Makna Simbolisme Dalam Pernikahan Agung Jawa
MAKNA SIMBOLISME DALAM PERNIKAHAN AGUNG JAWA
Fauzi Rachman
Dosen Pendidikan Sejarah
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
ABSTRAK
Budaya iku dadi kaca benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa), demikian kata pepatah Jawa yang sering diingatkan kembali oleh pakar multidimensi seni (mandraguna), ahli dan praktisi di bidang bahasa dan sastra (paramengsastra) yaitu dua dalang kondang Ki Nartosabda dan Ki Manteb Soedarsono dalam setiap pementasan wayang purwa yang digelarnya. Bahwa setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kabudayan (kebudayaan) sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya membuktikan bahwa peradaban bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran dan sejarah peradababan yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Demikian pula halnya dengan suku bangsa Jawa. Suku Jawa memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaannya yang khas, di mana dalam epistimologi dan kebudayaannya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Dari sumber sejarah Jawa memang menunjukkan tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa dan religi orang Jawa, yang telah digunakannya sejak zaman prasejarah.
Kata Kunci: Teori Sombolisme, Simbolisme dalam Kehidupan Manusia, Nilai Filosofis Tradisional Jawa.
PENDAHULUAN
Fenomena kehidupan orang Jawa yang menunjukkan simbolisme itu tampak dalam tata kehidupan kesehariannya baik dalam penggunaan bahasa, sastra, seni, dan langkah tindakannya, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam upacara-upacara spiritual dan religinya yang selalu menggunakan simbol-simbol itu untuk mengungkapkan rasa etis, estetis, spiritual dan religi untuk menuangkan citra budayanya. Salah satu contoh tindakan penggunaan simbol tampak dengan Simbolisme dalam Upacara Pernikahan Agung Jawa.
Berbagai contoh penggunaan simbol dalam kehidupan baik dalam politik, ekonomi, ekologi atau dalam hubungan internasional, dapat diamati baik dalm bentuk ungkapan kata, benda, atau lambang-lambang tertentu guna merepresentasikan “makna†yang melekat dan terkait dalam setiap kejadian (event) kehidupan itu secara luas dan intensif (Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994: 84).
Kunci pertama untuk memahami kausalitas dan makna simbol harus dirujuk pada lingkungan di mana dia terkait dan merupakan bagian dari lingkungan tersebut. Selanjutnya, bukan hanya kodrat (nature) dari lambang itu sendiri tetapi juga harus dilihat pada hubungan yang diperhitungkan pada saat memilih simbol itu sendiri. Pada waktu yang bersamaan kita tidak dapat melupakan keseluruhan dari objek yang dipergunakan sebagai simbol. Sebab objek simbol dan kelompok manusia yang mempergunakan simbol itu cenderung merepresentasikan hubungan terkoordinir dalam suatu situasi tertentu (Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994: 84).
Nilai Filosofis Upacara Tradisional Jawa
Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Mematuhi norma serta menjunjung tinggi nilai-nilai itu penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat.
Asal mula budaya tradisional Jawa secara rinci diterangkan oleh Poerbatjaraka dalam kitabnya yang berjudul Kapustakaan Jawi. Yang disebut kepustakaan Jawa, ialah segala kitab-kitab cerita dan dongeng-dongeng yang memakai bahasa Jawa. Adapun bahasa Jawa itu termasuk keluarga bahasa Austronesia, yakni bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh segala bangsa yang asli yang bertempat tinggal di kepulauan di sebelah tenggara Benua Asia. Batas di sebelah utara adalah pulau Formosa, di sebelah barat pulau Madagaskar, lantas ke timur hingga pantai barat benua Amerika Selatan. Oleh karena itu nama Asutronesia tidak banyak dipakai orang, maka namanya diganti dengan Indonesia.
PEMBAHASAN
Simbolisme dalam Upacara Pernikahan Agung Jawa
Upacara-upacara perkawinan yang sebenarnya, melambangkan persatuan antara suami dan isteri. Anak dara dan mempelai laki-laki makan nasi dari piring yang sama bersama-sama, mengunyah kapur sirih yang sama dan lain sebagainya. Pada umumnya, upacara perkawinan Jawa dilangsungkan kalau telah mendapat perhitungan oleh pihak gadis berdasarkan perhitungan kelahiran (neptu), nilai nama dari kedua calon mempelai dan sebagainya. Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada kerabat atau keluarga laki-laki dengan bergantian pihak gadis datang berkunjung pada keluarga laki-laki.
Pada masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Yogyakarta khususnya, upacara-upacara yang diselenggarakan pada saat sebelum perkawinan, biasanya hanyalah merupakan kegiatan-kegiatan yang tujuannya mempersiapkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan kebutuhan perkawinan, yang betul-betul menunjukkan sifat upacara pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan, yaitu siraman dan upacara yang disebut midodareni (Purwadi, 2005: 167).
Bagi penduduk di Yogyakarta, dan Jawa Tengah umumnya, persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum perkawinan yaitu sekitar empat puluh hari sebelum perkawinan, calon mempelai wanita telah dipingit/disengker, artinya ia tidak diperkenankan ke luar rumah, apa lagi bertemu dengan calon suaminya (mempelai laki-laki). Selama itu pula diharuskan berpuasa (Pati brata) dengan mengurangi segala macam makanan yang mengandung lemak, minum jamu (obat) dan juga seluruh badannya dibarut dengan ramuan yang disebut mangir untuk menghaluskan kulit dan lulur untuk membuat kulit menjadi kuning.
Saat sebelum upacara perkawinan adalah persiapan pemasangan tarub, di depan rumah keluarga gadis (tratag) yang akan digunakan untuk melangsungkan upacara perkawinan. Bagian yang disebut tratag, dihias dengan daun kelapa muda, yang disebut janur. Kemudian di selah kanan-kiri pintu masuk ruang perjamuan, dipasang jenis-jenis tumbuhan yang terdiri dari pohon pisang yang sedang berbuah (pisang raja), tebu, kelapa gading(kuning) muda(cengkir), padi dan daun kelapa yang muda (janur). Hiasan ini disebut dengan istilah tuwuhan. Tuwuhan ini melambangkan kemakmuran tanaman maupun harapan kemakmuran bagi calon keluarga yang baru. Hal ini mengingat, bahwa antara pengantin dan tanaman sangat erat hubungannya dengan adat kepercayaan Jawa.
Jagong sebenarnya mempunyai arti duduk. Orang yang sedang jagong berarti sedang duduk-duduk. Pengertian ini menjadi bergeser dengan makna orang yang sedang mendatangi pernikahan, khitanan, atau orang yang baru saja melahirkan. Biasanya jagong ini dilakukan oleh bapak-bapak atau ibu-ibu dengan berkumpul di rumah sahibul hajat untuk ikut bergembira ria atau memberi doa restu kepadanya. Kegiatan jagong dalam hal tertentu kerap dilakukan semalam suntuk atau lek-lekan. Dalam masyarakat pedusunan tradisi jagong adalah hal yang lumrah. Bahkan acara jagong itu merupakan sarana interaksi sosial dan rekreasi yang murah, mudah dan meriah (Purwadi, 2005: 168-169).
Buwuh adalah menyumbangkan barang kepada orang yang mempunyai hajat yang dilakukan oleh ibu-ibu. Sewaktu pulang biasanya diberi oleh-oleh dari tuan rumah. Tradisi buwuh dahulu berbeda dengan tradisi sekarang yang sumbangannya berwujud uang. Dahulu sumbangan itu berwujud bahan makanan seperti beras, gula, tahu, tempe, teh, kopi, atau mie. Sumbangan model uang yang dimasukkan dalam amplop tidak dikenal. Kalau direnungkan sumbangan model barang jelas lebih repot, akan tetapi lebih mengesankan. Pada saat sekarang di mana segala sesuatunya dinilai berdasarkan nilai uang, mungkin budaya buwuh tidak bisa dilakukan lagi, terutama perkotaan. Akan tetapi bisa dimodifikasi berupa souvenir yang bisa memberikan nilai dan keakraban tersendiri. Hal ini cenderung akan menimbulkan kreativitas (Purwadi, 2005: 169).
Tuwuhan dengan segala macam jenis tumbuhan yang ada di dalamnya merupakan lambang yang mempunyai arti sosiologis dan paedagosis. Dalam arti sosiologis dapat diuraikan berdasarkan arti kata tuwuhan yang artinya tumbuhan (asal kata tuwuh=tumbuh). Berdasarkan arti katanya, tuwuhan dapat dianalogiskan sebagai suatu proses yang menunjukkan perubahan status sosial seseorang dalam kelompok atau masyarakatnya. Jadi melalui tanda-tanda simbolis yang diwujudkan dalam rupa tuwuhan ini. Hal ini menunjukkan, bahwa kedua mempelai yang telah menjadi suami isteri itu, sejak perkawinannya mereka telah berubah status sebagai kesatuan keluarga batih yang seterusnya akan bertanggung jawab atas hasil atau akibat dari perkawinan mereka. Di dalam hal ini menyangkut pula perubahan pola cara berpikir mereka, artinya sejak perkawinannya itu mereka harus mengubah pola cara-cara berpikir pada masa muda, sebab sesudah perkawinannya itu mereka telah diwisuda untuk masuk golongan orang tua atau sebagai orang yang telah berkeluarga (Purwadi, 2005: 169).
Simbolisme Dalam Perkawinan
Tumbuhan yang ada untuk melengkapi tuwuhan tesebut, seperti pisang raja, tebu, cengkir, padi, dan daun beringin serta janur, adalah juga mempunyai arti simbolis. Berdasarkan pengertian-pengertian yang diucapkan oleh orang Jawa, yaitu untuk memberikan suatu arti pada suatu kata tertentu yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu (Jarwa dasak), maka jenis-jenis tumbuhan yang dipasang untuk tuwuhan itu mempunyai arti paedagogis, misalnya saja, tebu. Tebu merupakan tumbuh-tumbuhan yang mudah tumbuh. Bagi orang Jawa, tebu dipasang untuk tuwuhan, karena mempunyai arti melambangkan antebing kalbu, yaitu sikap kemantapan hati atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu sama lain merupakan jodoh. Suami isteri yang tidak dapat dipisahkan oleh apa pun. Melalui lambang atau simbol tuwuhan tebu ini para orang tua telah memberikan pengertian pada kedua mempelai bahwa mereka satu sama lain merupakan jodoh yang telah satu hati dan tidak boleh berpisah karena di antara keduanya telah memantapkan dirinya. Mereka adalah suami isteri. Adalah merupakan celaan bagi mereka yang mudah bercerai. Cengkir (kelapa gading muda), seperti halnya simbol tebu, cengkir bagi orang Jawa melambangkan arti kencenging pikir, maksudnya menunjukkan pada suatu pola pemikiran yang telah mantap, bahwa laki-laki dan perempuan itu memang jodohnya. Di belakang arti kata cengkir ini, tidak bisa dibenarkan, bahwa apabila pada suatu ketika laki-laki meninggalkan perempuan yang sudah menjadi jodohnya atau isterinya, begitu pula sebaliknya. Melalui simbol cengkir ini orang tua memberikan pengertian kepada kedua mempelai, bahwa perkawinan mereka berdasarkan hasil pemikiran yang telah mereka pertimbangkan bersama. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan kalau suatu ketika mereka saling menyalahkan satu sama lain (Purwadi, 2005: 170-171).
Padi (pari), tumbuhan padi merupakan lambang kehidupan pokok dalam masyarakat Jawa yang sebagian besar hidup dari pekerjaan bertani. Di samping itu, tumbuhan padi dalam adat kepercayaan Jawa mempunyai hubungan yang erat dengan Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi rumah tangga atau dewi kesuburan. Melalui lambang padi, orang tua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua mempelai itu.
Pisang raja, jenis pisang yang mempunyai nilai tertinggi di antara pisang lainnya. Simbol ini melambangkan/menggambarkan pengantin laki-laki yang akan bertemu dengan pengantin wanita. Sebenarnya untuk menggambarkan pertemuan ini, kadang-kadang dilengkapi dengan jenis pisang yang lain, yaitu urut-urutannya, pisang raja – pisang saba – pisang kluthuk – dan kemudian pisang emas (pengantin wanita). Oleh sebab itu sehubungan dengan proses pertemuan kedua mempelai ini, orang Jawa mengatakan, raja saba kepethuk emas (Purwadi, 2005: 171).
Daun beringin, jenis tumbuhan ini melambangkan keluarga yang dibentuk suami isteri diharapkan dapat memberikan pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Ini merupakan pengertian yang mempunyai sifat peringatan kepada kedua mempelai, bahwa pada dasarnya mereka itu tidak hidup sendiri. Oleh sebab itu, segala sesuatunya harus disesuaikan dengan keadaan lingkungan di mana mereka sebagai bagian dari kelompok kekerabatannya. Mereka hendaknya dapat menerima kepentingan kelompok kerabat lainnya, misalnya bila salah satu anggota kelompok kerabatnya sedang melakukan suatu kegiatan, maka mereka diharapkan bisa membantunya (Purwadi, 2005: 171-172).
Janur, adalah melambangkan ajaran orang tua kepada kedua mempelai, bahwa apabila terjadi di dalam rumah-tangga mereka suasana kurang baik, hendaknya hal itu jangan sampai orang di luar keluarganya mengetahui. Sehingga dalam rumah-tangga itu tetap tampak serasi. Kemudian setelah persiapan pemasangan tratag selesai, proses berikutnya adalah mempersiapkan untuk upacara siraman. Upacara siraman (mandi) diadakan sebelum upacara midodareni, yaitu upacara yang diadakan pada malam hari sebelum upacara perkawinan. Upacara siraman dilakukan oleh baik pengantin perempuan maupun pengantin laki-laki di rumah mereka masing-masing (Purwadi, 2005: 172).
Untuk melakukan upacara siraman ini, sengaja dipilih orang-orang tua dari keluarga dekat calon pengantin yang mempunyai anak banyak dengan maksud merestui pada calon pengantin dengan harapan mudah-mudahan lekas mempunyai anak. Di samping itu juga diambil tuahnya. Ada sementara anggapan bahwa upacara siraman bertujuan untuk mensucikan kedua calon mempelai sebelum memasuki malam midodareni, malam yang dianggap sakral. Setelah siraman, kedua calon dianggap suci.
Malam hari diadakan upacara yang disebut Midodareni. Midodareni diadakan pada malam hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Menurut anggapan, malam midodareni dipandang sebagai malam yang paling suci. Sebab pada saat itu pengantin perempuan didatangi para widadari(bidadari). Sehubungan dengan anggapan ini Clifford Geertz menuliskan dalam bukunya “The Religion of Java†sebagai berikut, “After slametan, the bride is dressed in very simple clothes. If the house is of the old fashioned type which has a ceremonial bedroom in the center (the senthong tengah), the girl is seated in front of it, if not, then just the centre of the house will do. Here she sits perfectly immobile for about five hours until midnight, during which time an angel come down and enters her, remaining until five days after weddingâ€. (Purwadi, 2005: 172-173).
Keheningan Malam Midodareni
Disamping itu, sifat ritus malam midodareni dapat pula dilihat dari adanya kelengkapan syarat-syarat upacara pengantin antara lain, kembar mayang, yang diambil dari pembuatnya (biasanya tukang rias manten atau dhukun manten), sebanyak dua buah yang sama bentuknya. Sirih yang diberi hiasan titik-titik dengan kapur (injet). Cengkir, kelapa yang sangat muda dan bunga setaman. Tentang persyaratan-persyaratan untuk melengkapi pada upacara malam midodareni ada beberapa penafsiran yang bersifat ekonomis-paedagogis, terutama syarat-syarat seperti kembar-mayang dan daun sirih. Kembar mayang ini adalah semacam bouqette dari janur (daun kelap muda), berupa bunga mayang (bunga pinang) beberapa jenis daun-daunan, kelapa gading kesemuanya itu berbentuk pohon hayat (pohon surga) dengan nenas atau bunga pisang (ontong) sebagai mahkota di atasnya. Hal ini melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan (Purwadi, 2005: 173-174).
Kembar mayang mempunyai sebutan asli, yaitu gagar mayang artinya mayang (bunga pinang) yang telah mengurai (mekar) berkembang penuh. Kembar mayang memberikan arti kiasan menunjukkan adanya unsur-unsur pendidikan seks. Si Gadis, mempelai wanita, dikiaskan sebagai mayang yang telah berkembang, sehingga tampak keindahannya. Dengan keindahan itu, mayang tersebut akan menimbulkan kegairahan sang kumbang (mempelai laki-laki) datang hinggap untuk menghisap sari madunya. Sedangkan perlengkapan lain yaitu sirih yang diberi titik-titik kapur, juga mengandung arti kiasan yang mempunyai unsur-unsur pendidikan seks (Purwadi, 2005: 174).
Poerbatjaraka dalam ulasannya tentang ajaran filisofi dan mistik, juga menunjukkan hubungan manusia dengan dunia alam raya yang antara lain tampak dalam perwujudannya dalam/sebagai gunung. Untuk lebih jelasnya berikut ini kutipan isi mistik seperti berikut di bawah ini:
Bathara Siwah – Suwung
Sipatipun ingkan alus, inggih punika alusing donya. Yen
Karingkes, dados alusing redi Meru.
Yen keringkes malih, dados alusing manungsa.
artinya,
Bathara Siwah – Suwung
Sifatnya yang halus, adalah Dunia. Apabila diringkas,
Adalah gunung. Bila diringkas yang lebih halus, adalah
Manusia.
Upacara Resepsi Perkawinan
Sebagai puncak dari serangkaian upacara perkawinan yaitu pelaksanaan perkawinan. Bagi penduduk di Jawa, khususnya di Yogyakarta mengenal dengan istilah “temu†Adapun urut-urutan upacara temu, dapat dituturkan sebagai berikut: sebelum pengantin laki-laki datang, oleh pihak mempelai wanita diberikan beberapa pakaian dan perlengkapan untuk dipakai pada waktu upacara temu atau panggih. Pakaian yang dimaksud yaitu kain yang bercorak Sidomukti yang juga dipakai atau digunakan oleh mempelai wanita. Kain kembar ini disebut dengan istila sawitan. Pakain ini dilengkapi dengan bunga untuk perhiasan keris yang dikenakan mempelai laki-laki. Bunga perhiasan keris ini disebut gombyok, juga bunga melati untuk kalung dan hiasan telinga. Perlengkapan lain ialah sirih yang telah digulung dan diikat dengan benang (gantal). Semua perlengkapan ini dibuat dhukun manten (Purwadi, 2005: 176).
Sesudah semuanya selesai dipersiapkan, maka pada saat yang telah ditentukan, datanglah mempelai laki-laki diiringi oleh anggota kerabatnya ke tempat upacara. Setibanya di pintu gerbang upacara diadakan upacara pertukaran kembar mayang yang dilakukan oleh patah, yaitu gadis dan perjaka yang mengiringi mempelai. Seterusnya upacara temu ini dilakukan dengan saling melempar sadak/gantalan. Menurut anggapan, siapa yang lebih dahulu melempar, maka dialah yang akan berkuasa dalam rumah-tangga. Akan tetapi ada anggapan lain, bahwa saling melempar gantalan ini melambangkan hidup kedua suami-isteri yang selanjutnya akan saling memberi dan menerima setulus hati. Di samping itu, sirih dianggap sebagai lambang pertemuan rasa antara suami dan isteri (Purwadi, 2005: 176-177).
Kemudian upacara dilanjutkan dengan acara menginjak telur yang ditempatkan pada sebuah cobek. Adapun yang harus menginjak-injak telur adalah mempelai laki-laki. Kaki pengantin laki-laki yang kotor karena kena pecahan itu, dibersihkan oleh mempelai perempuan dengan menggunakan air bunga setaman yang telah disediakan dengan gayung tempurung kelapa (siwur). Hal ini melambangkan sikap yang tegas mempelai laki-laki untum menurunkan keturunannya melalui seoarang perempuan yang menjadi isterinya dan menerimanya dengan segala kesucian hatinya.
Lambang Kesuburan Desa
Bagi penduduk yang tinggal di pedesaan, sesudah upacara membasuh kaki dilangsungkan, dilanjutkan dengan kedua bersama-sama berdiri di atas pasangan waluku. Bagian acara ini melambangkan adanya hubungan yang erat antara manusia dengan mata pencaharian hidupnya. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harus dilakukan bersama-sama oleh suami dan isteri.
Setelah upacara memecah telur, membasuh kaki, dan kedua mempelai berdiri di atas pasangan selesai, pengantin wanita dibimbing oleh pengantin laki-laki masuk ke dalam rumah. Sebelum keduanya menuju ke tempat pelaminan harus dilakukan syarat yaitu pengantin laki-laki menerobos benang lawe (bahan kain tenun). Upacara ini melambangkan pengantin laki-laki berhak untuk menjadi anggota keluarga dan menjadi suami dari sang isteri (lawe, wenang=hak) (Purwadi, 2005: 177-178).
Sebelum didudukkan di tempat pelaminan yang ada di senthong tengah (petanen), kedua mempelai dihadapkan oleh kedua orang tua mereka. Pada saat itu memakai kain jenis truntum dan baju berwarna gelap. Di sini diadakan upacara, kedua mempelai sudah diterima oleh kedua orang tua, mereka kemudian dipangku ayahnya. Setelah itu ibu menanyakan pada sang ayah, berat mana anak menantu dengan anak sendiri. Yang kemudian dijawab oleh sang ayah sama saja beratnya. Acara berikutnya mempelai kedua mempelai dengan cara pada punggung kedua mempelai disampirkan kain yang disebut sindur. Kemudian didudukkan di pelaminan, yang letaknya di muka senthong tengah (petanen=tempat istirahat Dewi Sri) (Purwadi, 2005: 178).
Bagian upacara ini melambangkan adanya sikap atau perlakuan orang tua yang tidak membedakan anatara anak menantu dan anak sendiri. Sedangkan duduknya kedua mempelai di muka senthong tengah adalah secara religius melambangkan hubungan manusia dengan yang memberi hidup (Dewi Sri=dewi padi atau pertanian). Sementara itu, pada waktu berlangsungnya upacara temu/panggih kedua orang tua mempelai laki-laki tidak boleh hadir. Baru setelah semuanya selesai, kedua orang tua mempelai laki-laki diperbolehkan hadir, untuk menerima sungkem kedua mempelai. Sedang kembar mayang, yang pada permulaan temu/panggih telah dipertukarkan antara keduanya, kemudian dibuang diperempatan jalan atau sungai. Hal ini merupakan tanda pemberitahuan, bahwa telah terjadi perkawinan antara pemuda dan gadis dengan selamat (arti simbolis) (Purwadi, 2005: 178-179).
Kemudian dilanjutkan dengan upacara yang melambangkan pemberian nafkah suami kepada isteri dan keluarganya. Upacara ini disebut kacar-kucur atau tampa kaya, yang wujudnya sekantung beras kuning (beras kunyit) yang berisi mata uang tembaga dan perak yang jumlahnya sama dengan jumlah perhitungan nilai-nilai hari. Pemberian tampa kaya ini merupakan tabungan sebagai jaminan bagi anak-anak mendatang dan tidak boleh diambil untuk kepentingan lain (Purwadi, 2005: 179).
Upacata temu/panggih diakhiri dengan kedua mempelai saling menyuapkan nasi ketan yang disebut dengan istilah dhahar kembul. Ini melambangkan kehidupan suami isteri yang saling bantu-membantu dalam menghadapi segala macam tantangan hidup. Segala hasil yang mereka peroleh, mereka rasakan sebagai milik mereka berdua. Sebagai tambahan untuk melengkapi adat perkawinan di Yogyakarta, berikut ini uraian singkat tentang jalannya upacara di Kraton Yogyakarta, yang pada dasarnya baik upacara perkawinan pada rakyat kebanyakan maupun pada keluarga Keraton di Yogyakarta mempunyai prinsip yang sama. Perbedaan yang tampak hanya dalam hal melaksanakan atau menyelenggarakan upacaranya saja (Purwadi, 2005: 179).
Jalannya upacara perkawinan di Keraton Yogyakarta dimulai dengan mempersiapkan Ranupada, yaitu alat-alat untuk upacara membasuh kaki dan memecah telur. Ranupada ini dipersiapkan di tengah-tengah bangsal upacara. Kemudian setelah semuanya selesai dipersiapkan, Narpacundaka Dalem, yaitu seorang Pangeran yang bertugas untuk memanggil pengantin pria datang ke kasatriyan (tempat pengantin pria) untuk mengatakan bahwa pengantin putri telah siap, upacara perkawinan dapat segera dimulai (Purwadi, 2005: 179-180).
Setelah menerima kabar dari Narpacundaka Dalem, maka keluarlah rombongan edan-edanan yang mendahului iring-iringan pengantin pria yang hendak menuju ke tempat tinggal pengantin puteri (keputren). Fungsi diadakannya edan-edanan ini untuk menolak semua gangguan gaib, sehingga semua upacara dapat berjalan selamat. Disusul kemudian kembar mayang yang berhenti di tempat yang telah ditentukan untuk menanti kembar mayang dari pengantin putri yang akan bersama-sama dibawa keluar dari Keraton (Purwadi, 2005: 180).
Keluarnya edan-edanan dan kembar mayang disusul dengan keluarnya iring-iringan pengantin pria dari dalam Kasatriyan. Adapun urut-urutan dari iring-iringan pengantin pria adalah sebagai berikut, berjalan paling depan adalah Narpacundaka Dalem, di belakangnya adalah Penebus, yaitu seorang putri yang bertugas “mengambil†pengantin putri, disusul kemudian pembawa sanggan, yang terdiri dari para dhayang yang membawa sanggan, yaitu perlengkapan upacara yang terdiri dari beberapa sisir pisang, makanan dan sebagainya untuk diserahkan kepada pihak pengantin putri sebagai lambang terpenuhinya persyaratan yang diminta oleh pengantin putri kepada pengantin pria. Di belakangnya adalah Ingkang Cepeng Damel, menggunakan Basahan kebesaran Pengantin. Di belakang pengantin pria adalah Penganthi, yaitu dua orang pangeran yang mendampingi pengantin pria, dan berjalan berikut adalah Ombyong, pengiring pengantin lain yang terdiri dari para bupati (Purwadi, 2005: 180).
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan iring-iringan pengantin pria berhenti dan hanya penebus dan pembawa sanggan yang terus berjalan menemui Ingkang Cepeng Damel, ketua panitia penyelenggara dari pihak pengantin putri untuk meminta pengantin putri. Kembar mayang dari pihak pengantin putri dikeluarkan dan bersama-sama kembar mayang pengantin pria dibawa keluar dari kraton. Sementara itu, pengantin putri keluar dengan didampingi dua pengantin putri lain dan dua orang Patah. Dalam upacara ini, pengantin putri mengenakan pakaian kebesaran yang juga dinamakan Basahan dan coraknya sama dengan yang dikenakan pengantin pria (Purwadi, 2005: 180-181).
Kesejahteraan Keluarga
Upacara berikutnya adalah upacara kepanggih. Upacara kepanggih ini, kedua pengantin beserta para penganthi dan pengiring berjalan menuju ke tengah bangsal upacara di mana telah dipersiapkan alat-alat perlengkapan upacara, Ranupada. Sementara kedua mempelai masing-masing telah membawa beberapa buah gantal atau sandak, yaitu daun sirih yang digulung dan diikat dengan benang, untuk kemudian saling dilempar dan melemparkan. Setelah saling melempar gantal, mempelai pria memecahkan telur dengan kakinya yang kemudian dibersihkan dengan air yang telah disediakan oleh mempelai putri. Upacara wijik ini, melambangkan bahwa betapa pun ia tinggi kedudukannya dalam masyarakat, dia akan melayani suami dan berbakti kepadanya dengan kestiaan mendalam untuk selama-lamanya. Kemudian dilanjutkan dengan pondhongan, yaitu dimana pengantin pria dibantu oleh seorang pangeran memondong pengantin putri, sebagai lambang bahwa sebagai suami, dia akan selalu menghargai dan melindungi isterinya untuk selama-lamanya (Purwadi, 2005: 181).
Setelah upacara tersebut selesai, pengantin tersebut dipersandingkan duduk di atas pelaminan. Apabila dirasa sudah cukup, kedua mempelai dibawa menuju ke Dalem Kasatriyan menjalankan upacara terakhir, yaitu upacara dhahar klimah dan tampi kaya. Dhahar klimah adalah nasi khusus yang dipersiapkan dan kemudian pengantin pria membuat beberapa kepalan nasi, untuk disantap pengantin putri. Dhahar klimah melambangkan suami akan selalu bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup istri dan keluarganya. Sedangkan tampi kaya, adalah upacara pengantin pria menuangkan uang logam yang jumlahnya cukup banyak, dari satu jambangan yang terbuat dari perak ke pangkuan pengantin putri. Tampa kaya ini melambangkan suami yang menyerahkan semua kekayaannya kepada isteri untuk melestarikan hidup rumah tangganya (Purwadi, 2005: 181-182).
Penduduk di Jawa, khususnya mereka yang tinggal di Yogyakarta, mengenal pula adanya upacara perkawinan yang disebut upacara bubak dan upacara tumplak punjen. Upacara bubak dilakukan apabila yang dikawinkan itu anak gadis yang sulung, dan upacara tumplak punjen dilakukan apabila yang dikawinkan itu adalah anak gadis yang bungsu. Di samping itu dikenal pula dalam rangkaian upacara perkawinan di Jawa, yang disebut upacara nglangkahi. Upacara ini diadakan apabila seorang anak gadis yang dikawinkan itu terpaksa harus mendahului saudara sepupu baik laki-laki maupun perempuan yang lebih tua umurnya dari anak gadis yang dikawinkan itu. Adapun syarat-syaratnya adalah disesuaikan dengan permintaan saudara laki-laki ataupun perempuan mempelai perempuan (Purwadi, 2005: 182).
PENUTUP
Penjelasan tentang Simbolisme dan contoh Simbolisme dalam Upacara Pernikahan Agung Jawa yang telah dikemukakan di atas terlihat hakekat atau makna apa yang terkandung dalam Simbolisme Kebudayaan Jawa dengan contohnya yaitu Simbolisme dalam Upacara Pernikahan Agung Jawa.
Maksud dan tujuan dari dibuatnya atau diadakannya kehadiran simbol-simbol oleh orang Jawa dalam kebudayaannya, ialah untuk:
1. Dipakai sebagai tanda atau peringatan untuk memperingati suatu kejadian atau peristiwa tertentu, agar segala kejadian atau peristiwa itu dapat diketahui dan diingat kembali oleh masyarakat segenerasinya ataupun oleh generasi-generasi berikutnya.
2. Dipakai sebagai media pembawa pesan/nasehat. Sarana komunikasi yang ada masih sangat terbatas jangkauannya dan kurang tahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cuaca alam, maka dipakailah material yang tahan lama seperti batu, bahasa lisan, suara, warna serta tindakan-tindakan simbolis. untuk maksud itu dibuat/dipakailah patung-patung, ungkapan-ungkapan, syair, ceritera, kode atau isyarat dengan cahaya, suara dan warna, serta upacara-upacara
DAFTAR PUSTAKA
Pelly, Usman dan Asih Menanti. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Poerbatjaraka. 1952. Kapustakaan Jawa. Jakarta: Djambatan.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sri Mulyono. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang: Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta: Gunung Agung.
Â