ajaran yang ada dalam tulisan tersebut, ajaran itu adalah ilmu Teologi, dan sang penulis menuliskan ajaran tersebut kembali lewat cara pandangnya dan dikemas dengan gaya Bahasanya sendiri dengan Teknik-teknik penulisan sastra dan dijadikan sebuah karya tulisan, karya tersebut merupakan karya sastra hasil dari sebuah ajaran atau ilmu Teologi. Hal tersebut merupakan Konsep Teologi dalam Sastra.

Jadi, Konsep dan Pengertian Teologi Sastra adalah sebuah karya sastra yang didalamnya mempunyai dan mengandung nilai-nilai religi dan atau nilai Teologis yang dapat ditinjau melalui dua ilmu yaitu ilmu kesusastraan dan ilmu Teologi itu sendiri. Konsep tersebut merupakan konsep interpretative dari dua ilmu yaitu Kesusastraan dan Teologi, Teologi Sastra sendiri tidak dapat lepas dari interpretasi terhadap dua ilmu tersebut. Hal yang sama dengan ilmu ikonologi, ilmu interpretasi terhadap sebuah ikon, jadi Teologi Sastra pun dapat di interpretasikan lagi dan dipahama berdasarkan Simbol-simbol yang ada dalam sebuah karya sastra tersebut, yang dalam halnya menggunakan ilmu interpretasi dari Ikonografi yang mendeskripsikan hasil interpretasi Ikonologi.

MEMAHAMI TEOLOGI SASTRA LEWAT IKON/SIMBOL, DALAM SEBUAH KARYA SASTRA

Pada pokok-pokok bahasan sebelumnya telah di jelaskan bagaimana konsep Ikonografi, konsep Teologi Sastra serta apa saja yang dimaksud dengan karya sastra, yang selanjutnya dan yang menjadi pertanyaan bagaimana memahami sebuah konsep Teologi Sastra Lewat Ikon/Simbol dalam sebuah Karya Sastra. Dalam Sebuah karya Sastra, pasti mengandung dua unsur, unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik yang keduanya saling berkaitan, dalam unsur ekstrinsik tersebut terdapat latar belakang masyarakat, latar belakang pengarang dan nilai-nilai serta pesan apa yang ingin disampaikan pengarang dalam sebuah karya Sastra tersebut. Dari nilai ekstrinsik berkembanglah pola pikir yang dinamakan Interpretasi terhadap latar belakang yang ada, pola ini merupakan pola awal dari Ikonografi (pre-Iconography) yang melihat sebuah subjek dari luarnya yang selanjutnya akan di kembangkan dalam fase-fase interpretasi selanjutnya untuk menghasilkan sebuah karya Ikonografi.

Sedangkan secara sederhana karya sastra yang mengandung nilai-nilai Teologis dapat dikatakan sebagai Teologi sastra, sebagaimana dijelaskan konsep-konsepnya pada bahasan sebelumnya, konsep Teologi sastra sendiri memiliki unsur-unsur ekstrinsik yang dapat dipahami melalui symbol-simbol yang terdapat dalam ilustrasi karya sastra maupun peristiwa-peristiwa yang merupakan peristiwa simbolik dari sebuah runtutan peristiwa yang lain yang melambangkan suatu budaya maupun suatu kejadian dan saling berkaitan (kausalitas). Sebagai contoh dalam buku Ziarah Ki Ageng Pandanaran (Interpretasi Theologi Sastra) karya Tri Widiarto, Beliau menjelaskan asal usul nama Kota Salatiga, yang sebenarnya adalah dari kata Salah telu sesuai dengan legenda Ziarah Ki Ageng Pandanaran saat ia sampai di Salatiga dan Istrinya di rampok oleh dua orang perampok, karena istrinya membawa emas, sedangkan Ki Ageng Pandanaran sendiri telah menyampaikan bahwa membawa emas tidak diperbolehkan, setelah perampok itu mohon ampun pada Ki Ageng Pandanaran dan bersedia mengabdi seumur hidup, Ki Ageng Pandanaran pun berkata Ketiga orang tersebut semuanya salah, dan tempat dimana Ki Ageng Pandanaran berkata demikian dinamakan lah Salatiga. (Disarikan dari: Tri Widiarto.2018. Perjalanan Ziarah Ki Ageng Pandanaran (Interpretasi Theologi Sastra). Salatiga: Widya Sari Press)

Hal tersebut merupakan sebuah contoh dari makna simbolik yang dapat dijadikan sebuah kajian dalam memahami sebuah karya Sastra, tentu hal tersebut tidak lepas dari unsur-unsur religi yang ada dan dapat dikatakan hal tersebut merupakan Teologi Sastra. Dalam Karya Sastra barat hal itu pun terjadi dalam Divina Commedia karya Dante Alighieri contohnya, dalam Canto yang ketiga “ Justice incited my sublime Creator; Created me divine Omnipotence, The highest Wisdom and the primal Love. Before me there were no created things, Only eterne, and I eternal last. “All hope abandon, ye who enter in!” These words in sombre colour I beheld Written upon the summit of a gate; Whence I: “Their sense is, Master, hard to me!” And he to me, as one experienced: “Here all suspicion needs must be abandoned, All cowardice must needs be here extinct. We to the place have come, where I have told thee Thou shalt behold the people dolorous Who have foregone the good of intellect” (Dante Alighieri.1995. The Divine Comedy. London: Everyman’s Library , Canto 3 Inferno) petikan dari 4 bait Canto ke tiga dari The Divine Comedy ini memiliki makna simbolik dari latar belakang penulis dan petuah dari Aristoteles “ Aristotle says: “The good of the intellect is the highest beatitude”; and Dante in the Convito: “The True is the good of the intellect.” In other words, the knowledge of God is intellectual good. “It is a most just punishment,” says St. Augustine, “that man should lose that freedom which man could not use, yet had power to keep, if he would, and thathe who had knowledge to do what was right, and did not do it, should be deprived ofthe knowledge of what was right; and that he who would not do righteously, when he had the power, should lose the power to do it when he had the will.” (Dante Alighieri.1995. The Divine Comedy. London: Everyman’s Library , Canto 3 Inferno) begitulah makna dibalik arti 4 bait puisi Dante

Disisi lain pada Divina Commedia juga ada ilustrasi gambar, dan Ilustrasi gambar itu bergantung pada Interpretasi sang illustrator, seperti contoh Gustave Dore dan illustrator asli pada buku Divina Commedia “The Lair of Geryon.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dalam dua gambar tersebut yang di gambarkan pada canto ke 17 memiliki sebuah kesamaan tetapi bila kita lakukan interpretasi lagi dengan melihat latar belakang dari kedua illustrator, hal tentang penanaman simbolik yang berbeda pun akan terlihat dari bagaimana menggambarkan situasi dan bentuk, terlihat pada ilustrasi asli dijelaskan secara jelas bahwa itu adalah sarang dari Geryon sendiri dengan adanya sekilas neraka yang dituliskan dengan gamblang, sedangkan Dore hanya menggambarkan sosok Geryon dan dengan latar belakang tebing-tebing di dalam sebuah jurang, dengan kita melihat sosok orang tua berjanggut berbadan naga kita sudah dapat menyimpulkan bahwa itu adalah sesosok Geryon yang merupakan makhluk mitologi dari neraka.Jadi dengan adanya unsur ekstrinsik dan makna-makna simbolik dari sebuah karya sastra, menjadikannya dapat di interpretasikan serta di pahami serta ditinjau lewat ilmu Ikonografi, termasuk sebuah konsep teologi Sastra yang sudah dijelaskan seperti penjelasan Dante Alighieri dan intisari dari buku Perjalanan Ziarah Ki Ageng Pandanaran

PENUTUP

Kesimpulan

Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep Teologi Sastra dapat di pahami serta ditinjau dengan ilmu Ikonografi, dengan konsep dasar dan pemikiran-pemikiran teologis yang Positivme, Rasionalisme, berdasarkan Ilmu manusia, Juga Teologi sebagai ilmu Ketuhanan. Serta konsep dari apa itu Sastra dan Karya sastra, yang dapat di simpulkan tentang pengertian dari Teologi Sastra yaitu sebuah Karya Sastra yang mengandung nilai-nilai religi dan atau nilai Teologis yang diaplikasikan dalam bentuk tulisan yaitu karya sastra.

Dengan adanya unsur-unsur ekstrinsik pada sebuah karya sastra, hal itu memungkinkan Ikonologi untuk menginterpretasikan sebuah karya sastra, yang akan dideskripsikan lewat Ikonografi sebagai ilmu bantu dalam mendeskripsikan sebuah symbol atau ikon yang terdapat dalam unsur-unsur ekstrinsiknya.

Ikonografi pun berfungsi sebagai ilmu bantu dalam memahami konsep dari Teologi Sastra, karena Ikonografi merupakan ilmu yang sangat dekat dengan Kekristenan dan memiliki sifat yang sama dengan Teologi sastra yaitu ilmu yang merupakan hasil dari interpretasi. Hal tersebut memudahkan Ikonografi untuk meninjau dan menjadi ilmu bantu dalam memahami latar belakang serta unsur-unsur ekstrinsik juga makna-makna tersirat dalam suatu karya Sastra.

Daftar Pustaka

Alighieri, Dante.1995. The Divine Comedy. London: Everyman’s Library

Dithey, Wilhelm.1989. Introduction to Human Science. New Jersey: Princeton University Press

Dore, Gustave. 1976. The Dore Illustartions for Dante’s Divine Comedy. New York: Dover Publications

NN. 1975, Babad Demak. Semarang: Surya.

Pannenberg, Wolfhart.1976. Systematic Theology volume I. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company

Pannenberg, Wolfhart.1976. Theology and the Philosophy of Science. Philadelphia: The Westminster Press

Panofsky, Erwin. 1939. Studies In Iconology, Humanistic Themes In the Art of Renaissance. Oxford: Oxford University Press

Rothacker, Erich.1947. Logik und Systematik der Geisteswissenschaften. Darmstadt: Wiss. Buchges,

Sartre, Jean. Paul. 1947. What is Literature ?. New York: Philosophical Library

Straten, Roelof Van. 1994. An Introduction to Iconography: Symbols, Allusions and Meaning in the Visual Arts. Oxford: Taylor & Francis Ltd

Widiarto, Tri.2018. Perjalanan Ziarah Ki Ageng Pandanaran (Interpretasi Theologi Sastra). Salatiga: Widya Sari Press