Pandangan Behaviorisme dan Implikasinya Dalam Pendidikan
PANDANGAN BEHAVIORISME
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Umbu Tagela
Pengajar FKIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Pandangan behaviorisme yang memumpun (focus) pada lingkungan dan berinduksi pada tingkah laku manusia sebagai hasil berinteraksi (salingtindak) dengan lingkungan ikut dipengaruhi oleh seorang Filsuf Jerman yaitu Martin Buber yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Karena manusia itu adalah sebuah eksistensi yang memiliki sikap relative atau keterbatasan jika berhadapan dengan alam. Untuk memperoleh tingkah laku yang diinginkan, maka lingkungan mesti dimanipulasi/rekayasa. Pada sisi inilah pemerintah menentukan tingkah laku – tingkahlaku apasaja yang diharapkan diperoleh peserta didik di sekolah. Gagasan ini pernah popular sejak tahun 1971 – 1984, dengan konsep Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang ditopang dengan pendekatan ketrampilan proses. Pendekatan sistem ini menjadikan tujuan sebagai pedoman dan tingkah laku sebagai turning pointnya.
Kata Kunci: Behaviorisme dalam pendidikan
PENDAHULUAN
Sebuah aliran utama dalam pendidikan semenjak pertengahan abad 20 adalah behaviorisme. Behaviorisme dalam salah satu pengertiannya adalah suatu teori psikologi, namun dalam pengertian lain ia telah “membongkar” batas-batas perhatian psikologi tradisional dan mengembangkan suatu teori kependidikan yang menyentak. Sebagai sebuah hampiran (pendekatan) kependidikan ia mendapatkan pengakuan di kalangan ilmuwan modern yang menghargai metodologi ilmiah dan “objektivitas”, dan juga kelompok terbatas dari komunitas bisnis yang mementingkan hasil yang langsung dan kelihatan, efisien serta ekonomis (Franz Magnis Suseno, 1999).
Behaviorisme mempunyai beragam akar ideologis. Salah satunya adalah realisme filosofis. Dengan realisme, behaviorisme memusatkan perhatian pada hukum-hukum alam. Umat manusia dari sudut pandang behavioristik adalah bagian dari alam, dan karenanya, berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam. Realitas bagi behavioristik tidak tergantung pada manusia yang mengetahui. Tugas kalangan behavioris adalah mengamati organisme yang hidup, termasuk manusia, dalam rangka mengungkap hukum-hukum tingkah laku. Setelah hukum-hukum tingkah laku ini diungkap, maka akan tersedia sebuah landasan bagi teknologi tingkah laku.
Akar behaviorisme yang kedua adalah positivisme. Titik tolak kalangan positivis adalah pada apa yang dijelaskan Auguste Comte (1798-1857) sebagai pengetahuan “positif”. Comte membagi sejarah umat manusia menjadi tiga tahapan, masing-masingnya ditandai oleh adanya cara berpikir yang berbeda. Tahapan yang paling primitif adalah tahapan teologis di mana segala sesuatu dijelaskan dengan merujuk pada hal-hal rohaniah dan “kedewaan”. Tahapan tengah adalah metafisik di mana segala kejadian diterangkan dengan esensi-esensi, sebab-sebab, dan prinsip-prinsip “alam”. Tahapan tertinggi adalah positif. Pada tahapan terakhir ini manusia tidak lagi berupaya melampaui fakta-fakta di luar yang bisa diamati dan diukur. Comte berusaha mengembangkan sebuah masyarakat ilmiah, dan kalangan behavioris berdiri tegak di atas landasan Comte. Pemikiran mereka menampilkan suatu penolakan tentang esensi, feeling, dan sebab-sebab “alam” yang tak dapat diukur. Verifikasi empiris merupakan hal utama dalam metodologi behavioris.
Akar historis ketiga dari behaviorisme adalah materialisme. Materialisme, pada intinya, adalah teori yang menegaskan bahwa realitas kiranya dapat dijelaskan dengan hukum-hukum materi (benda) dan gerak. Ia merupakan wujud penolakan tegas terhadap kepercayaan-kepercayaan tentang jiwa, roh, dan kesadaran. Hal-hal ini dianggap sebagai warisan abad prailmiah.
Ivan Pavlov (1849-1936), ahli psikologi Rusia, meletakkan suatu tahapan penting bagi psikologi behavioristik lewat kajiannya tentang reaksi refleks. Pavlov menuliskan bahwa ia dapat mengondisikan anjing-anjing keluar air liur dengan membunyikan sebuah bel, jika anjing tadi sebelumnya telah dilatih untuk menghubungkan suatu bel dengan tersedianya makanan. Bapak behaviorisme modern, John B. Watson (1878-1958), senada dengan Pavlov, menegaskan bahwa tingkah laku manusia adalah sesuatu dari refleks-refleks yang terkondisikan. Watson berpendapat bahwa psikologi harus berhenti mengkaji apa yang dilakukan manusia. Menurut Watson, lingkungan adalah penentu utama tingkah laku. Ia berpendapat bahwa jika lingkungan anak dapat dikontrol, maka ia akan bisa merancang anak tadi menjadi sosok apa pun yang diinginkan.
Orang yang paling berpengaruh dari kalangan behavioris adalah B.F. Skinner. Karya Skinner berada pada garda depan perjuangan behaviorisme dalam pendidikan yang meliputi lingkup semisal modifikasi tingkah laku, mesin pengajaran, dan belajar terprogram. Beberapa karya berpengaruh Skinner adalah Science and Human Behavior (1953), Beyond Freedom and Dignity (1971) dan Walden Two (1948). Kiranya novel utopisnya tentang masyarakat yang direkayasa secara tingkah laku, Walden Two, telah menjadikan ide pemikirannya terpublikasikan secara luas. Skinner berada pada pusat kontroversi karena ia mengabaikan kebebasan dan kemuliaan (dignity) yang secara tradisional diakui ada pada umat manusia, dan cenderung berpendapat bahwa beberapa individu harus memutuskan bagaimana orang-orang lain akan dikondisikan. Karena kritik-kritiknya, hal ini mencuatkan pandangan-pandangan mengejutkan George Orwell pada tahunn 1984. Skinner mencatat bahwa kita dikondisikan oleh lingkungan, dan kiranya lebih bermakna manakala digunakan hukum-hukum teknologi tingkah laku untuk mengondisikan orang sedemikian rupa dalam rangka memaksimalkan kesempatan-kesempatan survive manusia di era kompleksitas teknologi daripada membiarkan hukum-hukum itu berjalan acak.
Kalangan behavioris berkeinginan mengembangkan “sains” kemanusiaan. “Sungguh, behaviorisme,” tulis Skinner, “bukanlah sains tingkah laku manusia; (akan tetapi) ia adalah filsafat sains tadi.” Pernyataan Skinner ini (The Liang Gie, 1997) menggarisbawahi kenyataan bahwa tidak ada sains apapun tanpa asumsi-asumsi filosofis yang membentuk dan membatasi penemuan-penemuan potensialnya. Karena demikian masalahnya.
PRINSIP – PRINSIP
Manusia adalah Seekor Binatang yang Berkembang Tinggi dan Ia Belajar sebagaimana Binatang-Binatang Lainnya Belajar
Bagi kalangan behavioris, manusia tidak dapat berada melampaui dan di luar alam. Manusia bukanlah makhluk yang berada dalam suatu tingkatan dan kelompok tersendiri; manusia lebih sebagai bagian tak terpisahkan dari alam. Menurut Skinner, “sebuah bagian kecil alam semesta diisi dengan badan masing-masing kita. Tidak ada alasan mengapa ia harus memiliki status khusus secara fisik karena berada dalam lingkup batas alam semesta ini.” Manusia tidak mempunyai kemuliaan dan kebebasan khusus. Adalah benar bahwa manusia merupakan sebuah organisme alamiah yang kompleks, akan tetapi ia tetaplah sebagai bagian pokok dunia binatang. Behaviorisme tanpa apologi berkembang perlahan dan pemikiran ini meletakkan kerangka kerja bagi kajian psikologinya.
Tugas psikologi tingkah laku adalah mempelajari hukum-hukum tingkah laku. Hukum-hukum ini sama bagi semua binatang. Oleh karena itu, seorang ilmuwan dapat menemukan berbagai hukum belajar manusia melalui pengkajian terhadap tingkah laku makhluk hidup yang kurang kompleks semisal tikus dan anjing. Demikian halnya, para ilmuwan dapat menghasilkan berbagai teknik pengajaran lewat eksperimentasi terhadap beberapa binatang, Bertrand Russell (Jujun S. Suriasumantri, 1995).
Pendidikan adalah Sebuah Proses Rekayasa Tingkah Laku
Dari perspektif behaviorisme, manusia dapat dirancang untuk berbuat dalam cara-cara tertentu melalui lingkungan. Mereka diberi ganjaran karena melakukan sesuatu dengan cara tertentu dan dikenai hukuman karena melakukannya dengan cara lain. Aktivitas-aktivitas yang menerima ganjaran cenderung diulang-ulang, sedangkan aktivitas-aktivitas yang menerima hukuman cenderung ditinggalkan. Proses pemberian ganjaran atau hukuman (proses penguatan) membentuk seseorang untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu. Karena itu, tingkah laku dapat dibentuk dengan mempolakan “penguat-penguat” lingkungan. Tugas pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar yang mengarah pada tingkah laku yang diinginkan. Dengan demikian, sekolah dan institusi kependidikan lain dipandang sebagai cara dan sarana mendesain sebuah kultur.
Skinner dan kalangan behavioris lainnya menganggap bahwa pengondisian dan perencanaan lingkungan senantiasa menjadi bagian pendidikan dan sekolah. Apa yang mereka serukan adalah sebuah penggunaan secara sadar hukum-hukum belajar untuk mengontrol individu-individu sehingga kualitas hidup meningkat.
Peran Guru adalah Menciptakan Sebuah Lingkungan Belajar yang Efektif
Skinner dan kalangan behavioris lainnya telah beberapa tahun menyarankan revisi menyeluruh terhadap praktik-praktik ruang kelas (Sutriono dan Rita Hanafie, 2007). Unsur pokok yang terabaikan di sebagian besar lingkungan-lingkungan sekolah, tutur Skinner, adalah penguatan (reinforcement) positif. Pendidikan tradisional cenderung menggunakan bentuk-bentuk yang tak disukai semisal hukuman badaniah, hardikan, tugas rumah yang memberatkan, kerja paksa, enggan memberikan penghargaan, dan ujian-ujian yang dirancang untuk menunjukkan apa yang tidak diketahui oleh siswa.
Sebagai konsekuensinya,, jika siswa tidak diberi penguatan secara positif, tentunya akan memilih cara-cara menghindarkan diri dari kondisi ruang kelas yang tidak menyenangkan, melalui gaya-gaya seperti membolos, menjadi agresif atau bahkan keluar dari sekolah.
Pendapat Skinner adalah bahwa siswa-siswa itu belajar dalam kehidupan sehari-hari lewat akibat dan konsekuensi tindakan mereka. Tugas guru adalah menata suatu lingkungan belajar yang akan memberi penguatan positif terhadap tindakan-tindakan siswa yang diharapkan. Tindakan-tindakan yang tidak diberi ganjaran, dalam suatu lingkungan yang terkontrol, akan cenderung ditinggalkan dengan berlalunya waktu.
Harold Ozmon dan Sam Craver (Lachman. Sheldon. J, 1969) meringkaskan prosedur-prosedur dasar untuk modifikasi tingkah laku sebagai berikut:
- menentukan hasil yang diharapkan, apa yang perlu diubah, dan bagaimana hal ini akan dievaluasi;
- menetapkan sebuah lingkungan yang menyenangkan dengan menggeser ransangan yang tidak menyenangkan yang mungkin memperumit belajar;
- memilih penguat-penguat (reinforcers) yang sesuai untuk tampilan-tampilan tingkah laku yang diharapkan;
- mulai membentuk tingkah laku yang diharapkan dengan memanfaatkan penguat-penguat perantara untuk tingkah laku yang diharapkan;
- jika setiap pola tingkah laku yang diharapkan dimulai, maka perlu mengurangi banyaknya penguat-penguat yang diberikan; dan
- mengevaluasi hasil-hasil dan menaksir ulang untuk perkembangan yang akan datang.
Merujuk paparan di atas dapat dikatakan bahwa tujuan-tujuan tingkah laku dan penggunaan penguat-penguat positif yang sesuai adalah hal inti bagi lingkungan belajar yang efektif sebagaimana ditawarkan oleh kalangan behavioris. Untuk membantu guru dalam (mengemban) tugas kompleks mempertahankan sebuah lingkungan yang sarat ganjaran, Skinner dan tokoh lainnya mengusulkan buku-buku ajar yang diprogram dan bahan-bahan lain yang memerinci materi ajar menjadi langkah-langkah konkrit sehingga setiap siswa akan diberi ganjaran secara positif setelah ia merampungkan tiap-tiap langkah (tahap) dengan sukses. Pemberian penguatan (reinforcement) berjalan secara berulang-ulang karena langkah-langkah berkesinambungan dalam proses belajar adalah sekecil (sedetail) mungkin.
Efisiensi, Ekonomi, Ketepatan, dan Objektivitas merupakan Pertimbangan-Pertimbangan Nilai Inti dalam Pendidikan
Nilai-nilai ini dikembangkan, baik oleh orientasi filosofis behaviorisme maupun oleh tujuan-tujuan komunitas bisnis, dimana sekolah hidup berdampingan dalam suatu tataran budaya modern. Teknik-teknik tingkah laku telah diterapkan pada praktik-praktik bisnis, seperti sistem manajemen, periklanan, dan promosi penjualan dengan kesuksesan besar. Hal ini mendorong sebagian besar komunitas bisnis bergabung dengan kalangan psikologi behavioris dan menyerbu sekolah-sekolah dan para tenaga pendidik untuk accountable (bertanggung jawab). Gerakan akuntabilitas berupaya menetapkan tanggung jawab hasil-hasil pengajaran apa yang dipelajari anak. Ini mendorong ketertarikan menerapkan teknik-teknik, tujuan-tujuan manajemen bisnis, dan pengukuran-pengukuran yang didasarkan pada penampilan (performance) dalam konteks sekolah.
Dirasakan oleh kritikus-kritikus behaviorisme bahwa pendekatan menyeluruh terhadap pendidikan ini dilandaskan pada sebuah pendapat simplistik tentang proses pendidikan, dan sebuah premis yang keliru yang menyamakan pelatihan dan manipulasi (rekayasa tingkah laku) dengan pendidikan. Mereka menegaskan bahwa apa yang mungkin sukses sebagai suatu teknik periklanan boleh jadi tidak efisien bagi pendidikan anak.
Usulan Deschooling
Pada tahun 1970 dunia Barat menyaksikan 2.50 tahun upaya-upaya periodik dalam reformasi pendidikan dan 150 tahun reformasi intensif setelah persekolahan tersedia bagi masyarakat luas. Tahun 1970 memperlihatkan sebuah usulan yang beranjak jauh melampaui reformasi pendidikan menuju “gelanggang” revolusi pendidikan. Gerakan ini diinisiasi dengan publikasi Deschooling Society oleh Ivan Illich. Pendekatan Illich terhadap tatanan sosial secara mendasar adalah pendekatan anti institusionalisme dan antikemapanan. Ia menentang institusionalisme atau sesuatu (Tanah) yang mengakibatkan monopolisasi pelayanan dan kesempatan, dan meletakkan jalur-jalur yang kaku dan mahal sebagai satu-satunya cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (Ivan Illick, 1982).
Illich melihat sistem sekolah sebagai “sarang” musuh bagi gagasannya tentang kehidupan yang nyaman (good life), karena sistem sekolah mengajarkan kepada semua generasi muda untuk menganggap model institusional (kelembagaan) sebagai hal ideal.
Dengan demikian, siswa “disekolahkan” untuk mengacaukan pengajaran dengan belajar, nilai hasil belajar dengan pendidikan, ijazah dengan kompetensi, dan kelancaran bicara dengan kemampuan mengatakan sesuatu yang baru. Imajinasinya “disekolahkan” untuk menerima bekerja dalam “ruang” nilai. Pengobatan medis disalahpahami sebagai perawatan kesehatan, kerja sosial sebagai pengembangan kehidupan komunitas (masyarakat), perlindungan polisi sebagai keselamatan, ketenangan militer sebagai keamanan bangsa, kesibukan yang tiada henti-hentinya sebagai kerja produktif.
Usulan deschooling menyerukan “pembubaran” sekolah dan pencabutan undang-undang wajib belajar. Dengan pendapat ini, Illich dan kawan-kawannya mengusulkan sebuah sistem kuitansi atau dana kuliah yang mana biaya pendidikan dihubungkan secara langsung dengan ahli waris yang akan menentukan bagaimana membelanjakan keuangannya dalam rangka usaha mendanai “jatah” pendidikan yang menjadi pilihannya.
Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Illich, harus mempunyai tiga tujuan: ia harus memberikan kesempatan kepada semua yang ingin belajar untuk mendapatkan sumber-sumber yang tersedia kapan pun dalam kehidupan mereka; memberdayakan semua orang yang ingin membagi pengetahuan mereka untuk bisa mendapatkan orang-orang yang bermaksud belajar dari mereka; dan terakhir, menyuguhkan peluang kepada semua orang yang ingin menampilkan sebuah isu permasalahan agar bisa diketahui publik.
Untuk membantu orang-orang menjadi terdidik dalam sebuah masyarakat tanpa sekolah (a deschooled society), Illich mengusulkan apa yang disebutnya dengan “jaringan kerja pendidikan” yang akan menghubungkan para subjek didik dengan guru-guru, subjek didik-subjek didik lainnya dan sarana-sarana belajar. Ia menjadikan jaringan kerja pendidikan ini sebagai pelayanan rujukan untuk tujuan pendidikan, pertukaran keterampilan, belajar bersama, dan sebagai pelayanan rujukan untuk para pendidik pada umumnya.
KESIMPULAN
Pandangan behaviorisme mirip dengan salah satu hukum dasar pendidikan yakni hukum empirisme yang dipelopori oleh Jhon Locke (1632-1704) yang mengatakan bahwa perkembangan pribadi ditentukan factor-faktor lingkungan. Teori ini dikenal dengan sebutan Tabularasa, yang menganggap bahwa lingkungan relative dapat diatur (rekayasa) dan sifatnya optimistik. Konsep ini bertentangan dengan hukum dasar pendidikan yang lain yakni Nativisme yang dipelopori oleh Athur Schopenhouer (1788-1860) yang mengutamakan pembawaan (hereditas) sebagai factor yang menentukan keberadaan peserta didik. Kedua hukum dasar pendidikan yang bertolak belakang ini kemudian dijembatani dengan hukum dasar pendidikan Konvergensi yang dipelopori oleh William Stern, yang mengatakan bahwa keberadaan peserta didik ditentukan oleh faktor lingkungan dan faktor pembawaan.
Kaum behavioristik (Hansen, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. dengan demikian kepribadian individu dapat dikembangkan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti teori pembiasan (conditioning) dan peniruan.
Manusia tidak datang ke dunia dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik atau jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu semata-mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembangan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan.
Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri yang amat penting yang ada pada manusia, dan tidak ada pada mesin atau binatang, seperti kemampuan untuk memilih, menetapkan tujuan, mencipta, dll. Dalam menanggapi kritik ini Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku yang juga berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku-tingkah laku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah.
Semua ciri yang dimiliki manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah (Brian Turner,2000). Dibandingkan dengan binatang barangkali manusia adalah binatang yang unik, yaitu binatang bermoral, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa manusia itu memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujud dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikan manusia, melainkan mendehomukulisasikan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. hanya dalam hubungannya dengan lingkungan, yang didekati secara ilmiah, kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat manusia dapat ditinggikan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus makhlus sosial yang merupakan kesatuan bulat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi.
Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup secara layak di antara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak akan dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih baik, mustahillah hal itu dikerjakan sendiri oleh seseorang tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat.
Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada perkembangan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata-mata, melainkan terletak pada kemampuannya untuk bekerja sama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dalam masyarakat itulah, manusia itu menciptakan kebudayaan, yang pada akhirnya membedakan manusia dari segenap makhluk hidup yang lain, yang mengantarkan umat manusia pada tingkat, mutu, martabat, dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
Kesadaran akan hal-hal tersebut di atas selanjutnya menumbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik untuk orang lain dan masyarakatnya. Semuanya itu melahirkan sikap sadar bahwa untuk mewujudkan keselarasan dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya, manusia perlu mengendalikan diri (Edgar Morin, 1999). Dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam coraknya, kemauan dan kemampuan mengendalikan diri dan kepentingannya adalah sikap yang mempunyai arti sangat penting dan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan yang pada gilirannya akan menimbulkan keseimbangan dan stabilitas masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan hidup manusia. Namun hal prinsipial yang mesti dipahami adalah apa itu lingkungan? Pada aras berpikir seperti itu kita memosisikan lingkungan pada dimensi ontologis. Untuk memaknainya obyek lingkungan tersebut diperlukan proses (epistemologi) karena tidak semua lingkungan kondusif dan bermakna untuk pendidikan (aksiologi)). Merujuk kerangka berfikir seperti itu dibutuhkan kiat untuk memanage lingkungan secara ilmiah agar lingkungan pada dirinya memiliki daya dukung optimal bagi kemaslahatan hidup manusia. Untuk maksud ini digunakan fungsi manajemen menurut Sondang Siagian (2004)
Agar lingkungan memiliki daya dukung optimal, maka perlu dilakukan hal-hal berikut ini:
- Merencanakan lingkungan apasaja, bagaimana memprosesnnya dan kebermanaannya
- Mengorganisir lingkungan (point 1) agar tertata dengan baik
- Mengarahkan lingkungan (point 1)
- Mengawasi pengaruh lingkungan (point 1) terhadap manusia
- mengevaluasi lingkungan (point 1) untuk replanning
Pandangan behaviorisme yang memumpun (focus) pada lingkungan dan berinduksi pada tingkah laku manusia sebagai hasil berinteraksi (salingtindak) dengan lingkungan ikut dipengaruhi oleh seorang Filsuf Jerman yaitu Martin Buber yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Karena manusia itu adalah sebuah eksistensi yang memiliki sikap relative atau keterbatasan jika berhadapan dengan alam.
Untuk memperoleh tingkah laku yang diinginkan, maka lingkungan mesti dimanipulasi/rekayasa. Pada sisi inilah pemerintah menentukan tingkah laku – tingkahlaku apasaja yang diharapkan diperoleh peserta didik di sekolah. Gagasan ini pernah popular sejak tahun 1971 – 1984, dengan konsep Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang ditopang dengan pendekatan ketrampilan proses. Pendekatan sistem ini menjadikan tujuan sebagai pedoman dan tingkah laku sebagai turning pointnya. Tingkah laku yang dikemas dalam PPSI didominasi oleh tingkah laku hasil belajar (kognitif), walaupun PPSI didukung oleh pandangan Bloom, Kempt, Myier, tidak mampu mencapai tingkah laku afektif dan psikomotor.
Akhirnya kondisi obyektif ini, nyaris melumpuhkan dimensi humanisme dalam pendidikan. Pada sisi inilah Mendikbud Nugroho Noto susanto menggagas berlakunya konsep humanisme yang dikenal dengan PSPB dari SD-PT.
Amat disadari bahwa pendidikan bermuara pada tingkah laku hasil belajar. Tetapi tingkah laku hasil belajar tidak semata hasil atau pengaruh lingkungan (guru, sosial budaya, fisik dan geografis) tapi yang tidak kalah penting adalah tingkah laku hasil internalisasi nilai.
Mengacu kerangka berfikir di atas, kita perlu menentukan apa sebenarnya obyek tingkah laku (kognitif, afektif dan psikomotor)? Pada aras berpikir ontologis itulah kita memperoleh gambaran yang jelas tentang tingkah laku apasaja yang dipumpun pada lembaga sekolah. Bagaimana tingkah laku berproses menjadi kognitif, afektif dan psikomotor sesuai standar yang berlaku. Pada aras berpikir epistemologi inilah kita justru terkecoh dan mengabaikan keutuhan dari keseluruhan tingkah laku yang dipumpun. Yang tragis kita memosisikan tingkah laku hanya untuk naik kelas dan lulus ujian (aksiologi). Pada dimensi inilah kita berhadapan dengan masalah baru yakni outcome yang tidak jelas disebabkan ketidak jelasan output. Pendidikan kita akhirnya terjebak pada tataran menjawab keinginan subyektif masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, kita butuh kiat atau cara untuk mengelola tingkah laku agar pendidikan yang sedang kita geluti tidak salah arah. Kita perlu merencanakan, mengorganisir, mengarahkan,mengawasi dan menilai tingkah laku dengan seksama agar hasil pendidikan memiliki dimensi kemaslahatan bagi umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ihalauw, Jhon. JOI, 2005, Bangunan Teori, FE-KSW, Salatiga.
Brian Turner, 2000, Teori-Teori Sosiologi Modernitas, Postmodernitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edgar Morin, 1999, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta
Franz Magnis Suseno, 1999, Pemikiran Karl Max, Gramedia, Jakarta
Ivan Illick, 1982, Deschooling Society, Erlangga, Jakarta
Jujun S. Suriasumantri, 1995, Obor Indonesia, Jakarta
Lachman. Sheldon. J, 1969, The Foundation of Science, New York, Vantage Press,
Siagian, SP, 2004, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta
Sutriono dan Rita Hanafie, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Andi Offset, Yogyakarta
The Liang Gie, 1997, Pengantar Filsafat Ilmu, liberty, Yogyakarta