NILAI-NILAI PENDIDIKAN PADA TRADISI PEH CUN

BAGI ETNIS TIONGHOA DI PEKALONGAN

 

Hendy Setiyoko

Tri Widiarto

Emy Wuryani

Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

 

Abstrak

Latar belakang penelitian ini adalah hasil penelitian tentang tradisi Peh Cun yang saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pekalongan, dan memperkenalkan prosesi tradisi Peh Cun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang Nilai-Nilai Pendidikan pada Tradisi Peh Cun bagi Etnis Tionghoa di Pekalongan. Penelitian yang diterapkan adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif digunakan untuk memberikan keterangan mengenai sejarah awal mula Peh Cun, prosesi tradisi Peh Cun, dan nilai-nilai pendidikan pada tradisi Peh Cun. Hasil penelitian Peh Cun, menggunakan metode pengumpulan data melaui wawancara, observasi, berpasrtisipasi dalam tradisi Peh Cun dan dokumentasi.

Kata kunci: Nilai-nilai pendidikan, Peh Cun, Etnis Tionghoa, Pekalongan.

 

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dengan berbagai ragam budaya, suku, ras, dan agama. Menurut Soekanto, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya kelakuan (Soekanto, 1990: 164). Salah satu tradisi kebudayaan yang masih hidup di Indonesia adalah tradisi Peh Chun. Perayaan ini sebenarnya selalu diselenggarakan oleh warga etnis keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu yang biasa disebut Duan Wu Jie atau Festival Peh Chun. Tradisi ini di kalangan masyarakat etnis Tionghoa merupakan salah satu event penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Chun adalah dialek Hokkian “Pa Chuan” (bahasa Mandarin) yang artinya mendayung perahu. Peh Cun pada umumnya adalah masyarakat Tionghoa di sepanjang pantai utara Jawa antara lain di Kota Pekalongan. Kota ini memiliki peninggalan sejarah dan nilai-nilai tradisonal dan unik seperti kesenian, adat istiadat, kerajinan, peninggalan budaya, dan agama. Peh Cun merupakan tradisi atau perayaan kapal, karena pada setiap acara Peh Cun biasanya menggunakan sebuah kapal yang dihiasi dengan berbagai ornament yang berbentuk naga atau kepala naga sebagai bentuk penghormatan bagi para leluhur. Pada tradisi Peh Cun ada jenis makanan yang wajib ada yakni, bak cang. Selain itu tradisi Peh Cun dilestarikan karena mengandung nilai-nilai pendidikan yang wajib di pahami dan diketahui banyak orang. Tradisi ini sampai sekarang masih berlangsung dab dilestarikan, mengikuti perkembangan jaman. Hal ini perlu diteliti. Oleh karena itu tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan tentang Nilai-Nilai Pendidikan pada Tradisi Peh Cun bagi Etnis Tionghoa di Pekalongan

 

 

KAJIAN PUSTAKA

Kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986: 225). Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar karena kemampuan manusia adalah terbatas dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptanya juga terbatas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (E.B. Taylor, 1924: 56). Kebuadayaan ibarat sebuah harta warisan yang harus dijaga, dan dilestarikan. Karena kebudayaan sebagai simbol menunjukan jati diri bangsa dan identitas Negara. Maka masyarakat juga harus berperan supaya kebudayaan tersebut tetap lestari meski diarungi perkembangan jaman.

Nilai adalah tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Nilai budaya berfungsi juga sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Tujuh unsur kebudayaan itu adalah: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, 7. Kesenian. (Koentjaraningrat, 1986: halaman). Nilai tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, karena nilai merupakan suatu pedoman atau landasan yang bermanfaat bagi manusia sebagai penentu dan acuan dalam melakukan suatu tindakan.

Budaya dalam persepsi Cultural Studies merupakan medan nyata berpijaknya berbagai praktik, representasi, bahasa, dan kebiasaan suatu masyarakat tertentu. (Hall, 2000: 75). Pendidikan adalah bekal yang penting bagi manusia. Karena manusia tidak bisa berkembang atau tumbuh untuk meraih sesuatu yang ingin dicapai tanpa adanya pendidikan. Pendidikan juga berperan penting dalam kehidupan kita sehari-hari dan itu jelas bahwa pendidikan merupakan proses belajar yang tidak akan pernah berhenti sejak seseorang lahir di dunia ini hingga akhir hayatnya (long life education).

Etnis (ethnic) adalah suatu masyarakat kolektif yang digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai budaya di dalam beberapa elemen yang simbolik, seperti pola keluarga, ciri-ciri fisik, afiliasi agama, kepercayaan, bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, dan kombinasi (Don Handelman, 1977: 125). Indonesia negara yang kaya akan suku yang beraneka ragam tetapi memiliki satu tujuan yang sama yaitu saling melengkapi satu sama lain tanpa memandang perbedaaan.

Tradisi adalah adat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakatnya. Di Kota Pekalongan tradisi Peh Cun/Duan Wu, merupakan upacara sembahyang besar kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan rasa syukur atas segala berkah dan karunia serta eling akan kuasanya, dan mengenang kepatriotisme seorang Perwira/Menteri yang melepaskan hidupnya demi menegakkan keadilan.

Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan dari golongan-golongan yang berbeda menjadi berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya unsur-unsur kebudayaan campuran. (Koentjaraningrat, 1986: 367). Akulturasi (acculturation) atau culture contact, mempunyai berbagai arti proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. (Koentjaraningrat, 1986: 225).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Pantai Pasir Kencana, Pekalongan. Karena disana merupakan tempat diselenggarakannya tradisi Peh Cun. Jenis penelitian yang digunakan adalah Kualitatif Deskriptif. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah Majelis agama Konghuchu, Sekretaris di Tri Dharma (San Jiao), Pengurus Rumah Ibadah Umat Konghucu MAKIN, serta para pelaku tradisi Peh Chun di Pekalongan. (Pembuat perahu Naga, pembuat sesaji, Pemimpin upacara, peserta upacara). Pengumpulan data wawancara tentang tradisi Peh Cun, prosesinya (awal-akhir), siapa-siapa saja yang terlibat, properti untuk tradisi, dan peran masyrakat dengan adanya tradisi Peh Cun ini.

Data Kulitatif merupakan sumber dari deskripsi yang memuat penjelasan tentang proses yang terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat, baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan langsung di lapangan melalui wawancara mendalam, dan pengamatan langsung (observasi) dan dalam catatan harian yang diolah dan dianalisa secara kulalitatif melalui tahapan-tahapan reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998: 225).

PEMBAHASAN

Tradisi Peh Cun

Peh Cun adalah merengkuh dayung seratus perahu, istilah lain yaitu Duan Yang, Duan/Twan artinya ekstrim atau lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber, dan Yang artinya sifat positif atau Matahari. Kata diambil dari filosofi Yin dan Yang, Yin (-) yang memiliki arti sebagai “Bulan”, dan Yang (+) memiliki arti sebagai “Matahari”. Hari raya ini juga dinamai Duan Wu karena dilaksanakan pada Wu Shi (Siang hari) yaitu pukul 11.00 – 13.00, atau bisa disebut hari Quan Hyan yang memilki arti kembali ke jalan Tuhan. Tradisi ini di kalangan masyarakat Tionghoa merupakan salah satu event penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok, meskipun di jaman sekarang ini jarang sekali merayakan tradisi Peh Cun, namun tetap dilestarikan dan diselenggarakan walaupun hanya satu tahun sekali.

Peh Cun sebenarnya merupakan upacara bagi masyarakat penganut agama Konghucu dipercaya membawa berkah tersendiri, karena pada tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan Konghucu matahari akan memancarkan energi paling ekstrim atau keras yang membawa dampak positif, namun dipercaya membawa berkah, cahaya matahari sebagai sumber kehidupan dan lambang Tian (Tuhan) atas mahluknya, hingga dipercaya baik itu tanaman, buah-buahan dan ramuan obat-obatan akan memiliki khasiat yang besar, bahkan ada suatu peristiwa dimana telur ayam bila ditegakkan bisa berdiri.

Asal-usul Peh Cun

Peh Cun/Duan Yang sudah ada sebelum nabi Konghuchu (sebelum tahun 551 SM). Sejak beribu-ribu tahun yang lalu umat manusia melakukan sembahyang kepada Tian (Tuhan), dan ada beberapa sembahyang besar musim yang harus dijalankan, salah satunya Sembahyang Besar Musim Panas, yang dilakukan pada tanggal 5 bulan 5 dalam penggalan Konghuchu, merupakan upacara sembahyang besar kepada Tian, dengan rasa sujud, hormat, mensyukuri segala berkah karunia Tian (Tuhan) dan eling ingat akan kebesaran kuasa Nya, semua berawal dan akan berpulang kepada Nya, eling Tian (Tuhan) Yang Maha Kuasa, dan Maha abadi hukum Nya.

Pada tahun 551 SM muncul nabi Konghucu yang bertungas melanjutkan ajaran Konghucu dan menyempurnakannya ajaran Konghucu, membantu rakyat mendirikan kuil di setiap tempat supaya rakyat pun juga ikut sembahyang dan merayakan Peh Cun/Duan Yang. Peh Cun ada untuk mengenang, atau memperingati satu perwira pahlawan yang bernama Chi Yen. Jaman Cian Kok di negeri Cho, dimana ada seorang perwira/menteri besar nan setia, seorang tokoh yang berhasil menyatukan keenam negeri Chien yang terkenal kuat dan agresif. Beliau bernama Chi Yen. Chi Yen mendapat hukuman pengasingan karena ia difitnah di hadapan raja Cho, bahkan dihujat oleh para pejabat-pejabat yang tidak suka dengan beliau, akhirnya ia mendapat hukuman dibuang dari negaranya ke tempat pengasingan di danau Tong Ting dekat sungai Mi Luo. Ia diasingkan disana, dan tidak bisa berbuat banyak baik itu tidak bisa sembahyang kepada leluhurnya, menjalankan tugas sebagai menteri, atau mengabdi kepada negaranya sebagai mana mestinya.

Tak lama berselang ia mendapat kabar bahwa negaranya sedang terjadi pemberontakan besar-besaran sampai bio leluhurnya atau tempat beliau beribadah juga dihancurkan oleh para pemberontak tersebut. Mendengar kabar berita itu membuat ia sedih, stres, dan tidak punya harapan, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang menjalankan masa hukumannya. Kemudian saat Chi Yen yang telah lanjut usia merasa tiada arti lagi hidup, saat tepat hari suci Duan Yang, beliau mendayung perahu ke tengah sungai Mi Luo, sambil bersanjak “kutekan hati meredam bara angkara, menanggung tuduhan menahan cerca, menjaga kehormatan mati demi kebenaran”, kemudian Chi Yen melepaskan hidup dengan menerjunkan diri kedalam sungai Mi Luo yang deras dan dalam.

Semenjak Chi Yen menjatuhkan diri ke sungai, semua orang yang mengetahui beliau berteriak-teriak dan segera berusaha menolongnya tetapi hasilnya nihil karena jazadnya tidak ditemukan atau muncul mengambang. Ketika merayakan Duan Yang/Peh Chun diperingati ia membawa tempurung bambu yang berisikan beras dan menuangkannya ke dalam sungai untuk mengenang dan menghormati Chi Yen.

Menurut Pengurus MAKIN bahwa dalam kitab Konghuchu menyatakan: Ibadah itu harus sesuai dengan musimnya jangan terlalu sering dilaksanakan, jika sering dilaksanakan mengakibatkan orang akan jenuh / malas, dan jangan terlalu jarang juga, karena mengakibatkan lalai bahkan lupa tidak menjalankan Jadi bisa disimpulkan bahwa Peh Cun / Duan Yang adalah ibadah musim panas yang bertujuan untuk bukan hanya mengenang Chi Yen, tetapi juga sebagai ungkapan rasa dan sujud syukur kepada Tian (Tuhan) atas berkah serta kelimpahan rahmat yang begitu besar.

Perahu Naga

Seperti pembahsan sebelumnya, bahwa perahu naga ini juga ada keterkaitannya dengan peristiwa Chi Yen. Pada saat itu setelah Chi Yen melepaskan hidupnya dengan menceburkan diri ke sungai Miluo, dan rakyat yang melihat peristiwa itu dengan sigap berusaha menolong beliau. Mereka mengayuh perahunya untuk mencari jenazah Chi Yen, namun hasil yang mereka dapat tidak ditemukan, sampai berkelanjutan dan akhirnya menjadi suatu tradisi, untuk mengenang Chi Yen dan leluhur. Di dalam perahu naga ada berbagai macam sesaji dan perlengkapan lainnya (Bak Cang, dupa, berbagai rempah-rempah, buah-buahan dan sayur-sayuran) dan meja altar, dan melakukan sembahyang kepada Chi Yen dan leluluhurnya, kemudian dilarung ke tengah laut.

Bak Cang

Bak Cang (Rou Zong) merupakan salah satu sesaji yang selalu ada dalam sembahyang Peh Cun. Bak Cang terdiri dari ketan yang diisi dengan daging sesuai dengan namanya. Bahan makan Bak Cang sendiri dulunya beras ketan yang bersikan daging baik itu babi, sapi, kambing, ayam, bahkan kacang juga bisa yang kemudian dibungkus dengan daun bambu, dan membentuk kerucut dan diikat dengan tali.

Menurut hasil penelitian dan wawancara yang penulis dapat, ada filosofinya tersendiri. Daun bambu merupakan tumbuhan yang menjalar, menyebar kemana-mana bisa tumbuh di kondisi apapun dan dimanapun itu menandakan nilai kebersamaan atau kekeluargaan yang saling mengisi satu sama lain. Sedangkan untuk bak cang yang berbentuk kerucut mempunyai arti bahwa “Manusia akan selalu belajar dari tempat rendah menuju jalan suci, menuju manusia yang paripurna”.

Lomba mendirikan telor

Telor dapat berdiri tegak merupakan peristiwa yang dapat terjadi, bukan karena mistik, telor ayam, bebek atau burung dan sejenisnya biasa kita temui, menurut Ibu Lucia Hermawati (Pemuka agama Konghucu) gravitasi bumi sesuatu benda akan jatuh ke tanah, pada suatu saat matahari bumi bulan berada pada satu garis, terjadi adanya gaya tarik menarik dari dua arah, gaya tarik matahari dan bulan, telor merupakan salah satu alat yang digunakan untuk membuktikan adanya fenomena alam yang terjadi 1 kali dalam satu tahun.

Berpuasa dan Berpantang

Setiap ada sembahyang apapun terutama pada tradisi Peh Cun hal paling utama saat melakukan sembahyang adalah Jong Jin / Jong zin = perasaan satya, hormat, sujud syukur, membersihkan diri, berpantang dan berpuasa. Maksud dari bersuci diri adalah, mandi keramas, tidak makan makanan kesukaan atau pantang makan kesukaan,

Prosesi Ritual Tradisi Peh Cun

Tradisi Peh Cun sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum hari pelaksanaan upacara. Karena upacara ini memerlukan perlengkapan yang amat kompleks dan unik termasuk dalam pembuatan perahu naga. Acara Peh Cun sendiri dimulai sekitar pukul 09.00 wib dengan melakukan kirab kapal menuju Pantai Pasir Kencana yang dimeriahkan oleh aktraksi Barongsai dan Liong.

Satu pemimpin doa yang didampingi dua pendamping yang membawa surat doa dan dupa. Kemudian, pemimpin doa membacakan surat doanya dan para pendamping menyulutkan dupa, dan membawakan “domblo” yang fungsinya membakar surat doa. Pemimpin doa yang didampingi dua pendamping berjalan ke arah meja tinggi/meja altar diiringi dengan umat dibelakangnya yang membawa sesaji seperti: buah-buahan, bak cang, telur dll dengan diiringi kirab barongsai.

Setelah itu melakukan sembahyang, umat dibagikan tiga biji dupa (antar 2-3 jam), kemudian pemimpin doa menyulutkan dupa yang besar (8 jam) di “Hiolo”. Kemudian semua perlengkapan baik dupa dan sesaji diletakan di meja altar, kemudian pemimpin doa dan pendamping melakukan “Qui Ting Sing” artinya berlutut atau sujud syukur, diikuti umat yang juga masing-masing memegang tiga dupa. Sembahyang ditutup dengan “Sam Qui Qu” tiga kali menunduk, tiga kali bersujud. Makan Bak Cang bersama, beserta acara hiburan seperti lomba mendirikan telur, pertunjukan barongsai, mengambil air laut atau mandi di siang hari.

Penutupan tradisi Peh Cun yaitu pada waktu sore hari pukul 17.00 dengan diaraknya perahu naga yang sudah dipersiapkan dengan berbagai macam perlengkapan dan hasil bumi yang sudah sediakan berserta meja altarnya. Biasanya perahu naga tersebut dilarung ke tengah laut kemudian dibakar, tetapi sekarang dilarang maka perahu naga tersebut tersebut hanya diarak dari kerumunan warga yang menonton, meskipun warga tetap antusias mengikuti prosesi Peh Cun tersebut kemudian dibakar sebagai penghormatan terakhir diiringi dengan barongsai.

Makna dan Nilai-Nilai Pendidikan Tradisi Peh Cun

Makna pada tradisi perayaan seratus perahu (Peh Cun) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan untuk memanjatkan doa supaya bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa yang mau menjunjung tinggi terhadap peninggalan sejarah dan nilai-nilai tradisional serta terhindar dari bencana. Nilai-nilai pendidikan dari tradisi Peh Cun ini adalah kita sebagai menusia mau berjuang menegekan keadilan, nilai kepatriotisme, menujunjung nilai persatuan, saling hormat serta selalu bersyukur.

KESIMPULAN

Nilai-nilai pendidikan dari tradisi Peh Cun ini adalah kita sebagai menusia mau berjuang menegekan keadilan, nilai kepatriotisme, menujunjung nilai persatuan, saling hormat serta selalu bersyukur.

DAFTAR PUSTAKA

Herawati, Lucia. 2015. Makna sembahyang musim panas. Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Tengah. Pekalongan

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Tanpa Pengarang. 2009. Pengkajian Upacara Tradisional di Kota Pekalongan Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provisi Jawa Tengah. Semarang