EKSISTENSI KONSEP DISKRESI SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

(The Existance of Concept the Discretion as an Instrument

Of Reforming Society in the Enforcement of Law Supremacy)

 

Fahmy Asyhari

Dosen Ilmu Hukum Fakultas Syariah IAIN Salatiga

Kandidat Calon Doktor di Universitas Jayabaya Jakarta

 

ABSTRAK

Reformasi yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan suatu keadaan yang kebablasan, artinya setiap individu masyarakat melaksanakan reformasi itu dengan tindakan kekerasan. Hal ini kita lihat dari berbagai mass media cetak maupun elektronik yang menggambarkan suatu kebrutalan dan justru seolah-olah tidak ada lagi penegakan hukum. Keadaan ini menimbulkan suatu pertanyaan tentang keberadaan hukum itu sendiri, apakah masih menjadi panglima atau justru hukum itu hanya menjadi sesuatu yang retorika saja. Timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum adalah merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap wibawa pemerintah. Dikaitkan dengan wibawa pemerintah, karena pemerintah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Hukum dan kebijakan publik (diskresi) yang identik merupakan kebijakan pemerintah yang saling terkait satu dengan yang lain. Penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat. Demikian pula sebuah implementasi kebijakan publik dalam penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraannya tidak dilandasi dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang kuat. Hal ini menjadi sebab muasal kurangnya penghormatan terhadap hukum adalah karena hukum tersebut tidak diciptakan dari sendi-sendi hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga agar masyarakat patuh terhadap hukum maka seharusnya hukum dibuat menurut aturan/hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat, dan selanjutnya hukum yang dibentuk itu menjadi sarana pembaharuan masyarakat untuk menegakkan supremasi hukum.

Kata kunci: Konsep diskresi, masyarakat, penegakan supremasi hukum.

 

 

ABSTRACT

Reforms that occured in Indonesia at this time showed an excessive state,meaning that each individual community to implement reforms violence. This condition we see from various print and electronic mass media which describes the brutality and as if there is no law enforcement. This situation raises a question about the existence of the law itself, is still a commander or even the law into something it’s just rhetoric. The emergence of public mistrust of law and law enforcement is a form of public mistrust of government authority. Associated with the authority of government because the government has the authority or power to direct the public, and responsible for serving the public interest. Law and public policy (discretion) is the policy of the government are identical interlinked with each other. Application of the law is in need of public policy to actualize the law in society.Similarly, a public policy implementation in law enforcement may not run properly if its implementation is not based on the fundamentals of a strong legislation. This is the reason for the origin of a lack of respect for the law is that the law is not created from the legal joints are living in the community, so that people obey the law then the law should be made according to the rules/laws are living in the midst of society, and the subsequent legal formed it into a means of renewal communities to uphold the rule of law.

Keywords: The concept of discretion, community, the enforcement of law supremacy.

 

PENDAHULUAN

Negara Indonesia sebagai negara hukum modern dalam arti materiil menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan dalam pengertian yang luas adalah negara yang bukan hanya menjaga keamanan semata-mata namun juga aktif dalam mencampuri urusan kemasyarakatan lainnya demi kesejahteraan rakyat. Negara kesejahteraan (walfare state) itu negara hukum yang dinamis. Negara Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan. Suatu konsekuensi logis dari adanya negara yang bertipe welfare state ini ada campur tangan yang cukup besar dari pihak pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Di Indonesia hal ini jelas tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia yang menyatakan:

“… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan social…[18]

Di dalam pembukan alinea keempat itu jelas dinyatakan tujuan Negara Indonesia ialah salah satunya kesejahteraan umum atau kesejahteraan sosial dimana ini sesuai dengan tipe Negara hukum yang bertujuan untuk kesejahteraan. Tentunya dalam mencapai itu merupakan tugas pemerintah Negara Indonesia yang menyelenggarakan negara yang akan mewujudkan kemakmuran bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Sehingga pemerintah diberi kekuasaan didalam UUD Tahun 1945 untuk menguasai kekayaan dan segala hal yang bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kemudian hal itu dituangkan di dalam pasal-pasal UUD Tahun 1945 yang salah satunya terdapat didalam Pasal 33 dan Pasal 34 tentang perekonomian dan kesejahteran sosial yang berbunyi:

Pasal 33 ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam serta yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 34 ayat (1): Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Di atas sudah jelas bahwa pemerintah negara Indonesia memiliki tugas yang cukup berat dan luas. Pemerintah dituntut untuk melindungi dan menguasai kekuasaan negara demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi rakyat dan memberikan pelayanan pada rakyat. Maka dari itu pemerintah mempunyai kekuasaan freies ermessen atau diskresi, atau kewenangan untuk turut campur dalam berbagai bidang kegiatan hukum tata perintahan.

Pemilihan Indonesia sebagai negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis dengan freies ermessen/diskresi, menurut E.Utrecht mengundang konsekuensi sendiri dalam bidang perundang-undangan, yakni diberikannya kewenangan bagi pemerintahan membuat peraturan perundangan baik atas inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang diterima dari UUD Tahun 1945 serta menafsirkannya sendiri.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Orde Baru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum itu sendiri, hal ini mengakibatkan sekelompok masyarakat merasa dirinya mempunyai wewenang mengadili sendiri penjahat yang tertangkap tangan, hal ini menggambarkan seolah-olah hukum dan penegak hukum tidak ada, atau setidak-tidaknya tidak mampu menegakkan supremasi hukum. Gejolak sosial tersebut sampai saat ini masih terlihat dalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah, khususnya penegak hukum.

Keadaan ini menimbulkan suatu dilema apakah ketidaktertiban masyarakat tersebut, diakibatkan karena tidak memadainya sistem hukum yang ada, atau karena hukum itu sendiri dibuat atau diciptakan tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat atau fungsi lembaga hukum itu sendiri, yang tidak tertib serta apakah kemampuan dan kewibawaan penegak hukum yang tidak ada, sehingga masyarakat tidak tunduk pada hukum. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kondisi saat ini masih diwarnai oleh pengalaman masa lalu, tentang adanya kondisi yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu:

a.     Pengabaian hukum (disregarding law);

b.     Ketidakhormatan atas hukum (disrespecting law);

c.     Ketidakpercayaan terhadap hukum (distrusting law);

d.     Ketidaktaatan pada hukum (disobedience law).

Terjadinya perkembangan zaman disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, peran negara menjadi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warganya. Peranan negara yang semakin besar dan luas memasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat serta beranekaragamnya tantangan yang dihadapi, yang berkembang dengan cepat dan menuntut segera penyelesaian, untuk itu pemerintah memerlukan Freis Ermessen atau discretionaire[19]

Freis Ermessen adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting yang mendesak, yang datang secara tiba-tiba dimana belum ada peraturannya. Kebijaksanaan itu diambil tanpa dilandasi peraturan umum, yang memberi kewenangan kepada administrasi negara untuk membuat kebijaksanaan. Yang dalam praktek sering dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti: surat edaran, pedoman, pengumuman, surat keputusan yang bersifat abstrak dan umum, serta bahkan dalam bentuk peraturan yang disebut pseudo-wet geving (peraturan-undangan semu).

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas hukum, lembaga Freis Ermessen atau dicretionaire menimbulkan berbagai dilema dan persoalan. Bagi suatu negara yang didasarkan atas hukum, mengharuskan agar setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah didasarkan atas wewenang undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan asas legalitas.[20]

Di beberapa negara yang menganut asas oportunitas, telah berkembang pengertian penyampingan perkara tidak hanya berdasar alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. RM Surachman dengan mengutip Wilcox, menyatakan bahwa pedoman diskresi penuntutan itu harus seimbang dengan kedudukan Jaksa yang dominan. Akan tetapi kalau pedoman yang dalam penjabarannya terlalu kaku, diskresi akan berkurang artinya mengingat bahwa adalah “diskresi itu adalah kebebasan menerobos aturan” dan dilakukan dengan tidak keluar dari ‘ aturan bernalar dan aturan keadilan”.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini sudah cukup memperlihatkan bahwa hukum itu sendiri, dianggap non eksisten oleh masyarakat, misalnya dengan tingginya “peradilan rakyat” terhadap pelaku kejahatan kelas teri dan juga oleh penegak hukum sendiri misalnya Polisi yang membiarkan pelanggaran tanpa ditindak, Jaksa yang tidak melakukan penuntutan dengan adil, dan Hakim yang lebih berorientasi pada hukum belaka dengan mengabaikan konsep “keadilan yang hidup di tengah masyarakat”.

Mengacu kepada hukum sebagai pendasaran kekuasaan diskresi yang menuntut penundukan pada cita hukum keadilan adalah sekaligus pembatasan terhadap kekuasaan diskresi. Penggunaan kekuasaan diskresi yang mengabaikan pembatasan ini jatuh pada penilaian tindakan sewenang-wenang dan sekaligus penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Oleh karena itu, penyesuaian keadaan supaya kekuasaan diskresi dapat memiliki makna yang objektif dan juga diinginkan atau dikehendaki adalah isu utama karena banyaknya problematik yang juga berhubungan erat, seperti keterpercayaan pemegang kekuasaan. Meluasnya praktik atau tindakan koruptif seringkali menjadikan kekuasaan diskresi sebagai sasaran untuk dipersalahkan. Pada kasus Indonesia saat ini fenomena itu dapat dibatasi sebagai tahap dimana kekuasaan diskresi mengalami krisis sangat serius.[21]

Secara sumir kekuasaan diskresi dapat dimaknai bahwa pemegang kekuasaan dapat bertindak menyimpangi dari undang-undang atau bertindak manakala undang-undang tidak memberikan preskripsi secara khusus bagi tindakan itu. Banyak yang mendalilkan bahwa kekuasaan diskresi adalah kekuasaan hukum karena sesuai asas negara hukum, tindakan subjek hukum harus sesuai dengan hukum.

Dalam hukum tata pemerintahan penggunaan asas diskresi atau freies ermessen sering dilakukan oleh aparat pemerintah karena beberapa faktor-faktor yang mendukung dilakukannya diskresi. Contohnya ialah peraturan gubernur Jawa Timur (Pak de Karwo) yang melarang kerapan sapi di Madura dengan kekerasan atau alat yang membahayakan sapi tersebut. Kemudian keputusan walikota solo (Pak Jokowi) yang menolak dibangunnya pasar modern dikawasan budaya. Penggunaan asas diskresi dalam praktet-praktek tata pemerintahan tidak bisa sembarangan diterapkan karena juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Atas dasar itulah maka pembahasan yang penulis ambil dalam jurnal ini adalah Pertama, pembahasan tentang konsep diskresi dalam batasan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Kedua, pembahasan tentang penerapan konsep kekuasaan diskresi pemerintah dalam kerangka tujuan penegakan supremasi hukum.

PEMBAHASAN

Konsep Diskresi Dalam Batasan Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat

Menurut Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan draft bulan Juli 2008 didalam pasal 6 mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.[22]

Menurut Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”[23]

Kekuasaan diskresi pemerintah merupakan konsep hukum, sehingga kekuasaan diskresi pemerintah selalu berada di bawah kontrol atau batasan hukum. Hukum memberikan imunitas kepada badan atau pejabat pemerintah yang melakukan tindakan diskresi, tetapi imunitas tersebut bersyarat, yaitu keterpenuhan kriteria hukum. Dalam perspektif asas negara hukum (the Rule of Law), tindakan diskresi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.[24]

Penggunaan asas diskresi dalam pemerintahan di Indonesia terlihat di dalam membuat keputusan tata usaha negara, menurut Muchsan landasan yang dapat digunakan oleh aparat pemerintahan ada dua yaitu:

1.     Wet matig (menggunakan landasan peraturan perundang-undangan)

Dalam landasan wet matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah peraturan perundang-undangan baik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ketetapan MPR yang masih berlaku, Undang-Undang/Perpu, Peraturam pemerintah, peraturan daerah provinsi dan kota. Wet matig ini merupakan landasan yang ideal.

2.     Doel matig (menggunakan landasan kebijakan)

Dalam landasan doel matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah kebijakan. Dalam hal ini produk hukum sudah ada, tetapi dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum tata pemerintahan dikenal adanya asas diskresi/freies ermessen (asas kebebasan bertindak). Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak adminsitrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis seperi asas-asas umum pemerintahan yang baik.[25]

Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Jika kita melihat asas diskresi, jika dilaksanakan administrasi negara terkesan bertindak sewenang-wenang, tetapi jika tidak dilaksanakan maka tujuan pembangunan nasional akan terhambat. Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan pemerintah (eksekutif) dalam menggunakan asas diskresi/freies ermessen maka perlu diatur pembatasan penggunaan asas diskresi.

Kebijakan diperbolehkan sebab dalam hukum tata pemerintahan terdapat teori diskresi. Namun menurut Muchsan asas diskresi ini menimbulkan dilema. Contohnya:

a)    Di satu pihak apabila diskresi selalu digunakan, akan terjadi perbuatan pemrintah yang sewenang-wenang.

b)    Tetapi sebaliknya jika pemerintah takut melakukan diskresi, maka tujuan pembangunan nasional yang mulia, adil dan makmur sulit terwujud.

c)     Kalau dilakukan dengan negatif oleh pemerintah maka timbul semena-mena atau sembarangan atau penyalahgunaan wewenang.

d)    Kalau tidak dilakukan atau digunakan tidak berwujud seuatu yang bermanfaat.[26]

       Di Indonesia penggunaan asas diskresi harus dibatasi, yakni pemerintah boleh menggunakan tapi ada batasannya supaya tidak berlebihan dan sewenang-wenang.

Menurut Muchsan ada 4 (empat) pembatasan terhadap penggunaan asas diskresi yaitu:

1.     Apabila terjadi kekosongan hukum (recht vacum)

Dimana realitas yang terjadi gerak kehidupan masyarakat ternyata lebih cepat, daripada peraturan yang ada, sehingga membutuhkan hukum yang cepat pula. Contohnya kasus seorang wanita yang hamil duluan sebelum pernikahan resmi, hal itu membutuhkan hukum yang mengatur mengingat dimana hukum positif kita tidak mengatur hal tersebut.

2.     Apabila ada kebebasan penafsiran (interpretasi)

Hal ini dikarenakan didalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada menimbulkan makna yang ambiguitas dan multitafsir, sehingga adanya diskresi dikarenakan kebebasan penafsiran (interpretasi) yang dilakukan aparat pemerintah. Contohnya ialah keputusan Bang Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) mengenai Penghasilan asli daerah, retribusi atau pajak daerah sehingga terjadi pelegalan judi dan tempat prostitusi di Jakarta untuk menunjung pembangunan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.

3.     Apabila ada delegasi undang-undang

Dengan adanya pendelegasian undang-undang para aparat pemerintah dapat melakukan diskresi contohnya: (HO) hinder ordonantie di dalam HO disebutkan “pemberian ijin oleh kepala daerah asal tidak berbahaya”. Di dalam HO tidak disebutkan unsur-unsur bahaya. Ini artinya, undang-undang (HO) memberikan delegasi kepada masing-masing daerah untuk membuat sendiri unsur-unsur bahaya.

4.     Demi pemenuhan kepentingan umum (public interest)

Machiavelli mengatakan: “demi kepentingan umum halalkan segala cara.” Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah (eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah (eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum.[27]

Sementara menurut Sjachran Basah, secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies ermessen atau asas diskresi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama”.

Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dalam melakukan diskresi aparat pemerintah juga harus memiliki kewenangan yang didelegasikan undang-undang dan dilakukan semata-mata demi kepentingan umum.

Penggunaan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan Indonesia sangat signifikan karena asas diskresi yang diberikan pada aparat pemerintahan di Indonesia tidak sembarangan melainkan ada batasan-batasan yang harus diketahui serta asas-asas umum pemerintahan yang baik yang menjadi pedoman untuk melakukan diskresi. Dengan adanya asas diskresi yang bertanggung jawab aparat pemerintah dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan negara yang mensejahterakan bangsa Indonesia dan diskresi yang digunakan tidak asal-asal melainkan dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada dengan tetap berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Peranan asas diskresi dalam penggunaannya oleh aparat pemerintah harus dilakukan dengan cermat karena aktivitas-aktivitas dalam penyelenggaran negara sangatlah padat, dinamis dan bergerak terus mengikuti tantangan dan perkembangan jaman. Aparat pemerintahan yang menggunakan tentunya sudah mengerti bahwa apa yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan adaya asas diskresi ini banyak sekali kepala daerah yang ada diprovinsi-provinsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas pemerintahan dapat menjadi bantuan yang signifikan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di daerahnya yang pastinya setiap daerah memiliki tingkat perbedaan antara satu dengan yang lain. Sehingga dapat dikatakan peranan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan meringankan tugas para aparat pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut berpartisipasi pada perdamian dunia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan kekuasaan diskresi oleh badan atau pejabat pemerintah. Pertama, kebijakan pemerintah yang bersifat darurat (emergency) terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih dapat dibantah (debatable) secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan pengaturan hukum sama sekali. Kedua, badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum, dalam arti tidak ada kekosongan pengaturan hukum bagi setiap kebijakan publik (public policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas. Ketiga, sifat dan roda pemerintahan menjadi semakin luwes sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi tidak statis seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.[28]

Namun demikian, dengan berbagai segi positif yang ada, kekuasaan diskresi bukan cek kosong yang dapat diisi secara bebas oleh badan atau pejabat pemerintah. Manakala tindakan diskresi badan atau pejabat pemerintah tidak dapat dikontrol (uncheckable) atau tidak dapat dinilai/diuji (unreviewable) maka akan terjadi tirani. Pemerintah seolah paling benar dan paling tahu apa yang benar. Situasi demikian sama artinya dengan mendudukkan pemerintah sebagai pihak dan hakim sekaligus. Konsekuensi merugikan yang dapat terjadi adalah potensi bias dalam mempertimbangkan diambilnya diskresi itu sendiri. James Madison dalam the Federalist No.10 mengingatkan bahwa:

No man is allowed to be a jugde in his own cause because his interest would certainly bias his judgment, and, not improbably, corrupt his integrity. With equal, nay with greater reason, a body of men are unfit to be both judges and parties, at the same time.[29]

Ini artinya, yang tidak disepakati bukan tentang legitimasi kekuasaan diskresi itu sendiri dari sudut pandang asas negara hukum (the rule of law), tetapi pemerintah, pembuat tindakan diskresi, sebagai pemberi kata final tentang apa yang dipandang sebagai kepentingan terbaik bagi bangsa, yang tidak bertindak sebagai pihak maupun hakim sekaligus.

Konsep diskresi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dapat diilhami dalam pembentukan hukum peraturan-peraturan zaman orde baru dalam rangka pembinaan hukum nasional. Hal yang sangat mendesak dilakukan Pemerintah saat itu adalah karena pandangan atau konsepsi bahwa diskresi merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat sangatlah penting dilakukan mengingat bahwa hukum diciptakan untuk kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat, namun disisi lain, apabila semua sendi kehidupan harus diatur oleh hukum (perundang-undangan) maka justru hal itu akan membawa ketidaknyamanan masyarakat.[30]

Bila menyimak konsepsi diskresi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang juga dipengaruhi oleh ajaran pemikiran Roscoe Pound, yang menganut Sociological Jurisprudence yang intinya hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of Social Engineering), pemikiran ini bertentangan dengan aliran mazhab sejarah yang mengetengahkan bahwa hukum itu timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum bergerak karena kebiasaan sedangkan menurut aliran Sociological Jurisprudence justru hukum itu diciptakan menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu merubah atau menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif sehingga terjadi pembaharuan hidup masyarakat dari kehidupan lama ke kehidupan baru.

Konsep diskresi harus dilandasi pokok pikiran bahwa kehidupan yang tertib hukum dan keteraturan dalam usaha pembangunan masyarakat merupakan hal yang diperlukan, dengan demikian hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu, sehingga diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis, yang sesuai masyarakat Indonesia karena hukum yang diciptakan diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti masyarakat untuk kesejahteraan hidupnya.

Konsep hukum diskresi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, juga perlu diterapkan terhadap lembaga penegak hukum dan penegak hukum, sehingga ketentuan undang-undang (hukum) sesuai dengan kehidupan masyarakat, dan rasa keadilan masyarakat, yang tertib hukum dan masyarakat yang patuh akan hukum yang diciptakan penegak hukum. Wibawa penegak hukum akan lebih tinggi bila menjalankan ketentuan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat, oleh karena itu dalam menciptakan hukum (perundang-undangan) haruslah terlebih dahulu dilakukan penelitian hukum secara mendalam dalam kehidupan masyarakat, sebelum pembentukan perundang-undangan. Peranan akademisi dalam hal ini memegang peranan penting dalam menguji kesahihan ketentuan perundang-undangan yang akan diciptakan, karena tanpa adanya penelitian yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa “living law” yang ada dan bagaimana perencanaannya harus dibuat secara akurat.

Dalam menerapkan konsep diskresi sebagai sarana pembaharuan masyarakat ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a.     Bahwa harus disadari, pengembangan satu bidang hukum diskresi (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh terhadap bidang hukum lain yang belum dapat disebut sebagai bidang yang netral.

b.     Bahwa penerapan tujuan pembentukan konsep diskresi tidak terlalu jauh dari kenyataan sosial dalam arti perlu diperhatikan apakah masyarakat itu sudah siap untuk mengikuti dan mematuhi instrumen hukum yang baru itu.

c.     Bahwa konsep diskresi ini tidak hanya dalam ruang lingkup pembentukan hukum tertulis, yang mengalami keterbatasan, namun penerapan konsep/teori diskresi ini haruslah memerlukan peranan penegak hukum yang profesional untuk memberikan kehidupan/jiwa kalimat yang tertulis dalam perundang-undangan tersebut, sehingga aparat hukum dapat menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.[31]

Hubungan Diskresi dan Kekuasaan

Peranan kekuasaan dalam penerapan diskresi merupakan fungsi sentral terhadap pembentukan peraturan hukum, sehingga kekuasaan memerlukan legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar menjadikan pelaksanaan kekuasaan/wewenang tersebut sah, oleh karena hukum merupakan pembatas kekuasaan. Pelaksanaan kekuasaan harus sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri sehingga baik buruknya kekuasaan bergantung dari parameter bagaimana kekuasaan itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan dalam rangka pembaharuan masyarakat menuju masyarakat yang tertib hukum.

Apabila dalam masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat tertib hukum, maka penggunaan kekuasaan dalam diskresi juga semakin kurang peranannya, karena tingkat kesadaran hukum dalam masyarakat itu sudah tinggi. Hubungan erat antara penerapan hukum diskresi dan kekuasaan terlihat dari konsep sanksi dan konsep penegakan konstitusi sehingga penegakan sanksi dan penegakan konstitusi diperlukan kekuatan yang sah yang melahirkan kekuasaan untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut.

Dalam lingkungan masyarakat yang rentan perbedaan budaya, maka pendekatan pelaksanaan kekuasaan menerapkan konsep diskresi dalam menegakkan supremasi hukum juga harus disesuaikan dengan norma yang hidup dalam masyarakat, dengan tidak mengenyampingkan wibawa penegak hukum, keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana tugas penegakan hukum bahwa semua orang sama haknya dalam hukum, maka dengan demikian penegakan hukum dalam masyarakat ditentukan tingkat enforcement dari para aparat penegak hukum tanpa penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dan selalu memperhatikan hak asasi manusia.

Penggunaan kekuasaan yang dibatasi dikresi sangat diperlukan untuk menjunjung supremasi hukum karena dalam satu bangsa yang beradab hukum harus dikedepankan dan dijunjung tinggi sehingga kehidupan manusia dapat dijamin oleh hukum.

PENERAPAN KONSEP KEKUASAAN DISKRESI PEMERINTAH DALAM KERANGKA TUJUAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

Supremasi hukum berarti hukum merupakan superior atau diatas segala sesuatu yang mengatur tingkah laku dan perbuatan masyarakat. Dalam konteks negara berdasarkan hukum maka kehidupan masyarakat, baik dalam hubungan privat dan kepentingan publik diatur dengan hukum (ketentuan perundang-undangan). Hukum ditempatkan sebagai superior berarti masyarakat harus tunduk dan mentaatinya.

Dalam suasana masyarakat Indonesia saat ini, timbul suatu pemikiran bahwa krisis ekonomi yang lalu juga membawa dampak terhadap krisis kepercayaan kepada pemerintah yang sekaligus terjadinya krisis kepercayaan kepada hukum dan lembaga hukum serta aparat penegak hukum, karena penegakan hukum hanya dapat terlaksana bila pemerintah yang berkuasa terlegitimasi dalam kehidupan masyarakat. Disini pemerintah yang berkuasa bisa mengambil langkah diskresi dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan dan kesemuanya itu hanya dapat tercipta apabila pemerintah membuat perundang-undangan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat “living law” dan juga dijalankan aparat penegak hukum yang profesional dan berwibawa serta mempunyai sikap integritas yang tinggi sehingga setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat haruslah melihat akar permasalahannya secara jernih.

Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia saat ini tidak dapat dipungkiri jelas sudah sangat kritis karena telah terjadi krisis kepercayaan kepada semua lembaga hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan termasuk kepada aparat penegak hukumnya, yang melahirkan krisis kepercayaan terhadap Law Enforcement yang pada akhirnya bila hal ini tidak diperbaiki segera, dikhawatirkan masyarakat Indonesia tidak sekedar termasuk “bad trust society” tetapi akan sampai pada kualifikasi “worst trust society”.

Setidaknya ada dua contoh yang menarik untuk menggambarkan pentingnya proses penegakan hukum di dalam situasi yang tidak menentu dan tidak pasti. Dalam situasi tersebut dukungan dan partisipasi publik untuk secara bersama mengatasi ketidakpastian itu menjadi penting untuk dilakukan. Sekitar tahun 1930-an, Amerika mengalami suatu keadaan dimana situasi itu dikenal sebagai “the great depression”, karena baik sistem sosial, ekonomi dalam keadaan berantakan. Franklin D. Roosevelt selaku pimpinan pemerintahan Amerika saat itu membuat suatu program konkrit yang disebut sebagai “the new deal” dengan konsepsi utama berupa penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ketidaktertiban sebagai dampak dari situasi yang dipenuhi ketidakpastian hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum. Disisi lain, pasca turunnya kekuasaan pemerintahan Marcos pada tahun 1986 digunakan sebagai momen untuk mendesak pembaruan hukum yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat yang terpinggirkan. Asumsi dasar yang diletakkannya adalah karena kelompok masyarakat tersebut menjadi korban ketidakadilan. Program “access to justice” harus diterapkan dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat dengan penyadaran hukum kelompok masyarakat itu sendiri.[32]

Kedua contoh di atas secara tegas menjelaskan bahwa penegakan hukum harus secara tegas dan konsisten dilaksanakan. Perlu dirumuskan konsepsi pembaruan dan konsepsi untuk mewujudkan proses penegakan hukum itu dilakukan dengan cara menggerakan proses partisipasi publik secara sistematis dan komprehensif. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk bisa mendorong dan menciptakan proses perubahan dan pembaruan pada lembaga penegakan hukum agar konsistensi penegakan hukum bisa dilakukan secara “tegak lurus”.

Melihat keterpurukan hukum saat ini, maka sebaiknya Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan keputusan pemerintah didahului membaca aspirasi dan “living law” dari masyarakat, dengan melakukan penelitian secara akademis yang kemudian pembentukan perundang-undangan harus didahului dengan drafting akademis yang menggodok konsepsi hukum dan prinsip-prinsip hukum dalam jiwa masyarakat guna menentukan tujuan filosofis dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut dan diundangkan seharusnya dilakukan “uji sahih” kepada masyarakat guna menetukan apakah peraturan perundang-undangan tersebut diterima masyarakat atau apakah masyarakat sudah siap menerima ketentuan itu. Karena pada kenyataannya produk-produk hukum atau undang-undang yang ada itu tidak mampu mengcover seluruh dinamika masyarakat yang amat beragama di daerah tertentu. Untuk itu, pemerintah yang mempunyai kekuasaan mengeluarkan kebijakan publik untuk mengarahkan masyarakat. Akan tetapi sebuah implementasi kebijakan publik tidak dapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraannya tidak dilandasi dasar-dasar hukum yang kuat.

Dalam konteks tersebut sudah saatnya dicari konsepsi hukum yang mendasarkan pemikiran dari pemerintah atau penguasa dalam menciptakan atau mengeluarkan kebijakan publik yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga masyarakat akan mentaati hukum itu sendiri, atas kesadaran hukumnya yang didasarkan atas kedaulatan hukum karena hukum diciptakan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

PENUTUP

          Bahwa kebijakan biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum, seharusnya kebijakan dalam bentuk hukum yang positif dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu.

          Bahwa penciptakan atau pembentukan perundang-undangan tidak sesuai dengan perasaan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, karena pembentukannya tidak didasarkan pada penelitian, drafting akademisi dan tidak melalui “uji sahih” dari masyarakat, dengan demikian masyarakat belum siap untuk menerimanya dan cenderung tidak mematuhinya karena menganggap hukum itu sendiri tidak lagi berdaulat.

          Bahwa penggunaaa asas diskresi merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur. Peranan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan meringankan tugas para aparat pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut berpartisipasi pada perdamian dunia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

          Bahwa konsep diskresi sebagai sarana pembaharuan masyarakat masih eksis dipakai dalam melepaskan negara kita dari keterpurukan hukum dewasa ini, dengan memperhatikan peningkatan kinerja aparat penegak hukum.

          Bahwa kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang mengandung tujuan tertentu yang berfungsi mengontrol, membatasi dan mengawasi tindakan diskresi yang secara absah membolehkan pemerintah bertindak menyimpang dari asas legalitas yang harus tetap diletakkan dalam koridor negara hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Bedner, “An Elementary Approach to The Rule of Law, “Hague Journal on the Rule of Law, Vol.2, 2010.

Dr. Krishna Djaya Darumurti, SH, MH, Diskresi Kajian Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016.

E Utrecht. Pengantar Hukum Adminitrasi Negara Indonesia. Pustaka Tinta Mas. Surabaya. 1986.

Many Roads to Justice, Participatory Justice in The Philippines, The Ford Foundation, 2000.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Bandung: Binacipta, 1976.

Muchsan. Beberapa catatan penting hukum administrasi negara dan peradilan administrasi negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 1981.

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1993.

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does The Rule of Law Apply to Foreign Affairs, Princeton University Press, New Jersey, 1992.

 


 



[18]       Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945.

[19]       S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hal.12.   

[20]       Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1993, Hal. 152.

[21]       Dr. Krishna Djaya Darumurti, SH, MH, Diskresi Kajian Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016, Hlm 16-17.

[22]       E Utrecht, 1986. Pengantar Hukum Adminitrasi Negara Indonesia. Pustaka Tinta Mas. Surabaya. hlm. 30.

[23]       E Utrecht, Op.cit hlm. 35

[24]       Adrian Bedner, “An Elementary Approach to The Rule of Law, “Hague Journal on the Rule of Law, Vol.2, 2010, hlm.50.

[25]       Muchsan. Beberapa catatan penting hukum administrasi negara dan peradilan administrasi negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 1981. hlm 85.

 

[26]       Muchsan. Op.cit hlm.35.

[27]       Muchsan. Op.cit hlm.36.

[28]       Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does The Rule of Law Apply to Foreign Affairs, Princeton University Press, New Jersey, 1992, hlm 156.

[29]       Thomas M. Frank. Op. Cit. hlm 158.

[30]       Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Bandung: Binacipta, 1976, Hal: 1.

[31]       Dr. Krishna Djaya Darumurti, SH, MH. Op.cit hlm. 45.

[32]       Many Roads to Justice, Participatory Justice in The Philippines, The Ford Foundation, 2000, Hal. 197-231.