PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KABUPATEN KUDUS

POLA KONTEMPELATIF DAN PURGATIF

(Mengurai Akar Problematika Pendidikan Agama Islam)

 

Suhanto

Kepala MAN 1 Kudus

 

ABSTRAK

Pendidikan agama di sekolah belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Pendidikan agama belum mampu secara optimal menciptakan sikap positif siswa (akhlaq yang baik). Problemnya cukup kompleks, jumlah jam yang kurang, kurikulum yang kurang tepat, dan yang paling penting adalah faktor metodologi pelaksanaan pendidikan agama yang hanya berkutat pada aspek kognitif. Maka diperlukan inovasi-inovasi baru dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Kelemahan yang cukup fatal dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah adalah dari aspek metodologis, khazanah ilmu-ilmu islam klasik sebenarnya dapat dijadikan rujukan, terutama ilmu-ilmu tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi. Penulis menawarkan sekaligus sudah penulis praktekkan metode tersebut, yakni dengan melalui dua pola pembinaan akhlaq: (1) pola kontempolatif dengan berbagai kegiatan, seperti tadabbur alam, tadabbur Al Qur’an, shalat berjamaah, shalat sunnah, dzikir malam, shalat malam, dan sebagainya. (2) pola purgatif dengan pembiasaan perilaku-perilaku positif siswa, seperti mengunjungi fakir miskin, membiasakan infaq, dan sebagainya dan juga melalui pendekatan individual. Hasil pelaksanaan metode tersebut cukup menggembirakan, menurut data angket ke siswa (murid) dan orang tua menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang signifikan pada perilaku siswa dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik. Metode ini merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk pengembangan pendidikan agama di sekolah, sehingga pendidikan agam di sekolah bukan lagi sebagai syarat untuk kenaikan kelas saja, namun benar-benar menyentuh kehidupan siswa (murid).

Kata kunci: PAI, kontemplatif dan purgatif

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa religius (agamis). Secara historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai nilai-nilai agama sejak zaman kerajaan sampai sekarang. Penghargaan terhadap nilai-nilai agama dapat dilihat dari berbagai kegiatan masyarakat yang cukup kental dengan pesan-pesan keagamaan, mulai dari upacara-upacara hari kelahiran anak sampai proses kematian seseorang.bahkan akhir-akhir ini bangsa Indonesia tampak semakin marak dalam kegiatan-kegiatan kegamaan. Masjid-masjid, gereja-geraja berdiri semakin banyak dan megah. Secara kuantitas jumlah umat Islam yang melaksanakan ibadah haji semakin meningkat. Demikian pula pada hari-hari dan bulan tertentu kegiatan keagamaan semakin semarak, misalnya pada bulan ramadlan.

Secara kuantitas memang terbukti bahwa keberagamaan bangsa Indonesia tidak merosot, tetapi terus semakin meningkat baik ditinjau dari aspek fisik maupun volume kegiatan keberagamaan mereka, namun kalau dilihat dari aspek substansi dan internalisasi nilai-nilai keberagamaan yang harus dimiliki oleh pribadi bangsa Indonesia, rupanya kita tidak boleh terlalu bangga.

Agama mengajarkan kejujuran, namun realitas menunjukkan bahwa kejujuran merupakan barang yang sangat mahal, sehingga tidak banyak manusia Indonesia yang memilikinya. Problem korupsi tidak semakin mengecil namun semakin menggila seolah tidak ada pangkal dan ujungnya. Agama mengajarkan kepekaan sosial, namun realitas menunjukkan bahwa si papa (dhu’afa) dan si miskin tidak segera memperoleh uluran tangan dari si kaya (aghniya). Si kaya semakin kaya si miskin semakin miskin. Si kaya semakin rakus mengeruk uang sebanyak-banyaknya, sementara si miskin terpaksa menangis hanya untuk mendapatkan sesuap nasi, agama mengajarkan toleransi, saling menghargai dan menghormati sesama yang berbeda dalam agama, cara pandang, dan sebagainya, namun realitas menunjukkan bahwa agama sering menjadi alat untuk saling mencurigai, saling menjatuhkan bahkan saling bertumpah darah. Agama mengajarkan hidup bersaja, namun realitas menunjukkan bahwa budaya hedenistik semakin menjadi hobi. Agama mengajarkan bahwa kebebasan manusia harus dibatasi dengan nilai-nilai alamiah yang lurus dan menyelamatkan, namun realitas menunjukkan bahwa ikatan-ikatan nilai ilmiah itu semakin longgar bahkan terlepas sama sekali. Kehidupan permisif (serba boleh) telah menjadi budaya, narkoba, pergaulan bebas, telah menjadi budaya kaum muda dan remaja.

Kalau dilihat dari aspek kuantitas, memang keberagaman kita boleh dibanggakan, namun kalau dilihat dari aspek kualitas (substantif), keberagaman kita masih memprihatinkan. Tampaknya tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan jumlah masjid, peningkatan ibadah-ibadah ritual (puasa, salat, haji) dengan peningkatan mentalitas (akhlaq) umat beragama. Haji semakin meningkat, korupsipun semakin meningkat. Shalat dan puasa semakin diminati, penampilan pornografi dan pornokasipun semakin meninggi, apakah benar tidak ada hubungan antara kegiatan ritual keagamaan dengan peningkatan akhlaq.

Secara normatif, agama mengajarkan bahwa ibadah-ibadah ritual merupakan tangga untuk membentuk karakter (akhlaq) yang baik bagi pelakunya[1]. Namun realitasnya umat beragama masih jauh dari nilai akhlaq. Ada persiapan apa sebenarnya ? berbicara tentang moral dan akhlaq, bila dituntut sampai kepangkalnya, pasti akan sampai pada persoalan pendidikan, bericara tentang pendidikan akan sampai pada masalah-maalah sekitar dasar-dasar filosofinya, kurikulumnya, Sumber Daya Manusianya sampai pada pendekatan dan metode yang digunakan untuk penyampaian nila-nilai.

Tampaknya, pendidikan moral atau akhlaq terutama yang menjadi wilayah pendidikan agama belum menunjukkan hasil yang optimal, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Pendidikan agama yang diajarkan di sekolah masih belum menyentuh sisi perubahan sikap (afektif), namun masih berkutat pada aspek kognitif (hafalan). Kebanyakan guru agama belum membuat terobosan-terobosan efektif agar pendidikan agama menjadi menarik dan diminati siswa sekaligus mampu melakukan perubahan akhlaq/perilaku yang signifikan. Bukti kegagalan pendidikan agama di sekolah yang dapat dilihat langsung adalah realitas kebejatan akhlaq/moral remaja semakin membesar, mulai dari narkoba, kebebasan seks, perilaku-perilaku tidak sopan, kehidupan permisif, hedonistis, dan sebagainya. Tidak tepat bila memandang keberhasilan pendidikan agama hanya dengan melihat nilai agama di raport. Nilai di raport merupakan salah satu indikator (kognitif) sedang indikator keberhasilan pendidikan agama justru dapat dilihat ketika anak-anak berperilaku di masyarakatnya.

Permasalahan

Dengan uraian di atas penulis dapat memunculkan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:

1.     Faktor apa yang menyebabkan pendidikan agama (Islam) di sekolah belum mampu secara optimal merubah perilaku siswa menjadi baik ?

2.     Bagaimana solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut ?

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini dapat dinilai sebagai berikut:

1.     Untuk mengetahui pelaksanaan pengajaran pendidikan agama di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Kudus.

2.     Untuk mengetahui seberapa jauh efektifitas pengajaran pendidikan agama di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Kudus.

3.     Untuk mengetahui kendala pelaksanaan pengajaran pendidikan agama di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Kudus.

Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a.     Interview (wawancara)

Dalam penelitian ini interview/wawancara diperlukan untuk memperoleh data tentang keadaan Perusahaan.

b.     Angket atau Kuesioner

Dalam mengajukan pertanyaan peneliti menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai pedoman.

c.     Observasi atau pengamatan

Observasi dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan karyawan pada Perusahaan.

d.     Dokumentasi atau studi kepustakaan

Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dari buku-buku yang berhubungan dengan penelitian. Hal ini diperlukan penulis sebagai pendukung teoritis karena dalam studi kepustakaan terdapat dalil-dalil yang dibutuhkan.

Kerangka Pemikiran

Keteladanan guru dan sikap positif (khususnya guru agama) akan sangat berpengaruh untuk menumbuhkan sikap dan tindak-tanduk siswanya dalam keseharian. Motivasi yang diberikan oleh seorang guru dalam melakukan suatu tindakan harus mencerminkan sikap akhlakul karimah yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadits.

ANALISIS MASALAH

Pendidikan Agama

Dalam khazanah ilmu-ilmu islam dipahami bahwa Islam adalah kesatuan antara ilmu dengan amal, iman dan amal shaleh, ibadah ritual (mahdlah/khusus) dan akhlaq karimah (mulia), aqidah dengan syari’ah. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan dalam diri seorang muslim. Islam tidak hanya diilmui namun juga harus diamalkan. Islam tidak hanya keimanan di dalam hati namun juga harus terwujud dalam aktivitas keseharian, islam tidak hanya ibadah ritual mahdlah (Shalat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya) tetapi juga bagaimana seorang muslim berbuat yang terbaik bagi masyarakat.

Secara normatif, pernyataan di atas dapat dilacak argumen (dalil) nya di dalam dasar-dasar agama Islam, yaitu Al Qur’an dan Al-Hadits. Ilmu memang sangat penting bagi seorang muslim. Demikian pentingnya mengilmui agama, Rasulullah SAW sampai pernah bersabda:

Barang siapa yang dikehendaki Allah baik, Ia pahamkan kepadanya tentang agama”[2].

Tepat apa yang dikatakan oleh Khalifah Umar bin Abdil Aziz “barangsiapa beramal tanpa ilmu, maka yang rusak lebih banyak daripada yang benar”[3] (Ibnu Abdil Barr: 28). Oleh karena itu kita banyak menemui para ulama penulis terdahulu yang senantiasa mengawali karya-karyanya dengan “kitab Al-Ilmi” (Pembahasan tentang ilmu). Secara lebih tegas pentingnya ilmu, Allah SWT berfirman “sesungguhnya hamba Allah yang pulang takut kepada-Nya adalah ulama (ahli ilmu)[4].

Semuanya itu bukan berarti amal itu tidak penting, amal itu sangat penting, karena sangat pentingnya amal, maka amal harus diilmui lebih dahulu, sebab amal yang tidak diilmui maka kemungkinan besar akan terjadi kesalahan dalam beramal. Ketika terjadi kesalahan dalam beramal, maka akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri. Hasan Al Basri mengatakan: “Orang yang beramal tanpa ilmu seperti seorang yang berjalan tidak di jalurnya”.

Amal harus diilmui, demikian sebaliknya ilmu harus diamalkan. Oleh karena itu banyak ayat Al Qur’an atau Al Hadits yang menyebutkan keburukan orang berilmu tetapi meninggalkan amal. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an “Adakah kamu menyuruh orang lain dengan berbuat baik dan kamu lupakan dirimu sendiri”[5]. Karena itulah dosa orang yang berilmu mengerjakan peruatan ma’siyat adalah lebih besar dari dosa orang bodoh[6].

Dengan demikian pendidikan agama harus diarahkan pada dua aspek yaitu aspek mengilmu (kognitif) dan aspek pengamalan (afektif dan psikomotor). Secara kognitif sudah banyak disampaikan berbagai pendekatan dan metode yang menarik. Namun secara afektif dan psikomotor penulis melihat belum ada terobosan-terobosan metodologi yang tepat bagaimana cara untuk menginternalisasikan nilai agama sehingga menjadi sikap hidup yang mengejawantahkan dalam perilaku sehari-hari siswa dalam bentuk ketekunan dalam melakukan ibadah mahdlah (khusus) dan akhlaq karimah (mulia).

Tasyawuf

Kita bisa melacak bagaimana Nabi Muhammad SAW melakukan tarbiyah (pendidikan) kepada umatnya sehingga menjadi umat yang mencapai mercusuar, juga bisa melacak bagaimana ulama-ulama Islam merumuskan metodologi yang tepat untuk internalisasi nilai-nilai agam (Islam) kepada para murid-muridnya. Penulis melihat, khazanah ilmu islam khususnya yang berkaitan dengan metodologi yang tepat dalam penanaman (internalisasi) nilai-niali agama di ulama terdahulu belum dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah, penulis akan mencoba sedikit membuka beberapa lembar khazanah ilmu-ilmu islam klasik tersebut uuntukdijadikan landasan dalam menyusun formulasi metodologi yang tepat yang dapat digunakan untuk proses pendidikan agama (Islam) di sekolah-sekolah. Secara aplikatif, penulis sendiri telah melakukannya pada tahun-tahun terakhir ini di tingkat Madrasah Darul Ma’arif Kabupaten Kudus, hasilnya cukup menggembirakan.

Salah satu khazanah ilmu islam klasik yang dapat penulis pelajari adalah tasawuf. Pengertian tasawuf sangat beragam[7]. Namun setidaknya jika dipandang dari sisi moralitas ada beberapa point yang perlu dikemukakan, yakni bahwa pengembangan tasawuf memiliki beberapa tujuan, yaitu pertama tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis. Kedua tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah (mengenal Allah). Ketiga tasawuf, yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis[8].

Menurut ajaran tasawuf satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang kehadirat Tuhan dan moralitas yang baik hanyalah dengan kesucian jiwa. Sebab menurut mereka jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari cahaya illahi yang suci, maka segala sesuatu itu harus suci dan sempurna, sekaligus tingkat kesucian dan kesempurnaan itu ada variasinya sesuai dengan dekat dan jauhnya dari sumber aslinya, yaitu Tuhan.

Hati (qalbu) dalam kondisi lemah iman, kurang bercahaya atau dalam kondisi sakit dan keras, dapat dengan mudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Ia menyerah di hadapan nafsu birahi dan menyerah di hadapan penyakit-panyakit lainnya. Berbeda halnya jika hati itu brsih-selamat, maka ialah yang betindak sebagai pengarah. Di satu sisi ia dapat lolos dari godaan-godaan setan lalu melemparkan sikap tunduk pada nafsu birahi, dan pada sisi lain ia mampu mengarahkan tingkah laku manusia berdasar pada tuntutan ajaran Allah.

Proses pembersihan hati dapat dilakukan dengan melalui berbagai latihan seperti dzikir, tafakkur dan tadabbur. Secara alamiyah, proses tersebut akan membawa hati seseorang akan mencapai kedekatan kepada Allah SWT dan mencapai kesuciannya.

Pola Kontemplatif

Dekat Allah SWT dipandang dari aspek moralitas berarti dengan dekat kepada Allah seseorang akan tumbuh kesadaran batin yang terdalam untuk selalu berjalan pada moralitas yang diajarkan Allah SWT. Tumbuh kesadaran untuk meniru sifat-sifat Allah, tumbuh kesadaran bahwa seluruh tingkah laku yang dilakukannya selalu mendapat pengawasan dari Tuhan kapanpun dan dimanapun, tumbuh kesadaran bahwa seluruh perilakunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT, diakherat kelak. Kesadaran ini oleh Muhammad Iqbal disebut sebagai religious experience[9].. Pola pembersihan hati seperti di atas oleh Romdoni disebut poel kontemplatif[10].

Secara teknik Sa’id Hawwa memberikan beberapa contoh untuk pola kontemplatif tersebut, yang diberi istilah dengan wiridan-wiridan antara lain: terus menerus melakukan:

1.     Shalat lima waktu dengan berjamaah, shalat-shalat sunnah rawatib beserta dzikir dan wiridannya, shalat tahajjud, dan shalat dhuha.

2.     Membaca istighfar tidak kurang dari 100 kali setiap sehari.

3.     Membaca kalimah tauhid tak kurang dari 100 kali setiap sehari.

4.     Pembacaan shalawat kepada Rasulullah SAW tidak kurang dari 100 kali setiap hari.

5.     Membaca surat Al Ikhlas tiga kali dan sebagainya[11].

Ketekunan dalam melakukan wiridan-wiridan tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam pembersihan hati, yang pada gilirannya akan meninggalkan bekas pengalaman keagamaan atau spiritual yang mendalam.

Pola kontemplatif tersebut seharusnya disempurnakan dengan menggunakan pola kedua yang disebut pola purgatif. Sebenarnya pola ini adalah pola pembiasaan langsung (pengalaman langsung) yaitu dengan melakukan amalan-amalan (perbuatan) yang baik secara terus menerus walaupun hati merasa berat. Romdhoni secara kesterm menyebutnya sebagai semacam penyiksaan jasmani, jasmani yang mestinya tidur, justru diajak berjaga. Jasmani yang mestinya butuh makan, justru diajak berpuasa, dan sebagainya.

Pola Purgatif (Riyadloh)

Dalam pandangan Imam Ghazali pola ini disebut sebagai riadloh (latihan). Menurutnya budi pekerti (akhlaq) dapat diperbaiki melalui latihan terus menerus[12]. Pada awalnya latihan itu berat, tetapi kalau secara kontinue (istoqomah) dilakukannya pada akhirnya akan menjadi karakter (thabiah). Ghazali memberikan contoh, antara lain bila ada seseorang yang memiliki tabiat kikir, maka seharusnya ia selalu memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan walaupun pada mulanya ia merasa sangat berat, tetapi kalau dilakukan secara sabar dan kontinue akhirnya akan menjadi kebiasaan (karakter) pemurah. Demikian juga bagi seseorang yang memiliki tabiat sombong, maka ia harus terus menerus melakukan kegiatan di tempat-tempat kumuh, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan hal-hal yang menghilangkan kesombongannya. Ketika seseorang ingin menumbuhkan karakter penyayang dan peka terhadap kondisi sosial, maka seharusnya ia selalu melatih diri dengan cara dekat dengan fakir miskin yang membutuhkan pertolongan sekaligus berusaha untuk membantu mereka. Ketika ingin mengembangan sikap menghargai pendapat orang lain, maka orang itu harus selalu berusaha melakukan dialog, diskusi terus menerus dengan orang lain, dan sebagainya.

Pada pola purgatif (riadloh) ini tampaknya sangat bersifat individual, sebab setiap orang (dalam hal ini siswa) memiliki karakter dasar yang berbeda-beda. Ada diantara siswa yang memiliki karakter pemarah, kikir, pendendam, sombong, tidak percaya diri, penakut, pemberani, dan lain-lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, guru harus memahami watak dasar perindividual dari murid-muridnya dan latihan-latihan (riadloh) yang harus diterapkannya pada murid-muridnya dan latihan-latihan (riadloh) yang harus diterapkannya pada masing-masing murid tersebut. Sebab belum tentu satu betnuk latihan cocok bagi murid yang satu cocok pula untuk orang lain. Disini sangat diperlukan kemampuan guru yang jandal dalam memahamimasing-masing muridnya. Walaupun ada latihan-latihan yang dapat diberikan secara umum.

Dari kajian khazanah keilmuan islam klasik tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa salah satu faktor metodologis, disamping faktor-faktor yang lain. Ada konsep dasar yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam peaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah agar benar-benar berhasil baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Setidaknya konsep dasar metodologi pembelajaran agama islam di sekolah dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pelaksanaan pola kontemplatif bagi murid dengan memberikan berbagai kegiatan yang menunjang. Di samping itu juga memberikan pembinaan general dan individual dengan melakukan upaya-upaya riadloh (latihan) bagi murid sesuai watak dasar mereka masing-masing. Ini merupakan tawaran metodologis yang mungkin tidak mudah untuk dilaksanakan namun perlu untuk dicoba dipraktekkan.

PEMBAHASAN

Solusi Yang Ditawarkan

Berbagai bentuk kegiatan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam yang akan penulis paparkan dalam dalam makalah ini adalah merupakan hasil perenungan dan praktik langsung yang kurang lebih berlangsung satu setengah tahun, dan jika dilihat hasilnya memang cukup menggembirakan.

Berawal dari sebuah keprihatinan menyangkut pelaksanaan pendidikan agama Islam, di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Kudus yang belum menunjukkan hasil yang optimal, maka penulis mencoba melakukan kaji ulang terhadap khazanah keilmuan Islam di masa Rosullullah SAW dan dimasa klasik, khususnya mengenai pendidikan agama Islam. Penulis menemukan adanya sesuatu yang hilang, yakni aspek metodologis pendidikan akhlaq. Pendidikan akhlaq menurut kalangan tasawuf melalui proses yang panjang dan intens.

Bila dibandingkan, pelaksanaan pendidikan agama islam (akhlaq) di sekolah-sekolah di masa sekarang tampaknya masih sangat jauh dari ideal. Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah masa sekarang ini masih berkutat pada aspek kognitif belaka. Sehingga tidak heran jika para murid sekarang ini mempelajari agama bukan untuk membangun perilaku, budi pekerti dan keimanan, namun hanya untuk mendapatkan nilai raport yang merupakan syarat pokok agar ia dapat naik kelas.

Alokasi waktu untuk pendidikan agama yang tidak lebih 2 (dua) jam pelajaran untuk Sekolah Dasar hanya bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan kognitif saja, itu saja harus dengan berbagai pendekatan dan metodologi yang menarik, diskusi, penugasan, pembuatan makalah, dan sebagainya. Jika hendak mencapai tujuan dari aspek afektif dan psikomotor (penghayatan dan pengalaman) yang terejawantah dalam kehidupan praktis murid, harus ada keberanian untuk menambah waktu di luar jam pelajaran, bukan untuk memberikan ceramah-ceramah tetapi untuk memberikan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Penulis telah mencoba mempraktekkan metodologi pengembangan akhlaq mirip yang dikembangkan di dunia sufi (ahli tasawuf) untuk mempermudah pemahaman, penulis akan menguraikan secara runtut dari aspek-aspek: (1) bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan, (2) waktu-waktu yang diperlukan, dan (3) model evaluasi dari berbagai kegiatan tersebut.

Bentuk Kegiatan

Kegiatan-kegiatan yang penulis praktikkan mengacu pada pola-pola yang pernah dikembangkan oleh dunia tasawuf yakni pola kontemplatif (perenungan) dan pola purgatif (latihan-latihan intensif). Dengan mengacu dua pola tersebut penulis melakukan berbagai kegiatan. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

Menurut pola kontemplatif

Kegiatan-kegiatan yang penulis programkan menurut pola ini adalah sebagai berikut:

Tadabbur

Inti kegiatan tadabbur adalah siswa terus menerus melakukan penghayatan-penghayatan dengan menggunakan potensi qalb (rasa/emosional) yang nyaris meninggalkan aspek pikir (otak). Qalbu (rasa) terus diasah sehingga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap realitas kebesaran Allah SWT, kepekaan tersebut dapat ditumbuhkan jika hati (qalb) itu bersih dan suci dari berbagai dosa dan kemaksiyatan. Dengan kondisi tersebut seseorang akan memiliki pengalaman keagamaan (religious experience) yang merupakan dasar untuk mewujudkan akhlaq yang mulia. Kegiatan tadabbur yang penulis programkan adalah:

Tadabbur alam

Dengan kegiatan tadabbur alam, siswa diajak untuk merenungkan fenomena-fenomena alam yang mengagumkan. Dengan perenungan terhadap fenomena-fenomena alam tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki kesadaran bahwa Allah SWT, Sang Pencipta Alam itu Maha Besar, Maha Indah, Maha Agung dan sebagainya[13].

Kegiatan itu dapat dilakukan setiap hari, namun dapat diprogramkan pada saat tertentu (minimal 2 kali dalam satu tahun), yakni siswa diajak untuk peri ke gunung, atau ke tempat-tempat yang tenang (jauh dari hirup pikuk keramaian duniawi). Di tempat tersebut siswa diberikan berbagai kegiatan spiritual (spiritual training).

Tadabbur Kitabullah dan Hadits Rasulullah SAW

Menghayati makna dan pesan kitab suci (Al Qur’an) secara rutin akan memberikan pengaruh (atsar) terhadap kondisi batin (qulb) seseorang. Mentadabburkan isinya disertai dengan mengamalkan-nya, dapat membukakan hati dan mencairkan berbagai macam kotoran dan tipu daya diri yang menguasainya, dan kemudian meletakkan manusia di dalam pusaran hikmah[14]. Kegiatan ini penulis programkan setiap pagi sebelum siswa memulai pelajaran. Mentadabburi ayat-ayat demi ayat Al Qur’an memberikan dampak positif bagi perkembangan mental siswa.

Tadabbur doa-doa

Doa adalah madrasah rohani, dan juga madrasah amal perbuatan, doa juga berarti perubahan dari kejelekan diri, dan penolakan atas kedzaliman dan kerusakan[15]. Kegiatan berdoa keseharian menjadi perhatian utama penulis. Doa memulai pelajaran, doa mengakhiri pelajaran, dan doa-doa lainnya penulis tekankan untuk dihayati oleh siswa, sehingga dalam pelaksanaan doa baik secara individual atau jamaah, penulis pantai secara serius, apakah siswa berdoa sembarangan atau berdoa secara serius dan khusyu’.

Tafakkur

Inti kegiatan tafakkur lebih terkonsentrasi pada bagaimana aktivitas otak (pikir) untuk memikirkan fenomena-fenomena (ayat kaumiyah dan ayat qauliyah). Perbedaan dengan tadabbur, tafakkur lebih menekankan aspek-aspek rasionalitas untuk menghasilkan pemahaman terhadap tanda-tanda (ayat-ayat) kebesaran Allah SWT. Yang dapat dilakukan adalah guru memberikan tugas-tugas antara lain: murid memikirkan tentang nikmat-nikmat (karunia-karunia) Allah SWT yang telah diberikan murid memikirkan luasnya ilmu Allah, dan sebagainya.

 

Dzikir[16]

Yang penulis maksud dengan dzikir disini adalah ingat Allah SWT dengan hati (dzikir qalbiyah) dan lisan (dzikir lisan). Pengaruh aktivitas dzikir diyakini sangat besar bagi pengembangan potensi manusia. Dzikir mendatangkan berbagai buah dan hasil yang dapat dirasakan oleh siapa yang rajin melaksanakannya dengan penuh adab dan kehadiran hati. Setidaknya ia akan merasakan kenikmatan dan kenyamanan dalam dirinya sedemikian sehingga membuatnya meremehkan segala macam kelezatan duniawi yang diketahuinya[17].

Kegiatan dzikir-dzikir yang penulis programkan adalah antara lain shalat dzuhur dan ashar berjamaah, membaca kalimah-kalimah thayyibah dan doa setelah shalat berjamaah, melakukan renungan (sebuah kegiatan yang dilakukan di malam hari dengan runtutan acara mulai dari shalat malam sampai bacaan-bacaan dzikir, doa sampai renungan). Kegiatan ini ternyata mendapat respon positif dari siswa, dan siswa merasakan manfaatnya bagi kehidupannya.

Pola Purgatif

Sudah dijelaskan di muka bahwa pola purgatif merupakan pola untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan positif walaupun pada awalnya dirasa sangat berat. Pola ini juga sangat efektif untuk membentuk karakter positif (akhlak karimah) seseorang. Oleh Imam Ghazali disebut sebagai riadloh (latihan jiwa).

Program yang penulis lakukan dengan pola ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan umum dan pendekatan khusus. Pada pendekatan umum semua diberlakukan sama tanpa memandang karakter asli (watak asli) siswa, sedang pendekatan khusus lebih bersifat individual, mengingat bahwa setiap siswa memiliki watak asli atau dasar yang berbeda-beda dan khas.

Adapun program umum yang telah penulis laksanakan adalah dalam rangka untuk membentuk kepekaan sosial siswa, bersikap sopan (menghormati) terhadap orang tua (guru). Adapun kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk kepekaan sosial siswa yang telah penulis laksanakan adalah dengan membentuk sebuah kepanitiaan peduli sosial (penyantunan kaum dhu’afa), siswa mengumpulkan dana kemudian menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan (fakir miskin). Adapun kegiatan agar siswa terbiasa menghormati orang tua (guru), maka setiap siswa diwajibkan ketika bertemu dengan guru harus bersalaman (mushafahah) lebih dahulu.

Adapun pendekatan secara individual, penulis mencoba untuk memahami karakter masing-masing siswa lebih dahulu dengan lewat dialog dari hati-hati, informasi teman-teman lain, atau pengamatan langsung terhadap tingkah polah atau pembicaraan siswa-siswi tersebut. Setelah memahami tentang karakter-karakter (baik positif maupun negatif), maka penulis berusaha untuk melakukan pendekatan sesuai karakter yang dimilikinya. Misalnya ketika penulis menemukan anak yang suka menyombongkan diri, maka penulis berusaha untuk membawanya menuju tempat-tempat kumuh, orang-orang miskin, juga mengajaknya ke pekuburan, dan sebagainya adalah dapat sedikit demi sedikit menghilangkan keangkuhan dan kesombongannya tersebut. Namun demikian pendekatan ini cukup rumit, maka seharusnya dilakukan secara hati-hati sekali.

Untuk lebih jelasnya berikut ini akan penulis tampilkan tabel kegiatan beserta alokasi waktu untuk membentuk akhlaq yang mulia dengan dua pola, yakni kontemplatif dan purgatif.

Pola Kontemplatif

No

Jenis Kegiatan

Waktu Pelaksanaan

Ket.

1

2

3

 

4

5

6

 

 

7

 

 

8

Tadabbur alam

Tadabbur Al Qur’an

Tadabbur doa

 

Tadabbur Al Hadits

Tafakkur

Shalat Dzuhur dan Ashar berjamaah, doa dan kultum

Shalat malam beserta dzikir dan berdoa berjamaah

Shalat Dhuha

Setiap akhir semester

Setiap pagi sebelum masuk pelajaran

Setiap akan mengawali dan mengakhiri pelajaran, dll

Setiap selesai shalat berjamaah

Penugasan tidak dibatasi waktu

Setiap dzuhur dan ashr

 

 

Setiap malam Jum’at atau malam ahad

 

 

Setiap pagi, minimal 2 hari sekali

 

 

Evaluasi dan Penilaian Kegiatan

Evaluasi digunakan sebagai umpan balik (feed back) sehingga dapat digunakan untuk perbaikan program yang akan datang atau mengetahui sejauh mana efektivitas kegiatan yang dilakukan, seluruh bentuk kegiatan yang diterangkan di atas semua dinilai, dan nilai tersebut diberikan kepada siswa dan orang tua.

Adapun penilaian mencakup 3 ranah, yakni kognitif, afektif dan psikomotor, untuk melihat pencapaian aspek kognitif siswa dites secara lisan dan tertulis. Sedang aspek afektif dan psikhomotor, dilakukan dengan memberikan angket baik kepada siswa, guru dan orang tua siswa. Angket berisikan indikator-indikator perubahan sikap, yakni apakah ada perubahan sikap sebelum dan sesudah mengalami proses pembelajaran agama islam.

Menurut angket kepada guru Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Kudus hampir 90% mengatakan bahwa siswa-siswa di kelas tersebut mengalami perubahan-perubahan perilaku/sikap yang lebih baik dibanding dengan ketika mulai masuk ke sekolah. Adapun indikator-indikator perubahan tersebut antara lain kesopanan, tutur kata, semangat belajar, kesungguhan dalam berdoa, dan sebagainya.

Menurut angket yang diberikan kepada orang tua masing-masing siswa 18, hampir 90% yang menyebutkan putra-putrinya menjadi lebih baik perilakunya, dirumah baik dalam shalatnya, puasanya, sopan-santunnya kepada orang tua, kemandiriannya, kepekaan terhadap kondisi orang dan sebagainya.

Adapun angket yang diberikan kepada siswa sendiri hampir 90% yang menyenangi kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan disekolah, mereka merasakan adanya perubahan-perubahan pola berpikir, bersikap dan merasakan adanya kemanfaatan yang besar dalam kehidupannya sehari-hari, dan lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar dan mengamalkan nilai-nilai agama.

 

S I M P U L A N

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1.     Kurang keberhasilan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah di samping disebabkan oleh kurangnya jumlah jam pelajaran agama islam, ada satu faktor yang sangat menentukan yakni problem metodologis. Selama ini metodologi pelaksanaan pendidikan agama islam di sekolah hanya berkutat pada pengembangan aspek kognitif dan melupakan pengembangan aspek afektif dan psikomotor.

2.     Menurut kajian terhadap kasanah klasik (Tasawuf), disebutkan bahwa pelaksanaan pendidikan agama (akhlaq) yang efektif harus melalui dua pola, yakni pole kontemplatif (perenungan) dan pola purgatif (latihan-latihan praktis).

3.     Dengan melaksanakan kedua pola tersebut (dengan penyesuaian-penyesuaian sesuai konteksnya), diperoleh adanya perubahan-perubahan perilaku siswa yang signifikan.

4.     Metodologi tersebut merupakan alternatif metode pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah yang cukup efektif untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Fath Al bari… Dar Al Fikr, Beirut.

Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqoh Menuju Kebahagiaan (Terjemahan Muhammadi Baqir), Bandung: Mizan, 1992.

HAMKA, Tasawuf Modern, Jakarta: Panji Masyarakat, 1970.

HA. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Ibnu Abdil Barr, Jami Bayan Al Ilmi Wa Fadlihi, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah.

Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin I (Terjemahan: Prof. TK. H. Ismail Yakub MA), CV. Faizan, Jakarta.

Khalil Al Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda (Terjemahan Ahmad Subandi), Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999.

Muhammadi Ilham Arifin, Hakikat Dzikir, Jalan Taat Menuju Allah. Jakarta Intuisi Press, 2003.

Muh Iqbal, Teh Recontruction of the religious Thought in Islam. M. Ashraf Lahore, 1966.

Romdhoni, Tasawuf dan Aliran Kebatinan, Yogyakarta, LSFI, 1993.

Sa’id Hawwa, Jalan Rohani (Terjemahan Drs. Khairul Rafi’i), Bandung Mizan, 1995.

Sa’id Hawwa, Allah, Solo: Pustaka Mantiq, 1981.



[1]        Q.S. Al Ankabut: 45, Terjemahan: “… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.

[2]        Al Asqalani, Fath Al Bart, Dar AL Fikr Beirut, 159-162.

[3]        Ibnu Abdil Barr, Jami bayan AlIlmu Wa Fadlihi, Beirut Darul Kutub, Ilmiyah, hlm. 28.

[4]        Q.S. Fathir, 28.

[5]        Q.S. Al Baqoroh, 44

[6]        Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin I (Terjemah: Prof. Tk H. Ismail Yakub MA), CV. Faizan, Jakarta, hlm. 223)

[7]        Tasawuf berasal dari kata shifa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Ada yang mengatakan berasal dari kata shuf, yang artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata theosofe yang artinya ilmu ke-Tuhan-an, kemudian diarabkan menjadi tasawuf dan sebagainya (Lihat HAMKA, Tasawuf Modern, Jakarta: Panji Masyarakat, 1970, hlm. 17.

[8]        HA. Rivay Siregar. Tasawuf Sufisme Klasik ke Neo-Sufisma, Jakarta, PT. Rahardja Grafindo Persada, 2000. Hlm. 57.

[9]        Muh. Iqbal. The Recontruction of The Religions Thought in Islam., M. Asraf Lahore., 1966., hlm. 158-159

[10]       Romdhoni. Tasawuf dan Aliran Kebatinan., Yogyakarta LSFI, 1993. hlm. 13.

[11]       Sa’id Hawa., Op.cit., hlm. 131-132.

[12]       Imam Ghozali., Op.cit., Jilid IV., hlm. 159.

[13]       Menurut Sa’id Hawwa Alam merupakan salah satu “hasil karya” (Atsar) Allah. Demikian pula kejadian-kejadian yang ada di dalam alam. Allah SWT berfirman: “Perhatikan bekas-bekas (atsar) rahmat Allah” (Q.S. Ar-Rum: 50). Atsar Allah menunjukkan nama-nama-Nya (Asmaul Husna). Nama-nama-Nya menunjukkan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya menunjukkan Dzat-Nya (Sa’id Hawwa, Allah, Solo Pustaka Mantiq, 1981, hlm. 210.

[14]       Khalil Al Musawi. Bagaimana Membangun Kepribadian Anda (Terjemahan Ahmad Subandi) Jakarta: Lentera Basritama, 1999, hlm. 1

[15]       Ibid, hlm. 2.

[16]       Makna Dzikir adalah “ingat” namun sebenarnya mengandung pengertian yang lebih luas, oleh karena itu Ilham Arifin menyebut bahwa dzikir itu ada empat macam, yaitu (1) dzikir qalbiyah (2) dzikir aqliyah (3) dzikir lisan (4) dzikir amaliyah (Muhammad Ilham Arifin. Hakikat Dzikir: Jalan Taat Menuju Allah, Jakarta: Intuisi Press, 2003.

[17]       Allamah Sayyid Abdullah Haddad., Thariqoh Menuju Kebahagiaan (Terjemahan Muhammad Baqir), Bandung: Mizan, 1992. hlm. 122.