KEPEMIMPINAN EFEKTIF PADA ORGANISASI POLRI

DI ERA REFORMASI BIROKRASI

 

A. Kadarmanta

Dosen Universitas Pamulang (UNPAM) Tangerang Selatan

 

ABSTRAK

Penelitian ini membahas permasalahan tentang kepemimpinan efektif pada organisasi Polri di era reformasi birokrasi. Penulisan naskah didasarkan pada penelitian kepustakaan khususnya melalui pengkajian jurnal yang relevan dengan masalah kepemimpinan guna mendapatkan formulasi kepemimpinan efektif pada organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang kepemimpinan efektif pada organisasi Polri di era reformasi birokrasi. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang berdiri sendiri sebagai model kepemimpinan efektif pada sebuah organisasi sebesar Institusi Polri dengan karakteristik tantangan tugas yang senantiasa meningkat kompleksitasnya. Era reformasi birokrasi Polri yang telah ditetapkan dalam grand strategy Polri mulai tahun 2005-2025, merupakan era perubahan dari organisasi Polri yang berkultur militeristik, menjadi polisi sipil yang demokratis, humanis, profesional, adil dan transparan baik dalam menegakkan hukum maupun dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perjalanan reformasi birokrasi Polri tersebut membutuhkan konsistensi dan komitmen yang kuat dari seluruh anggota Polri baik dalam posisinya sebagai anggota maupun yang berada pada level pemimpin Satuan Kerja. Selain itu juga membutuhkan waktu lama dan sulit terutama pada aspek kultural. Untuk itu maka diperlukan kepemimpinan efektif, yakni kepemimpinan yang mampu mengombinasikan beberapa model kepemimpinan yang relevan untuk diterapkan dalam organisasi Polri.Berdasarkan hasil penelitiaan kepustakaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan efektif pada organisasi yakni yang mengombinasikan kepemimpinan etis, transformasional, pelayan, dan otentik. Tidak cukup dengan satu model kepemimpinan efektif untuk diterapkan dalam organisasi Polri.

Kata-kata kunci: Kepemimpinan efektif, organisasi Polri, reformasi birokrasi

 

PENDAHULUAN

Arus globalisasi telah berdampak pada perubahan tatanan kehidupan dan kesadaran masyarakat dalam menyelenggarakan tata kelola kepemerintahan menuju yang lebih baik dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indonesia sebagai negara demokrasi yang tengah melakukan reformasi di seluruh aspek kehidupan membutuhkan komitmen seluruh aparatnya. Dalam menggerakkan dan menumbuh kembangkan komitmen tersebut diperlukan aspek kepemimpinan yang kuat sehingga mampu mengemban tugas sesuai dengan tuntutan reformasi di lingkungan lembaga dan institusi pemerintah.

Institusi Polri merupakan bagian integral dari tata kelola pemerintahan yang memiliki tugas utama sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Dalam sasaran reformasi birokrasi tuntutan Polri yakni mewujudkan Polri yang profesional

moderen dan dipercaya masyarakat dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan perannya. Pelaksanaan tugas Polri terutama yang berkaitan dengan kewenangan menegakkan hukum secara faktual sangat rentan dengan pelanggaran hak asasi manusia maupun perilaku menyimpang baik korupsi, kolusi maupun nepotisme. Berdasarkan hasil survey International Corruption Wacth tahun 2016, Polri merupakan salah satu institusi terkorup bersama dengan institusi Kejaksaan dan lembaga DPR, dan meningkatnya komplain masyarakat terhadap kinerja pelayanan Polri. Selain aspek pengelolaan sumber daya manusia, kepemimpinan Polri yang efektif terutama tingkat atas yakni pembuat kebijakan.

Kepemimpinan Polri saat ini terutama pada tataran elit di Markas Besar (Mabes) masih dipengaruhi produk era sebelum Polri mandiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pada saat pembentukan karakter kepemimpinannya dalam pendidikan pembentukan perwira Polri diwarnai model militeristik. Peran kepemimpinan dalam mencapai tujuan reformasi birokrasi sangat penting, mengingat reformasi Polri dihadapkan pada tuntutan akan perubahan tiga aspek yakni instrumental, struktural, dan kultural. Dari ketiga aspek tersebut kultural merupakan aspek yang paling sulit dan memerlukan waktu lebih lama dibandingkan kedua aspek lainnya. Aspek kultural merupakan aspek yang telah tertanam selama lebih dari tiga dasa warsa (tahun 1968 – 2000) Polri merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sehingga telah melekat kuat budaya polisi yang berkultur militer.

Polri telah mandiri dari intitusi ABRI sejak tanggal 1 April 1999, berdasarkan Ketetapan MPR No. VI dan VII tahun 2000. Sejalan dengan uraian di atas dan kemandirian maka Polri telah membuat peta jalan (road map) reformasi birokrasi, dengan . menetapkan Grand strategy Polri tahun 2005-2025 yang mencakup tiga tahapan yaitu tahap 1, tahun 2005-2010: membangun kepercayaan (trust building), tahap 2 (dua), tahun 2011- 2015: membangun kemitraan (partnership building), dan tahap 3, tahun 2016-2025: membangun kemampuan pelayanan publik (organisasi) yang unggul dan dipercayai oleh masyarakat (strive for excellence)

Untuk mendukung terwujudnya reformasi birokrasi Polri peran kepemimpinan efektif pada organisasi Polri memiliki andil yang signifikan. Permasalahannya adalah:”Bagaimanakah kepemimpinan efektif pada Organisasi Polri di era Reformasi Birokrasi”?”

KAJIAN TEORETIK

Kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah suatu penggunaan pengaruh untuk mendorong partisipasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Yukl, 2006). Proses kepemimpinan melibatkan kepribadian dan perilaku pemimpin, persepsi pengikut tentang pemimpin dan konteksnya di mana interaksi berlangsung (Antonakis et al., 2004). Inti dari konsep kepemimpinan adalah hubungan yang terjadi antara pemimpin dan pengikut (Locke, 2003).

Kepemimpinan Efektif

 Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard bahwa gaya kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan bawahan yang akan dipengaruhi sang pemimpin. Ada pemimpin yang cenderung berperilaku tegas dalam kesehariannya bahkan selalu mengarahkan dan memberi petunjuk kepada bawahan. Pemimpin model ini selalu menerapkan komunikasi satu arah dengan menjelaskan hal-hal yang perlu dilakukan anggota/staf, serta bilamana, di mana, dan bagaimana model atau cara pelaksanaannya bahwa keberhasilan bagi seorang pemimpin adalah apabila ia dapat mengidentifikasikan tingkat kedewasan. Secara empiris dinyatakan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang paling baik dan tidaklah tepat menerapkan gaya kepemimpinan yang sama pada setiap saat dan dalam situasi yang dihadapinya. Konsep kepemimpinan situasional ini telah dapat membekali para calon-calon pemimpin dengan pedoman untuk menentukan hal-hal yang perlu dilakukan terhadap bawahan dalam berbagai situasi sehingga kinerja organisasi lebih efektif.

Model Kepemimpinan yang relevan dengan kepemimpinan pada organisasi Polri di era reformasi birokrasi. Pertama, kepemimpinan pelayan (servant leadership).

Bahwa dalam model kepemimpinan pelayan mendorong para pemimpin dan pengikut untuk ‘meningkatkan satu sama lain ke tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi’. Ssecara konseptual para pemimpin pelayan mewujudkan kecenderungan alami untuk melayani orang-orang yang terpinggirkan. Dalam kepemimpinan Otentik Avolio dan Gardner (2005) mengakui bahwa kepemimpinan pelayan memiliki kunci yang sama karakteristiknya dengan kepemimpinan yang otentik, di dalamnya keduanya secara eksplisit mengakui pentingnya perspektif moral positif, kesadaran diri, pengaturan diri yaitu perilaku otentik.

Kepemimpinan transformasional

Menurut O’Leary (2001) sejatinya kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seseorang pemimpin bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Selain itu, terdapat pengaruh pada keberhasilan proyek, misalnya proyek perubahan kultur dan cara pandang (mind set and culture set), sebagai faktor penentu keberhasilan proyek tersebut pemimpin memainkan peran mediasi dalam hubungan antara kepemimpinan transformasional dan kesuksesan proyek. Dengan demikian, organisasi yang berorientasi proyek perubahan sebagaimana organisasi Polri yang sedang melakukan proyek reformasi birokrasi perlu mempromosikan gaya kepemimpinan transformasional di antara manajer proyek, yakni para perwira Polri yang ditugaskan baik secara khusus maupun secara struktural, misalnya, melalui seleksi atau asesmen calon pemimpin yang terkait program pengembangan pribadi sebagaimana diindikasikan oleh empiris penelitian (Braun et al., 2013; Eisenbeiss et al., 2008; Lee et al., 2010). Konseptualisasi Moral dalam kepemimpinan. Dalam langkah mengonseptualisasikan dan menguji dimensi moral untuk kepemimpinan adalah dengan melihat secara nyata tingkat perkembangan moral kognitif pemimpin dengan kepemimpinan perilaku yang mereka tunjukkan. Mengingat perilaku kepemimpinan itu multidimensional (Bass, 1998; Yukl, 1998), kegagalan kepemimpinan dalam birokrasi pelayanan publik adalah bila masih terjadi penyimpangan contoh antara lain peri laku arogan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi. Secara kualitatif perilaku kepemimpinan terkait dengan nilai-nilai moralitas. Bahwa di dalam kepemimpinan transformasional memiliki manfaat bagi fungsi organisasi, (Bass, 1985, 1998) yakni terkait dengan. implementasi nilai moral dalam kepemimpinan birokrasi.

Kepemimpinan etis.

Prinsip kepemimpinan etis berfungsi untuk meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara pemimpin dan pengikutnya (atasan dan bawahan); berperan membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan menemukan cara-cara yang produktif, konstruktif, serta solutif untuk menghadapinya; memberikan pelayanan kepada bawahan; berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan etika.

Kepemimpinan Otentik

Kepemimpinan selalu dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan dalam manajemen perubahan, karena kepemimpinan sangat penting untuk merumuskan visi akhir untuk program perubahan dan menegakkan perubahan ini (Crowswell; Ginzberg; Grover et al.; Taleai et al. dalam Bin Taher et al., 2015).

Dari perspektif organisasi, pendekatan manajemen perubahan yang jelas dapat memfasilitasi pemahaman yang kuat tentang mengapa perubahan perlu terjadi (Appelbaum et al.; Gilley et al. dalam Bin Taher et al., 2015). Namun, setiap kerangka manajemen perubahan tetap harus mempertimbangkan faktor-faktor perlawanan individu dan organisasi. Karenanya perspektif ini merekomendasikan partisipasi karyawan dan unit fungsional dalam perumusan rencana perubahan dengan tujuan memastikan komitmen mereka (Appelbaum et al. dalam Bin Taher et al., 2015).

Kepemimpinan yang otentik dapat memengaruhi sikap, keyakinan, dan perilaku pengikut yang berorientasi pada perubahan melalui sumber daya psikologis pengikut termasuk harapan, kepercayaan, optimisme, self-efficacy, dan ketahanan, yang memengaruhi kesiapan untuk perubahan dan perubahan implementasi (Alavi & Gill, 2017). Mereka menyatakan bahwa perilaku pemimpin yang otentik dapat memengaruhi perilaku yang berorientasi perubahan pada pengikutnya untuk partisipasi dalam proses pembuatan keputusan dan inisiatif perubahan, perilaku kewargaan organisasi, proses pembelajaran organisasi, dan membentuk koalisi untuk perubahan.

Reputasi Kepemimpinan.

Dari perspektif jaringan sosial, norma untuk perilaku individu sebagian besar ditentukan oleh peran individu dalam konteks jaringan tertentu. Ketika individu berinteraksi dengan orang lain, peran jaringan dan harapan perilaku menghadiri mereka, yang dikenal sebagai set peran, ditetapkan. Peran-peran ini memegang harapan dan larangan tertentu mengenai perilaku yang diharapkan dari setiap peran (Katz & Kahn, 1978; Merton, 1968; Tsui, 1984). Jaringan yang dimiliki seseorang dapat menjadi sumbernya reputasi individu sebagai pemain yang baik (Kilduff & Krackhardt, 1994). Dalam apa yang mungkin paling banyak pekerjaan komprehensif pada reputasi individu hingga saat ini, Bromley (1993) berpendapat bahwa reputasi sebagai suatu bentuk pengaruh diberikan sendiri dalam harga diri, identitas sosial, perilaku individu, dan interaksi sosial.

PEMBAHASAN

Birokrasi

Birokrasi merupakan bagian integral pelayanan publik pada instansi pemerintah, sebagai aspek penting kepanjangtanganan penyelenggaraan negara dalam membangun peradaban yang lebih baik. Institusi Polri sebagai bagian integral pelayanan publik baik dalam bidang penegakan hukum, dan pemeliharaan keamanan serta ketertiban masyarakat mutlak membutuhkan birokrasi yang berkinerja tinggi, profesional dan dipercaya masyarakat. Birokrasi berkinerja tinggi mutlak membutuhkan pemimpin yang mampu menerapkan kepemimpinan efektif. Pada era reformasi birokrasi, Polri telah melakukan pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) sebagai strategi nasional bidang reformasi birokrasi Polri yang secara universal diyakini dapat membangun unit-unit kerja berpredikat WBK, dan wilayah birokrasi bersih melayani (WBBM) dalam mewujudkan good governance dan clean government yang secara masif sulit mewujudkan reformasi birokrasi ini secara cepat. Namun pelaksanaannya mengalami hambatan terutama aspek kultur. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat oleh seluruh pimpinan secara berjenjang yang mampu menerapkan kepemimpinan efektif, menggerakkan potensi anggota dan dukungan masyarakat. Konsistensi pemimpin dalam mewujudkan komitmen tersebut sangat dipengaruhi oleh kinerja pemimpin melalui kepemimpinan efektif sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok pembaharu, berperilaku etis, melayani dan sungguh-sungguh mampu bermoral tinggi yang diwujudkan dalam semangat pengabdian dan berperilaku bersih dari KKN.

Kepemimpinan efektif kombinasi model kepemimpinan tranformasional, pelayan, etis, dan otentik.

Dalam mencapai kinerja organisasi yang tinggi maka pimpinan Polri dan seluruh bahwahannya mutlak harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Untuk itu diperlukan pemimpin yang menerapkan model kepemimpinan dengan kombinasi model-model kepemimpinan yang sejalan dengan kebutuhan organisasi yang sedang melakukan reformasi birokrasi.

Implementasi perilaku para pemimpin di seluruh jenjang dituntut untuk mampu secara konsisten dengan komitmen yang kuat. Tindakan tegas, adil, dan konsisten terhadap para pemimpin yang melakukan tindakan tidak etis, dan tidak menunjukkan perilaku yang mendorong terwujudnya Polri yang bersih dari KKN.

Kepemimpinan Etis sangat relevan dalam reformasi birokrasi Polri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan moral oleh pemimpin itu sendiri. Salah satu inti dari karakter kepimpinanan adalah ‘keteladanan. Aspek yang diteladankan meliputi antara lain: sikap, perilaku, dan gaya hidup yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku atau sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan baik-buruk­, benar-salah, atau boleh-tidaknya suatu sikap atau tindakan yang diambil untuk diteladankan kepada anggotanya. Kinerja Birokrasi Polri sangat relevan dengan model kepemimpinan etis mengingat setiap aparatnya wajib menjujung tinggi kebenaran dalam menegakkan hukum, menjunjung tinggi keadilan dalam menegakkan hukum, dengan tidak membedakan apa yang diperlukan bagi pencari keadilan sehingga tercapai jaminan kepastian hukum, efektif dalam proses menjunjung tinggi kemanusiaan dalam menegakkan hukum, dengan tetap memperhatikan hak azasi, serta menjunjung tinggi dan menjamin tegaknya supremasi hukum, mememahami serta senantiasa berupaya menghormati norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dan menjunjung tinggi dalam tataran kehidupan masyarakat dan, melaksanakan asas-asas pertanggungjawaban kepada publik (keterbukaan, serta menghormati hak asasi manusia) persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga masyarakat.

Dalam birokrasi Polri menuntut untuk ditempatkannya aparat yang memiliki kepemimpinan etis serta mampu berorientasi pada penghayatan dan perwujudan nilai-nilai moral.

Untuk itu maka apa yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri dalam peran kepemimpinannya sebagaimana terjadi dalam kasus-kasus pelanggaran etika oleh perwira tinggi Polri merupakan hal kontra produktif dan tidak etis dalam organisasi Polri di era reformasi yang pada gilirannya akan merongrong kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri.

Kepemimpinan Polri, Kasus korupsi dan pelanggaran etik di lingkungan Polri.

Di bawah ini disajikan kasus korupsi dan pelanggaran etik, yang dilakukan oleh perwira tinggi Polri di tingkat pejabat tinggi Polri, sebagai berikut: Pertama, kasus korupsi pada institusi birokrasi Polri. Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh internasional Transparency selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi lembaga yang terlibat korupsi di Indonesia.[1] Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, juga Institusi Polri.

Berdasarkan Survey Global Corruption Barometer tahun 2017 dari masyarakat transparansi, dinyatakan bahwa Polri menduduki rangking kelima dalam peringkat lembaga paling korup di Indonesia. Sebagai lembaga pelayan publik dan penegakan hukum sebagaimana Polri tidak dibenarkan terjadi korupsi. Apa bila lembaga penegak hukum yang termasuk kategori korup pada ranking lima dapat dimaknai sebagai kerawanan yang mengancam pembangunan peradaban bangsa Indonesia. Negara demokrasi Pancasila salah satu cirinya adalah penegakan hukum harus profesional, adil, transparan, dan akuntabel. Perilaku korupsi institusi penegak hukum sejatinya menjadi tanggungjawab seluruh pimpinan Polri secara berjenjang.

Kedua, Kasus Komjen Pol. Susno Duadji[2], dan Kasus Irjen Polisi Djoko Susilo. Kedua kasus yang terjadi pada perwira tinggi Polri tersebut sangat kontra produktif bagi organisasi Polri yang tengah mereformasi birokrasi. Secara etika dukungan model kepemimpinan transformasional bisa menjadi lemah mengingat Polri tengah melakukan perubahan menuju Polri sebagai institusi sipil, yang demokratis, transparan, akuntabel, dan bersih dari periaku KKN. Memang terobosan pimpinan Polri saat ini telah membuat kebijakan mewujudkan Polri yang profesional, moderen, darn terpecaya (Promoter), sehingga sangat diperlukan figur pemimpin Polri secara berjenjang benar-benar menuju tampilan yang mampu memberikan contoh bagi anggotanya.

Tokoh Polisi yang bersih dari KKN.[3]

Polri mengakui bahwa model kepemimpinan yang bersih selama mengemban tugas hingga polisi jabatan puncak di Polri yakni Jenderal Polisi Hoegeng. Tetapi beliau adalah polisi era jaman dulu, di era reformasi birokrasi Polri belum menampilkan figur yang bersih dari KKN dan disepakati sebagai model polisi ideal dalam kepemimpinannya era tahun 1970-an. Era Polri mereformasi birokrasi saat ini masih mencari model bila model kepemimpinan efektif di era kini ternyata bukan hal mudah sehingga tantangan Polri dalam membangun kultur Polri yang profesional dimaknai sebagai figur yang bersih dari KKN, melayani, melakukan perubahan, memiliki etika, dan berkarakter. .

Kepemimpinan Pelayan

Persamaan dan perbedaan antara kepemimpinan pelayan dan model kepemimpinan kontemporer lainnya, yaitu transformasional, otentik, dan kepemimpinan spiritual. Kepemimpinan Transformasional Graham (1991) dan Farling dkk. (1999) menegaskan bahwa kepemimpinan pelayan memiliki kemiripan dengan Burns ’(1978, p. 20) mengubah kepemimpinan, dalam kedua pendekatan tersebut mendorong para pemimpin dan pengikut untuk ‘meningkatkan satu sama lain ke tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi’. Namun, pemimpin pelayan secara konseptual berbeda dari pemimpin transformasional, Bass (1985). Para pemimpin pelayan lebih mungkin menerapkan nilai moralitas dari pada para pemimpin transformasional untuk memperlihatkan kecenderungan alami untuk melayani orang-orang yang terpinggirkan. Bass (1985) mengemukakan hal itu pemimpin transformasional berusaha untuk memberdayakan dan meningkatkan pengikut dari pada mempertahankan pengikut yang lemah dan tergantung; amun efek dari peningkatan motivasi dan komitmen belum tentu akan menguntungkan pengikut, karena ‘tidak ada apa pun dalam transformasional model kepemimpinan yang mengatakan bahwa pemimpin harus melayani pengikut untuk kebaikan pengikut (Graham, 1991, hal. 110).

Birokrasi

Karakteristik Birokrasi. Bahwa organisasi birokrasi sangat dipengaruhi oleh persepsi aparatnya tentang aspek kehidupan instansi birokrasi tempat aparat birokrasi tersebut bekerja, tentang peranan yang diembannya, dan batas wewenangnya adalah tugas-tugas fungsionalnya, termasuk budaya organisasi.

Birokrasi yang sehat dapat diindikasikan tidak terjadi disfungsionalisasi birokrasi, dengan ciri-ciri antara lain tidak terjadi:

a. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh pejabat yang menduduki suatu jabatan. b. Pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya ini dalam kesehariannya lebih berorientasi pada kewenangan dari pada orentasi pelayanan masyarakat. c. Aparat/petugas tidak phobia kritik. Bahwa aparat/petugas tidak boleh sama sekali tabu terhadap kritik, yang datang dari masyarakat maupun dari sesama aparat. Kritik tidak boleh dihadapi dengan suatu persepsi bahwa kritik akan merongrong wibawa dan jabatannya. Namun kritik bagi pejabat birokrasi akan selalu diingatkan, dikembangkan agar terus kritis dan kreatif dalam upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. d. Tidak terjadi perilaku korupsi dan berbagai penyimpangan aturan lainnya. Korupsi dan penyimpangan merupakan penyakit birokrasi yang sangat merugikan karena akan mengakibatkan biaya tinggi dan memunculkan ketidakadilan. Dari kedua perilaku disfungsional aparat ini, kelompok terakhir yang dirugikan adalah rakyat.

Birokrasi Polri di era reformasi birokrasi.

Bahwa setiap anggota Polri terlebih para pimpinannya secara berjenjang mutlak harus melaksanakan nilai-nilai Tribrata sebagai pedoman hidup dan menerapkan nilai-nilai Catur Prasetya dalam menjalankan tugasnya. Melalui pelaksanaan nilai-nilai tersebut secara benar dan tepat, serta konsisten, proporsional, dan profesional agar tidak terjadi penyimpangan perilaku dalam bentuk antara lain arogansi, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi.

Birokrasi Polri di era ini, membutuhkan aparat kepolisian yang memiliki kompetensi dalam menerapkan nilai-nilai Tribrata sebagai pedoman hidup dan Catur Prasetya sebagai pedoman kerja yakni: pertama, menjujung inggi kebenaran terutama dalam menegakkan hukum, dengan tetap berbijak pada fakta yang ada, serta proses penyelidikan yang profesioanal berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada. Kedua, Menjunjung tinggi keadilan dalam menegakkan hukum, dengan tidak membedakan terhadap apa yang diperlukan bagi pencari keadilan sehingga tercapai jaminan kepastian hukum, menjunjung tinggi kemanusiaan dalam menegakkan hukum, dengan tetap memperhatikan penghormatan atas hak azasi seseorang secara langsung/ tidak secara langsung dalam proses menegakkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, Menjunjung tinggi dan menjamin tegaknya supermasi hukum. Keempat, Memberikan kedaulatan kepada masyarakat dalam mematuhi dan mentaati hukum,

memahami dan menghormati norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dan menjunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat dan, melaksanakan prinsip-prinsip/ asas-asas pertanganggungjawaban publik (keterbukaan, serta berbagai upaya menghormati hak asasi manusia).

Kepemimpinan pada Organisasi Polri di era reformasi Birokrasi.

Era reformasi birokrasi Polri telah dicanangkan mulai tahun 2005 hingga tahun 2025 yang mencakup tiga tahapan yaitu tahap satu, tahun 2005-2010: membangun kepercayaan (trust building), tahap dua, tahun 2011- 2015: membangun kemitraan (partnership building), dan tahap tiga, tahun 2016-2025: membangun kemampuan pelayanan publik (organisasi) yang unggul dan dipercayai oleh masyarakat (strive for excellence).

Pada era tersebut peran kepemimpinan menjadi sangat strategis teritama dalam menerapkan kepemimpinan efektif. Figur pemimpin yang bersih tidak melakukan kolusi, Korupsi dan nepotisme (KKN), namun juga mampu melakukan perubahan kinerja birokrasi sehingga para pemimpin dan seluruh Perwiranya mampu menerapkan kombinasi kepemimpinan pelayan melalui kegiatan melayani secara profesional, menerapkan kepemimpinan etis yakni memberikan teladan implementasi nilai-nilai etika, menerapkan kepemimpinan transformasional yaitu mampu melakukan perubahan dari polisi bergaya militeristik yang cenderung melanggar hak asasi manusia menjadi polisi sipil yang demokratis, adil, dan menegakkan hak asasi manusia.

KESIMPULAN

Bahwa sejak Polri mandiri dari organisasi ABRI, telah melakukan reformasi birokrasi guna mendukung terwujudnya Polri yang profesional, moderen dan terpecaya.

Dalam reformasi birokrasi pada organisasi Polri, diperlukan kepemimpinan efektif, yakni model kepemimpinan seorang pemimpin berkarakter dan mampu mengombinasikan model kepemimpinan transformasional, etis, pelayan, dan otentik.

Kombinasi model kepemimpinan yang diperankan oleh pemimpin Polri dalam mengelola kinerja organisasi era reformasi birokrasi, secara konsisten dilaksanakan di seluruh tingkatan manajerial baik di tingkat bawah, menengah, maupun atas.

Bahwa pemimpin dalam menerapkan kepemimpinan efektif dituntut memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan memiki tanggung jawab atas akibat dan resiko yang timbul sebagai konsekwensi dari keputusan yang diambilnya. Dalam mengambil keputusan, pemimpin dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan, informasi yang mendalam dalam proses menyaring keputusan yang tepat, mampu mempengaruhi dan mengarahkan segala tingkah laku anggota sedemikian rupa sehingga perilaku anggotanya sesuai dengan keinginan pimpinan, visi, dan misi organisasi.

Dalam Era reformasi birokrasi Polri peran kepemimpinan yang efektif signifikan dalam melakukan perubahan dari karakter militeristik menjadi polisi sipil yang demokratis, humanis, profesional dalam menegakkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Daftar Pustaka

Alavi, S. B., & Gill, C. (2017). Leading change authentically: How authentic leaders influence follower responses to complex change. Journal of Leadership & Organizational Studies, 24(2), 157–171.

 A. Gregory Stone (Graduate School of Business, Regent University, Virginia Beach, Virginia, USA) Transformational versus servant leadership: a difference in leader focus

Bin Taher, N. A., Krotov, V., & Silva, L. (2015). A framework for leading change in the UAE public sector. International Journal of Organizational Analysis, 23(3), 348–363.

Doris B. Collins, Elwood F. Holton III The Effectiveness of Managerial Leadership Development Programs: A Meta-Analysis of Studies from 1982 to 2001

Ensley, M. D., Hmieleski, K. M., & Pearce, C. L. (2006). The importance of vertical and shared leadership within new venture top management teams: Implications for the performance of startups. The Leadership Quarterly, 17(3), 217–231.

Fred r. blass and gerald r. ferris, leader reputation: the role of

mentoring, political skill, contextual learning, and adaptation

Hughes, M. (2016). Leading changes: Why transformation explanations fail. Leadership, 12(4), 449–469.

Kevin S. Groves (College of Business and Economics, California State University, Los Angeles, California, USA) Leader emotional expressivity, visionary leadership, and organizational change

Leadership and destructive acts: Individual and situational influences

Lopez, R. (2014). The relationship between leadership and management: Instructional approaches and its connections to organizational growth. Journal of Business Studies Quarterly, 6(1), 98.

Sen Sendjaya, James C. Sarros and Joseph C. Santora, Monash University, Clayton, Australia; Monash University, Clayton, Australia; Thomas Edison State College, Trenton, NJ, USA, 2008.

Permenpan-RB Nomor 14 tahun 2014 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri (PMPRB).

Publikasi Internet:

https://www.liputan6.com/bisnis/read/2884114/geser-polri-dpr-jadi-lembaga-terkorup-di-indonesia

https://nasional.kompas.com

http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-utama/65-6-kisah-kejujuran-polisi-hoegeng-yang-menggetarkan-hati.

 

 

 

 



[1]     https://www.liputan6.com/bisnis/read/2884114/geser-polri-dpr-jadi-lembaga-terkorup-di-indonesia

[2]     https://nasional.kompas.com/read/2011/03/24/18402725/hakim.susno.terbukti.terima.rp.500.

[3]     http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-utama/65-6-kisah-kejujuran-polisi-hoegeng-yang-menggetarkan-hati.