Pengungkapan Emosi Dalam Interaksi Media Sosial
PENGUNGKAPAN EMOSI DALAM INTERAKSI MEDIA SOSIAL
Ni Putu Abigail Firsta S
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
Emotion is something that humans always feel, and comes from within themselves. Emotions sometimes encourage people to do things to meet their needs. Emotions are not only affect human physiological arousal, but also affect conscious experience such as feelings felt by humans and behavioral expressions. Emotions have two types of expression, those are verbally or through words that are spoken, and nonverbally that is in the form of body gestures, or specifically facial expressions. Humans are not only have emotions, but also have a tendency to interact. Interactions carried out aim to meet the needs of each other. Communication plays an important role in interaction. Communication means exchanging information through language and expression. Emotional expression is very important so that communication could runs well. But in the era of technological advances, direct communication or face-to-face discourse are rarely implemented. The existence of social media seems to replace the communication structure that usually occurs directly. That means the delivery of expressions in communication has been increasingly ignored. Expression of emotions is very important for the smooth communication, because like expression without language, expressionless language can also lead to different perceptions. Therefore, it is necessary to use innovation in expressing emotions through social media appropriately.
Keywords: emotion, expression, emotion intelligence, social media.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk hidup yang tidak lepas dari interaksinya dengan sesama, atau disebut juga sebagai makhluk sosial. Manusia bahkan disebut sebagai zoon politikon (Aristoteles, 2002 [350 SM]). Frasa ini dirujuk dari kata zoon yang berarti hewan dan politikon yang berarti bermasyarakat. Memang sebelumnya manusia sering dilibatkan ke dalam jenis mamalia, yang tentunya melakukan interaksi untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia memiliki keistimewaan yang berbeda dengan makhluk hidup yang lain yaitu emosi. Emosi merupakan perasaan yang sedang dialami, di mana manusia sudah mulai membedakan jenis emosinya sejak kecil (Albin, 1986). Manusia sudah dapat memiliki emosi sejak kecilnya, tetapi dapat membedakan, menggunakan, dan mengontrolnya seiring perkembangan yang terjadi dalam hidup. Emosi yang terjadi di otak manusia dapat mempengaruhi sistem kerja bahkan output dari tubuh.
Menurut Atkinson (2002), emosi memiliki empat komponen yaitu respons tubuh internal (berupa sistem saraf), penilaian kognitif, ekspresi wajah, dan reaksi terhadap emosi. Hal ini menunjukkan bahwa sedemikian rupa kompleksnya tubuh manusia. Untuk memersepsi maupun mengungkapkan sebuah emosi harus melalui langkah yang berurutan, kompleks, tetapi sangat cepat. Bila lebih disederhanakan lagi, komponen emosi adalah ketergugahan fisiologis, pengalaman sadar, dan ekspresi behavioral (King, 2007). Emosi memengaruhi ketergugahan fisiologis di mana bila seseorang merasakan sebuah emosi seperti cemas menunggu pengumuman, emosi tersebut menggugah tubuh untuk melakukan reaksi fisiologis yaitu detak jantung yang menjadi lebih cepat. Lalu emosi tersebut dapat dirasakan secara sadar di dalam diri, dan juga bisa diungkapkan melalui ekspresi wajah maupun bahasa tubuh.
Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini, pengungkapan emosi tidak terbatas hanya pada ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari yang kini sudah dilengkapi dengan teknologi canggih penunjang kehidupan manusia, cara-cara pengungkapan emosi yang dapat dilakukan manusia juga semakin bertambah. Dengan disediakannya media sosial, masyarakat kini lebih memilih pengungkapan emosi melalui bentuk tertulis dibandingkan dengan menunjukkan ekspresi wajahnya.
Pada dasarnya ada dua cara pengungkapan emosi atau disebut dengan komponen behavioral. Kedua cara ini yaitu secara verbal, yaitu pengungkapan emosi melalui kata-kata; dan nonverbal yang tercermin dari ekspresi maupun gestur tubuh. Di bidang Psikologi, ditunjukkan ketertarikan yang lebih mendalam terhadap penelitian pengungkapan emosi melalui ekspresi wajah (Hasegawa & Unuma, 2010; Sacco & Hugenberg, 2009; Todd dkk., 2011). Dari berbagai ekspresi yang dapat dihasilkan oleh wajah, seseorang dapat pula mengenali emosi yang dirasakan di dalam diri orang tersebut.
Tetapi di era kemajuan teknologi ini, intensitas pertemuan dengan sesama semakin berkurang karena sudah tergantikan dengan alat komunikasi sebagai media berinteraksi jarak jauh. Seseorang tidak lagi perlu untuk bertatap muka dengan temannya jika sedang ingin berbagi pengalaman. Di zaman ini, sudah ada begitu banyak media sosial tempat mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan. Begitu pula dalam hal melakukan wawancara pekerjaan, studi yang bersifat online, bahkan menyaksikan sebuah pertunjukan seni pun saat ini bisa dilakukan dari jarak jauh dengan berbagai alat komunikasi yang kian diperbaharui keunggulannya hingga sekarang.
Berkurangnya interaksi dan komunikasi secara langsung karena semakin canggihnya teknologi di era globalisasi ini tentu memiliki dampak bagi para pelakunya. Penyampaian emosi yang tidak dilakukan secara langsung dapat berpengaruh terhadap persepsi orang yang ditujunya. Ekspresi wajah dan gestur tubuh memang bukan bentuk pengungkapan emosi yang paling akurat dengan emosi yang dirasakan, tetapi ada beberapa hal lain seperti intonasi suara, nada bicara, dan sentuhan yang tidak dapat diungkapkan dan dirasakan secara langsung melalui media komunikasi yang berbasis tertulis. Perbedaan persepsi juga sangat mudah terjadi karena perbedaan antara apa yang dimaksud dan pengungkapan yang dipersepsi (Wood, 2013).
Media sosial juga sudah beralih fungsi sebagai tempat ‘menampung’ segala emosi yang dirasakan oleh penggunanya. Awalnya, media sosial diciptakan sebagai media untuk memudahkan dalam interaksi dengan orang-orang sekitar, terutama dalam konteks jarak jauh. Tetapi kian diperbaharui dengan fitur-fitur terbaru, media sosial menjadi tempat untuk mengekspresikan emosi secara tidak tepat dan malah menumbuhkan sikap individualistis serta memicu berbagai kejahatan yang mudah terjadi melalui media sosial. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, media sosial dan kemajuan teknologi bukannya mempermudah kehidupan sehari-hari manusia tetapi justru menjadi boomerang bagi kelangsungan kesejahteraan dan keamanan hidup.
Emosi: Komponen Manusia yang Sulit Didefinisikan
Emosi berasal dari bahasa Latin yaitu ‘movere’ yang berarti menggerakkan atau bergerak, dan diberi awalan e- yang menjadikan artinya sebagai ‘bergerak menjauh’. Chaplin (1989) melalui Dictionary of Psychology menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Pernyataan ini sejalan dengan Sudarsono (1993) yang menurutnya emosi adalah suatu keadaan yang kompleks dari organisme seperti tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditambahi dengan perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk tingkah laku atau perilaku tertentu.
Kedua pernyataan di atas sangat mendukung teori emosi oleh James-Lange yang menyatakan bahwa emosi merupakan hasil dari kondisi fisiologis. Teori yang dikemukakan oleh William James (1950) dan Carl Lange (1922) ini menekankan bahwa emosi merupakan hasil dari reaksi fisiologis. Reaksi yang dimunculkan oleh tubuh saat melihat ancaman (stimulus) yang memicu kondisi emosional.
Teori oleh Cannon-Bard sangat berlawanan dengan teori yang dicetuskan oleh James-Lange mengenai emosi. Menurut Walter Cannon (1927) dan Phillip Bard (1934), emosi dan kondisi fisiologis muncul secara simultan ketika dihadapkan dengan sebuah stimulus. Stimulus di lingkungan menstimulasi thalamus otak untuk menghasilkan perubahan fisiologis, sekaligus thalamus mengirimkan sinyal ke korteks serebral untuk memersepsi emosi. Jadi menurut teori ini, reaksi fisiologis dan emosi muncul secara bersamaan.
Menurut Richard S. Lazarus (1991:37) yang mengutip definisi dari Hillman (1960) dan Drever (1952), emosi adalah bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan fisik dari karakter yang luas dan dari sudut mental, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan yang kuat dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Emosi merupakan perasaan yang dipersepsi oleh pikiran dan melibatkan berbagai komponen tubuh lainnya.
Emosi memang sangat sulit untuk didefinisikan, seperti yang disebutkan oleh Lindsay-Hartz (dalam Planalp 1999:1) yang menyebutkan bahwa manusia lebih mengetahui tentang cincin yang dimiliki oleh planet Saturnus dibandingkan dengan mengetahui emosi yang dialami dan dirasakan sehari-harinya. Kesulitan mendefinisikan emosi ini pula yang memicu berbagai definisi yang berbeda oleh para ahli. Tetapi seperti yang disebutkan oleh Laura King (2007) bahwa emosi merupakan perasaan (afeksi) yang memengaruhi ketergugahan fisiologis, pengalaman sadar, dan ekspresi behavioral.
Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman melalui bukunya yang berjudul Emotional Intelligence (terbit tahun 1995) mempopulerkan ide yang awalnya oleh Carol Saarni (1990) mengenai kecerdasan emosional. Buku ini mengemukakan pernyataan yang berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya mengenai kecerdasan intelektual yang dianggap sangat penting bagi manusia. Kecerdasan intelektual atau kecerdasan kognitif berperan penting dalam pemecahan masalah, merancang, menalar, dan memahami gagasan. Tetapi kecerdasan emosional berperan dalam interaksi dengan sesama dan untuk pengembangan diri.
Kecerdasan emosional menurut Goleman memiliki beberapa kualitas yang tidak dinilai oleh tes inteligensi standar, yaitu:
1. Menyadari perasaan-perasaan yang muncul;
2. Menangani emosi tanpa merasa kewalahan menghadapinya;
3. Tidak membiarkan kemunduran dan rasa kecewa menurunkan performa;
4. Menghubungkan perasaan-perasaan yang dialami agar membantu mendapatkan tujuan hidup;
5. Memahami apa yang dirasakan orang lain tanpa mereka katakan;
6. Memiliki rasa optimis yang kuat dan juga realistis.
Kehidupan manusia tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional dalam diri individu berpengaruh kepada pengelolaannya terhadap emosi yang sedang dirasakan, serta memanfaatkan emosi-emosi tersebut dalam mengembangkan diri. Kecerdasan intelektual tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak disertai dengan kecerdasan emosional (Goleman, 1995). Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak hanya harus mengandalkan pemikiran dan keputusan berdasarkan logika atau nalar, tetapi juga dapat mempertimbangkan dan menggunakan faktor emosi dan perasaan. Karena emosi bersifat pribadi, sesuatu yang datang dan dirasakan dari dalam diri, kecerdasan dalam mengontrol dan menggunakannya akan sangat berguna bagi pengambilan keputusan yang sudah dipikirkan melalui logika tersebut.
Kecerdasan emosional tidak hanya dianggap remeh, tetapi pula tidak mau dipelajari dan digunakan dengan benar. Manusia memiliki kecenderungan berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan emosi berperan penting dalam interaksi. Interaksi dengan sesama artinya melibatkan komunikasi, karena manusia merupakan makhluk yang berbahasa. Terrace (dalam Dworetzky, 1984) mengadakan penelitian terhadap beberapa simpanse dan membuktikan bahwa simpanse-simpanse tersebut dapat memahami banyak kosakata, namun tidak dapat menghasilkan kalimat yang orisinil dari kata-kata yang dipahaminya. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi sosial bagi ras manusia, bukan spesies lain.
EM Griffin (2003) mengemukakan sejumlah ciri komunikasi yang berdasarkan penelitian oleh Burleson (1994) mengenai pengukuran tingkat kecanggihan orang berkomunikasi. Komunikasi canggih yang dimaksud di sini adalah komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan kompleksitas kognitif tinggi dengan cara komunikasinya yaitu logika retorik. Hasil penelitian menunjukkan tiga cara berkomunikasi berdasarkan tingkat kecanggihannya, yaitu:
1. Cara komunikasi yang paling kasar yaitu mengabaikan pikiran dan perasaan orang lain.
2. Cara komunikasi tingkat menengah yaitu memedulikan dan memberikan perhatian terhadap pikiran dan perasaan orang lain.
3. Komunikasi canggih yaitu menghasilkan pesan yang membenarkan atau membela perasaan orang lain dan sering kali menambahkan perspektif tambahan terhadap situasi yang sedang dihadapi oleh orang lain.
Dari tingkatan komunikasi canggih oleh EM Griffin maka sangat terbukti bahwa komunikasi dapat berjalan efektif apabila melibatkan emosi. Dan kecerdasan emosi berperan penting dalam pengendalian serta kepekaan diri terhadap emosi yang juga dirasakan oleh orang lain.
Kecerdasan Pengungkapan Emosi dalam Komunikasi Digital
Zaman yang sedang berjalan ini adalah era digital, dan memperluas perkembangan globalisasi di seluruh dunia. Komunikasi yang diterapkan adalah komunikasi massa. Dalam psikologi komunikasi menjelaskan fenomena media massa sebagai suatu proses, yaitu bagaimana proses berjalannya pesan, efek pesan kepada penerima, dan umpan balik yang diberikan. Menurut Baran (2002), teori komunikasi massa juga terbuka terhadap perubahan paradigma yang disebabkan oleh tiga faktor berikut.
1. Kemajuan teknologi dan munculnya media baru dapat mengubah situasi komunikasi secara fundamental. Contohnya berkembangnya media komunikasi yang tidak hanya melalui media cetak, tetapi juga media elektronik seperti televisi, komputer, dan ponsel.
2. Keinginan untuk melakukan pengawasan dan regulasi terhadap munculnya teknologi baru, khususnya di negara demokrasi, membutuhkan justifikasi atau pembenaran objektif berdasarkan ilmu pengetahuan. Artinya dengan munculnya teknologi komunikasi baru, tidak bisa dihambat hanya karena kepentingan tertentu atau demi keuntungan pihak tertentu.
3. Masyarakat di negara demokrasi yang mengakui adanya pluralisme (seperti di Indonesia) harus mempertanyakan peran teknologi baru dalam mendukung dan mendorong demokrasi dan pluralisme.
Dalam era digital, orang-orang lebih berkecimpung dalam pekerjaan yang menggunakan teknologi dan media elektronik. Kemajuan teknologi sudah terjadi di berbagai belahan bumi, salah satunya tentu Indonesia. Dengan populasi penduduk terbesar keempat di bumi ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan kepemilikan media sosial yang tinggi. Menurut data yang tercatat di Indonesia Digital Landscape 2018, pengguna internet di Indonesia selama pendataan tahun 2017 adalah sebanyak 132,7 juta jiwa, dari total populasi keseluruhan adalah 265,4 juta jiwa. Ini berarti bahwa setengah dari penduduk Indonesia sudah lebih ‘melek teknologi’. Bahkan sekitar 130 juta jiwa sudah aktif atau terbiasa menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Terlebih lagi, masih menurut data Indonesia Digital Landscape 2018, Pengguna internet menghabiskan waktu sekitar 8 jam setiap harinya untuk terhubung dengan internet, dan sekitar 3 jamnya digunakan untuk mengakses media sosial. Hal ini membuktikan evolusi media komunikasi yang dulunya hanya bisa terjadi secara langsung, lalu berupa media cetak, dan saat ini dengan media elektronik berupa media sosial. Intensitas tatap muka dalam berkomunikasi cenderung menyempit dan hanya berupa kalimat-kalimat.
Dalam penulisan kalimat, tentu digunakan tanda baca. Tetapi setiap orang dapat memersepsi intonasi yang digunakan oleh orang lain berbeda-beda bila hanya melalui bahasa tulis. Maka dari itu, komunikasi interpersonal atau komunikasi yang melibatkan bahasa verbal maupun nonverbal sangat melibatkan pengekspresian emosi dalam penyampaiannya. Bila komunikasi terjadi melalui media sosial, tentu tidak melibatkan ekspresi emosi karena kedua orang (atau lebih) yang sedang berkomunikasi tidak bertatap muka secara langsung.
Sebuah inovasi dalam pengekspresian emosi melalui media sosial atau komunikasi digital dimulai abad ke-20, yaitu secara tidak langsung diciptakannya emoticon (emotion icon). Penggunaan emoticon dewasa ini sangat meluas dan menjadi pelengkap dalam mengirim pesan digital, khususnya melalui media sosial. Dalam menulis pesan, disisipkan emoticon sebagai bentuk mengekspresikan apa emosi yang terkandung dalam kalimat tersebut. Emoticon membantu seseorang menggantikan informasi yang hilang dari saluran ekspresif lain, seperti intonasi suara dan ekspresi wajah (Derks, Bos, & von Grumbkow, 2008; Lo, 2008). Penggunaan emoticon sebagaimana mengekspresikan tampilan emosi yang sebenarnya, seperti tertawa, menangis, marah, dan lain sebagainya pada bagian akhir pernyataan yang diketik atau diungkapkan melalui media sosial maupun ragam bahasa tulis pada komunikasi digital (Provine, Spencer, & Mandell, 2007).
Emoticon juga dipengaruhi oleh budaya. Di negara Barat pada umumnya menggunakan emoticon yang berupa ilustrasi wajah berwarna kuning, yang menunjukkan berbagai ekspresi wajah manusia. Sedangkan di negara Timur cenderung memanfaatkan keragaman tanda baca, seperti titik, koma, tanda petik, alfabet, dan sebagainya dalam membentuk sebuah ekspresi wajah. Sama seperti ekspresi manusia yang dipengaruhi oleh kultur dan memiliki aturan mengenai situasi dan kondisi bagaimana menyampaikannya, emoticon dalam komunikasi media sosial juga penggunaannya harus melihat dari konteks kalimat yang disampaikan agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi oleh penerima pesan.
Meskipun ekspresi wajah tidak terlihat secara langsung ketika sedang berkomunikasi melalui media sosial, tentu kecerdasan emosional tetap digunakan dan diterapkan. Kecerdasan emosional yaitu memiliki kemampuan regulasi diri, yaitu usaha untuk mengontrol perilaku untuk meraih suatu tujuan yang penting (Carver & Scheier, 2013). Usaha tersebut harus pula diterapkan dalam bentuk komunikasi melalui media sosial, karena pada dasarnya pengakses media sosial adalah orang-orang dari seluruh dunia. Bila tidak dapat mengontrol diri dan emosi dengan baik, maka media yang seharusnya membawa banyak dampak positif dapat berubah menjadi alat yang tidak menguntungkan bagi diri sendiri.
Dalam komunikasi dengan media apapun, pengekspresian emosi sangat penting dilakukan. Komunikasi merupakan gabungan dari pengekspresian bahasa verbal maupun nonverbal, dan saat ini dalam komunikasi digital sudah ada inovasi yaitu emoticon. Ada baiknya bila inovasi yang sudah tersedia dapat digunakan dengan baik dan tepat sasaran. Dalam penggunaan emoticon, perlu juga memperhatikan dari segi formalitas. Jika berkomunikasi dalam konteks formal, maka penggunaan emoticon akan dianggap tidak sopan dan menyepelekan konteks percakapan. Ada baiknya jika sedang berkomunikasi secara formal, tanda-tanda baca yang digunakan harus sesuai dengan fungsi tanda baca tersebut.
Emoticon juga hendaknya dipahami maksud dan tujuan dari ilustrasi-ilustrasi tersebut. Emoticon merupakan sarana pengekspresian emosi, maka dapat juga dipersepsi dengan sudut pandang berbeda-beda. Maka dari itu, pengguna harus mengetahui dengan tepat mengenai maksud dan arti dari emoticon tersebut, dan dapat menggunakannya sesuai konteks. Saat sedang mengucapkan selamat menggunakan emoticon tersenyum, begitu pula dengan situasi percakapan lainnya.
Simpulan
Penjelasan di atas cukup menjelaskan bagaimana pentingnya mengekspresikan emosi dalam berkomunikasi. Ekspresi ditunjukkan tidak hanya sebagai pelengkap dalam komunikasi, tetapi juga berperan penting dalam menjalin empati melalui komunikasi tersebut. Tidak hanya dalam komunikasi secara langsung, komunikasi melalui media sosial juga sangat memerlukan pengekspresian emosi dan sudah ada inovasinya, maka ada baiknya untuk selalu digunakan dengan tepat sasaran.
Daftar Pustaka
King, Laura A. 2017. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh: Hardini, Yuditha dan Petty Gina Gayatri. Jakarta: Salemba Humanika.
Atkinson, Rita L. 2002. Pengantar Psikologi. Edisi ke-11. Diterjemahkan oleh: Kusuma, Widjaja. Jakarta: Interaksara.
Morrisan. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Wood, Julia T. 2013. Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian. Edisi ke-6. Diterjemahkan oleh: Setiawan, Rio Dwi. Jakarta: Salemba Humanika.
Ekman, Paul. 2010. Membaca Emosi. Diterjemahkan oleh: Jamilla dan Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Baca!.
Albin, Rochelle Semmel. 1986. Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkan. Diterjemahkan oleh: Brigid, M. Yogyakarta: Kanisius.
Osho. 2008. Emotional Learning: Belajar Efektif Mengelola Emosi: Mengubah Ketakutan, Kemarahan, dan Kecemburuan Menjadi Energi Kreatif. Diterjemahkan oleh: Kahfi, Ahmad. Yogyakarta: Baca!.
Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Diterjemahkan oleh: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Istiqomah, Adinda. 2014. Regulasi Emosi Ibu yang Mempunyai Anak Autis. Tugas Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Diambil dari http://digilib.uinsby.ac.id/526/5/Bab%202.pdf Senin, 19 November 2018 pukul 19.32 WIB.
Dhieni, Nurbiana dan Lara Fridani. 2014. Hakikat Perkembangan Bahasa Anak. Universitas Terbuka Indonesia. Diambil dari http://repository.ut.ac.id/4695/1/PAUD4106-M1.pdf Senin, 19 November 2018 pukul 19.48 WIB.
Jaram, Park, Vladimir Barash, Clay Fink, dan Meeyoung Cha. 2013. Emoticon Style: Interpreting Differences in Emoticons Across Cultures. Journal of AAAI (Association for the Advancement of Artificial Intelligence). Diambil dari https://www.aaai.org/ocs/index.php/ICWSM/ICWSM13/paper/viewFile/6132/6386 Senin, 19 November 2018 pukul 21.19 WIB.
Hardjana, Agus M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius.