Konflik Internal dan Perpindahan Kraton Kartasura Ke Sala
KONFLIK INTERNAL DAN PERPINDAHAN KRATON KARTASURA
KE SALA
I Made Ratih Rosanawati
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
ABSTRAK
Perpindahan istana kerajaan Keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta, menyebabkan keraton Kartasura tidak pernah ditempati lagi. Berdasarakan pengamatan terhadap peninggalan yang masih tersisa di lokasi bekas keraton. Perpindahan istana kerajaan Keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta, menyebabkan keraton Kartasura tidak pernah ditempati lagi. Berdasarakan pengamatan terhadap peninggalan yang masih tersisa di lokasi bekas keraton. Penelitian ini mendeskripsikan tentang konflik internal yang terjadi di Mataram Islam yang mengakibatkan berpindahnya istana kerajaan dari Kartasura ke Sala. Penelitian ini menggunakan metode historis.
Kata kunci: konflik internal, kraton Kartasura, perpindahan Kraton
Latar Belakang
Adanya konflik kerajaan membuat Paku Buwana II beserta keluarganya serta para pendukung setianya melarikan diri ke arah timur dan dikawal oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh kapten Hogendrop, yang selanjutnya mereka menuju ke Magetan dan akhirnya ke Panaraga (Sartana Kartodirdjo, 1992: 226). Pelarian Paku Buwana II ke Panaraga mendapat bantuan yang cukup besar oleh para bupati mancanegara. Berkat bantuan bupati mancanegara, pada 1743 Paku Buwana II dapat menduduki kembali pusat keraton Mataram-Kartasura. Namun sekembalinya dari pelarian dan berhasil merebut Kartasura dari pemberontak, ternyata Paku Buwana II belum merasa tenang. Pihak pemberontak masih ada yang melanjutkan perang, diantaranya: Pangeran Harya Buminata (adik Susuhunan) di Sembuyan; Pangeran Prangwadana/Suryakusuma/R.M Said (Kemenakan Susuhunan) bersama Panembahan Puger/Tumenggung Sujanapura bupati Grobogan di Purwadadi; dan Pangeran Harya Singasari di Kedawung (adik Susuhunan) (Radjiman, 1984: 21).
Landasan Teori
Teori Konflik
Konflik dapat di maksudkan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok, menurut (Maswadi Rauf, 2002: 2). Konflik di kategorikan pada konflik non-fisik dan konflik fisik. Konflik non fisik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan dan membuat tidak berdaya yang dapat menganggu bagi kesehatan psikologis dan kesehatan mental. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat. Konflik juga dianggap sebagai perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status, kekuasaan dan sumber daya yang dapat memenuhi fungsi-fungsi positif.
Konflik sosial yaitu pertentangan atau pertikaian antar pribadi, mulai dari konflik lokal sampai tingkat nasional. Konflik kelompok kepentingan akan saling bersaing dan bertikai untuk memenangkan kelompoknya. Konflik sosial muncul karena perubahan sosial yang timbul dalam masyarakat sebab dalam masyarakat ada unsur-unsur yang saling bertentangan. Sedangkan konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Oleh karena itu unsur terpenting dalam konflik politik adalah penguasa politik karena penguasa politik memiliki wewenang untuk membuat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan individu melalui berbagai peraturan perundangan demi kepentingan masyarakat banyak. Kekuasaan yang besar ini membuka peluang bagi penguasa politik untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompoknya (Maswadi Rauf, 2001: 25).
Keraton
Istilah Keraton, menurut G.P.H Djatikusumo (1983: 61) menunjuk tempat kediaman Raja, yang berarti negara atau kerajaan; dapat juga berarti pekarangan Raja, meliputi wilayah di dalam Cepuri (tembok yang mengelilingi halaman) Baluwarti; serta wilayah pekarangan raja yang ditambah dengan alun-alun. Menurut Darsiti Soeratman (1989 ; 1) arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman), pada intinya bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman raja.
Menurut Purwodarminto (1976: 489), kraton diartikan sebagai istana raja, kerajaan. Kata kraton berasal dari kata dasar (Jawa: Lingga) ratu ditambah awalah ka dan akhiran an menjadi ka-ra-tu-an, kemudian dipercepat pengucapannya menjadi kraton yang berarti tempat tinggal atau kediaman resmi ratu atau raja dengan keluarganya. Sri Winarni (2004: 27) menjelaskan keraton menjadi dua pengertian, yaitu: (1) Keraton berarti rumah atau tempat tinggal ratu. Dalam pengertian ini keraton sama dengan istana (palace), dan (2) Keraton berarti negara (nagari) yaitu daerah atau wilayah tertentu yang memiliki susunan asli, pemerintahan sendiri (otonomi), memiliki daerah atau wilayah tertentu dan rakyat (kawula) tertentu. Dalam pengertian ini keraton sama dengan kerajaan (kingdom). Menurut Sartono Kartodirjo (1984: 23) keraton merupakan pusat birokrasi pemerintahan atau dalam kata lain merupakan pusat penyelenggara pemerintahan dalam suatu kerajaan. Bangunan keraton sebagai situs budaya dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah karena bangunan itu mengandung nilai histori.
Metodologi
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, karena penelitian ini menggunakan studi pustaka dan sumber-sumber literatur yang terkait penelitian ini terdapat di perpustakaan. Selain itu juga dilakukan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka di perpustakaan: Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Univet Bantara dan Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, serta buku koleksi pribadi.
Metode Penelitian
Metode adalah suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematika suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu. Pemilihan metode penelitian yang tepat harus mempertimbangkan kesesuain dengan obyek atau masalah yang di teliti. Metode penelitian di pilih berdasarkan beberapa petimbangan antara lain tujuan penelitian, obyek penelitian dan fenomena atau waktu yang terjadinya peristiwa yang diteliti. Koentjaraningrat (1997: 1) mengatakan bahwa, metode adalah jalan untuk menyelesaikan suatu masalah, dan sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode adalah suatu hal yang menyangkut masalah-masalah serta cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu bersangkutan.
Penelitian ini berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan Perpindahaan Keraton Mataram Islam Kartasura ke Surakarta. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Metode penelitian sejarah mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Louis Gottshalck,1983: 32).
Sumber Data
Data sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsudin, 1994: 2). Sedangkan menurut Kuntowijoyo (2001: 3), sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Sumber sejarah, bila dilihat dari bahannya, terdiri atas dua macam: tertulis atau dokumen, tidak tertulis atau artefac, dan sosiofac. Sumber tertulis itu dapat berupa surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja, bon-bon, dan sebagainya.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang diperolah dari buku-buku yang berkaitan dengan judul yang diteliti. Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan data dipergunakan teknik studi pustaka, yaitu pengumpulan data dilakukan dengan melakukan seleksi data-data tertulis, membaca dan mengumpulkan arsip-arsip atau dokumen, membaca surat kabar dan majalah, buku-buku literatur. Untuk mendapatkan data, dilakukan kunjungan ke perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Studi pustaka yang dilakukan, yaitu dengan memanfaatkan berbagai perpustakaan di lingkup Universitas Veteran Bangun Nusantara dan perpustakaan yang ada di Surakarta. Langkah-langkah yang dilakukandalam mengumpulkan data adalah: Mengumpulkan buku-buku, artikel, surat kabar, dan Jurnal yang relevan serta membaca dan mencatat kalau perlu memfotokopy sumber-sumber data, baik sumber primer maupun sumber sekunder.
Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah terkumpul dianalisa langsung berdasarkan konteks permasalahannya, penelitian ini menggunakan teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.
PEMBAHASAN
Hubungan Mataram dan VOC
Hubungan antara Mataram dan VOC terjadi saat Mataram dipimpin oleh Panembahan Hanyokrokusumo yang kelak bergelar menjadi Sultan Agung Hanyokrokusumo. Tahun 1621 terjadi hubungan diplomatik antara Mataram dengan VOC, keduanya saling mengirim duta besar, pada tahun 1628 hubungan itu terputus karena Sultan Agung menyerang Surabaya daerah yang diinginkan oleh VOC. Hubungan semakin memburuk pada tahun 1628 saat Mataram menyerbu Batavia, yaitu wilayah yang dikuasai oleh VOC namun konflik ini reda ketika Sultan Agung wafat (Daradjadi, 2017: 104-105).
Kerjasama antara Mataram dengan VOC diawali sejak Amangkurat II yang berkuasa pada tahun 1677 sampai 1703 dengan membangun istana di Kartasura. Atas bantuan dari VOC, Amangkurat II naik tahta dan sebagai imbalannya harus diaadakan perjanjian. Misalnya, sunan berjanji akan memberi gaji kepada pasukan kompeni yang telah mempertahankan dan memelihara benteng Kartasura (De Graaf. H.J, 1989: 7). Setelah Amangkurat II wafat kemudian digantikan oleh putranya Amangkurat III yang bernama asli Raden Mas Sutikna. Sunan Amangkurat III bertikai dengan pamannya yang bernama Pangeran Puger. Muncul kabar desas-desus yang berkembang di istana yang dilontarkan oleh Pangeran Puger, sehingga Amangkuratt III memerintahkan menangkap Pangeran Puger, tetapi Pangeran telah melarikan diri ke Semarang. Kemudian, Pangeran Puger meminta pertolongan kepada kompeni untuk melawan Amangkurat III. Dengan bantuan kompeni, Pangeran Puger dan bala tentaranya menyerbu Kartasura. Pemberontakan itu membuat Amangkurat III mengalami kekalahan. Kemudian Amangkurat III diadili lalu dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka pada tahun 1734 (Daradjadi, 2017: 106-107).
Pangeran Puger yang sebelumnya merupakan Panglima Perang Mataram menobatkan diri menjadi raja dengan gelar Ingkang Sinuhun Pakubuwono I Senopati Ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama. Penobatan dilaksanakan di Semarang pada tahun 1704, Pakubuwono I pun menjadi raja di Kartasura. Namun Kartasura harus kehilangan batas-batas Batavia termasuk Priangan, wilayah Cirebon, wilayah Madura bagian timur, bahkan VOC menegaskan kekuasaannya di Semarang, serta Kartasura harus memberi hak kepada Kompeni untuk membangun benteng-benteng dimanapun di Jawa, hak membeli beras sebanyak-banyaknya, kewajiban menyerahkan beras gratis sebanyak 1.300 metrik ton per tahun selama 25 tahun dan larang bagi orang Jawa untuk berlayar jauh. Pakubuwono I berkuasa pada tahun 1705 sampai dengan 1719 (Daradjadi, 2017: 106-107).
Terjadinya Perang perebutan mahkota ke-2, Perang ini terjadi antara Susuhunan Amangkurat IV dengan Pangeran Purbaya, Pangeran Adipati Blitar dibantu oleh sebagian bupati mancanegara. Susuhunan Amangkurat IV dibantu oleh VOC dapat menaklukkan para pemberontak, bahkan Pangeran Purbaya ditahan di Batavia (Mohammad Ali, 1963: 167). Pada tahun 1726, Amangkurat IV wafat dan digantikan oleh putranya yaitu Pakubuwono II hingga tahun 1749. Pangeran Arya Anom berhasil dinobatkan sebagai raja Mataram menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Susuhunan Pakubuwono Senapati Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama yang belum berusia dewasa sehingga menyebabkan Patih Danureja memegang peranan penting di Kartasura, apalagi sebagian besar bupati di Jawa memiliki ikatan keluarga dengan patih (W.G.J Remmelink, 1983: 17). Pakubuwono II memiliki saingan yakni Pangeran Arya Mangkunegara yang merupakan kakak tertua Sunan yang dipandang lebih layak menduduki takhta kerajaan dikarenakan umurnya sudah cukup sehingga untuk meminimalisir terjadinya perebutan kekuasaan, Arya Mangkunegaran dibuang ke Afrika Selatan (Daradjadi, 2017: 113-114).
Dengan dibuangnya Pangeran Mangkunegaran membuat Sunan Pakubuwono II mulai berpikir kritis terhadap perilaku Patih Danurejo. Kanjeng Ratu Amangkurat, mempunyai seorang penasehat yakni Raden Surowijoyo. Hubungan keduanya menimbulkan berbagai opini di lingkungan Keraton Kartasura. Pakubuwono II sudah mempunyai tekad untuk mengakhiri Danurejo, maka pada Oktober 1733, ia meminta tolong kepada kompeni untuk menangkap Patih Danurejo. Di Loji Semarang tanggal 9 Juli 1733 kompeni langsung menangkap Patih Danurejo, kemudian dibuang ke Sri Lanka (Daradjadi, 2017: 115-117). Sejak saat itu, hubungan antara Pakubuwono II dengan VOC menjadi lebih dekat.
Perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala
Mulai 1 Juli 1742, Sunan Amangkurat V secara resmi bertakhta di Keraton Kartasura yang merupakan ibu kota Mataram. Mangunoneng sebagai patih dan Raden Mas Said diangkat sebagai panglima perang (Daradjadi. 2017: 193). Amangkurat V menyandang nama lain yaitu Sunan Kuning, Amangkurat V disebut sbagai sunan kuning karena memiliki pasukan yang berkulit kuning, yaitu orang-orang Tionghoa yang membangun dan melawan VOC (Daradjadi. 2017: 1).
Di sisi lain, dalam pelarian Pakubuwono II di Ponorogo, beliau mendapat bantuan yang cukup besar dari para bupati mancanegara, yaitu Bupati Madura, Bupati Madiun, Bupati Ponorogo, Bupati Kadawung, Bupati Jagaraga, dan Bupati Magetan. Para bupati ini menyatakan kesetiaannya kepada Susuhunan Pakubuwono II sebagai raja Mataram yang syah (Yuliani S.W, 2012: 18). Pada bulan Agustus 1742, serangan balik dari kubu Pakubuwono II ke Kartasura dari Ponorogo disiapkan melalui Nguter. Selanjutnya, Bupati Madiun yang setia kepada Sunan Pakubuwono II menyerang melalui Sukowati (sekarang Sragen). Tetapi serangan dari Bupati Madiun berhasil dihadang Bupati Martopuro dengan pasukan Jawa-Tionghoa. Kekalahan demi kekalahan yang dialami tentara Sunan Pakubuwono II menyebabkan Kapten Von Hohendroff segera melakukan evaluasi dan menyampaikan kepada Sang Sunan tentang rencananya untuk segera meninggalkan Ponorogo menuju Semarang lewat Surabaya (Daradjadi, 2017: 201).
Sementara itu, Bupati Cakraningrat IV memipin pasukannya untuk menerobos pertahanan pasukan Sunan Amangkurat V yang dipimpin Mangunoneng di Sukowati menuju Kartasura. Pada waktu yang sama, Pasukan Pakubuwono II juga mendekati Kartasura di Jagaraga dekat Ngawi. Pasukan VOC juga mendekati Kartasura dari arah Ungaran-Salatiga. Mendengar bahwa para tentara Cakraningrat IV telah berhasil menyebrang Kali Bengawan menimbulkan kepanikan dikalangan para Pasukan Kartasura. Mereka bergegas menarik pasukannya untuk melindungi Sunan Amangkurat V. Apa yang ditakutkan oleh Mangunoneng selama ini telah terjadi, Kartasura harus menghadapi serangan simultan yang dilakukan oleh tiga kekuatan militer sekaligus. Mereka datang dengan tujuan yang sama, yaitu mengusir Amangkurat V dari takhta Keraton Mataram. Pakubuwono II ingin menduduki takhtanya kembali, Kompeni ingin mengambil keeuntungan yang sebesar-besarnya dari kekisruhan yang melanda Mataram, sedangkan Bupati Madura Cakraningrat IV bertekad untuk merdeka dari kekuasaan Mataram dan membangun tentara yang kuat agar Kompeni tidak dapat memperlakukannya secara sewenang-wenang (Daradjadi, 2017: 213).
Pada akhir tahun 1742, pasukan Von Hohendorff memasuki Kartasura dan meyakini bahwa keadaan keraton sudah kosong. Kemudian, ia menemui Sunan Pakubuwono II untuk memberitahu bahwa keraton siap menerima kedatangan Sunan. Semua perwira Kompeni yang hadir memberikan penghormatan dan dilakukan dengan cara adat Jawa, yaitu melakukan sembah dan mencium kaki sang raja (Daradjadi, 2017: 218). Amangkurat V beserta Kapitan Sepanjang dan Raden Mas Said meninggalkan keraton. Kemudian mereka membuat rencana untuk melakukan serangan balik ke Keraton Kartasura. Amangkurat V menuju ke arah timur yaitu Pasuruan untuk mencari pasukan karena menyadari bahwa jumlah laskarnya semakin menipis akan tetapi Raden Mas Said tidak ikut dengan Amangkurat V. Pada bulan September 1743, Amangkurat V dan Kapitan Sepanjang lolos dari kepungan Kompeni mereka bergerilya di Surabaya bagian selatan. Menurut Ricklefs, M.C. dalam buku Sejarah Indonesia Modern (terjemahan Dharmono Hardjowidjono, 1998: 145) dituliskan pada tahun 1743 Susuhunan Pakubuwono II mengambil keputusan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah mengalami banyak kekacauan. Sementara itu, menurut Amen Budiman (1998: VII), mengisahkan kerusakan Keraton Kartasura yang dikutip dari Babad Giyanti. Nanging dahat risakipun kang nagara tangeh bisa puliha. Artinya negara telah rusak berat hingga tidak mungkin pulih seperti sedia kala.
Keraton Kartasura tidak pernah dibangun kembali setelah hancur diserbu oleh Amangkurat V dan laskarnya. Sebagai gantinya, Sunan Pakubuwono II mendirikan keraton baru di Desa Sala, suatu desa yang terletak 10 kilometer sebelah timur Kartasura. Setelah selesainya pembangunan keraton, Sunan menempati istana barunya pada tanggal 9 Februari 1746. Sejak saat itu, ibu kota Mataram berpusat di Desa Sala, oleh Sang Sunan diganti namanya menjadi Surakarta Hadiningrat (Daradjadi, 2017: 235)
Berakhirnya Keraton Kartasura
Keraton Kartasura dianggap magis religius dan memiliki kultur yang tinggi mengalami malapetaka setelah terjadinya berbagai peristiwa yang ada. Gerah-geruh tersebut menyebabkan keraton tidak suci lagi (Ricklefs, M.C, 1998: 312). Menurut kepercayaan tradisi, apabila pusat kejayaan dan kebesaran sebuah kerajaan telah diduduki bahkan dirusak oleh musuh tiba saatnya membangun istana baru (Wibisono Rusmiputro K.M, 1975: 1).
Yuliani S.W (2012; 20) dalam bukunya Sejarah Lokal Surakarta mengatakan, hampir setiap sumber babad pada masa Mataram menceritakan proses peralihan itu, misalnya Babad Kartasura, Babad Pacina, Babad Giyanti dan lain sebagainya. Peralihan itu memang merupakan momentum yang sangat berarti bagi kelanjutan Keraton Mataram. Tidak saja bermakna bagi kepentingan politik, akan tetapi untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan kultural dimasa selanjutnya.
Perpindahan istana kerajaan Keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta, menyebabkan keraton Kartasura tidak pernah ditempati lagi. Berdasarakan pengamatan terhadap peninggalan yang masih tersisa di lokasi bekas keraton, menurut (Moehadi, 1994: 81) bahwa secara garis besar sisa bangunan istana keraton dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni (1) Bangunan inti keraton Kartasura meliputi bangunan di dalam benteng bekas istana (Cepuri), (2) Bangunan di dalam kompleks benteng (Baluwarti) dan (3) Peninggalan tata kota keraton Kartasura. Bekas kompleks inti keraton Kartasura dibatasi dinding berbentuk pesergi delapan yang dikenal dengan nama Cepuri. Bekas bangunan dinding masih berdiri hingga sekarang, walaupun terdapat kerusakan. Kini bekas keraton Kartasura yang luasnya 37.204 m² dijadikan makam bekas abdi dalem Kasunan Surakarta pada masa Sunan Pakubuwono IX dan X. Selain makam dari kerabat Sunan terdapat juga makam-makam dari penduduk setempat lainnya.
Di sebelah barat makam Kanjeng Raden Ayu Adipati Sedahmirah, terdapat suatu petilasan tempat tidur Sunan Pakubuwono II. Yang ditandai dengan tatanan 2 batu besar yang diletakkan dibawah pohon beringin. Tepat di depan bekas tempat tidur raja terdapat dinding benteng dengan keadaan berlubang, dinding benteng yang berlubang tersebut adalah wujud nyata bahwa pemberontak Amangkurat V dan laskarnya Jawa-Tionghoa menjebol benteng dengan menggunakan peledak dari mesiu. Pemberontak langsung menyerbu melalui bagian benteng yang dekat dengan kamar tidur raja. Tujuannya agar bisa langsung menangkap Sunan Pakubuwono II (Kompas, Selasa 24 September 2019). Di sebelah selatan makam terdapat balai yang dibangun masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X dan sekarang dijadikan tempat istirahat dan menerima tamu yang ingin berziarah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Blackburn, S. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradniya Paramita.
Daliman. 2012. Islamisasi Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Daradjadi. 2017. Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
De Graaf, H.J. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack Kemelut Di Kartasura Abad XVII. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bharata.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
Hidayat, Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: SETARA Press.
Kartodirjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
________________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1997. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Mohammad Ali, R. 1963. Perdjuangan Feodal. Bandung: Ganaco.
Radjiman. 1984. Sejarah Mataram Kartasura-Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Krida
Rauf, Maswadi. 2000. Konsesus Politik: Sebuah Tinjauan Teoritis. Jakarta: DEPDIKNAS.
Ricklefs, M.C.1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sartono, Kartodirjo. 1992, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sjamsuddin, H. 1996. Metode Sejarah. Jakarta: DEPDIKBUD, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Widianingsih, Yuliani S. 2012. Sejarah Lokal (Surakarta). Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.
Jurnal
Sarmino dan Husein Haikal. Segi Kultural Relijius Perpindahan Keraton Kartasura Ke Surakarta. Jurnal Penelitian dan Evaluasi, Nomor 4, Tahun III, Tahun 2001.