UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING

PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI PABELAN 01

KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG

TAHUN PELAJARAN 2013/2014

 

Siti Rahayu

SD Negeri Pabelan 01Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang

 

ABSTRAK

Tujuan Penelitian adalah mengetahui peningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa dalam pembelajaran yang menggunakan model Discovery Learning, Mengetahui proses pembelajaran dengan Discovery Learning dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa, Mengetahui respon dan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning dan memenuhi salah satu syarat kenaikan pangkat dalam jabatan fungsional guru. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar yang berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. PTK merupakan suatu tindakan yang bersifat reflektif oleh para pelaku tindakan, dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional mengenai tindakan mereka dalam bertugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta memperbaiki kondisi di mana praktik pembelajaran dilaksanakan. Subjek yang akan diteliti adalah anak kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian dan deskripsi data yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa. Hal ini ditunjukkan bahwa selama proses pembelajaran dengan model Discovery Learning lebih optimal dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa, dengan rata-rata skor kemampuan representasi matematik siswa pada akhir siklus I sebesar 68,6 dan meningkat pada siklus II menjadi 83,5. Pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning juga dapat meningkatkan aktivitas siswa serta mendapatkan respon yang positif dari siswa. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 15,7%, dimana pada siklus I rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 70,8% dan meningkat pada siklus II menjadi 86,5%. Respon positif dari siswa dapat ditunjukkan dari peningkatan respon positif jurnal harian yaitu dari 71,2% pada siklus I menjadi 84,7% pada siklus II.

Kata Kunci: Soal Cerita Matematika, Model Discovery Learning

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran yang mempunyai peranan penting yang diajarkan sejak sekolah dasar, hal ini bertujuan untuk membangun pengetahuan awal siswa terhadap matematika. Tujuan pendidikan di sekolah dasar dimaksudkan sebagai proses pengembangan kemampuan yang paling mendasar bagi setiap siswa, dimana setiap siswa dapat belajar secara aktif karena adanya suasana kondusif, yaitu suasana yang memberikan kemudahan bagi perkembangan diri secara optimal.

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika dibidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika sejak dini.

Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan pemahaman konsep. Sistem pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah harus memperhatikan agar konsep dapat tertanam dengan baik kepada siswa (Auliya Rahman Akmil, 2012:24).

Dewasa ini, yang terlihat bahwa sebagian besar pola pembelajaran di Indonesia masih bersifat transmisif, guru mentransfer konsep-konsep secara langsung pada peserta didik. Soejadi menyatakan bahwa dalam kurikulum sekolah di Indonesia terutama pada mata pelajaran eksak (matematika, fisika, kimia) dan dalam pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan urutan sajian pembelajaran (Trianto, 2013:20). Selain itu, cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih bersifat teacher center. Metode pembelajaran yang sering digunakan guru adalah metode ceramah. Proses pembelajaran metode ini lebih terkesan monoton dan kurang variatif sehingga mengakibatkan siswa bosan. Pada metode ceramah ini guru lah yang aktif, sehingga siswanya hanya diam mendengarkan saja.

Pembelajaran matematika di sekolah, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, model, metode, dan teknik yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental fisik, maupun sosial. Dalam pembelajaran matematika siswa dibawa ke arah mengamati, menebak, berbuat, mencoba, mampu menjawab pertanyaan mengapa, dan kalau mungkin berdebat. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan dapat menumbuhkan sasaran pembelajaran matematika yang kreatif dan kritis.

Tujuan dalam pembelajaran matematika mengharapkan siswa mampu memahami objek belajar matematika yang berarti siswa dapat memahami setiap persoalan dalam matematika dan penyelesaiannya tidak hanya dengan satu syarat kemampuan tetapi harus dengan beberapa kemampuan yaitu mengertikan konsep, prinsip sebelumnya, dan sekaligus memahami persoalan yang ada. Berdasarkan buku-buku penunjang pelajaran matematika yang mengacu pada kurikulum saat ini, banyak dijumpai soal-soal yang berbentuk soal cerita pada beberapa materi pokok bahasan. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang erat kaitannya di dalam materi pokok matematika. Untuk memudahkan siswa menguasai dan memahami penyelesaian soal matematika, khususnya soal matematika bentuk cerita maka siswa haruslah menguasai aturan-aturan dan rumus, selain itu perlu disertai banyak intensitas latihan mengerjakan soal karena apabila tidak disertai dengan latihan maka siswa akan sulit dalam mencapai keberhasilan belajar.

Memecahkan persoalan yang berbentuk cerita berarti menerapkan pengetahuan yang dimiliki secara teoritis untuk menyelesaikan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Soal cerita pada kehidupan sehari-hari lebih ditekankan pada penajaman intektual anak sesuai dengan kenyataan yang mereka hadapi dan sesuai dengan konteks apa yang mampu nalar mereka capai. Namun kenyataannya masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami arti kalimat-kalimat dalam soal cerita, kurang mampu memisalkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, kurang bisa menghubungkan secara fungsional unsur-unsur yang diketahui untuk menyelesaikan masalahnya, dan unsur mana yang harus dimisalkan dengan suatu variabel tertentu.

Peneliti melakukan observasi di kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014. Berdasarkan pengamatan peneliti selama proses observasi, diperoleh keterangan bahwa pelajaran matematika masih kurang efektif. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa yang melakukan kegiatan diluar konteks pembelajaran, misalnya siswa tidak memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh guru, hanya sedikit siswa yang bertanya atau berpendapat tentang materi yang diajarkan, siswa masih bingung jika mengerjakan soal yang diberikan berbeda dengan contoh dan siswa bingung dalam menggunakan startegi matematika mana yang akan dipilih. Selain itu siswa juga masih kesulitan memahami bahasa matematika guna membantu dalam menemukan jawaban, dan yang terjadi siswa hanya menebak jawaban. Saat peneliti melihat hasil ulangan tengah semester siswa, terlihat pada soal cerita siswa tidak menggunakan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan saat menyelesaikan soal cerita. Sebagian besar siswa keliru saat menentukan startegi dalam menyelsaikan soal cerita. Jawaban siswa juga langsung pada jawaban akhir, tanpa adanya langkah diketahui, ditanyakan, dan kesimpulan dari jawaban.

Kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014 rendah. Hal ini dikarenakan siswa belum mampu memahami permasalahan yang ada dalam soal cerita, belum mampu menetukan strategi dalam soal cerita dengan konsep matematika yang telah dipelajari, dan belum mampu melakukan kesimpulan dari jawaban pada soal cerita. Kemampuan siswa dalam memahami kalimat dalam soal cerita matematika masih rendah dan dalam menterjemahkan konsep matematikapun masih rendah.

Berdasarkan keadaan di lapangan, masalah yang sering dirasakan sulit oleh siswa dalam pembelajaran matematika adalah menyelesaikan soal cerita. Menyelesaikan soal cerita matematika tidak semudah menyelesaikan soal isian dan jawaban singkat. Pada soal cerita dibutuhkan kemampuan siswa dalam memahami masalah pada soal cerita, kemampuan menentukan startegi, kemampuan menjalankan startegi, dan kemampuan menyimpulkan jawaban.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu model yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah model penemuan (Discovery Learning). Model penemuan adalah model pembelajaran yang berpusat pada aktivitas peserta didik dalam belajar. Dalam pembelajaran ini, guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan peserta didik untuk menemukan kosep dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya, model ini menekankan guru memberikan masalah kepada peserta didik kemudian peserta didik diminta untuk memecahkan masalah tersebut melalui melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan. Oleh karena itu, siswa akan berpikir lebih aktif dan memiliki kesempatan untuk mencari pengalamannya sendiri dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan serta mengembangkan idenya secara mandiri.

 

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Menyelesaiakan Soal Cerita Matematika melalui Model Discovery Learning pada Siswa Kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014”.

Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini sebagai berikut:

1.     Bagaimana proses pembelajaran matematika dengan model discovery learning dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa?

2.     Bagaiman respon dan tingkat aktivitas siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Discovery?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini antara lain:

1.     Mengetahui peningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa dalam pembelajaran yang menggunakan model Discovery Learning.

2.     Mengetahui proses pembelajaran dengan Discovery Learning dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa.

3.     Mengetahui respon dan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1.     Bagi siswa, menerapkan suasana belajar yang berbeda melalui pembelajaran dengan model Discovery Learning dan memberi motivasi untuk memcahkan masalah dengan suasana belajar yang lebih menyenangkan dan aktif.

2.     Bagi guru, memberikan referensi model Discovery Learning dapat menjadi alternatif model pembelajaran yang bisa diterapkan dalam pembelajaran matematika di sekolah.

3.     Bagi sekolah, dapat memberikan pembinaan kepada guru-guru untuk menggunakan model pembelajaran yang bervariasi.

4.     Bagi peneliti, menjadi referensi untuk menambah pengetahuan mengenai model pembelajaran yang bisa diterapkan unruk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika dalam pembelajaran di sekolah.

LANDASAN TEORI

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Kata matematika berasal dari bahasa latin mathematika yang mulanya diambil dari bahasa yunani mathematike yang berarti mempelajari. Asal katanya Mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, matematika adalah ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).

Menurut Ismail yang dikutip oleh Ali dalam bukunya memberikan definisi matematika adalah ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat (Ali hamzah dan Muhlisrarini, 2014:48).

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ahmad Susanto, 2013:185).

Matematika adalah ilmu terstruktur yang terorganisasikan dengan baik karena matematika dimulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil atau teorema. Komponen-komponen matematika ini membentuk sistem yang saling berhubungan dan terorganisasikan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari konsep-konsep matematika yang tersusun secara hirarkis, terstuktur, logis, dan sistematis dari konsep yang paling sederhana sampai ke konsep yang kompleks.

Matematika disebut juga ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan observasi tetapi untuk dapat dibuat generalisasi dibuktikan secara deduktif. Disisi lain matematika adalah bahasa, sebab matematika merupakan bahasa lambang/simbol yang dapat dipahami oleh semua bangsa berbudaya. Seperti seni, dalam matematika terlihat adanya keteraturan, keterurutan dan kosisten. Sehingga matematika indah dipandang dan diresapi seperti hasil seni.

Berdasarkan uraian diatas, matematika merupakan ilmu yang membutuhkan penalaran dan berpikir logis, karena matematika merupakan ilmu yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Model Discovery Learning

Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dengan kata lain, praktisnya model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam ruang kelas dan untuk menyusun materi pengajaran (Agus N Cahyo, 2013:99).

Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Jadi, sebenarnya model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, startegi, atau metode pembelajaran.

Memilih suatu model pembelajaran, harus disesuaikan dengan realitas dan situasi kelas yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.

Pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah komponen penting pendekatan konstruktivis modern yang mempunyai sejarah panjang dalam inovasi pendidikan. Menurut Wilcox yang dikutip oleh Slavin dibukunya, dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri (Robert E. Slavin, 2011:8).

Model Discovery Learning didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self”. Ide dasar Bruner ini ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas (Dindin Ridwanudin, 2013:81).

Discovery Learning adalah model mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan, namun ditemukan sendiri (Agun N. Cahyo, 2013:100).

Model pembelajaran discovery merupakan salah satu model pengajaran yang progresif serta menitik beratkan kepada aktivitas siswa dalam proses belajar. Secara tegas Amin mengemukakan bahwa suatu kegiatan “discovery atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri (Risqi Rahman dan Samsul Maarif, 2014:40-41).

Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.

Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.

Pembelajaran Discovery ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Model discovery learning sebagai sebuah teori belajar dapat didefinisikan sebagai belajar yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan untuk mengorganisasikan sendiri.

Model discovery merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi yang unik dan dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian, dapat dikatakan model discovery learning adalah suatu model dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja (Ali Hamzah dan Muhlisrarini, 2014:248).

Pembelajaran penemuan mempunyai penerapan dalam banyak pokok persoalan. Misalnya, beberapa museum ilmu pengetahuan mempunyai beberapa silinder dengan ukuran dan bobot yang berbeda, beberapa berongga dan beberapa keras. Siswa didorong untuk meluncurkan silinde itu menuruni lereng. Dengan melakukan eksperimen yang seksama, siswa dapat menemukan prinsip dasar yang menetukan kecepatan silinder. Simulasi komputer dapat menciptakan lingkungan dimana siswa dapat menemukan prinsip-prinsip ilmiah. Program pengayaan seusai sekolah dan program ilmu pengetahuan yang inovatif dangat mungkin didasarkan para prinsip pembelajaran penemuan.

Pengaplikasian model discovery learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan dari individu yang bersangkutan. Pada intinya, model pembelajaran discovery ini mengubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented dimana guru menjadi pusat informasi menjadi student oriented siswa menjadi subjek aktif belajar. Model ini juga mengubah dari modus expository siswa yang hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus discovery yang menuntut siswa secara aktif menemukan informasi sendiri melalui bimbingan guru.

Kerangka Konseptual

Soal cerita merupakan bentuk soal yang disajikan dalam bentuk kalimat sehari-hari dan umumnya merupakan aplikasi dari kehidupan nyata. Salah satu kesulitan yang dialami adalah membuat model matematika dalam soal cerita. Soal cerita merupakan bentuk soal yang sebelum menyelesaikannya ada pemodelan yang harus dibentuk terlebih dahulu pada model matematika pada umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal, yaitu suatu bentuk kalimat dimana kalimat terakhirnya merupakan kalimat pertanyaan yang memerlukan jawaban. Untuk membuat kalimat model matematika dalam soal cerita siswa dituntut memahami maksud yang terkandung dalam soal tersebut, mengubah kalimat dalam bentuk verbal menjadi kalimat matematika, hingga pada tahap menyelesaikan soal cerita serta menafsirkan model yaitu menerjemahkan hasil jawaban operasi hitung dari model atau kalimat matematika untuk menentukan jawaban dari masalah semula.

Model Discovery Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menitikberatkan pada aktiviats peserta didik dalam belajar. Model Discovery Learning ini dapat diterapkan pada pembelajaran matematika. Model pembelajaran ini menempatkan tim kerja sama antara satu dengan yang lainnya untuk menemukan kosep dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya, model ini menekankan guru memberikan masalah kepada peserta didik kemudian peserta didik diminta untuk memecahkan masalah tersebut melalui melakukan percoban, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan. Oleh karena itu, siswa akan berpikir lebih aktif dan memiliki kesempatan untuk mencari pengalamannya sendiri dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan serta mengembangkan idenya secara mandiri.

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap siswa kelas IV di SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang pada tahun ajaran 2013/2014.

Metode penelitian dan rancangan siklus penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas adalah jenis penelitian tindakan yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas (Wina Sanjaya, 2009:25).

Penelitian tindakan adalah penerapan berbagai fakta yang ditemukan untuk memecahkan masalah dalam situasi sosial untuk meningkatkan kualitas tindakan yang dilakukan dengan melibatkan kolaborasi dan kerjasama pada peneliti dan praktisi. Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk meningkatkan kualitas peran dan tanggung jawab sebagai pendidik khususnya dalam pengelolaan pembelajaran.

Penelitian Tindakan Kelas dilakukan untuk membantu seseorang dalam mengatasi persoalan secara prakstis yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dan ilmu pendidikan dengan kerjasama dalam kerangka etika yang disepakati bersama. PTK merupakan kajian yang sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan praktek pendidikan oleh sekelompok pendidik dalam melakukan tindakan-tindakan dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan refleksi mereka mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut. PTK dalam bahasa inggris diartikan dengan Classroom Action Research, atau disingkat CAR. Namanya sendiri sebetulnya sudah menunjukkan isi yang terkandung didalamnya.

Dengan menggabungkan tiga pengetian diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu pencermatan terhadap kegiatan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas. Hakikat dari penelitian tindakan kelas merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran. Tujuan PTK adalah untuk perbaikan dan peningkatan praktek pembelajaran, peningkatan layanan professional guru dalam menangani proses pembelajaran. Pada prinsipnya penelitian tindakan kelas ini menggunakan beberapa siklus, dimana setiap siklus mencakup empat tahapan yaitu: Perencanaan (Planinng), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Apabila pada akhir siklus telah diketahui letak keberhasilan atau hambatan dari tindakan pada siklus sebelumnya maka peneliti menentukan rancangan untuk siklus selanjutnya.

Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas IV berjumlah 18 anak di SD Negeri Pabelan 01 tahun ajaran 2013/2014. Objek penelitian dalam penelitian tindakan kelas ini adalah model pembelajaran discovery learning dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.

Tahap Intervensi Tindakan

Tahap yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berupa siklus-siklus. Diawali dengan tahap pra penelitian yang akan dilanjutkan dengan siklus I, setelah melakukan analisis dan refleksi pada siklus I penelitian akan dilanjutkan dengan siklus II. Prosedur penelitian tindakan kelas ini merupakan siklus dan di laksanakan sesuai perencanaan tindakan. Penelitian ini diperlukan evaluasi awal untuk mengetahui tingkat keaktivan belajar siswa dan observasi awal sebagai upaya untuk menemukan fakta-fakta yang dapat digunakan untuk melengkapi kajian teori yang ada dan untuk menyusun perencanaan tindakan yang tepat dalam meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam 2 siklus.

Hal ini dimaksud untuk melihat bagaimana keberhasilan siswa pada setiap siklus setelah diberikan tindakan. Jika pada siklus I terdapat kekurangan maka penelitian pada siklus II lebih diarahkan kepada perbaikan dan jika pada siklus I terdapat keberhasilan maka pada siklus II lebih diarahkan pada pengembangan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data

Data penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di Kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Data-data hasil intervensi dikumpulkan dan dianalisis. Temuan-temuan diinterpretasikan untuk mengetahui perkembangan penelitian yang dilaksanakan.

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah siswa Kelas IV SD Negeri Pabelan 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 18 orang siswa, yang memiliki rata-rata nilai matematika yang relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan nilai rata-rata hasil ulangan matematika sebelum penelitian tindakan dilakukan, dan kelas IV ini masih memiliki kemampuan penyelesaian masalah dalam bentuk soal cerita matematika yang relatif rendah.

Diskripsi Siklus I

Berdasarkan hasil tes siklus I maka diperoleh skor rata-rata kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa sebesar 68,6, dengan nilai terendah 30 dan nilai tertinggi 90. Hasil tersebut belum mencapai indikator yang ditentukan yaitu skor rata-rata hasil tes kemampuan menyelesaikan sial cerita siswa ≥ 70. Kemampuan menyelesaikan soal cerita yang dilihat dari penelitian ini meliputi memahami masalah, memilih strategi, menyelesaikan strategi dan menyimpulkan jawaban.

Indikator memahami masalah menempati urutan tertinggi dengan presentase 84,6%, pada indikator 84.6% 81.6% 67.1% 49.1% 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0% 90.0% memahami soal memilih strategi menyelesaikan strategi menyimpulkan jawaban 61 memilih strategi terlihat ada 81,6% yang menguasai sampai tahap ini, data ini menunjukkan bahwa hasil intervensi tindakan yang diharapkan telah tercapai. untuk indikator melaksanakan strategi dan menyimpulkan jawaban masing-masing menunjukkan 67% dan 49% data ini menunjukkan bahwa hasil intervensi tindakan yang diharapkan belum tercapai. Berikut adalah sampel jawaban siswa pada instrumen nomor 4 pada indikator melaksanakan strategi yang telah dibuat.

Pada umumnya siswa kelas IV lebih menguasai pada indikator memahami masalah dan memilih strategi. Selebihnya siswa belum mampu ke tahap menyelesaikan strategi dan menyimpulkan jawaban. Data pada penelitian ini dilengkapi dengan jurnal harian, pedoman wawancara, dan dokumentasi setiap pertemuan. Setiap akhir proses pembelajaran siswa diminta untuk mengisi jurnal harian. Hal ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran yang diberikan. Respon siswa terhadap proses pembelajaran setiap siklus digolongkan menjadi tiga yaitu, respon positif, netral dan negatif. Jurnal harian siswa digunakan untuk mengetahui tanggapan/respon siswa terhadap pembelajaran model Discovery Learning pada siklus I.

Tanggapan siswa pada pembelajaran siklus I dirangkum berdasarkan jurnal harian siswa yang diisi setiap pertemuan. Berdasarkan hasil analisis jurnal harian siswa didapat bahwa rata-rata presentasi respon positif siswa sebesar 71,2%. Siswa yang memberikan respon positif mengungkapkan bahwa pembelajaran Discovery Learning menyenangkan karena bisa berdiskusi dengan teman-teman, dan siswa menyukai pembelajaran kelompok. Rata-rata negatif sebesar 13% berisi pendapat siswa yang menyukai pembelajaran Discovery Learning tetapi masih bingung dan mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal KPK dan FPB, siswa belum bisa menentukan cara apa yang harus digunakan saat menyelesaikan soal cerita KPK dan FPB. Selain dari jurnal harian yang diisi oleh siswa disetiap akhir proses pembelajaran, peneliti juga melakaukan wawancara pada akhir siklus I gunakan untuk mengetahui tanggapan terhadap proses pembelajaran dengan model discovery learning.

Deskripsi Siklus II

Berdasarkan hasil tersebut diperoleh rata-rata skor kemampuan menyelesaikan soal cerita sebesar 83,5. Hal tersebut menunjukkan ketercapaian indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa. Sehingga pemberian tindakan diberhentikan pada siklus II. Data hasil tes kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa. Peneliti mengukur ketercapaian indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa itu sendiri.

Pada siklus II siswa telah menguasai seluruh indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita. Hal ini terlihat dari presentase kemampuan menyelesaikan soal cerita pada siklus II mengalami peningkatan dari siklus I. Pada siklus I siswa lebih dominan menguasai pada indikator memahami masalah dan merencanakan strategi, sedangkan pada siklus II siswa telah menguasai seluruh indikator menyelesaikan soal cerita. Secara umum kemampuan menyelesaikan soal cerita Kelas IV pada siklus II tergolong baik.

Respon positif berisi siswa mengungkapkan pembelajaran matematika lebih mudah ketika menyelesaikan LKK bersama-sama. Siswa dapat bertukar ide, saling bertukar pendapat, dan saling membantu teman yang belum paham terhadap materi yang diajarkan. Respon netral sebesar 9,9% berisi pendapat siswa selain menyukai model pembelajaran Discovery learning tetapi tidak mau berkempok yang ditentukan oleh peneliti. Siswa menginginkan kelompoknya ditentukan sendiri. Siswa senang belajar KPK dan FPB tetapi siswa mengalami kesulitan dalam operasi perkalian yang masih rendah. Respon negatif sebesar 3,6% yaitu berisi beberapa pendapat siswa menginginkan tidak berkelompok dalam proses pembelajaran berlangsung. Siswa menginginkan belajar langsung dengan peneliti tanpa bantuan dari teman yang lain. Selain jurnal harian peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa pada akhir siklus II.

Hasil tes kemampuan menyelesaikan soal cerita pada siklus II menunjukkan rata-rata 83,5. hasil tersebut mengalami pemingkatan dari siklus I dan tergolong baik. Hal ini tidak terlepas dari perbaikan yang dilakukan berdasarkan refleksi siklus I. Perbaikan ini diantaranya dilakukannya random kelompok, memotivasi siswa untuk lebih aktif dalam berdiskusi, penyajian LKK yang lebih baik dan perbaikan Rencana Pembelajaran (RPP).

Respon siswa terhadap proses pembelajaran siklus II semakin positif. Siswa sudah mampu beradaptasi dengan baik terhadap proses pembelajaran yang diterapkan. Aktivitas siswa dalam berdiskusi bersama teman-temannya semakin aktif, sebagian besar siswa dapat berdiskusi aktif bersama teman-temannya. Selain itu siswa juga dapat menjelaskan hasil diskusi dan berani untuk mengerjakan soal di depan kelas. Secara keseluruhan, proses pembelajaran siklus II berjalan lebih efektif dibanding dengan siklus I. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning menciptakan suasana belajar yang saling membantu sesama siswa sehingga terjadi interaksi dan memberikan kontribusi bagi masing-masing kelompok.

Analisis Data

Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa dapat diketahui dari keempat indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Indikator tersebut adalah memahami masalah, merencanakan penyelesaiaan, menyelesaikan soal dan menyimpulkan kebenaran jawaban. Setelah dilakukan proses pembelajaran dengan model Discovery Learning selama siklus I dan siklus II, diperoleh data mengenai rata-rata skor kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa. Perbandingan hasil tes siklus I dan siklus II dilihat dari masing-masing indikatornya yang dapat diketahui.

Pada siklus I siswa lebih menguasai indikator memahami masalah dan memilih strategi. Pada indikator menjalankan strategi dan menyimpulkan jawaban siswa belum dapat mengerjakannya. Hak tersebut karena siswa kurang teliti dalam menyelesaikan soal dengan strategi yang dipilih pada soal cerita sehingga masih banyak kesalahan yang dilakukan siswa pada saat menjawab soal. Sebagian besar siswa juga tidak memeriksa kembali hasil jawaban, sehingga siswa tidak menyimpulkan jawaban dari soal cerita yang diberikan. Pada siklus II siswa sudah menguasai indikator memahami masalah, memilih strategi, menyelesaikan soal dan menyimpulkan jawaban. Pada siklus II mengalami peningkatan yang signifikan pada setiap indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita. Siswa sudah dapat memahami dan menginterpretasikan informasi soal kedalam bahasa matematika dan menyelesaikan masalah dengan melibatkan strategi matematika.

Berdasarkan interpretasi di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II pada sema indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita. Hal ini menunjukkan keberhasilan tindakan yang diberikan pada siklus II.

Kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa pada siklus I memperoleh rata-rata 68,6 dan standar deviasi 12,8. Dengan nilai rata-rata dan standar deviasi ini menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa belum maksimal dan belum merata, nilai siswa masih heterogen. Artinya masih adanya perbedaan nilai yang terlalu tinggi antara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Hai tersebut juga diperkuat dengan jangkauan nilai data yang cukup besar yaitu dimana nilai terbesar 90 dan nilai terkecil 30. Selanjutnya pada siklus II terjadi peningkatan rata-rata skor kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa menjadi 83,5 dan standar deviasi pada siklus II menjadi semakin kecil menjadi 10,15. Hal ini menunjukkan bahwa nilai siswa sudah homogen artinya tidak terjadi perbedaan nilai terlalu tinggi, terlihat dari hasil tes siklus II nilai terbesar 100 dan nilai terkecil 60. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa merata dibandingkan dari siklus I.

Aktivitas Pembelajaran

Data mnengenai aktivitas belajar matematika siswa salah satunya diperoleh dari lembar observasi siswa. Berdasarkan hasil pengamatan secara keseluruhan pada tabel 4.9 diperoleh data bahwa aktivitas siswa telah mengalami peningkatan yang cukup baik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas siswa pada siklus I ke siklus II. Berdasarkan observasi aktivitas siswa pada sikluis I sebesar 70,8% dan termasuk kategori aktivitas cukup, kemudian pada siklus II sebesar 86,5% termasuk dalam kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan perbaikan yang dilakukan pada siklus II dapat memperbaiki dan meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa. Data aktivitas belajar matematika siswa pada siklus I lebih memfokuskan pada aktivitas siswa dalam bekerja kelompok yang belum maksimal. Jika aktivitas diskusi berjalan dengan baik, maka aktivitas yang lainnya akan berpengaruh dengan baik pula. Pada siklus II keaktifan siswa dalam pembelajaran lebih baik dari pada siklus sebelumnya, dimana ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan belajar mengalami kemajuan dan sering memperhatikan guru sehingga menunjukkan perbaikan yang sangat baik.

Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran pada siklus I belum rapi, saat proses pembelajaran berlangsung sebagian siswa ada yang belum siap. Ada yang bercanda, mengobrol, bermain, makan. Hal ini membuat mereka saat mengerjakan soal tidak paham dan bingung. Pada siklus II peneliti mengajak siswa lebih tertib lagi dan memotivasi siswa untuk lebih berani dalam mengemukakan pendapatnya. Peneliti menggunakan kertas berwarna untuk diberikan kepada masing-masing siswa, fungsi dari kertas warna ini untuk kartu bicara, jadi setiap siswa berhak dan memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mendapat kesempatan untuk mengerjakan soal di depan kelas. Proses pembelajaran pada siklus II berlangsung dengan tertib dan rapi. Siswa lebih aktif dibandingkan dengan siklus I. Ada beberapa siswa pada siklus I hanya diam saja, pada siklus II mereka berani bertanya kepada guru tentang materi yang belum dipahami.

Proses diskusi juga terlihat berbeda. Pada saat guru meminta perwakilan dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, semua kelompok bahkan semua siswa berusaha menjadi yang tercepat agar dipilih untuk maju.

Pembahasan Penelitian

Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Siswa

Penerapan model pmebelajaran Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita di kelas IV. Sebelum menggunakan model pembelajaran Discovery Learning yang mengandalkan keaktifan guru di kelas pada proses pembelajaran hanya dilakukan dengan metode ceramah dengan memberikan contoh-contoh soal yang terdapat di buku paket sehingga didominasi oleh guru. Guru kurang menyajikan soal-soal dalam bentuk cerita karena soal cerita membutuhkan waktu yang relatif lama dalam pengerjaannya, sehingga berdampak pada kemampuan penyelesaian masalah matematika siswa yang rendah. Sesudah dilakukan penelitian tindakan kelas dengan penerapan model pembelajaran Discovery Learning pada materi KPK dan FPB, kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa meningkat.

Pada siklus I rata-rata kemampuan menyelesaika soal cerita siswa yaitu 68,6 belum mencapai nilai kriteria yang diharapkan. Karena intervensi yang belum tercapai maka dari peneliti melanjutkan penelitian pada siklus II Setelah dilakukan proses pembelajaran pada siklus II rata-rata skor kemampuan menyelesaikan soal cerita mengalami peningkatan pada indikator menyelesaikan soal dengan strategi yang dipilih sebesar 15,4%, dan menyimpulkan jawaban sebesar 23,4%. Pada siklus II siswa dapat memberikan kesimpulan atas jawabannya menggunakan bahasa atau katakata sendiri dengan baik. Pada siklus II rata-rata kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa yang diperoleh dari proses pembelajaran yaitu 83,5. Berdasarkan hasil tes kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa, terdapat lima orang yang memiliki nilai di bawah KKM pada siklus I dan mengalami peningkatan setelah diberikan tindakan siklus II. Pengetahuan awal matematika kelima siswa tersebut terbilang sukup baik pada siklus II.

Berdasarkan pengamatan peneliti selama proses pembelajaran siswa tersebut cenderung diam dan hanya sesekali bertanya jika ada hal yang tidak dipahami. Sesungguhnya siswa tersebut memahami materi yang dipelajari tetapi masih bingung jika diminta menjelaskan alasan dari jawabannya. Penyebab lainnya masih terjadi kekeliruan dalam perkalian yang dihitung siswa.

Aktivitas Belajar

Belajar tidak hanya menuntut hasil yang baik dari segi kognitif saja, namun belajar menuntut aktivitas yang baik pula. Ketika diterapkannya model Discovery Learning dalam proses pembelajaran matematika sikap pasif siswa berubah menjadi aktif, rasa bosan yang dialami siswa mulai tidak terasa lagi dalam pembelajaran, siswa mulai berperan aktif, mandiri, berinteraksi, percaya diri, dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selain itu selama pembelajaran berlangsung pada siklus I dan II kegiatan belajar siswa mengalami perubahan yang positif. Pembelajaran matematika melalui model Discovery Leaning membuat siswa lebih aktif dalam menyelesaikan lembar kerja tanpa dihinggapi rasa takut dan malas.

Keaktifan siswa dalam mengemukakan jawaban tersebut dapat terjadi karena siswa dapat menyerap materi dengan baik ketika proses pembelajaran berlangsung. Pada siklus I aktivitas siswa memang terjadi pasang surut, namun secara keseluruhan tahapan siklus I ke siklus II terjadi peningkatan yang cukup signifikan sesuai harapan peneliti.

Pada siklus I rata-rata aktivitas belajar matematika siswa mencapai 70,8% dan terjadi peningkatan pada siklus II yaitu mencapai 86,5%. Jika dibandingkan data aktivitas belajar siswa antara siklus I dan siklus II terjadi peningkatan yang relatif baik.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan deskripsi data yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa. Hal ini ditunjukkan bahwa selama proses pembelajaran dengan model Discovery Learning lebih optimal dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa, dengan rata-rata skor kemampuan representasi matematik siswa pada akhir siklus I sebesar 68,6 dan meningkat pada siklus II menjadi 83,5. Pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning juga dapat meningkatkan aktivitas siswa serta mendapatkan respon yang positif dari siswa. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 15,7%, dimana pada siklus I rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 70,8% dan meningkat pada siklus II menjadi 86,5%. Respon positif dari siswa dapat ditunjukkan dari peningkatan respon positif jurnal harian yaitu dari 71,2% pada siklus I menjadi 84,7% pada siklus II.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti dapat memberikan beberapa saran-saran sebagai berikut:

1.    Pembelajaran dengan model Discovery Learning perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran matematika, karena dengan pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa dan hasil belajar siswa.

2.    Pada saat melaksanakan pembelajaran dengan model Discovery Learning ini, pneliti mengalami kendala membangun pengetahuan awal siswa, maka dari itu jika ingin menggunkan model pembelajaran ini, hendaknya pada tahap stimulation guru bisa menggunakan alat peraga, video ataupun gambar untuk membangun pengetahuan awal siswa. Model pembelajaran ini tidak bisa digunakan untuk siswa berkemampuan rendah dan dalam jumlah yang banyak.

3.    Pembelajaran dengan model Discovery Learning dapat diterapkan pada materi KPK dan FPB untuk meningkatkan kemampuan menyelesaiakn soal cerita siswa.

4.    Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan meneliti pengaruh pembelajaran dengan model Discovery Learning untuk meningkatkan kemampuan tingkat tinggi lainnya atau dapat dilakukan pada jenjang pendidikan dasar lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara Cet. 4, 2013.

Cahyo, Agus N. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Yogyakarta: DIVA Press. 2013.

Hamzah, Ali dan Muhlisrarini. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2014.

Kurniawati, Lia. “Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving) dalam Upaya Mengatasi Kesulitan-Kesulitan Siswa pada Soal Cerita”: Pendekatan Baru dalam Proses Pembelajaran Matematika dan Sains Dasar. Jakarta: PIC. 2007.

Raharjo, Marsudi dkk. Modul Matematika SD Program bermutu Pembelajaran Soal Cerita di SD. Sleman: PPPPTK. 2009.