Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dan Hasil Belajar Dengan Model Jigsaw
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA DAN HASIL BELAJAR IPS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW BAGI SISWA KELAS VII B SMP NEGERI 2 SUMOWONO
KABUPATEN SEMARANG SEMESTER GASAL TAHUN 2019/2020
Theresia Cevi Ruleti
SMP Negeri 2 Sumowono
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar IPS bagi siswa kelas VIIB SMP Negeri 2 Sumowono semester gasal tahun 2019/2020. Peneltian ini dirancang dengan prosedur perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Hasil penelitian tindakan menunjukkan model pembelajaran Jigsaw di kelas VIIB SMPN 2 Sumowono Kabupaten Semarang semester gasal tahun pelajaran 2019/2020 dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswea meningkat. Pada prasiklus rata-rata kelas 58 sedikit meningkat pada siklus 1 menjadi 58.07 dan meningkat lagi pada siklus 2 menjadi 76,05. Kekritisan siswapun meningkat yaitu keberanian berpikir kritis saat belajar IPS rendah pada kondisi akhir menjadi tinggi.
Kata kunci: Pembelajaran kooperatif, jigsaw, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan mendorong manusia untuk hidup lebih baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah perkembangan zaman. Pembaharuan proses pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pembaharuan proses pendidikan dapat dilakukan dengan memperbaiki proses pembelajaran.
Pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya proses pembelajaran. Pembelajaran pada dasarnya merupakan proses mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Guru harus kreatif agar siswa tidak bosan dalam pembelajaran. Kemampuan siswa dalam menerima pelajaran harus dapat diketahui oleh guru. Guru harus dapat membentuk siswa menjadi unggul dalam afektif, kognitif, dan psikomotor.
Pembelajaran tidak hanya sekadar guru menyampaikan materi dan siswa mendengarkan, melainkan mengembangkan apa yang diterima siswa menjadi suatu pemikiran baru. Guru sebagai sumber utama pengetahuan sedangkan siswa hanya sebagai pendengar dan penerima pengetahuan tersebut. Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Sebagian besar siswa tidak mampu mengabungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan. Kondisi siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu sesuai kemampuan berpikir masing-masing siswa.
Banyak hal yang menghambat proses pembelajaran di sekolah, salah satunya adalah guru mengalami kesulitan dalam penyampaian materi karena kurikulum yang selalu berubah-ubah. Dampak perubahan kurikulum yang berubah-ubah adalah guru kurang memperhatikan kebiasaan siswa dalam belajar. Dampak dari pembelajaran yang tidak memperhatikan kebiasaan siswa adalah tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran. Menurut Anies Baswedan, tanpa kompetensi guru yang memadai dalam menerapkan kurikulum, hasilnya akan menjadi tidak karuan dan arahnya tidak jelas (edukasi.kompas.com/read/2014/12/12/0616008/Keterbukaan.Kurikulum.Pendidikan).
Setiap kurikulum menyatakan bahwa tujuan pengajaran harus jelas, baik dalam instruksional umum maupun khusus. Tujuan pembelajaran harus dinyatakan secara tertulis oleh guru ketika membuat persiapan mengajar. Selain itu, dalam proses pembelajaran guru harus memiliki tujuan yang jelas agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal sesuai kurikulum yang sedang berlaku.
Kemampuan siswa dalam memahami materi ini umumya rendah, rendahnya pemahaman siswa ini disebabkan oleh rendahnya pemahaman siswa dalam memahami materi interaksi sosial dan lembaga sosial. Hal ini disebabkan karena pada kompetenasi dasar ini siswa harus menguasai kemampuan yang tinggi tingkat kesulitannya. Disamping itu cakupan materi pada kompetensi ini juga cukup banyak dibandingkan dengan kompetensi dasar yang lain. Kondisi ini menyebabkan hasil belajar materi interaksi sosial dan lembaga sosial yang diperoleh sebagian besar siswa rendah dibawah KKM, yaitu 70.
Dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa suatu pembelajaran dapat berhasil ketika metode pembelajaran diterapkan dengan efektif. Peran guru dalam mengajar juga akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Langkah-langkah dalam pembelajaran terutama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus dikuasai oleh guru.
Melihat kondisi ini peneliti menggangap perlu untuk menemukan model pembelajaran yang bisa membuat siswa lebih mudah dalam menguasai materi interaksi sosial dan lembaga sosial. Dalam penelitian ini guru menyajikan materi dari berbagai sumber yang mendukung tidak terfokus pada satu sumber. Dengan harapan siswa mampu memahami materi bukan hanya menghafal.
Kajian Teori dan Pustaka
Berpikir Kritis
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam belajar adalah belajar dengan wawasan. Menurut Gestalt (Slameto, 2010: 5-6) belajar dengan wawasan merupakan proses mereorganisasikan pola-pola tingkah laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan. Dalam proses pembelajaran siswa dihadapkan pada suatu permasalahan. Melalui permasalahan maka siswa akan mengupayakan untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah saat proses pembelajaran.
Proses berpikir kritis siswa dapat dilihat melalui tanya-jawab di kelas. Kemampuan berpikir kritis meliputi pengetahuan untuk membuat serangkaian pertanyaan kritis yang saling berkaitan, serta kemampuan dan kemauan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pada saat yang tepat (Browine & Keeley, 2012: 4). Melalui materi yang menarik siswa akan tertarik untuk menyampaikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan guru dengan kritis. Secara langsung guru dapat mengukur kemampuan siswa tanpa harus memberikan ujian secara tertulis.
Berpikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku belajar terutama yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berpikir rasional akan menggunakan prinsip dan dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why) (Muhibbin Syah, 2010: 118). Berpikir kritis berarti berpikir dengan menggunakan pemahaman yang lebih luas. Menjawab pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why) merupakan salah satu cara untuk memberikkan stimulus pada siswa agar dapat menganalisis pertanyaan dan menjawab dengan berbagai pertimbangan.
Berpikir kritis bukan berarti menyampaikan pendapat berdasarkan analisis pribadi. Berpikir kritis adalah kemampuan dan kesediaan untuk menilai berbagai pertanyaan dan mengambil keputusan, yang didasarkan pada alasan dan fakta yang memiliki dukungan yang baik, bukan berdasarkan emosi atau anekdot (Wade & Ravris, 2007: 7). Siswa yang menjawab pertanyaan berdasarkan alasan dan fakta dikatakan bahwa siswa telah berpikir kritis.
Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis berarti memiliki kecerdasan untuk menghasilkan pertanyaan atau gagasan berdasarkan fakta dalam proses pembelajaran. Siswa yang mampu menyajikan alasan dan fakta maka mengupayakan dirinya untuk selangkah lebih maju dalam proses pembelajaran. Siswa tidak hanya mengetahui tentang materi tetapi memiliki kemampuan untuk menganalisis materi dengan baik. Dalam proses pembelajaran guru memiliki peran penting dalam mendorong siswa untuk memiliki kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis perlu diterapkan di SMP untuk menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan dalam diri siswa. Menurut Wade & Ravris (2007: 8-15), panduan bagi guru untuk merangsang berpikir kritis, yaitu: mengajukan pertanyaan, mendefinisikan istilah, menilai fakta, menganalisis asumsi dan bias, menghindari penalaran yang bersifat emosional, tidak menyerderhanakan masalah, mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan mentolelir ketidakpastian.
Dalam proses pembelajaran guru harus mengajukan pertanyaan yang dapat merangsang berpikir kritis siswa. Guru dapat melihat seberapa jauh pemahaman tentang materi pembelajaran melalui jawaban yang siswa berikan. Pertanyaan yang dibuat harus dapat dimengerti dengan mudah oleh siswa. Pertanyaan yang didefinisikan secara samar akan menghasilkan jawaban yang tidak lengkap atau sulit dimengerti.
Penyampaian materi oleh guru tidak diperbolehkan berdasarkan analisis sendiri atau pengalaman pribadi tapi berdasarkan fakta. Guru sama halnya dengan siswa dalam proses belajar dan belum menjadi ahli. Menyampaikan fakta yang tidak sesuai akan dapat menghambat cara berpikir siswa. Siswa akan cenderung untuk malas mencari tahu tentang fakta dan mempercayai apa yang dikatakan oleh guru.
Pemikir kritis harus dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi orang lain. Asumsi berarti anggapan, dugaan atau pikiran (Dendy Sugono, 2008: 101). Apabila asumsi diterima begitu saja maka yang terjadi adalah siswa akan menolak untuk mempertimbangkan fakta dan asumsi akan menjadi bias atau simpangan. Sering kali guru tidak memperhatikan asumsi sehingga siswa tidak mendapatkan pengertian yang benar tentang suatu permasalahan.
Siswa yang memiliki komitmen kuat terhadap suatu pandangan membuat berpikir untuk mempertahankan ide. Guru dalam menyampaikan materi akan cenderung emosi apabila materi yang disampaikan tidak dapat diterima oleh siswa. Begitu pula dengan siswa akan cenderung marah dan emosi ketika hasil ujian yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan. Hal tersebut harus dihindari dalam berpikir kritis karena hakikat berpikir kritis adalah menerima masukan, ide atau pendapat dari orang lain yang dapat menambah wawasan. Hal yang perlu dilakukan adalah guru memberikan pemahaman pada siswa bahwa perlu menerima masukan orang lain untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas.
Seorang pemikir kritis berusaha meninjau lebih jauh hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Seorang pemikir kritis menolak berpikir secara kaku dan menyimpulkan suatu hal dengan cepat. Dalam memberikan pendapat pemikir kritis menghindari penyampaian pendapat dengan pengalaman pribadi atau kesimpulan secara umum. Hal yang dilakukan adalah menyajikan fakta dari berbagai sudut pandang untuk menanggapi sebuah masalah.
Pemikir kritis dalam menyelesaikan masalah secara kreatif menyampaikan sebanyak mungkin penjelasan yang masuk akal mengenai topik yang dihadapi sebelum menetapkan kemungkinan yang paling besar. Untuk membantah asumsi yang tidak terbukti pemikir kritis harus dapat menjelaskan sesuai fakta. Dalam proses pembelajaran guru harus mendorong siswa untuk tidak puas dengan satu jawaban. Berbagai alternatif jawaban akan dapat membantu siswa untuk berpikir kritis terhadap permasalahan.
Sebuah fakta yang disajikan oleh ahli belum dapat dipercaya 100% karena dalam perkembanganya sebuah fenomena terus disempurnakan. Hal tersebut menjadi patokan bahwa dalam dunia pendidikan ilmu pengetahuan sebenarnya tidak pasti. Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terjadi terus-menerus untuk mencari tahu tentang banyak hal. Pada dasarnya berpikir kritis adalah melihat dan menelaah pandangan orang lain tentang suatu hal dan memasukan pemahaman atau ide pribadi dalam bentuk argumentasi baru.
Dari panduan penting untuk guru dalam merangsang berpikir kritis siswa dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan cara berpikir yang tidak biasa, menyampaikan fakta-fakta dan tidak mudah menerima pendapat orang lain. Memberikan siswa kesempatan untuk berpikir kritis dapat merangsang otak untuk menghsilkan hal baru, ide baru, dan memberikan siswa pengetahuan baru dari berbagai sudut pandang.
Cara untuk mendorong siswa berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting diketahui oleh guru. Menurut Ormrod (2009: 411-412) mendorong berkembangnya kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara, yaitu: Mengajarkan sedikit topik tapi mendalam, dorongan skeptisime intelektual, memberikan contoh tantangan berpikir kritis, memberikan siswa kesempatan berpikir kritis, memberikan pertanyaan-pertanyaan berpikir kritis, membantu siswa memahami bahwa pemikiran kritis sulit dilakukan namun bermanfaat, menanamkan keterampilan berpikir kritis dalam aktivitas yang berguna.
Siswa lebih menyukai topik dengan inti yang dapat diterima dengan mudah dibandingkan penyampaian materi yang luas dengan inti yang sulit dimengerti. Hal tersebut berhubungan dengan daya tangkap siswa dalam belajar. Dalam mendorong berpikir kritis guru mengarahkan siswa untuk belajar rasional. Belajar rasional menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan sesuai dengan akal sehat (Reber dalam Muhibbin Syah, 2010: 121). Untuk memperoleh aneka ragam kecakapan belajar, siswa diberikan prinsip dan konsep memahami sebuah topik. Topik yang menarik akan mendorong siswa berpikir rasional dalam memecahkan masalah.
Mendorong siswa mempertanyakan dan menentang berbagai ide akan memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai suatu topik secara mendalam. Mempertanyakan dan menentang ide akan membuat siswa untuk tidak berpikir ide yang dimiliki paling benar. Pengetahuan yang terus berkembang menuntut guru untuk mendorong siswa mengetahui bahwa hal yang dipelajari di bangku SMP akan berbeda dengan di perguruan tinggi.
Menyampaikan hasil analisis mengenai argumen persuasif dapat disampaikan oleh guru dengan suara keras. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pemahaman pada siswa bahwa yang guru sampaikan merupakan hal penting. Menyampaikan argumen dengan suara keras diharapkan memberikan pengertian pada siswa bahwa yang disampaikan oleh guru penting. Argumen yang disampaikan dengan suara keras akan membuat siswa tertarik untuk menganalisis hal yang disampaikan guru.
Melatih siswa berpikir kritis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kelemahan sebuah artikel, mengevaluasi kualitas dan kegunaan suatu temuan ilmiah, menggunakan bukti dan logika untuk mendukung pandangan mereka, dan lain sebagainya. Melalui sebuah argumentasi persuasif siswa dapat menyampaikan pendapat yang dimiliki untuk menyanggah pendapat penulis. Membiasakan untuk berpikir kritis akan mendorong siswa untuk tidak mudah percaya dengan sebuah argumentasi yang belum tentu kebenarannya.
Pertanyaan akan dapat mendorong siswa untuk mau berpikir lebih mendalam tentang suatu topik. Siswa akan mencoba mencari jawaban berdasarkan fakta melalui berbagai sudut pandang. Pertanyaan yang disampakan oleh guru harus menarik dan membuat siswa untuk lebih aktif. Melalui pertanyaan yang menarik akan membuat siswa untuk berusaha menjawab dengan pemikiran yang mendalam.
Meminta siswa mendebatkan isu kontroversional dari berbagai sudut pandang dan mempertahankan pendapat. Guru memberikan fasilitas kepada siswa untuk mendebatkan isu-isu kontroversional seperti isu tentang Candi Borobudur yang dianggap peninggalan agama lain. Dengan meminta untuk menyampaikan pendapat dan mempertahankan pendapat yang berbeda dari pandangan siswa akan memberikan stimulus untuk berpikir dua arah. Melalui latihan berpikir kritis dengan melihat isu dari berbagai sudut pandang dapat melatih siswa menerima pendapat orang lain.
Membuat siswa untuk memiliki kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang penting bagi guru. Berpikir kritis dapat digabungkan dengan kegiatan yang menarik agar bisa membantu siswa menghadapi aktivitas baru ketika dewasa. Kegiatan yang mendorong berpikir kritis disesuaikan dengan aktivitas siswa di sekolah. Guru dapat menanamkan nilai-nilai moral yang berguna ketika siswa terjun dalam masyarakat atau lembaga yang memerlukan suatu pemikiran kritis untuk mengadapi suatu permasalahan.
Mendorong kemampuan berpikir kritis berarti memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir lebih jauh dalam mnganalisis esebuah materi. Pertanyaan analisis akan memberikan stimulus pada siswa untuk belajar lebih mendalam mengenai topik. Berpikir kritis akan memposisikan siswa pada sudut pandang yang berbeda. Selain itu, untuk mendorong siswa berpikir kritis guru harus menyampaikan manfaat berpikir kritis. Berpikir kritis tidak hanya berguna saat berada di bangku sekolah tetapi juga berguna di dalam dunia kerja dan lingkungan masyarakat.
Hasil Belajar
Pada hakikatnya belajar adalah interaksi siswa dengan sumber belajar yang berupa guru, buku maupun lingkungan. Guru membimbing siswa dalam usaha menciptakan kondisi agar siswa mempunyai tujuan tertentu (Martoyo,1996:15). Belajar adalah perubahan perilaku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya (Hilgard, 1948:4). Dalam pengertian yang lebih maju, belajar itu diartikan suatu proses secara positif yang berlangsung di dalam subyek didik itu sendiri.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:7) belajar merupakan tindakan dan perilaku yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penetu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Menurut Wina Sanjaya (2006:108) mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal itu berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya, manusia akan selalu dihadapkan masalah atau tujuan yang ingin dicapaianya. Melalui kemampuan belajar, manusia akan dapat memecahkan setiap rintangan yang dihadapai sampai akhir hayatnya.
Menurut Slameto (2010:3)”Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan ringkah laku baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Setelah proses belajar berakhir, maka siswa memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran adalah hasil belajar. Hasil belajar digunakan untuk mengetahui sebatas mana siswa dapat memahami serta mengerti materi tersebut.
Menurut Hamalik (2004:31) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengetahuan-pengetahuan, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan ketrampilan. Hasil belajar merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat hasil yang telah dicapai siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat tentang teori-teori di atas, disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah suatu keberhasilan yang dapat dicapai siswa karena usaha belajar secara maksimal dengan hasil yang memuaskan. Prestasi belajar yang tinggi dapat dicapai siswa asalkan mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan memiliki kecerdasan normal.
Sementara Bloom mengungkapkan tiga ranah pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Beberapa pendapat tersebut di atas menyiratkan bahwa pada dasaranya siswa memiliki modal untuk belajar, sehingga siswa memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuan sendiri berdasarakan pengelaman dan interaksinya dengan lingkungannya.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Jhonson (dalam Isjoni, 2007: 17) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sebagai upaya mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok.
Model pembelajaran kooperatif adalah metode pembelajaran yang mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dalam kelompok kooperatif belajar diskusi, saling membantu dan mengajak teman satu sama lain untuk mengatasi msalah belajar. Pembelajaran kooperatif mengkondisikan siswa untuk aktif dan saling memberi dukungan dalam kerja kelompok untuk menuntaskan masalah dalam materi belajar. Menurut Ibrahim metode pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang membantu siswa mempelajari isi akademik dan hubungan sosial.
Metode pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarakan teori konstruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vygotsky, bahwa interaksi sosial dengan orang lain penting terlebih mempunyai pengetahuan yang lebih baik dan system cultural telah berkembang dengan baik.
Para ahli kontruktivisme, salah satunya Piaget, ketika siswa mencoba menyelesaikan pembelajaran di kelas, maka pengetahuan dikontruksi secara aktif. Belajar merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan, belajar pemecahan masalah. Berkenaan perbedaan individu, Board of Studies (1995) dalam Eman (2003) menyatakan bahwa siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kuantitatif dalam cara-cara yang berbeda.
Model pembelajaran tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajran kooperatif, dengan siswa dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
Pembelajaran dengan kooperatif jigsaw siswa secara individual dapat mengembangkan keahliannya dalam satu aspek dari materi yang sedang dipelajari serta menjelaskan konsep dan keahliannya itu pada kelompoknya. Setiap anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif jigsaw mempelajari materi yang berbeda dan bertanggung jawab untuk mempelajari bagiannya masing-masing. Pembelajaran dengan kooperatif jigsaw diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Pembelajaran kooperatif jigsaw menjadikan siswa termotivasi untuk belajar karena skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada tim didasarkan pada sistem skor perkembangkan individual, dan para siswa yang skor timnya meraih skor tertinggi akan menerima sertifikat atau bentuk- bentuk penghargaan, tim lainnya sehingga para siswa termotivasi untuk mempelajari materi dengan baik untuk bekerja keras dalam kelompok ahli mereka supaya mereka dapat membantu timnya melakukan tugas dengan baik (Slavin,2005:5)
METODE PENELITIAN
Setting Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelas dengan cara merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan memperbaiki kinerja guru agar hasil belajar siswa meningkat (Wijaya Kusumah & Dedi Dwitagama, 2012: 9).
Desain penelitian yang digunakan peneliti PTK Model Kurt Lewin menggambarkan penelitian tindakan sebagai langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) (Sarwiji Suwandi, 2013: 5). Setiap tindakan pada siklus penelitian akan dilakukan sesuai dengan desain penelitian. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mendelaporan Penelitian Tindakan Kelas kan data hasil evaluasi dan angket.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII B SMP Negeri 2 Sumowono, Kabupaten Semarang. PTK dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September sampai dengan November 2019.
Subjek dan Obyek Penelitian
Subjek penelitian ini yaitu siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Sumowono Tahun 2019/2020 dengan 30 siswa terdiri dari 19 laki-laki dan 11 siswa perempuan.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek (Eko Putro Widoyoko, 2012: 57). Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini yaitu evaluasi. Menurut Petty (Muhibbin Syah, 2004: 140) padanan kata evaluasi adalah assessment yang berarti mengukur keluasan dan kedalaman belajar, sedangkan evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar.
Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Analisis data digunakan untuk mengetahui objek kajian secara mendalam yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis siswa. Analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi deskriptif kompratif. Suharsini Arikunto (2006: 202) mengemukakan bahwa analisis deskriptif merupakan analisis yang berfungsi untuk menggambarkan variabel yang diteliti. Analisis deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk memaparkan hasil obeservasi pelaksanaaan pembelajaran IPS dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw baik sebelum diadakan penelitian, selama tindakan penelitian maupun setelah pelaksanaan tindakan penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kondisi Awal
Proses berpikir kritis siswa dapat dilihat melalui tanya-jawab di kelas. Kemampuan berpikir kritis meliputi pengetahuan untuk membuat serangkaian pertanyaan kritis yang saling berkaitan, serta kemampuan dan kemauan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pada saat yang tepat (Browine & Keeley, 2012: 4). Melalui materi yang menarik siswa akan tertarik untuk menyampaikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan guru dengan kritis. Secara langsung guru dapat mengukur kemampuan siswa tanpa harus memberikan ujian secara tertulis.
Pada saat proses pembelajaran, siswa tidak tertarik untuk mendengarkan penjelasan guru dan enggan mengajukan pertanyaan. Pada proses pembelajaran di dalam kelas, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Guru mendominasi proses pembelajaran, dari menyampaikan materi pembelajaran, memberikan contoh, cara menyelesaikan soal dan menjawab sendiri soal-soal yang diberikan oleh guru sebagai latihan. Guru belum menerapkan model-model pembelajaran yang saat ini dilakukan di tempat lain. Pembelajaran yang dilakukan guru hanya menerapkan pembelajaran langsung. Siswa belum pernah malakukan pembelajaran kooperatif, yaitu pembelajaran yang menitik beratkan kerjasama antara siswa dalam satu kelompok.
Proses pembelajaran yang dilakukan guru pada umumnya masih mengandalkan ceramah dalam menyampaikan materi pembelajaran sehingga hanya membuat siswa menjadi pendengar dan pencatat saja. Guru berbicara, siswa mendengarkan, mencatat materi pembelajaran sehingga hanya membuat siswa menjadi pendengar dan pencatat saja. Guru berbicara, siswa mendengarkan, mencatat materi pembelajaran, penyelesaian soal-soal dan jawaban dari maslah yang diberikan guru. Guru belum melibatkan siswa dalam proses pembelajaran baik secara individual, kelompok maupun klasikal. Model pembelajaran yang dilakukan oleh guru diduga merupakan salah satu faktor penyebab siswa tidak ada yang bertanya kepada guru bila mengalami kesulitan atau siswa malu mendapat ejekan dari teman-temannya.
Rendahnya siswa berpikir kritis pada siswa-siswi di SMP Negeri 2 Sumowono ini diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya hasil belajar siswa baik pada ulangan harian maupun pada ulangan-ulangan yang lain. Pada kelas VII B kelas yang dilakukan penelitian, guru melakukan pembelajaran kooperatif, guru memberikan ulangan harian kepada siswa, materi interaksi sosial dan lembaga sosial.
Deskripsi Hasil Siklus I
Dalam penelitian ini prosedur yang digunakan adalah prosedur PTK. Prosedur PTK yang digunakan yaitu mengamati kondisi siswa pada setiap pertemuan yang terbagi ke dalam dua siklus. Setiap siklus dalam prosedur PTK ini meliputi planning, acting, observing, dan reflecting.
Pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah dipersiapkan. Kegiatan dalam pembelajaran terdiri dari tiga yaitu awal, inti, dan akhir. Hasil pengamatan dari kolaborator pada saat memperhatikan proses pembelajaran dengan model jigsaw, menunjukkan lebih banyak siswa bertanya kepada teman yang dipandang mampu mengerjakan soal.
Pada setiap kelompok ahli terdapat sedikitnya satu siswa bertanya kepada temanya. Kemampuan berpikir kritis pada siklus pertama jika dibandingkan dengan pra siklus, dapat dinyatakan dalam prosentase sebagai berikut: pada pra siklus siswa yang bertanya pada 4 kali 40 menit atau 2 kali proses pembelajaran tatap muka, hanya 3 orang siswa yang berani mengajukan pertanyaan, sedangkan pada pra siklus, kolaborator mencatat terdapat 8 siswa yang bertanya kepada temannya bagaimana cara menyelesaikan soal atau masalah. Sehingga dengan pembelajaran model kelompok ahli atau jigsaw meningkat dari 11,54% menjadi 19,23% atau mengalami peningkatan berpikir kritis sebanyak 7,69%.
Setelah siklus 1 berakhir yaitu pembelajaran model jigsaw selama 2 kali 40 menit dilaksanakan, maka guru memberikan soal ulangan harian. Hasil belajar siswa mengelami kenaikan dari rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 46,30 pada akhir siklus 1 menjadi 58,07
Refleksi yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran siklus I terdapat beberapa catatan yang menjadi sumber refleksi. Data refleksi dilihat dari hasil evalusi, kelebihan dan kekurangan metode ceramah dan diskusi untuk meningkatkan berpikir kritis siswa, wawancara, dan angket.
Hasil pembelajaran model jigsaw selama 2 kali 40 menit dilaksanakan, siswa mengalami kenaikan dari rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 46,30 pada akhir siklus 1 menjadi 58,07
Tabel 6. Perbandingan Hasil Belajar Siswa Siklus 1 Dengan Prasiklus
No | Kondisi Awal | Ulangan Harian Siklus 1 |
1.
2. 3. 4. |
Nilai Terendah 35
Nilai Tertinggi 70 Rata-rata 51,16 Rentang nilai 48 |
55
80 58,07 40 |
Dari data di atas diketahui bahwa setelah guru melakukan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kooperatif model jigsaw, hasil belajar siswa yang diperoleh dari nilaiulangan harian siswa meningkat baik nilai terendah, nilai tertinggi maupun rata-rata kelas. Peningkatan rata-rata kelas dari prasiklus sebesar 46,30 pada siklus 1 menjadi 58,07 atau naiksebesar 26,8%
Deskripsi Hasil Siklus II
Pelaksanan siklus II untuk penyampaian materi dan evaluasi. Materi yang akan disampaikan kelas VII adalah lembaga sosial. Tindakan guru pada siklus 2 adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran yang telah direncanakan pada RPP. Siswa dan guru membahas macam-macam lembaga sosial pada.
Hasil pengamatan siklus 2 yaitu proses pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kooperatif model jigsaw dilanjutkan presentasi yaitu kelompok yang telah menyelesaikan diskusinya, maju didepan kelas untuk menyampaikan hasil diskusi kelompoknya. Guru memberikan ulangan harian dengan materi lembaga sosial dan pemecahan masalahnya. Tindakan guru pada proses pembelajaran dengan pendekatan kooperatif model jigsaw dilanjutkan dengan presentasi. Presentasi dilakukan oleh kelompok yang telah menyelesaikan hasil diskusi lebih awal. Pada pertemuan minggu berikutnya guru melakukan uji kompetensi dengan memberikan ulangan harian. Hasil ulangan harian setelah tindakan guru pada siklus 2, rata-rata hasil ulangan harian kelas VIIB menjadi 60,37. Artinya terjadi kenaikan rata-rata kelas dari siklus sebelumya yakni siklus 1.
Hasil ulangan harian siswa kelas VIIB dapat dinyatakan dengan tabel berikut:
Tabel 7 Hasil Belajar Siswa Pada Siklus 2
No | Uraian | Ulangan Siklus 2 | Keterangan |
1.
2. 3. 4. |
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi Rata-rata Rentang Nilai |
70
90 76,05 20 |
Nilai rata-rata ulangan harian siswa meningkat
dan memenuhi indikator kinerja |
Hasil Reflecting pertemuan yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran pada siklus II terdapat beberapa catatan yang menjadi sumber reflecting.
Pembahasan
Berdasarkan hasil PTK penggunaan kegiatan berpikir kritis dalam pelajaran IPS menunjukkan bahwa berpikir kritis memiliki efektivitas yang baik terhadap kemampuan siswa.
Hasil observasi siswa diketahui bahwa ada peningkatan yang terjadi dari masing-masing siklus. Hal tersebut dapat dilihat dari mengajukan pertanyaan yang dilakukan siswa pada siklus I semua siswa belum dapat melakukan dengan alasan takut salah. Selain merasa takut mengajukan pertanyaan siswa tidak terbiasa bertanya pada saat proses pembelajaran sehingga anggapan bahwa mengajukan pertanyaan itu sulit sudah tertanam dalam diri siswa. Pada siklus II untuk memancing pertanyaan dari siswa peneliti megajarkan pada siswa untuk menyampaikan pertanyaan dalam bentuk tulisan. Pertanyaan dari siswa disampaikan kepada peneliti, dijawab dan dibahas bersama. Peneliti melihat isi dari pertanyaan siswa apakah mengandung unsur berpikir kritis atau tidak.
Dalam mengidentifikasi masalah pada siklus I tidak berjalan lancar karena siswa belum tahu cara mengidentifikasi masalah. Pada siklus I mengidentifikasi masalah dilakukan dengan bantuan peneliti karena siswa cenderung diam saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Pada siklus II mengidentifikasi masalah dilakukan melalui menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa. Materi sejarah dikemas oleh peneliti dalam bentuk sederhana dengan mengubungkan pada kenyatan yang dihadapi siswa di luar maupun di dalam sekolah. Mengidentifikasi masalah pada akhir siklus mendapatkan hasil yang cukup memuaskan karena siswa dapat mengidentifikasi masalah dalam materi. Selain mengidentifikasi masalah siswa juga dapat menilai fakta. Pada siklus I menilai fakta belum dapat dilakukan karena siswa belum paham maksud serta tujuan dari fakta. Pada siklus II menilai fakta dilakukan siswa dengan cara membandingkan materi dari isi buku yang berbeda-beda. Sebelum dapat menilai fakta peneliti menyampaikan terlebih dahulu maksud dari fakta dan memberikan contoh cara menemukan fakta pada materi. Setelah siswa paham maksud dari fakta, peneliti memberikan contoh cara menilai fakta. Siswa diberikan tugas oleh peneliti untuk membaca seluruh materi dan dilanjutkan dengan mencari fakta dalam buku, fakta yang ada diberika komentar atau dinilai baik dan buruknya. Menilai fakta dilakukan untuk menegtahui kebenaran dari sebuah materi, siswa yang tidak tahu tentang fakta dalam materi akan cenderung mudah percaya dan tidak mau mempelajari materi secara mendalam. Setelah menilai fakta muncul berbagai pendapat dari siswa yang menambah pengetahuan serta dapat mendalami materi.
Setelah menilai fakta aspek selanjutnya dalam berpikir kritis adalah menganalisis asumsi. Pada siklus I menganalisis asumsi belum dapat dilakukan karena siswa belum belum mengetahui maksud dari asumsi. Asumsi dijelaskan oleh peneliti pada siklus II sebelum pembelajaran bertujuan untuk memberikan siswa pengertian tentang asumsi. Menganalisis asumsi dilakukan peneliti dengan menilai fakta sehingga siswa dapat membandingkan antara fakta dengan asumsi. Pada siklus II siswa dapat melakukan analisis asumsi dengan bantuan penelitian. Peneliti mengarahkan siswa untuk fokus pada asumsi yang terdapat pada materi sehingga memudahkan siswa untuk melakukan analisis. Setelah melakukan analisis pada asumsi aspek berpikir kritis yang harus dicapai siswa adalah melakukan penalaran pada siklus I melakukan penalaran tidak berjalan karena siswa belum terbiasa melakukan kegiatan penalaran sebelumnya. Penalaran menjadi sulit dilakukan oleh karena kebiasaan siswa yang terbiasa mendengarkan saat proses pembelajaran sehingga sulit untuk menyampaikan pendapat dalam penalaran. Pada siklus II melakukan penalaran berjalan dengan cara siswa menanggapi permasalahan yang ada di masyarakat. Penalaran pada permasalahan yang ada di masyarakat menjadi sumber belajar siswa karena dapat membantu siswa melakukan penalaran pada massalah yang ada. Apabila siswa dapat menanggapi permasalaha di masyarakat maka permasalahan yang dihadapi saat belajar akan dapat diatasi sendiri.
Melalui kegiatan penalaran maka muncul tanya jawab yang mengkondisikan siswa untuk diskusi. Diskusi merupakan hal yang masih sulit dilakukan oleh siswa kelas VIIB di SMP Negeri 2 Sumowono karena siswa belum terbiasa mengajukan maupun menjawab pertanyaan. Pada siklus I seluruh siswa diam dan terlihat takut untuk melakukan diskusi. Peneliti memberikan stimulus berupa pertanyaan analisis dan siswa belum menunjukkan keinginan untuk menjawab. Pada siklus II peneliti memberikan topik yang sederhana dalam diskusi serta dikemas dalam bentuk tanya jawab. Pada siklus II diskusi dilakukan dengan menggunakan unsur berpikir kritis karena siswa mampu memberikan jawaban yang cukup baik pada diskusi di siklus II.,memberikan jawaban dan pertanyaan berpikir kritis tetapi ada 2 siswa yang masih ikut-ikutan dan tidak menunjukkan antusias pada diskusi.
Berdasarkan ringkasan hasil observasi dari siklus I sampai II dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan berpikir kritis siswa. Pada awalnya siswa yang cenderung diam dan takut mulai terbiasa dengan membaca dan menulis serta dapat mengikuti pembelajaran dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Peningkatan dari setiap siklus terjadi karena adanya revisi yang dilakukan oleh peneliti pada setiap siklus untuk memperbaiki siklus berikutnya sehingga peningkatan diperoleh dengan baik. Peningkatan di setiap siklus pada pembelajaran juga didukung oleh hasil wawancara bersama siswa yang memiliki hubungan dengan hasil observasi peneliti.
Hasil wawancara antara peneliti dengan siswa dapat didelaporan Penelitian Tindakan Kelas kan berdasarkan setiap aspek. Mengajukan pertanyaan belum dapat dilakukan oleh seluruh siswa karena malu dan takut untuk bertanya pada guru. Kebiasaan siswa yang hanya mendengar saat pembelajaran menjadikan siswa kesulitan dalam menyusun kata-kata dalam bertanya. Pada siklus II seluruh siswa dapat menyampaikan pertanyaan dengan cara di tulis. Menurut siswa dengan menuliskan pertanyaan membantu untuk membuat pertanyaan walaupun tidak secara langsung disampaikan. Melalui latihan menyampaikan pertanyaan diharapkan siswa terbiasa untuk menuliskan hal yang belum diketahui saat pembelajaran.. Penyampaian pertanyaan secara lisan yang dilakukan oleh siswa, diantaranya mengandung unsur berpikir kritis. Pertanyaan yang muncul dari siswa diawali dengan kata tanya mengapa dan bagaimana sebagai bentuk permintaan penjelasan terhadap materi yang tidak hanya mengukur kemampuan.
Sama halnya dengan mengajukan pertanyaan, kegiatan identifikasi masalah pada siklus I belum dapat dilakukan. Mengidentifikasi masalah menjadi sulit dilakukan oleh siswa karena siswa belum tahu masalah yang ada dalam materi dan tidak tahu cara melakukan identifikasi masalah. Pada siklus II, siswa beranggapan bahwa mengidentifikasi masalah membantu dalam memecahkan kesulitan dalam belajar. Dalam proses pembelajaran sering kali siswa tidak paham terhadap beberapa istilah yang ada dalam buku, sehingga mengidentifikasi masalah membantu siswa menilai lebih mendalam isi materi.
Menilai fakta dilakukan peneliti untuk melanjutkan kegiatan mengidentifikasi masalah. Pada siklus I, menilai fakta tidak dapat terlaksana karena pemahaman siswa tentang fakta belum ada. Siswa terbiasa menerima materi apa adanya sehingga tidak dapat membedakan fakta dengan asumsi. Kebiasaan menyalin buku yang dilakukan oleh siswa berpengaruh pada kemampuan siswa dalam menilai fakta, ada atau tidaknya fakta dalam materi tidak dapat dinilai oleh siswa. Melalui kegiatan membaca membantu siswa menemukan fakta dalam materi, dengan menulis membantu siswa memberikan tanggapan terhadap isi buku. Menilai fakta melalui membaca dan menulis memberikan pengetahuan tambahan terhadap siswa karena dapat memahami kata demi kata dalam buku dan dapat menemukan fakta. Fakta ditemukan siswa melalui membaca kemudian dituliskan dan diberikan tanggapan. Tanggapan yang muncul dari siswa dijadikan sebuah patokan dalam menilai fakta, terdapat pro dan kontra dari siswa yang menjadikan penilaian fakta lebih mendalam. Menilai fakta belum dapat diterima oleh seluruh siswa, 2 siswa yang tidak mengomentari fakta cenderung diam dan hanya menuliskan di dalam buku.
Menganalisis asumsi atau bias belum dapat dilakukan dalam siklus I karena siswa belum paham maksud dan cara melakukan. Siswa tidak tahu maksud asumsi karena guru belum terbiasa memberikan siswa kesempatan untuk melakukan analisis pada materi. Kegiatan membaca dan menulis yang baru dimulai pada siklus I belum memberikan dampak yang signifikan karena siswa belum mengetahui maksud dan tujuan dari membaca dan menulis. Siklus II diawali peneliti dengan menjelaskan maksud dari asumsi atau bias sehingga siswa dapat melakukan analisis pada materi untuk menemukan asumsi. Pada siklus II, 5 siswa memiliki pengetahuan yang baru tentang asumsi. Siswa dapat menganalisis asumsi dengan bahasa sendiri. Fakta yang ditemukan di dalam materi digunakan sebagai pertimbangan dalam menganalisis asumsi. Asumsi sering menjebak siswa dalam melakukan analisis pada fakta karena siswa cenderung mudah percaya dan malas melakukan analisis lebih lanjut terhadap asumsi. Tidak semua siswa mengetahui cara melakukan analisis asumsi, 3 siswa beranggapan bahwa menganalisis asumsi sulit dilakukan. Menganalisis asumsi dianggap sulit dilakukan karena siswa belum paham megenai fakta sehingga tidak dapat membedakan bentuk fakta dan asumsi. Menganalisis asumsi berdasarkan fakta dapat dilakukan oleh siswa di dalam sedangkan 2 siswa melakukan analisis dengan bahasa sendiri berdasarkan kenyataan yang dihadapi di lingkungan sekolah dan masyarakat. Analisis berdasarkan fakta dilakukan siswa karena fakta yang ada cukup membantu dalam melakukan analisis asumsi sedangkan 2 siswa yang melakukan analisis dengan bahasa sendiri terlihat bahwa kemampuan analisis yang dimiliki sudah ada sejak lama. Menganalisis asumsi berdasarkan fakta yang ada di dalam buku memiliki kelemahan yaitu fakta yang ditemukan apabila belum teruji kepastiannya dapat menjerumuskan siswa pada kebiasaan menerima materi apa adanya. Analisis asumsi berdasarkan bahasa sendiri membuktikan bahwa siswa memiliki tanggapan dan pengetahuan yang luas tentang banyak hal termasuk isu baru di dalam masyarakat.
Penalaran dalam pembelajaran di siklus I belum berjalan karena banyak faktor. Faktor yang paling menonjol adalah siswa belum mengetahui maksud dan tujuan dari melakukan penalaran. Kebiasaan siswa yang hanya mendengarkan dalam pembelajaran menghambat cara berpikir siswa untuk lebih kreatif. Siswa belum mampu melakukan penalaran ditunjukan dengan jawaban siswa yang singkat dan mencari di buku ketika ada pertanyaan dari peneliti. Siswa belum percaya diri untuk menjawab pertanyaan peneliti dengan jawaban analisis. Pada siklus II cara melakukan penalaran lebih ditekankan oleh peneliti dalam proses pembelajaran. Penalaran di dalam siklus II bertujuan untuk membantu memecahkan masalah-masalah yang siswa hadapi di rumah atau sekolah. Siswa beranggapan bahwa agama Buddha sering kali dianggap remeh di dalam masyarakat namun dalam proses pembelajaran di siklus II siswa menemukan bahwa banyak masalah. Penalaran yang dilakukan siswa melalui cara sederhana yaitu dengan membahas satu topik hangat kemudian dibahass dan di kembangkan menjadi suatu pengetahuan baru. Penalaran tentang isu dalam masyarakat dilakukan oleh 5 siswa dalam siklus II dan 3 siswa lainnya masih terlihat diam dan belum mengikuti penalaran yang dilakukan dalam pembelajaran. Kegiatan penalaran dalam siklus II dilakukan oleh seluruh siswa. Penalaran lebih kepada menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari materi lembaga sosial. Mendiskusikan masalah menjadi hal yang sulit dilakukan oleh siswa dalam siklus I. Jawaban yang sama disampaikan oleh seluruh siswa banhwa diskusi sulit dilakukan karena beberapa alasan seperti belum paham dengan materi, malu dan takut, sulit membuat pertanyaan dan takut salah dalam menjawab. Pada siklus I mendiskusikan masalah menjadi sulit dilakukan karena kebiasaan tanya jawab belum dilakukan oleh siswa IPS kelas VII. Kesulitan dalam mendiskusikan masalah terlihat dari pola kebiasaan siswa dalam menjawab pertanyaan peneliti seperti ya atau tidak tanpa memberikan alasan. Pada siklus II, kebiasaan untuk melakukan diskusi sudah mulai ditekankan peneliti yang mana 6 siswa setuju dengan diskusi yang dilakukan di dalam proses pembelajaran. Diskusi yang dilakukan pada siklus II mendapat respon positif dari siswa karena topik yang dipilih peneliti sederhana dan dekat dengan kebiasaan siswa. Berdasarkan hasil diskusi, 2 siswa belum dapat mengikuti diskusi karena siswa belum percaya diri untuk menjawab dan bertanya kepada teman. Diskusi berjalan lancar karena siswa yang sebelumnya kurang percaya diri diberikan motivasi oleh peneliti untuk mengikuti diskusi. Berdasarkan hasil pembelajaran model jigsaw 6 kelompok beranggapan bahwa diskusi merupakan sebuah sarana untuk membuat belajar secara bersama-sama. Munculnya pertanyaan yang sulit dalam proses pembelajaran merupakan cara untuk membuat siswa berpikir kritis dan aktif.
Kesimpulan dari hasil pembelajaran model jigsaw yang dilakukan peneliti dengan siswa untuk mengukur kemampuan berpikir kritis adalah bahwa kemampuan yang dimiliki siswa harus terus dilatih melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan. Proses belajar pada siklus I, dan II mendapat peningkatan dalam berpikir kritis siswa karena setiap siklus diadakan revisi oleh peneliti yang membantu kegiatan belajar di siklus berikutnya. Kemampuan berpikir kritis yang sudah ada di dalam diri siswa dapat dikembangkan dan dijadikan bekal untuk mempelajari materi lain. Kegiatan membaca dan menulis tidak hanya menambah kemampuan berpikir kritis siswa tetapi membuat siswa menjadi terbiasa serta mendapatkan manfaat.
Hasil angket siswa pada siklus I mendapatkan hasil bahwa pertanyaan sulit yang disampaikan peneliti pada saat proses pembelajaran dapat menambah pengetahuan. Pertanyaan seperti sebutkan atau apa dalam evaluasi hanya dapat mengukur hafalan siswa. Pertanyaan sebutkan atau apa sering di sampaikan oleh guru IPS sehingga pengetahuan siswa tidak bertambah. Pertanyaan yang mengukur hafalan mengakibatkan siswa malas untuk mencari jawaban analisis karena jawaban sudah ada di buku. Kebiasaan siswa yang menjawab pertanyaan sama dengan isi buku terlihat sejak awal pembelajaran. Pertanyaan sulit yang disampaikan peneliti memicu siswa untuk dapat berpikir lebih kritis. Dalam siklus II siswa merasa tertantang dengan pertanyaan yang sulit dari peneliti. Pertanyaan sulit tidak hanya membantu siswa berpikir kritis namun memicu siswa untuk belajar menghubungkan kenyataan dengan materi pembelajaran. Di dalam siklus II pertanyaan yang sulit memberikan dampak positif karena siswa yang malas menjadi harus membaca. Membaca dianggap sebagai cara tepat untuk mendapatkan informasi sehingga pertanyaan sulit dapat terjawab berdasarkan analisis mendalam.
Analisis materi pada siklus I belum dapat dilakukan. Analisis menjadi hal yang sulit dan tidak disetujui karena kebiasaan siswa untuk menghafal. Materi yang tanpa menggunakan analisis lebih mudah diterima oleh siswa untuk dihafalkan. Analisis membuat siswa merasa kesulitan dan tidak dapat mengikuti pembelajara. Selain materi yang sulit peneliti kurang jelas dalam menyampaikan analisis sehingga siswa kesulitan. Pada siklus I, peneliti dalam memberikan contoh dan pembahasan materi menggunakan bahasa yang berat sehingga tidak dapat diterima oleh siswa. Pada siklus II analisis materi dilakukan peneliti dengan bahasa yang lebih ringan serta pembahassan materi yang sederhana. Analisis materi dengan melihat berbagai sudut pandang mampu membuat materi lebih jelas untuk diterima oleh siswa. Pembahasan materi yang tidak terlalu banyak memudahkan peneliti untuk melakukan pembahassan lebih mendalam sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik dan jelas. Siklus III diawali peneliti dengan membahas masalah yang dekat dengan siswa. Isu-isu yang berkembang di masyarakat menjadi bekal bagi peneliti untuk menyampaikan materi dalam pembelajaran.
Mencari informasi yang lebih dilakukan siswa dengan cara dan kebiasaan masing-masing. Dalam siklus I mencari informasi tidak diminati oleh siswa karena banyak alasan antar lain, siswa cenderung malas membaca, siswa terbiasa mendengarkan, dan materi dianggap mudah. Mencari informasi tidak biasa dilakukan karena siswa tidak memiliki pengetahuan dan cara bagaimana menambah informasi. Mencari informasi melalui internet juga tidak dilakukan karena siswa tidak terbiasa mengakses internet. Pada siklus II mencari informasi yang lebih dilakukan peneliti dengan menyajikan materi dari berbagai sumber artikle di internet, buku sejarah, serta buku IPS. Peneliti mengarahkan siswa untuk menggunakan banyak buku bertujuan untuk memberikan banyak informasi bagi siswa dan membiasakan untuk selalu membaca. Siswa membawa materi dengan topik yang sama berdasarkan temuan dari buku atau internet yang dapat mendukung pembelajaran. Peneliti melibatkan siswa dalam penyajian materi bertujuan untuk membuat siswa aktif dalam belajar serta menggunakan teknologi informasi yang sudah tersedia.
Pada siklus I, kegiatan membaca dan ceramah dalam proses pembelajaran tidak disetujui oleh sebagian siswa karena berbagai faktor. Salah satu faktor yang membuat siswa tidak menyukai membaca adalah kebiasaan siswa yang selalu mendengar dalam proses pembelajaran. Menurut siswa membaca dan ceramah juga perlu dilakukan dalam proses pembelajaran karena membantu memahami materi dengan cepat. Siswa beranggapan bahwa kegemaran membaca yang sudah dimiliki belum dapat tersalurkan dalam proses pembelajaran sebelum penelitian berlangsung. Siswa yang sering ditinggal keluar kelas oleh guru lebih sering menyalin materi dari buku sehingga catatan memiliki kesamaan antarsiswa. Melalui membaca antara satu siswa dengan yang lain memiliki catatan yang berbeda sehingga membantu dalam belajar di rumah. Pada siklus II membaca menjadi kegiatan untuk menambah pengetahuan dan melatih menemukan informasi. Siswa tidak hanya mendapatkan informasi dari guru tetapi dapat menemukan sendiri informasi dari membaca. Pada siklus II siswa mengikuti proses pembelajaran di kelas dengan aktif karena siswa terlibat dalam menemukan informasi.
Kemampuan berpikir kritis siswa, berdampak baik pada hasil evaluasi siswa. Evaluasi siswa dari siklus I sampai siklus II dilihat dari 4 poin yaitu, pertanyaan, jawaban, analisis, dan bahasa yang dikemas dalam bentuk diskusi sebagai evaluasi dalam bentuk lisan. Rata-rata hasil evaluasi siswa dari siklus I, dan siklus II adalah sebagai berikut:
Tabel 11 Perbandingan Hasil Belajar Siswa Antar Siklus
No | Kondisi Awal | Siklus 1 | Siklus 2 | Refleksi |
1.
2 3. 4 |
Nilai Terendah = 35
Nilai Tertinggi = 70 Rentang Nilai = 46,30 Rata-rata = 58 |
55
80 40 58,07 |
70
90 30 76,05 |
Dari prasiklus ke siklus 1 ke 2 mengalami kenaikan |
Pertanyaan yang disampaikan siswa dinilai peneliti dengan skor maksimal 25. Pertanyaan yang muncul dari siswa dilihat sudah atau belum mengandung unsur berpikir kritis. Pertanyaan yang masih mengukur kemampuan dinilai lebih rendah dibandingkan pertanyaan yang mengandung unsur berpikir kritis seperti mengapa, jelaskan, bagaimana, apa hubungannya, dan apa penting. Evaluasi yang dilakukan dalam tiga siklus mendapatkan hasil yang terus meningkat. Jawaban dinilai oleh peneliti melalui beberapa aspek seperti bentuk analisis, bagaimana menyampaikan fakta, menyampaikan pendapat dan gagasan, serta jawaban tepat atau tidak. Jawaban yang disampaikan oleh siswa pada siklus I, kurang mendalam sehingga peneliti menambah pembahasan lebih mendalam. Jawaban yang muncul dari siswa pada siklus II sudah mengandung unsur berpikir kritis sehingga pengetahuan yang didapat oleh siswa lebih banyak. Analisis dinilai karena dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti menekankan kepada kemapuan menganalisis materi yang merupakan bagian dari aspek berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dimulai dari cara siswa menganalisis materi atau pertanyaan yang disampaikan peneliti. Pada siklus awal siswa terlihat kesulitan dalam melakukan analisis sehingga dilakukan dengan sederhana. Pada siklus II danalisis pada materi disampaikan peneliti dalam bentuk yang lebih ringan dan mendalam disertai contoh yang dekat dengan siswa. Hasil evaluasi siswa yang semakin meningkat dari setiap siklus membuktikan bahwa analisis materi dapat diterima siswa dengan baik. Selain analisis materi, Bahasa menjadi salah satu yang dinilai oleh peneliti dalam evaluasi karena penggunaan bahasa penting dalam menyampaikan pertanyaan, jawaban, maupun pendapat. Siswa yang menyepelekan pertanyaan dari peneliti terlihat gugup dalam menjawab sehingga bahasa yang digunakan masih meniru gaya teman. Bahasa dalam evaluasi siswa dinilai dari kesopanan, kejelasan, ketepatan, dan pemilihan kata.
Hasil Tindakan
- Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model jigsaw, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam belajar IPS materi Interaksi Sosial bagi siswa kelas VII B semester satu SMP Negeri 2 Sumowono tahun pelajaran 2019/2020 yang pada kondisi awal mempunyai keberanian berpikir kritis saat belajar IPS rendah pada kondisi akhir menjadi tinggi.
- Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model jigsaw, dapat meningkatkan hasil belajar bagi siswa kelas VIIB semester satu SMP Negeri 2 Sumowono tahun pelajaran 2019/2020.
- Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model jigsaw, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar siswa kelas VIIB semester satu SMP Negeri 2 Sumowono tahun pelajaran 2019/2020.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswea meningkat. Pada prasiklus rata-rata kelas 58 sedikit meningkat pada siklus 1 menjadi 58.07 dan meningkat lagi pada siklus 2 menjadi 76,05. Kekritisan siswapun meningkat yaitu keberanian berpikir kritis saat belajar IPS rendah pada kondisi akhir menjadi tinggi.
Saran
Bagi Guru
- Guru diharapkan mampu menggunakan dan mengembangkan metode pembelajaran dengan maksimal agar siswa tidak hanya mendengarkan tetapi mampu menyampaikan ide-ide melalui tulisan atau bacaan.
- Guru diharapkan mampu mengajak siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga bibit kreatif siswa dapat tersalurkan.
- Guru diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan cara berpikir agar lebih kritis.
Bagi Siswa
- Siswa diharapkan dapat lebih berani dalam menuliskan atau membaca materi dari berbagai sumber.
- Siswa diharapkan mau terlibat aktif dalam proses pembelajaran di kelas khususnya dalam melatih berpikir kritis.
Bagi Sekolah
- Meningkatkan kualitas guru di sekolah untuk menjadi guru yang profesional.
- Meningkatkan prestasi guru di sekolah
Bagi Peneliti selanjutnya
- Peneliti lain dapat menerapkan pembelajaran yang sejenis dengan subjek penelitian dalam jenjang pendidikan yang berbeda.
- Peneliti lain dapat memilih waktu yang tepat dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Ade, O. Arisma. 2012. Peningkatan Minat dan Kemampuan Membaca Melalui Penerapan Program Jam Baca Sekolah di Kelas VIII SMP 1 Puri. Malang: Universitas Negeri Malang.
Browine, M., Neil & Keeley, Stuartm. Tanpa tahun. Pemikiran Kritis. Terjemahan oleh Brian Reza Daffi. 2012. Jakarta: Indeks.
Chaplin, J., P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. 2005. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Dendy Sugono. 2008. Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Eko Putro Widoyoko. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Farida Rahim. 2009. Pembelajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Gultom, Syawal. 2012. Modul Bahasa Indonesia Keterampilan Membaca. Jakarta: Pusat pengembangan Profesi Pendidik.
Kompas. 28 Januari 2015. LPTK Belum Menjadi Pusat Inovasi Guru, hal. 11.
Lasa Hs. 2009. Peran Perpustakaan dan Penulis dalam Meningkatkan Minat Baca Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muhibbin Syah. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyono Abdurrahman. 2010. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurhayati Pandawa. 2009. Pembelajaran Membaca. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Ormrod, Jeanne Ellis. Tanpa tahun. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid 1. Terjemahan oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk. 2009. Jakarta: Erlangga.
Ravris, Carol & Carole, Wade. 2007. Psikologi jilid 1. Terjemahan oleh Bebedictine Widya Sinta dan Ign., Darma Juwono. 2007. Jakarta: Erlangga.
Rohmatul Jannah. 2011. Hubungan Kemampuan Membaca Kritis dengan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Siswa Kelas IV SD N Pluit 05 Pagi Jakarta Utara. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Rully Khusna Hikmawati. 2013. Keefektifan Strategi Pembelajaran TTW (Think Talk Write) Berbantuan LKDP Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas X. Semarang: Universitas Negeri Semarang.