PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR IPS

MELALUI PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING

PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 3 BRABO

KECAMATAN TANGGUNGHARJO KABUPATEN GROBOGAN SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016

 

Joko

SDN 3 Brabo Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten

 

ABSTRAK

Subyek penelitian adalah siswa Kelas IV SD Negeri 3 Brabo, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan sebanyak 30 orang siswa. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa setelah menerapkan metode problem solving serta untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari metode problem solving dalam pembelajaran. Tahapan dalam setiap siklus terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus. Hasil penelitian pada keaktifan belajar ada peningkatan dari 46,66% (14 siswa) pada kondisi awal, menjadi 66,66% (20 siswa) pada siklus I dan 93.33% (28 siswa) pada siklus ke II. Peningkatan rerata hasil belajar dari 58,33 pada studi awal dan 65 pada siklus I dan 74,46 pada siklus II, dengan tingkat ketuntasan belajar dari 4 siswa (13,33%) pada studi awal menjadi 14 siswa (46,66%) pada siklus I, dan pada siklus II menjadi 90% atau 27 siswa.

Kata Kunci: pembelajaran, motivasi, hasil belajar, problem solving

 

Latar Belakang Masalah

Pendidikan IPS di Sekolah Dasar sebagai salah satu mata pelajaran yang bertujuan meningkatkan dan menumbuhkan pengetahuan, kesadaran dan sikap sebagai warga negara yang bertanggungjawab, menuntut pengelolaan pembelajaran secara dinamis dengan mendekatkan siswa kepada realitas objektif kehidupannya. IPS adalah mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa fakta, konsep, generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial serta berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Guru merupakan komponen yang sangat penting, sebab keberhasilan pelaksanaan proses pendidikan sangat tergantung pada guru sebagai ujung tombak. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas pendidikan seharusnya dimulai dari pembenahan kemampuan guru. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki adalah bagaimana merancang suatu strategi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang akan dicapai, karena kita yakin tidak semua tujuan bisa dicapai oleh hanya satu strategi saja.

Untuk itu guru perlu menggunakan beragam metode yang menyediakan beragam pengalaman belajar melalui contoh dan bukti yang kontekstual. Untuk menciptakan kegembiraan dalam proses pembelajaran, mengurangi keabstrakan dan meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis maka harus diterapkan metode mengajar yang baik. Siswa akan lebih mudah memahami suatu konsep jika dalam belajar siswa dapat menggunakan sebanyak mungkin indera dan berinteraksi dengan isi pembelajaran. Apalagi pembelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang sarat materi sehingga siswa dituntut memiliki pemahaman yang holistik terhadap materi yang disampaikan guru.

Metode Pembelajaran Problem Solving merupakan salah satu pendekatan pembelajaran motivasional yang diyakini mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis terhadap berbagai persoalan karena Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dengan kata lain kemampuan memecahkan masalah merupakan tujuan utama pendidikan. Menindaklanjuti pembelajaran yang belum maksimal/belum dapat meningkatkan hasil belajar membuat peneliti membuat rencana tindakan kelas yang akan ditujukan untuk memperbaiki pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas yang peneliti uji ini menggunakan penerapan metode Problem Solving dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.

Melalui pengamatan selama pembelajaran diketahui faktor yang menyebabkan hasil belajar siswa yaitu kurang tepatnya metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru karena pada pembelajaran sebelumnya siswa bersikap pasif dan menunjukkan ketidaktertarikannya. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah.

Kajian Teori

Hakikat Pembelajaran IPS

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dikemukakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. Di dalam KTSP ini mata pelajaran IPS adalah untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dan isu-isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS siswa diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang bertanggung jawab dan dapat menghadapi permasalahan-permasalahan sosial di kehidupan nanti.

Menurut Djahiri (1989: 2) “merumuskan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai ilmu pengetahuan yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari cabang-cabang ilmu sosial dan ilmu lainnya kemudian diolah berdasarkan prinsip pendidikan dan didaktik untuk dijadikan program pengajaran pada tingkat persekolahan”.

Pembelajaran IPS bersifat integratif karena materi yang diajarkan merupakan akumulasi sejumlah disiplin ilmu sosial. Pembelajaran IPS lebih menekankan aspek pendidikan memahami sejumlah konsep dan melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Selain itu pengertian IPS menurut pendapat Sapriya, dkk (2009:6) “bahwa IPS sebagai suatu pengajaran yang membimbing para pemuda-pemudi ke arah menjadi aktivitas warga negara yang cerdas, hidup fungsional, efektif, produktif dan berguna bagi bangsa”.

IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi (Puskur, 2001: 9). Geografi, Sejarah dan Antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran Geografi memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dengan wilayah-wilayah, sedangkan Sejarah memberikan kebulatan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekpresi dan spritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu Ekonomi tergolong kedalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial.

IPS menggambarkan interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Interaksi antar individu dalam ruang lingkup lingkungan mulai dari yang terkecil misalkan keluarga, tetangga, rukun tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, pendidikan IPS di SD telah mengintegrasikan bahan pelajaran tersebut dalam satu bidang studi. Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli di pasar (Antropologi) dan berapa jenis-jenis barang yang diperjualbelikan (Ekonomi).

Dengan demikian Pendidikan IPS di sekolah dasar adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti yang disajikan pada tingkat menengah dan universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan, kematangan jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan, diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan institusional didaksmen. Pembelajaran IPS di SD merupakan salah satu progarm pengajaran yang dipersiapkan untuk masa yang akan datang dalam menghadapi tantangan globalisasi. Oleh karena itu IPS dirancang untuk mengembangkan, pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis.

Adapun ruang lingkup pembelajaran IPS berdasarkan KTSP 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut (a) manusia, tempat dan lingkungan, (b) sistem sosial dan budaya, (c) prilaku ekonomi dan kesejahteraan, dan (d) waktu, keberlanjutan dan perubahan.

Fungsi Pembelajaran IPS

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang pendidikan dasar memfokuskan kajiannya kepada hubungan antar manusia dan proses membantu pengembangan kemampuan dalam hubungan tersebut. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui kajian ini ditunjukkan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum-kurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan ini tidak dapat disangkal telah membawa beberapa hasil, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan pengetahuan sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar relatif cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah tertentu terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau pembelajarannya, kurikulum, para pengelola dan pelaksananya serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya.

Banyak penyebab yang melatarbelakangi pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Faktor penyebabnya dapat berpangkal dari kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran. Berkenaan dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS, beberapa penelitian memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil penelitian Balitbang, Depdikbud tahun 1999 menyebutkan bahwa “Kurikulum 2006 tidak disusun berdasarkan basic competencies melainkan pada materi, sehingga dalam kurikulumnya banyak memuat konsep-konsep teoritis”.

Boediono, (1999:84). Hasil evaluasi kurikulum IPS SD tahun 1994 menggambarkan adanya kesenjangan kesiapan siswa dengan bobot materi sehingga materi yang disajikan, terlalu dianggap sulit bagi siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas pembelajaran dan buku sumber, kesulitan manajemen waktu serta keterbatasan kemampuan melakukan pembaharuan metode mengajar (Depdikbud, 1999).

Berdasarkan hal-hal di atas nampak, bahwa pada satu sisi betapa pentingnya fungsi pembelajaran IPS dalam mengembangkan pengetahuan, nilai. sikap, dan keterampilan sosial agar siswa menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun di pihak lain masih banyak masalah-masalah tersebut diperlukan penelitian berkaitan dengan pembelajaran IPS.

Tujuan Pembelajaran IPS

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.

Dalam proses pendidikan IPS di SD, pembelajarannya kurang memperhatikan karakteristik anak usia sekolah dasar, yakni terkait dengan perkembangan psikologis siswa. Menurut Jean Piaget (1963), anak dalam kelompok usia SD (6 12 tahun) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh dan menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (konkrt) dan bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (abstrak). Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity) arah mata angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan atau kelangkaan adalah konsep- konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD. Jika hal ini dibiarkan terus, maka pembelajaran IPS dapat menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Dan baik secara langsung maupun tidak akan berdampak pada tujuan pendidikan IPS yang diharapkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukanlah model pembelajaran yang sesuai untuk materi IPS di SD dan memperhatikan karakteristik anak usia SD.

Pengertian Belajar

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ? Yang dimaksud belajar yaitu perubahan dalam bidang material, formal serta fungsional pada umumnya dan bidang intelektual pada khususnya. Jadi belajar merupakan hal yang pokok. Belajar merupakan suatu perubahan pada sikap dan tingkah laku yang lebih baik, tetapi kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk.

Suprayekti (2003: 18) mengemukakan pendapatnya bahwa belajar merupakan salah satu bentuk perilaku yang amat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Belajar membantu manusia menyesuaikan diri (adaptation) dengan lingkungannya. Dengan adanya proses belajar inilah manusia bertahan hidup (survived). Belajar secara sederhana dikatakan sebagai proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu, tejadi dalam jangka waktu waktu tertentu. Perubahan yang itu harus secara relatif bersifat menetap (permanent) dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini nampak (immediate behavior) tetapi juga pada perilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang (potential behavior). Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa perubahan-perubahan tersebut terjadi karena pengalaman.

Belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari (Djamarah, 1994: 21). Menurut James O. Wittaker belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. sedangkan menurut Cronbach belajar yang efektif adalah melalui pengalaman, dan menurut Howard L. Kingsley belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan (Dalyono, 2006: 104). Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar.

Motivasi Belajar

Kata motivasi berasal dari kata dasar ”motif” yang berarti suatu keadaan yang dialami oleh makhluk hidup yang mendorong makhluk tersebut berbuat sesuatu ke arah suatu tujuan tertentu. Motif merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diinginkan. Berawal dari kata ”motif” tersebut dapat diartikan bahwa motivasi merupakan daya penggerak yang telah aktif. Sukmadinata (2003: 61) mendefinisikan motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu yang menunjukkan suatu kondisi dalam diri individu yang mendorong atau menggerakkan individu tersebut melakukan kegiatan mencapai tujuan. Hal senada dikemukakan oleh Surya (2003: 99), motivasi adalah suatu dorongan untuk mewujudkan perilaku tertentu yang terarah kepada suatu tujuan tertentu. Motivasi suatu individu akan muncul terdorong oleh suatu tujuan yang ingin dicapai. Individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan karena memiliki tujuan, tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh suatu individu dilakukan berdasarkan motivasi yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Bila suatu individu memiliki motivasi dan tujuan yang tinggi maka akan semakin banyak yang dilakukan.

Mc. Donald dalam Sardiman (2001: 71) menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Berdasarkan pengertian tersebutdapat diartikan bahwa motivasi menyebabkan adanya perubahan energi pada diri seseorang yang ditandai dengan adanya rasa (feeling) yang dapat menentukan tingkah laku individu tersebut yang terdorong oleh adanya tujuan.

Setiap proses motivasi dan perilaku akan menghasilkan peristiwa yang beragam antara individu dan individu yang lainnya. Setiap individu selalu terdorong untuk melakukan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan. Tercapainya tujuan yang diharapkan tersebut akan menimbulkan suatu kepuasan pada individu itu sendiri.

Pada dasarnya karakteristik motivasi ialah sebagai hasil dari kebutuhan, terarah kepada suatu tujuan, dan penopang perilaku. Motivasi suatu individu yang tinggi akan mengarahkan perilaku yang baik dan sesuai dengan arah tujuan sehingga membawa hasil yang baik. Sebaliknya jika motivasi yang dimiliki lemah maka perilaku atau perbuatan yang dikerjakan akan tidak sungguh-sungguh, tidak terarah dan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil.

Dapat terlihat bahwa suatu tindakan atau perbuatan individu dipengaruhi oleh motivasi yang dimiliki. Dalam motivasi terdapat adanya dorongan yang menggerakkan suatu kegiatan individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Purwanto berikut ini: ”Motivasi adalah kekuatan-kekuatan yang komplek, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, pertanyaan-pertanyaan ketegasan (tensen states), atau mekanisme-mekanisme lainnya yang memiliki dan menjaga kegiatan-kegiatan yang diinginkan kearah pencapian tujuan-tujuan personal (Purwanto, 1997: 72)”.

Berdasarkan konsep-konsep motivasi di atas dapat digambarkan bahwa motivasi adalah kondisi dalam diri individu yang mendorong individu tersebut untuk melakukan suatu kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Motivasi tumbuh di dalam individu itu sendiri tetapi dapat ditingkatkan atau dikembangkan dari faktor luar individu tersebut.

Pada dasarnya karakteristik motivasi ialah sebagai hasil dari kebutuhan, terarah kepada tujuan, dan penopang perilaku. Motivasi individu yang tinggi akan mengarahkan kepada perilaku yang baik dan sesuai dengan arah tujuan sehingga membawa hasil yang baik. Sebaliknya jika motivasi yang dimiliki individu itu lemah, maka perilaku yang dikerjakannya tidak akan sungguh-sungguh, tidak terarah, bahkan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat digambarkan bahwa motivasi adalah kondisi dalam diri individu yang mendorong individu tersebut untuk melakukan suatu kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Motivasi tumbuh di dalam diri individu tetapi dapat berkembang karena faktor dari luar individu tersebut. Sedangkan pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang yang dihasilkan melalui pengalaman. Hermine Marshall menggambarkan motivasi belajar sebagai suatu kebermaknaan, nilai, dan keuntungan-keuntungan kegiatan belajar sehingga siswa tertarik untuk melakukan kegiatan belajar. Sardiman (2008: 75) mengemukakan bahwa dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar merupakan dorongan dari dalam maupun dari luar diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah keterampilan serta pengalaman. Motivasi dapatmendorong dan mengarahkan minat belajar siswa untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk memperoleh prestasi belajar yang baik.

Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran merupakan cara dan tindakan yang ditempuh seorang guru dalam pembelajaran agar berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran/kompetensi yang diharapkan. cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Menurut Witherington (dalam Martinis Yamin, 2006: 18), belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru yang berbentuk ketrampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.

Metode merupakan sesuatu yang penting dalam proses belajar pembelajaran. Karena metode termasuk unsur pengajaran dan salah satu faktor yang ikut dalam menentukan tercapainya tujuan yang diinginkan.

Model Problem Solving

Problem solving atau pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum IPS yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesainya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman mengunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematik sangat penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan penggeneralisasian, komunikasi matematik, dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kegiatan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran IPS belum dijadikan sebgai kegiatan utama. Padahal, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang kegiatan tersebut dapat dikatakan merupakan kegiatan pembelajaran IPS di sekolah. Selain itu, Suryadi dkk. (dalam Suherman, 1999:143) dalam surveynya tentang ’current situation on matematics and science education in Bandung’ yang disponsori oleh JICA, antara lain menemukan bahwa pemecahan masalah IPS merupakan salah satu kegiatan yang dianggap penting baik oleh para guru maupun oleh siswa di semua tingkat mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Sebagaimana tercantum dalam kurikulum IPS sekolah bahwa tujuan diberikan IPS antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan dunia yang sedang berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, dan kritis cermat, jujur, dan efektif. Hal ini, jelaslah tuntutan sangat tinggi yang tidak mungkin bisa dicapai hanya melalui hapalan, latihan pengerjaan tugas, serta proses pembelajaran belajar untuk menjawab tuntutan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaranya yang sesuai.

Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne (dalam Suryadi, 2006:25) bahwa keterampilan tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Hal ini dapat dipahami sebab-sebab pemecahan masalah merupakan paling tinggi dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne, yaitu signal learning, stimulus respone learning, chaining, view association, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan Problem Solving. Problem Solving disebut juga PBL (problem based learning) merupakan pembelajaran yang berbasiskan masalah. Pembelajaran problem solving masalah ditempatkan diawal pembelajaran ketika pembelaran dimulai guru memberipermasalahan kepada seluruh siswa, permasalahan dapat diajukan secara klasikal/individual atau kelompok. Windayana, dkk. (2006:24) jenis permasalahan dapat berupa masalah tranlasi, masalah aplikasi, masalah proses, atau masalah teka-teki, tergantung kompetensi yang ingin dikembangkan siswa. Ketika permasalahan diajukan, guru tidak memberitahukan strategi atau cara memecahkan masalah tersebut. Kecuali apabila guru ingin memberi kereampilan atau strategi pemecahan masalah, misalnya strategi pemecahan masalah dari Pyola. Kebenaran jawaban tidak menjadi prioritas utama dalam pendekatan belajar ini, tetapi tujuan utamanya adalah agar siswa dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan menggunakan berbagai cara atau strategi memecahkan masalah ini yang akan membuat siswa dapat mengembangkan potensi-potensi penting dalam dirinya.

Menurut Polya (Windayana, 2006:61) solusi soal pemecahan masalah IPS memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, meyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Fase pertama adalah memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. Kemampuan melakukan fase ini sangat tergantung pada pemahaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya, semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah. Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang paling tepat. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai pada fase penyelesaian ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.

Metode problem solving adalah suatu metode dalam pendidikan dan pengajaran dengan sejalan melatih siswa untuk menghadapi masalah-masalah dari yang paling sederhana sampai kepada masalah yang paling rumit (Zuhairini, 1997: 110). Metode ini biasanya dikombinasikan dengan metode proyek, dimana anak dihadapkan pada masalah-masalah, kemudian disuruh memecahkan sendiri sampai mendapatkan pemecahannya atau kesimpulannya (Roestiyah, 1986: 82). Hasbullah (Eka MR, 2008:15) berpendapat bahwa pemecahan masalah (Problem Solving) sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan mencapai suatu tujuan yang tidak begitu saja segera dapat dicapai. Menurut Nasution masih dalam halaman yang sama berpendapat bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan benar.

Problem solving didasarkan pada kesadaran terhadap fakta, bahwa mengajar bukanlah sekedar berpidato kepada anak didik bukan sekedar mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, bukan pula berarti belajar atau mengikat fakta semata-mata yang kurang memasalahkan bagaimana kepentingan fakta itu. Akan tetapi mengajar adalah untuk meneliti dengan seksama, menemukan memikirkan, menganalisa, inquiry dan menyelidiki.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Tindakan

Deskripsi Kondisi Awal

Maka peneliti merasa perlu mengadakan perbaikan dalam masalah pembelajaran yang akan dilaksanakan pada siklus I. Dari hasil analisis data awal dari nilai ulangan formatif serta observasi yang dilakukan menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

a.     Metode yang digunakan guru tidak membuat siswa tidak belajar mengalami langsung. Dalam penelitian ini guru masih menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran IPS, meskipun sesekali diselangi dengan metode yang lainnya sehingga kesan yang timbul dalam proses belajar mengajar tersebut ternyata proses transfer informasi yang disampaikan secara lisan dari guru kepada siswa.

b.     Aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar tampak masih statis, sekedar mengejar target kurikulum yang telah ditentukan interaksi guru dengan siswa bersifat satu arah dari guru kepada siswa sehingga interaksi antara siswa dengan siswa jarang terjadi.

c.     Tidak adanya penggunaan alat peraga, sehingga kesan yang timbul dalam kegiatan belajar mengajar tersebut siswa tidak bersemangat

d.     Dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus I, peneliti merumuskan rencana pembelajaran/silabus untuk mata pelajaran IPS dengan materi Keanekaraman suku dan budaya.

Deskripsi Siklus Pertama

Pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus I dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan, yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 2015 dan 18 September 2015.

Rekapitulasi Nilai Ulangan Formatif Pembelajaran IPS Materi Keanekaraman suku dan budaya pada Siklus I di atas dapat diterangkan sebagai berikut:

a)   Nilai rata-rata hasil belajar pada pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus pertama sebesar 65

b)   Jumlah siswa yang tuntas belajarnya sebanyak 14 siswa atau sebesar 46,66%

c)   Jumlah siswa yang belum tuntas belajarnya sebanyak 16 siswa atau sebesar 53,33%

Dari penjelasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil nilai tes formatif mengalami peningkatan dari kondisi awal, karena pada sebelum perbaikan siswa tuntas 4 siswa (13,33%) meningkat menjadi 14 siswa (46,66%) atau meningkat sebanyak 10 siswa.

Penjelasan mengenai aspek motivasi belajar yang diamati adalah respon siswa terhadap pernyataan, rasa ingin tahu, dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan diskusi. Kegiatan pengamatan ini dilakukan oleh observer selama kegiatan perbaikan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan format observasi yang telah dipersiapkan.

Dari 30 siswa terdapat 20 orang yang tuntas belajarnya (66,66%) dilihat dari motivasi belajarnya, sedangkan 10 siswa (33,33%) belum tuntas dilihat dari motivasi belajarnya. Melihat hasil di atas maka peneliti bersama-sama dengan observer sepakat untuk melaksanakan perbaikan pembelajaran pada siklus II dengan harapan pada siklus II motivasi belajar siswa dapat mencapai perolehan di atas 85% sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan.

Deskripsi Siklus Kedua

Pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus II dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan, yang dilaksanakan pada tanggal 25 September 2015 dan 02 Oktober 2015. Setelah mempertimbangkan hasil refleksi pada siklus pertama, maka pada siklus kedua peneliti mencoba menyempurnakan pelaksanaan perbaikan pembelajaran.

Rekapitulasi Nilai Ulangan Formatif Pembelajaran IPS Materi Keanekaraman suku dan budaya pada Siklus II di atas dapat diterangkan sebagai berikut:

a)   Nilai rata-rata hasil belajar pada pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus pertama sebesar 74,66

b)   Jumlah siswa yang tuntas belajarnya sebanyak 30 siswa atau sebesar 90%

c)   Masih ada 3 siswa yang belum tuntas belajarnya atau sebesar 10%.

Dari penjelasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil nilai tes formatif mengalami peningkatan dari siklus I, karena pada siklus I siswa tuntas 14 siswa (46,66%) meningkat menjadi 30 siswa (90%) atau meningkat sebanyak 13 siswa (43,33%). Melihat hasil di atas maka peneliti bersama-sama dengan observer menyimpulkan bahwa hasil pengamatan terhadap peningkatan motivasi belajar sudah mencapai angka di atas 85%, sehingga proses perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil dan tuntas pada siklus II

Penjelasan mengenai aspek motivasi belajar yang diamati adalah respon siswa terhadap pernyataan, rasa ingin tahu, dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan diskusi. Kegiatan pengamatan ini dilakukan oleh observer selama kegiatan perbaikan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan format observasi yang telah dipersiapkan.

Dari 30 siswa terdapat 28 orang yang tuntas belajarnya (93,33%) dilihat dari motivasi belajarnya. Melihat hasil di atas maka peneliti bersama-sama dengan observer menyimpulkan bahwa hasil pengamatan terhadap peningkatan motivasi belajar sudah mencapai angka di atas 75%, sehingga proses perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil dan tuntas pada siklus II.

Pembahasan

Penggunaan metode problem solving akan sangat membantu dalam membangkitkan motivasi belajar siswa, ini terbukti dari hasil belajar yang diberikan pada setiap siklusnya mengalami peningkatan di mana pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 63,89 dan pada siklus II rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 72,86. Rekapitulasi nilai hasil ulangan formatif siswa dari kondisi awal, siklus I sampai dengan siklus II dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Rekapitulasi Nilai Hasil Ulangan Formatif Temuan Awal, Siklus I dan Siklus II

Siklus

Tuntas

%

Belum Tuntas

%

Kondisi Awal

4

13,33

26

86,66

Siklus I

14

46,66

16

53,34

Siklus II

27

90

3

10

 

Dari tabel di atas dapat dijelaskan peningkatan nilai hasil dan ketuntasan belajar siswa pada siklus I dan II secara terperinci sebagai berikut:

Siswa Tuntas Belajar

a.   Pada temuan awal siswa yang tuntas sebanyak 4 siswa atau 13,33% dari 30 siswa.

b.   Pada siklus I siswa yang tuntas sebanyak 14 siswa atau 46,66% dari 30 siswa

c.    Pada siklus II siswa yang tuntas sebanyak 27 siswa atau 90% dari 30 siswa

Siswa Belum Tuntas Belajar

a.   Pada temuan awal siswa yang belum tuntas sebanyak 26 siswa atau 86,66% dari 30 siswa.

b.   Pada siklus I siswa yang belum tuntas sebanyak 16 siswa atau 53,34% dari 30 siswa

c.    Pada siklus II siswa yang belum tuntas sebanyak 3 siswa atau 10% dari 30 siswa

Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan dalam perbaikan pembelajaran bahwa siswa yang dinyatakan tuntas belajar jika mendapat nilai tes formatif sebesar 70 ke atas dan jika 85% dari siswa telah tuntas belajarnya.

Sebelum dilaksanakan perbaikan pembelajaran melalui penggunaan metode problem solving. pada pembelajaran IPS, jumlah siswa yang tuntas belajarnya pada keadaan awal sebanyak 4 siswa (13,33%), setelah dilaksanakan perbaikan dengan penggunaan metode problem solving pada siklus I meningkat menjadi 14 siswa atau 46,66% dan pada siklus II meningkat kembali menjadi 27 siswa atau 90%. Adapun penjelasan mengenai penurunan siswa yang belum tuntas belajarnya pada keadaan awal sebanyak 26 siswa atau 86,66%, setelah dilaksanakan perbaikan dengan penggunaan diskusi. pada siklus I menurun menjadi 16 siswa atau 53,34% dan pada siklus II menurun menjadi 3 siswa atau 11,11%.

Penjelasan mengenai peningkatan nilai rata-rata hasil belajar pada pembelajaran IPS dengan menggunakan metode problem solving menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan di mana pada kondisi awal sebesar 58,33 meningkat menjadi 65 pada siklus I dan pada akhir siklus II meningkat menjadi 74,46.

Keberhasilan proses perbaikan pembelajaran tidak hanya dilihat dari peningkatan hasil belajar atau nilai tes formatif saja. Motivasi belajar siswa selama proses pembelajaran juga merupakan indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran. Data motivasi siswa diperoleh dari lembar observasi yang telah diisi oleh observer selama perbaikan pembelajaran berlangsung. Fokus observasi difokuskan pada aspek-aspek bisa menjawab, mau bertanya dan aktif dalam kegiatan diskusi. Hasil observasi pada pelaksanaan kegiatan perbaikan pembelajaran menunjukkan hasil yang positifi, dan dibuktikan dengan adanya peningkatan motivasi siswa pada setiap siklusnya. Secara rinci penjelasan mengenai peningkatan motivasi siswa dalam proses perbaikan pembelajaran sebagaimana tabel di bawah ini:

Rekapitulasi Peningkatan Motivasi Siswa pada Siklus I dan II

Siklus

Tuntas

%

Belum Tuntas

%

Kondisi Awal

14

46,66

16

53,33

Siklus I

20

66,66

10

33,33

Siklus II

28

93.33

2

6,67

 

Dari tabel di atas dapat dijelaskan tentang siswa yang tuntas dan belum tuntas dilihat dari motivasi belajarnya, yaitu:

Siswa tuntas dilihat dari motivasi belajar

a.      Pada temuan awal, siswa tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 14 siswa atau 46,66% dari 30 siswa.

b.      Pada siklus I, siswa tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 20 siswa atau 66,66% dari 30 siswa.

c.      Pada siklus II, belum tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 28 siswa atau 93.33% dari 30 siswa.

Siswa yang belum tuntas dilihat dari motivasi belajar

a.       Pada temuan awal, siswa belum tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 16 siswa atau 53,33% dari 30 siswa.

b.        Pada siklus I, siswa belum tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 10 siswa atau 33,33% dari 30 siswa.

c.        Pada siklus II, siswa belum tuntas dilihat dari motivasi belajar sebanyak 2 siswa atau 6,67% dari 30 siswa

Dari hasil observasi mengenai motivasi siswa tersebut berdasarkan kriteria keberhasilan perbaikan pembelajaran dapat disimpulkan bahwa proses perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil karena peningkatan motivasi siswa mencapai 93.33% dari 75% batasan minimal yang telah ditentukan pada kriteria keberhasilan proses perbaikan pembelajaran.

Atas dasar pertimbangan sebagaimana diurakan di atas, maka peneliti dan observer sepakat memutuskan bahwa kegiatan perbaikan pembelajaran diakhiri pada siklus II.

Berdasarkan data-data hasil pelaksanaan perbaikan pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas berupa data hasil tes formatif siklus I, tes formatif siklus II dan data hasil observasi siklus I dan II maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode problem solving peran dapat meningkatkan hasil belajar dan motivasi siswa pada pembelajaran IPS di kelas IV SD Negeri 3 Brabo, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2015/2016.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan temuan-temuan yang didapatkan peneliti selama proses perbaikan pembelajaran yang dilaksanakan dalam dua siklus, dapat disimpulkan bahwa:

1.     Penggunaan metode problem solving pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial materi Keanekaragaman suku dan budaya dapat meningkatkan motivasi siswa kelas IV SDN 3 Brabo, Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan. Hal ini terindikasi dari peningkatan motivasi belajar dari 44,44% atau 12 siswa pada studi awal menjadi, 62,96% atau 17 siswa, meningkat menjadi 92,59% atau 25 siswa pada siklus terakhir.

2.     Penggunaan metode problem solving pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial materi Keanekaragaman suku dan budaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDN 3 Brabo, Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan. Hal tersebut dibuktikan oleh kenaikan hasil belajar terus mengalami peningkatan dari 55,56 meningkat menjadi 62,96 pada siklus I dan pada akhir siklus II meningkat menjadi 72,22 pada akhir siklus kedua serta didukung dengan peningkatan pada keadaan awal sebanyak 2 siswa (7,41%), setelah dilaksanakan perbaikan dengan penggunaan metode problem solving pada siklus I meningkat menjadi 11 siswa atau 40,74% dan pada siklus II meningkat kembali menjadi 24 siswa atau 88,89%. Dari perolehan angka-angka di atas dapat disimpulan bahwa pada siklus kedua, proses pelaksanaan perbaikan pembelajaran dinyatakan berhasil dan tuntas pada siklus kedua.

Saran

Saran untuk penelitian lebih lanjut

Dari beberapa paparan tentang penelitian tindakan kelas di atas, peneliti mempunyai beberapa saran agar pembelajaran dapat berhasil:

a.     Guru harus bisa mengatur waktu pembelajaran agar pembelajaran dapat berjalan efektif.

b.     Guru harus bisa membuat suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik.

c.     Guru harus dapat bekerja sama dengan rekan sejawat untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

Saran untuk penerapan hasil

a.     Penelitian ini akan ditindak lanjuti pada penelitian berikutnya dengan mengintensifkan bimbingan. Di samping itu akan dicobakan pada materi yang mempunyai karakteristik yang sama.

b.     Penelitian tindakan kelas mempunyai manfaat yang besar bagi sekolah, guru, maupun pengawas sekolah. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila sekolah memberikan kebebasan kepada guru yang akan melaksanakan penelitian tindakan kelas dan bekerja sama dengan teman sejawat dalam satu sekolah maupun sekolah lain atau melalui kelompok kerja guru, sehingga masalah-masalah dalam pembelajaran dapat diatasi bersama yang pada akhirnya kualitas pendidikan akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, M. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inkuiry. Jakarta: Depdikbud.

BSNP. (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Catharina, Tri Anni. 2002. Psikologi Belajar. Semarang: UPT UNNES Press

Depdiknas. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Dimyati dan Mudjiono. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

 Direktorat Pendidikan Dasar dan Kepala Bidang Dikdas. (1994). Didaktik/Metodik Umum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar.

Djaluli, Achmad. (1994). Penyelenggaraan Pendidikan di SD. Jakarta: Dikdasmen Depdikbud.

Djamarah, Drs. Syaiful Bahri. Zain, Drs. Aswan. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta

Gagne, R.M (1985). The Conditions of Learning Theory of instruction (4th Edition). New York: Holt, Rinehart and Winston.

Hamalik, Oemar. 2003. Prosedur Belajar Mengajar. Jakarta Bumi Aksara.

Handoko, Martin. 2001. Asesmen Proses dan Hasil Belajar. Bandung: Rosda Karya

Kasbolah, Kasihani. (1999). Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: Depdikbud.

Muhammad, M. Saleh, Munajat, Ade. 2008. IPS VI. Jakarta: Depdiknas.

Nashar, Drs. 2004. Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Delia Press.

Nasution Noehi. Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka, 2004

NK Roetiyah. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Rineka Cipta

Nugroho, Arif Julianto Sri. 2009. IPS VI SD/MI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Nurhadi. 2009. Mengenal Lingkungan Sekitar Ilmu Pengetahuan Sosial 6: untuk Kelas IV Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Nursa’ban, Muhammad, Rusmawan. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial VI. Jakarta: Depdiknas.

Pujiati, Retno Heny. 2010. Cerdas Pengetahuan Sosial VI: untuk kelas VI SD/MI kelas VI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Purwanto, Ngalim. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.