Pengembangan Model Manajemen Pelatihan Meningkatkan Kompetensi Profesional Guru
PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN PELATIHAN
UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU BK DALAM MENYUSUN PROGRAM BK
Wasty Mentari Kurniawati Theodore Ratundima
Slameto
Yari Dwikurnaningsih
Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan mengembangkan model manajemen pelatihan untuk meningkatkan kompetensi profesional guru BK dalam menyusun program BK di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Model pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan Sugiyono. Validasi model terdiri dari dua jenis, validasi ahli yang melibatkan ahli BK dan pelatihan, dan validasi lapangan yang melibatkan guru-guru BK berjumlah 3 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, checklist, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles and Huberman dengan langkah pengumpulan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Model yang dihasilkan terdiri dari: (1) bagan model dam deskripsinya yan mencakup perencanaan pelatihan, pengorganisasian pelatihan, pelaksanaan pelatihan dan evaluasi; (2) panduan pelaksanaan pelatihan untuk Pelatih, Dinas Pendidikan, Sekolah, serta panduan untuk melaksanakan evaluasi. Validasi dilakukan melalui validasi ahli dan validasi lapangan. Hasil validasi menunjukkan bahwa model manajemen pelatihan layak diterapkan.
Keywords: pengembangan model, pelatihan, program bimbingan dan konseling
PENDAHULUAN
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bagian integral dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (2016), bimbingan dan konseling adalah upaya yang sistematis, objektif, logis, dilaksanakan terus-menerus, dan terprogram, yang dilakukan oleh konselor untuk membantu konseli dalam mencapai kemandiriannya. Bidang ini mengarah pada membentuk dan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa dan membantu siswa dalam menghadapi tugas perkembangannya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berkompeten. Dalam menjalani tugas perkembangannya, siswa kerap dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Sehingga dengan adanya layanan bimbingan dan konseling, siswa dapat dibantu dengan pendekatan atau metode yang digunakan guru BK dalam membantu mengatasi permasalahannya, baik dalam bidang pribadi, belajar, sosial, maupun karir. Layanan bimbingan dan konseling tersebut perlu dilakukan secara teratur dan sistematis. Agar layanan dapat terorganisir, diperlukan suatu program yang menjadi panduan dalam melaksanakan layanan.
Program BK merupakan suatu satuan rencana kegiatan bimbingan dan konseling yang secara keseluruhan dilaksanakan pada periode tertentu, yaitu bulanan, semester dan tahunan (Giyono, 2010). Rencana kegiatan tersebut dimulai dengan mengetahui kebutuhan siswa terlebih dahulu agar dalam penyusunan rencana kegiatan layanan, dapat memberi manfaat pada kebutuhan siswa. Dengan melakukan identifikasi kebutuhan, layanan serta pendekatan yang digunakan dapat tepat sasaran dan menjawab kebutuhan siswa yang beragam.
Namun pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian peneliti pada suatu sekolah menengah, penyusunan dan implementasi program BK belum sepenuhnya menjawab kebutuhan siswa. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa kendala yang dihadapi, seperti ketersediaan guru BK yang tidak memadai dan sesuai dengan rasio, program yang disusun belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan siswa, penanganan siswa masih berfokus pada masalah dan kurangnya koordinasi antar pihak yang terlibat dalam layanan BK. Kendala lainnya berupa tujuan bimbingan yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan, minimnya dukungan pejabat sekolah terhadap layanan BK, pemahaman yang minim mengenai kolaborasi antar profesi serta kurangnya respon positif dari siswa menjadi hal yang menghambat pelaksanaan layanan BK yang efektif (Kurniawan, 2015).
Menilik permasalahan yang terjadi dalam implementasi program BK, tentu tidak terlepas dari peran guru BK sebagai konselor sekolah yang membantu siswa tidak hanya mengenai penyelesaian masalah namun juga mengarahkan siswa dalam peningkatan potensi yang dimilikinya. Guru BK sebagai subjek yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaan layanan BK perlu mendalami aspek-aspek dalam kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi merupakan hasil kombinasi dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terwujud dalam suatu perbuatan (Sagala, 2008). Adapun kompetensi yang dimaksud antara lain pedagogik, kepribadian, profesional, sosial. Seperti yang tercantum dalam Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, salah satu indikator yang perlu dikuasai oleh guru adalah merancang program BK. Namun dalam hal penyusunan program BK, guru perlu mendalami beberapa indikator dalam kompetensi profesional. Penguasaan kompetensi profesional ini menandakan bahwa guru mampu menyusun program dengan mempertimbangkan segala aspek yang mendukung perencanaan program BK dari tahap awal hingga implementasinya. Dalam mengembangkan program, guru BK diharapkan mampu untuk merencanakan, mengorganisasikan, staffing, directing dan mengevaluasi (Santoadi, 2010:13). Kurangnya pemahaman mengenai penyusunan program dapat berdampak pada pelaksanaan program itu sendiri. Selain itu, keterlibatan pihak dalam sekolah maupun luar sekolah akan minim jika guru BK tidak mampu berkolaborasi dengan pihak tersebut dalam memberikan layanan.
Namun kendala mengenai kurangnya pemahaman mengenai kompetensi profesional, khususnya dalam menyusun program BK dapat diminimalisir dengan mengadakan suatu peningkatan keterampilan guru BK melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan yang dimaksud tentu yang membantu para konselor untuk memahami tugas dan perannya dalam menjalankan layanan BK secara efektif dan efisien. Melalui pelatihan juga guru dapat menganalisis masalah dan kebutuhan siswa, menyusun instrumen nontes yang valid, menggunakan multimedia sebagai bahan bimbingan dan merancang kegiatan dalam bimbingan kelompok (Hastuti, 2014).
Dalam pelatihan, guru dibekali dengan keterampilan mengidentifikasi kebutuhan siswa melalui berbagai instrumen atau langkah-langkah agar dapat merumuskan tujuan serta pendekatan terhadap layanan yang akan diberikan. Instruktur atau pelatih juga diharapkan menjadi pihak yang membantu guru sebagai peserta dalam memperdalam keterampilan menyusun program BK. Namun dari hasil penelitian mengenai model pelatihan yang selama ini digunakan, prosedur pelatihan yang dimulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan belum sepenuhnya efektif. Misalnya pada tahap perencanaan, guru sasaran yang menjadi peserta pelatihan seringkali merupakan guru non-BK yang dipilih untuk mengikuti pelatihan. Hal ini berpengaruh pada koordinasi pihak-pihak yang terlibat, seperti Dinas terkait dengan sekolah. Selain masalah tersebut masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan pelatihan hingga tindak lanjut yang dilakukan guru sasaran sebagai peserta dalam menerapkan program yang disusun. Dari permasalahan yang muncul tersebut, perlu dikembangkan suatu model pelatihan yang bersifat prosedural yang mencakup keempat fungsi manajemen pelatihan. Hal ini bertujuan agar membantu pelaksanaan pelatihan yang lebih optimal.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyusunan program BK oleh guru dan model pelatihan yang selama ini digunakan. Sehingga dapat dikembangkan suatu model pelatihan yang lebih efektif.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Langkah-langkah penelitian dilakukan berdasarkan langkah pengembangan Sugiyono (2013) yang dibatasi hanya sampai pada langkah ke enam, yang meliputi a) potensi dan masalah, b) pengumpulan data, c) desain produk, d) validasi desain, e) revisi desain, dan f) validasi lapangan. Subyek penelitian terdiri dari 3 orang guru BK dari 2 SMA dan 1 SMK di Waikabubak. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, checklist dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan untuk mengetahui langkah penyusunan program BK oleh guru BK dan checklist digunakan untuk penilaian model yang dikembangkan. Triangulasi data menggunakan triangulasi sumber. Teknik analisa data kualitatif menggunakan model dari Miles and Huberman, yang mencakup tiga langkah, yaitu reduksi data yang telah dikumpulkan, penyajian data dan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara mengenai penyusunan program BK oleh guru BK, dapat disimpulkan secara umum bahwa identifikasi kebutuhan siswa yang dilakukan belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh penggunaan instrumen yang minim. Misalnya memberikan dalam layanan di bidang pribadi, guru menggunakan profil siswa sebagai acuan dalam memberikan layanan. Profil siswa yang dimaksud berisi data diri siswa selama menjadi siswa di sekolah tersebut.
Di samping itu, pemberian layanan yang mencakup keempat bidang layanan belum semuanya dilaksanakan. Misalnya bidang karir, siswa cukup diberi brosur berupa profil-profil universitas dan menentukan pilihannya. Mengenai jenis layanan, individu dan kelompok, disesuaikan dengan jenis masalah yang dihadapi siswa. Pemberian layanan klasikal juga mengalami kendala berarti. Kendala yang dimaksud adalah tidak tersedianya waktu kunjungan ke kelas karena jam mata pelajaran lebih diutamakan untuk diberikan pada siswa. Hal ini menjadi permasalahan ini mengakibatkan program yang disusun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pelaksanaan program yang belum maksimal ini mendorong guru untuk menjadikan program di periode sebelumnya menjadi acuan dalam menjalankan layanan BK. Kebutuhan siswa yang kurang mendalam disertai dengan penetapan prioritas kebutuhan yang tidak tepat menjadikan program yang disusun dan diharapkan mencapai target dan tujuan seolah berjalan di tempat.
Terlepas dari penyusunan program, kompetensi guru dalam menjalankan tugasnya juga ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan yang diterima. Apa yang diterapkan dalam penyusunan program merupakan hal yang menjadi bagian dari materi pelatihan. Namun, melihat kenyataan yang ada di sekolah, layanan BK belum dijalankan secara efektif. Hal ini menjadi suatu pertanyaan bahwa model pelatihan belum memberi dampak yang efektif pula bagi guru.
Dapat diketahui bahwa penerapan fungsi manajemen dalam pelatihan belum dijelaskan secara detail. Dalam tahap perencanaan, diawali dengan tujuan meningkatkan kompetensi profesional guru BK dalam menyusun program BK. LPMP Provinsi bertindak sebagai pihak yang berkontribusi penting dalam mengarahkan Instruktur Nasional yang akan meneruskan tanggung jawab pelaksanaan pelatihan. Langkah ini termasuk dalam tahap pengorganisasian dimana pihak yang terlibat tidak hanya pada tingkat provinsi, yang meliputi Instruktur Nasional dan LPMP, namun juga pada tingkat kabupaten, yaitu Instruktur Kabupaten dan Guru Sasaran yang menjadi peserta. Dalam tahap perencanaan dan pengorganisasian, belum dibuat suatu kriteria perencanaan dan mekanisme kerja dengan pihak-pihak yang terlibat secara mendetail. Pada bagan model faktual yang diterapkan, pihak LPMP menentukan IN untuk melaksanakan sosialisasi terkait layanan BK. Hasil sosialisasi dari IN diteruskan kepada IK melalui suatu pelatihan. Hasil pelatihan dari IK kemudian diteruskan pada GS. Pada tahap evaluasi, GS mengisi instrumen mengenai pelaksanaan pelatihan yang kemudian menjadi bahan evaluasi untuk menilai ketercapaian tujuan pelatihan.
Model ini juga dikembangkan berdasarkan fungsi manajemen dan melewati tahap validasi oleh para ahli di bidang Bimbingan dan Konseling dan pelatihan. Pengembangan model ini menyertakan panduan-panduan seperti Materi Pelatihan itu sendiri, panduan bagi Dinas Pendidikan, Pelatih dan Peserta, Sekolah, dan Evaluasi. Model disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut: 1) Pendahuluan, yang berisi latar belakang, dasar hukum, tujuan, manfaat, ruang lingkup model, dan spesifikasi model; 2) Landasan teori, yang berisi pelatihan, kompetensi profesional guru BK, dan program Bimbingan dan Konseling; 3) Prasyarat efektivitas model, 4) Deskripsi model yang dikembangkan, yang meliputi: rasional model, bagan model, perencanaan hingga evaluasi kegiatan pelatihan.
Dalam tahap perencanaan terdapat tujuan pengembangan model, manfaat pelatihan, kegiatan pelatihan, metode dan media pelatihan, evaluasi, waktu pelatihan dan biaya pelatihan. Pada tahap pengorganisasian meliputi koordinasi dengan Dinas/Yayasan, struktur organisasi Kepengurusan pelatihan, jabaran tugas dan tanggung jawab, prasyarat personil, mekanisme dan prosedur pelatihan. Dalam tahap pelaksanaan pelatihan meliputi persiapan pelatihan, pra-pelatihan dan kegiatan inti pelatihan, dan pada tahap evaluasi, meliputi monitoring, evaluasi dan tindak lanjut. Pada setiap panduan, terdapat bagian yang berisi prinsip pelatihan dan tugas pada lembaga terkait, seperti dinas, pelatih dan sekolah.
Pada langkah perencanaan, diawali dengan identifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk mengetahui kebutuhan guru BK dalam menyusun program BK. Dalam Identifikasi kebutuhan, diperlukan data mengenai hasil pelakasanaan program BK yang telah dilaksanakan pada periode sebelumnya. Dengan mengetahui sejauh mana pencapaian pelaksanaan program sebelumnya dan kendala atau kekurangan yang masih dihadapi, perlu dirumuskan suatu tujuan yang akan membantu tercapainya program yang lebih efektif dan tepat sasaran dibandingkan yang sebelumnya. Perumusan tujuan yang telah dilakukan menjadi dasar atau acuan dari penyusunan program pelatihan. Tujuan tersebut harus memuat hal yang ingin dicapai untuk peningkatan kompetensi guru BK dalam menyusun program. Penyusunan program pelatihan diharapkan mencakup visi, misi hingga evaluasi yang mencerminkan hal yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan bagi guru BK.
Pada langkah pengorganisasian, perlu diketahui bahwa suatu kegiatan pelatihan tidak terlepas dari adanya kepengurusan atau kepanitiaan. Adanya kepanitiaan membantu memudahkan jalannya pelatihan. Tanggung jawab yang dibebankan pada satu orang akan membuat pelatihan kurang efektif, sehingga diperlukan kerja sama dengan pihak lainnya. Pembagian tugas dan tanggung jawab atau mekanisme kerja ini diatur agar pihak yang mendapat bagian dalam pelaksanaan pelatihan memahami tugasnya pada bidang dan prosedur yang tepat. Dalam tahap pengorganisasian juga, pelatihan tidak dapat dijalankan secara langsung dan tersendiri. Dibutuhkan suatu koordinasi dengan Dinas Pendidikan terkait atau Yayasan serta sekolah guna memenuhi syarat kebutuhan guru BK yang diikutsertakan dalam pelatihan. Di samping itu, kepanitiaan yang bertanggungjawab dalam hal teknis juga perlu memahami prasyarat dan prosedur dalam menjalankan tugasnya pada pelatihan. Dalam pengembangan model di tahap ini juga terdpat beberapa panduan yang disediakan sehingga pihak yang terlibat lebih memahami tugas dan tanggung jawabnya.
Pada langkah pelaksanaan, dimulai dengan mengadakan sosialisasi dengan peserta atau GS mengenai teknis pelatihan. Sosialisasi ini bertujuan untuk mengarahkan peserta kepada tujuan pelatihan yang berfokus pada penyusunan program BK. Pada inti pelatihan, peserta akan diberikan pelatihan mengenai empat indikator dalam komponen perancangan program BK, dimulai dari tahap identifikasi kebutuhan siswa, menyusun program BK yang berkelanjutan, menyusun rencana pelaksanaan program BK dan menentukan sarana dan biaya layanan BK. Dalam indikator identifikasi kebutuhan siswa, materi yang diberikan mengenai instrumen tes maupun nontes yang dapat diberikan pada siswa. Instrumen dapat dipilih yang menurut peserta dinilai efektif untuk diterapkan dan mendalami kebutuhan siswa. Instrumen yang telah dibagikan dan diisi oleh siswa, dianalisis oleh peserta atau guru BK untuk disusun skala prioritas dalam program BK atau rencana kegiatan yang akan disusun. Jika hasil analisis kebutuhan telah dirangkum, maka penyusunan program selanjutnya dapat lebih terarahkan. Demikian pula dengan sarana dan biaya yang diperlukan dalam layanan BK, dari hasil analisis dan skala prioritas, peserta dapat memperhitungkan dan menentukan alokasi dana dan pengadaan fasilitas yang dibutuhkan agar menjawab kebutuhan siswa. Materi yang telah diterima peserta dapat dijadikan contoh untuk penyusunan program BK yang sesuai dengan keadaan sekolah masing-masing peserta.
Pada langkah evaluasi, difokuskan pada pencapaian tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Sebelum melakukan evaluasi untuk mengecek ketercapaian tujuan, dilakukan monitoring untuk memantau jalannya pelatihan. Selain jalannya pelatihan yang melibatkan pelatih dan peserta, monitoring juga dilakukan bagi kepanitiaan dan pihak yang bekerja sama. Teknik monitoring hingga tindak lanjut ini dilengkapi dengan tabel format yang berisi indikator pencapaian yang disusun berdasarkan kategori capaian, yang kemudian dilanjutkan dengan rumusan tindakan lanjutan.
Setelah desain model yang dikembangkan, model masuk pada tahap validasi oleh para ahli. Validasi ahli ini bertujuan untuk memperoleh masukan dan komentar terhadap model yang dikembangkan, sehingga apabila ditemukan kelemahan dalam model tersebut, dapat diperbaiki pada tahap revisi desain. Validasi model yang dilakukan pada tahap uji coba melibatkan pakar dari bidang Bimbingan dan Konseling, pakar dari bidang pelatihan dan praktisi dari Dinas Pendidikan yang diwakili oleh pengawas tingkat SMA. Validasi model ini dilakukan melalui checklist yang disertakan bersama produk model yang disusun. Berdasarkan hasil validasi para ahli, berikut ini dipaparkan hasil perhitungan skor model beserta panduannya dari setiap validator.
Berdasarkan hasil perhitungan dari analisis data validasi ahli secara keseluruhan, diperoleh rata-rata kelayakan berjumlah 89,3, sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan model program pelatihan yang disusun beserta panduan-panduannya sangat layak untuk diujicobakan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, program BK yang dijalankan selama ini belum efektif karena disebabkan oleh berbagai faktor kendala, salah satunya adalah kompetensi guru dalam mengakomodir dan mengelola layanan yang ditetapkan berdasarkan penilaian kebutuhan siswa. Analisis kebutuhan siswa yang kurang mendalam mengakibatkan penentuan prioritas layanan yang tidak tepat. Pada keempat bidang layanan yang terdiri dari bidang pribadi, sosial, belajar dan karir, tentu memiliki kriteria kebutuhan dari setiap siswa. Perumusan kebutuhan akan bidang layanan yang disuguhkan tidak dapat dilakukan dengan memfokuskan salah satu bidang saja dalam program yang disusun, misalnya pemberian layanan pada bidang pribadi melalui konseling individu pada satu semester. Hal seperti inilah yang menjadi kendala bagi keefektifan BK di sekolah. Guru BK atau konselor sekolah perlu membuat perubahan dalam program BK yang selama ini dilakukan hanya berdasar pada masalah siswa yang muncul di permukaan atau yang terlihat saja. Guru BK perlu mendalami keadaan siswa yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan mereka di empat bidang tersebut. Idealnya, setiap tugas perkembangan siswa membutuhkan perencanaan yang matang sehingga kemampuan guru untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan hingga mengevaluasi program layanan harus optimal (Santoadi, 2010). Selain menganalisis kebutuhan siswa, guru BK juga perlu melakukan sosialisasi untuk menjelaskan pentingnya layanan BK pada siswa, membentuk kembali pandangan yang positif terhadap BK, dan menjalin kerja sama yang lebih baik dengan orang tua, masyarakat bahkan pihak yang terlibat dalam layanan BK ini. Menurut Mugiarso (2009), peran guru BK selain memasyarakatkan kegiatan BK dan merencanakan program BK adalah melakukan persiapan dan melaksanakan bidang layanan BK pada sejumlah siswa berdasarkan rasio, melaksanakan kegiatan pendukung layanan BK, mengevaluasi proses dan hasil pelaksanaan layanan BK hingga mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya. Untuk mencapai beberapa aspek tersebut, guru perlu mendapat pelatihan yang mendukung perubahan yang mencapai tujuan, baik untuk kompetensi profesionalnya maupun untuk layanan BK yang lebih efektif.
Pada model faktual, pelatihan, dalam tahap perencanaan dapat dikatakan cukup baik dalam menjabarkan langkah-langkah perencanaannya. Diawali dengan analisis kebutuhan melalui data pokok pendidikan untuk mengetahui guru sasaran yang menjadi peserta pelatihan dan penyusunan bahan pelatihan bagi peserta. Dalam tahap pengorganisasian, ada kerja sama dengan pihak LPMP dan juga terkait pembiayaan yang melibatkan pusat dan daerah. Langkah selanjutnya yaitu guru sasaran mengikuti kegiatan pelatihan, dan disamping itu ada tindakan pendampingan dan penguatan bagi guru sasaran/peserta. Kegiatan monitoring dan evaluasi mengenai pelaksanaan pelatihan tetap dilakukan. Namun yang menjadi bahan pengembangan model faktual ini terletak ada penjabaran kegiatan di setiap tahapan programnya. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan suatu model, yaitu dapat diidentifikasi kerangka kuncinya, terperinci setiap bagian bagian/tahapan dalam kerangkanya, diseleksi/dimodifikasi bagian yang perlu diperbaiki, proses dalam model yang terstruktur, dan ada revisi model (Draganidis, Fotis, dan Mentzas, 2006).
Ada beberapa hal yang perlu ditambahkan pada tahap perencanaan hingga evaluasi program pelatihan ini. Dalam tahap perencanaan pelatihan, perlu dicantumkan tujuan pelatihan serta manfaat yang diharapkan diperoleh peserta dari kegiatan tersebut. Tujuan pelatihan dapat menjadi standar untuk penyelenggaraan kegiatan sekaligus menjadi titik penilaian kegiatan agar sesuai dengan standar yang ingin dicapai.
Indikator berikutnya yang perlu ditambahkan adalah perlu adanya gambaran penyusunan kegiatan dalam tahap perencanaan. Hal ini meliputi tahap pendahuluan dan tahap kegiatan inti pelatihan. Dalam tahap pendahuluan, terdapat langkah identifikasi kebutuhan, perumusan tujuan dan penyusunan kegiatan pelatihan. Dalam tahap kegiatan inti, terdapat langkah sosialisasi kegiatan pelatihan dan penyusunan program BK. Sosialisasi dibutuhkan sebagai salah satu media untuk mengenalkan proses pembelajaran yang akan dilakukan mengenai keterampilan dan pengetahuan serta perannya dalam proses tersebut. Seperti yang dikemukakan Goode (2007) yang menyatakan bahwa sosialisasi merupakan proses yang harus dilalui untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan mengenai peran sosial yang cocok dengan kedudukannya saat itu. Hal ini mendukung pentingnya langkah sosialisasi dalam kerangka pengembangan model program pelatihan yang kemudian mempengaruhi langkah berikutnya dalam pengorganisasian maupun hingga tahap pelaksanaan pelatihan.
Selain itu, dalam tahap perencanaan, selain langkah-langkah pelaksanaannya, perlu ditambahkan tahap evaluasi, waktu pelatihan dan biaya pelatihan. Tahap evaluasi perlu direncanakan dengan matang agar dapat ditentukan standar-standar tertentu yang menjadi bahan pertimbangan terlaksananya pelatihan secara efektif atau tidak. Tahap perencanaan ini merupakan tahap penggabungan antara fakta dan usaha yang menuju pada aktivitas yang diusulkan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan (Sukarna, 2011). Demikian juga dengan waktu dan biaya pelatihan, dimana hal ini cukup krusial karena perlu disesuaikan dengan kalender pembelajaran yang dilakukan guru sasaran atau peserta pelatihan. Meninjau kembali kendala yang dihadapi dalam mengatur jadwal layanan BK, menunjukkan perencanaan waktu yang belum matang, padahal pengaturan waktu adalah hal penting dalam menentukan dan menilai ketercapaian dan keberhasilan layanan BK tersebut dalam suatu kurun waktu. Maka dari itu, pengembangan model ini juga mengarah pada prinsip khusus pelaksanaan BK dimana waktu pelaksanaannya yang harus berkesinambungan.
Penetapan narasumber, persiapan materi, panduan pelatihan, dan pelaksanaan pelatihan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Pembiayaan yang juga merupakan salah satu faktor penting dalam pelatihan membutuhkan perencanaan yang matang agar setiap hal yang diperlukan dapat tersedia. Oleh karena itu, tahap perencanaan yang dilakukan dengan baik dan matang dapat menjadi tonggak pelaksanaan pelatihan yang efektif karena setiap tahap akan lebih terstruktur.
Selain itu, dalam tahap pengorganisasian, gambaran model yang memuat langkah-langkah prosedural tidak hanya memuat kerja sama dengan pihak terkait, namun perlu diperjelas dengan mekanisme kerja, jabaran tugas dan prasyarat tiap personil terkait kegiatan pelatihan. Kejelasan tugas dalam tahap pengorganisasian ini juga dapat meningkatkan kerja sama yang terjalin antar personil sehingga pencapaian tujuan menjadi lebih baik. Seperti yang dikemukakan Moekijat (1993:2), bahwa pelatihan dapat mengembangkan sikap agar tercipta kerja sama antar pekerja, yang dalam hal ini adalah pihak terkait kegiatan pelatihan. Pelatihan bukan hanya meningkatkan keterampilan peserta tetapi juga bagi kepanitian, baik dalam mengatur strategi dari tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan evaluasi.
Pelaksanaan pelatihan dengan model faktual melakukan pendampingan dan penguatan. Namun dalam pengembangan model program pelatihan ini, tahap pelaksanaan mencakup persiapan pelatihan, pra-pelatihan dan kegiatan pelatihan itu sendiri. Langkah persiapan pelatihan dimaksudkan agar ada pemantapan dari semua pihak terkait, misalnya kepanitiaan kegiatan pelatihan, Dinas Pendidikan, sekolah-sekolah terkait serta peserta pelatihan itu sendiri. Meskipun dalam tahap perencanaan, hal-hal terkait pelaksanaan telah dilakukan, maka dalam pelaksanaannya, diperlukan waktu untuk mengecek kembali keperluan yang direncanakan sebelumnya. Langkah pra-pelatihan atau sosialisasi dimaksudkan untuk memberi arahan pada peserta sebelum mengikuti pelatihan. Tahap ini juga dimaksudkan agar memberi waktu bagi peserta untuk mempersiapkan diri. Demikian juga kepanitiaan yang ditunjuk untuk menjalankan tugasnya.
Dalam pengembangan model ini disertakan beberapa panduan bagi pihak terkait, seperti Dinas Pendidikan, Pelatih dan Sekolah dengan tujuan bahwa dalam pelatihan, jabaran tugas dan mekanisme kerjanya dapat lebih teratur. Pengembangan model program pelatihan ini berfokus pada penyusunan program BK oleh guru, yang menunjukkan bahwa kontribusi pelatih cukup besar dalam mengembangkan kompetensi guru dalam penyusunan program BK tersebut. Oleh karena itu, materi yang diberikan kepada peserta terkait dengan penyusunan program BK, dimulai dari identifikasi kebutuhan siswa hingga evaluasi program BK yang telah dijalankan di sekolah. Pada pengembangan model, materi dijelaskan secara garis besar. Namun yang membedakannya dengan panduan pelatih adalah pada penjabaran materi yang lebih lengkap pada panduan tersebut. Bagian pertama dari materi yang dijelaskan terfokus pada identifikasi kebutuhan siswa, dimana pelatih akan merincikan satu per satu instrumen tes maupun nontes yang dapat digunakan untuk memperdalam kebutuhan siswa. Dalam penelitian yang dilakukan Hastuti (2014), mempunyai kesamaan dengan tujuan dari penelitian ini karena berfokus pada analisis kebutuhan siswa dan mengembangkan instrumen seperti yang telah disusun dalam pengembangan model program ini. Maka dalam penelitian ini, tidak hanya dijelaskan media yang digunakan namun juga disediakan beberapa panduan sehingga dapat digunakan secara praktis. Pengembangan model beserta panduan tersebut telah dinyatakan layak oleh validator sehingga dapat diterapkan pada sekolah-sekolah secara terbatas untuk meningkatkan layanan BK yang lebih efektif.
Bagian kedua yang menjadi materi adalah penyusunan program BK yang berkelanjutan, dimana hasil analisis kebutuhan siswa dituangkan guru BK ke dalam bentuk program BK, baik yang akan dijalankan dalam kurun waktu satu tahun, semester atau bulan. Penyesuaian tujuan program dengan aspek-aspeknya yang meliputi komponen program hingga biaya layanan BK dapat dikembangkan guru BK sesuai kebutuhan dan waktu yang tepat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penyusunan program BK yang selama ini dilakukan oleh guru BK dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan siswa hingga penggunaan instrumen tes maupun nontes belum sepenuhnya digunakan secara maksimal sehingga mengakibatkan perumusan prioritas kebutuhan tidak tepat sasaran. Hal ini yang juga menyebabkan pelaksanaan program BK belum terorganisir secara efektif. Selain itu Model pelatihan yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya terorganisir dan mendetail. Maka dikembangkan suatu model manajemen pelatihan dilakukan dengan menambah beberapa hal pokok pada model pelatihan yang mencakup keempat segi manajemen, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi. Pengembangan model juga disertai dengan beberapa panduan bagi pihak terkait dalam pelatihan sehingga mekanisme kerja dapat lebih mudah dipahami untuk pelaksanaan layanan BK yang lebih efektif. Pengembangan model ini juga telah melewati langkah validasi yang menunjukkan hasil sangat layak untuk diujicobakan pada skala terbatas.
Saran
Bagi guru BK, melalui materi yang telah diperoleh dari pelatihan diharapkan dapat: 1) Menggunakan instrumen tes dan non-tes yang lebih bervariasi, 2) Bekerja sama dengan pihak dalam sekolah maupun luar sekolah yang pakar dibidangnya, 3) Menentukan perencanaan yang tepat pada setiap jenis bentuk program, dan 4) Menyusun program yang tepat sesuai dengan waktu yang ditargetkan. Bagi sekolah, diharapkan dapat secara aktif terlibat dalam mendukung guru BK untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan dapat melakukan peninjauan kembali terhadap data-data guru yang akan menjadi guru sasaran kegiatan pelatihan. Bagi peneliti dibidang pengembangan program pelatihan bagi guru BK, diharapkan dapat melanjutkan tahap pengembangan penelitian hingga ujicoba terbatas maupun ujicoba yang diperluas.
Daftar Pustaka
Draganidis, et al. (2006). Competency based management: a review of systems and approaches, Information Management & Computer Security. Vol.14.(1), 51-64
Giyono. (2010). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. FKIP Universitas Lampung.
Goode, W. J. (2007). Sosialisasi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.
Hastuti, M.M.S. (2014). IbM Guru Bimbingan dan Konseling: Upaya Peningkatan Kompetensi Profesional. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Kurniawan, L. (2015). Pengembangan Program Layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif di SMA. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling. Vol.1 (1). Hal.1-8
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. (2016). Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Atas (SMA). Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Miles, M.B., & Huberman, A. M. (1984). Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Rohidi (1992). Jakarta: Universitas Indonesia.
Moekijat. (1993). Manajemen Diklat. Bandung: Alphabeta.
Mugiarso, H. (2009). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang: UNNES Press.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Sagala, S. (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Santoadi, F. (2010). Manajemen Bimbingan dan Konseling Komprehensif. Universitas Sanata Dharma.
Sukarna. (2011). Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.