PERJUANGAN RAKYAT TEMANGGUNG MELAWAN MILITER BELANDA PADA MASA AGRESI MILITER BELANDA II 1948-1950
PERJUANGAN RAKYAT TEMANGGUNG
MELAWAN MILITER BELANDA
PADA MASA AGRESI MILITER BELANDA II 1948-1950
Titik Pardaningsih, Emy Wuryani, Sunardi
Pendidikan Sejarah –FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT
The Research goals were to describe the struggle of the people of Temanggung against the Dutch military force during the Dutch military aggressions II 1948-1959. The method use in the essay was the historical methods. The results of the research conclude that on 22rad December 1948, the Dutch rules in Temanggung. The Indonesia Armed Forced (TNI) and the partisan withdraw to the outer town region. Build their base in the Sumbing mountain slope. The bureaucrats refused to cooperate with the Dutch. They seek refugees with the TNI, establishing emergency governments. The struggles were assisted by all aspect of the people. TNI fought with guerrillas. The people gives them shelter and foods. A lot of them become “pager desa” seeking information. The students fused in the students army (Tentara Pelajar), join the fight against the Dutch. During the occupations of the Dutch, the people of Temanggung are suffered. The most famous ferocity of the Dutch was the slaughtered in the Progo River. It reached thousands of casualties not only TNI and partisan but the citizens fall under suspicions of helping the struggle are killed as well. The Dutch rules in Temanggung until 10th November 1949, until finally Temanggung return to Republik Indonesia like the KMB agreement.
Key words: revolutions, the struggle of the people, guerilla, nationalism, military aggressions
PENDAHULUAN
Masa setelah proklamasi kemerde-kaan Indonesia menjadi masa yang berat bagi rakyat Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka belum lepas dari incaran negara imperialis untuk kembali menjajah Indonesia. Periode rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahan-kan kemerdekaan negara dikenal sebagai periode revolusi. Periode revolusi ditandai dengan perlawanan fisik seluruh rakyat Indonesia dengan ciri dan lingkungan yang berbeda dari daerah satu dengan yang lain dalam menghadapi penjajah. Masa revolusi ditandai juga dengan tumbuhnya kesadar-an nasional dan mulai diterimanya nilai-nilai revolusi, kemerdekaan, demokrasi, hak asasi, anti imperialisme, dan heroisme. Nilai-nilai revolusi yang tumbuh menimbul-kan banyak perubahan baik sosial, politik, dan ekonomi secara cepat dan drastis, yang mendorong perubahan untuk membe-baskan diri dari segala bentuk imperialisme dan kolonialisme.
Kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA menyebabkan terja-dinya banyak insiden, bahkan pertempuran antara tentara Sekutu dengan pihak Indonesia yang disebabkan oleh tercoreng-nya kedaulatan bangsa Indonesia (Su-dharmono, 1981:45). Untuk menengahi keadaan ini maka pada tanggal 15 November 1946 dibuat persetujuan Linggarjati yang berisi 17 pasal. Pengesahan persetujuan Linggarjati baru ditandatangani oleh ke-dua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka) Jakarta.
Penyimpangan terhadap persetuju-an Linggarjati oleh pihak Belanda terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 dengan melancarkan agresi militer I terhadap daerah-daerah di Indonesia. Keberhasilan NICA dalam agresi militer I, tidak diiringi dengan keberhasilannya dipentas politik internasional. Inggris dan Amerika Serikat (AS) tidak menyetujui aksi militer tersebut. Inggris dan AS telah mengakui kemerde-kaan Republik Indonesia (RI) secara de facto (Kahin, 1995:269). Segera setelah agresi militer I dihentikan kembali diadakan perundingan di atas kapal laut Renville, yang menghasilkan perjanjian Renville dan ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Seperti persetujuan Linggarjati, pihak Belanda kembali mengingkari dengan melancarkan agresi militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Belanda bersikeras RI tidak melaksanakan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Hasil dari agresi militer II, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sebagai Ibu kota RI (C.S.T. Kansil dan Julianto, 1988:52). Selain itu, Belanda juga menyerang dan menduduki kota-kota RI. Sejarah mencatat perlawanan rakyat terhadap penguasaan sepihak oleh Belanda terjadi di banyak tempat. Dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemer-dekaan RI, segenap komponen bangsa dari berbagai daerah di Indonesia ikut berpartisipasi secara aktif. Demikian juga di Temanggung, rakyat Temanggung ikut serta terlibat dalam perjuangan memper-tahankan kemerdekaan RI.
KAJIAN PUSTAKA
1. Revolusi. Revolusi dapat dilihat sebagai loncatan dari penjajahan ke alam merdeka Dalam revolusi juga sering menonjolkan unsur-unsur kekerasan (violence), karena dalam suasana revolusi memang ada kecenderungan untuk mem-”beres”-kan segala sesuatu melalui jalan pintas, yang sering berarti mempergunakan kekerasan. Dalam suatu revolusi kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah lama tertekan dan terpendam muncul kepermukaan, sering disertai dengan kemarahan dan kadang-kadang keganasan. Menurut Sarto-no Kartodirdjo (1994:1) bahwa yang menjadi ciri khas revolusi Indonesia ialah anti kolonialisme dan self-determination, sebab revolusi Indonesia adalah proses total yang meliputi seluruh bangsa Indonesia untuk membongkar politik kolonial dan mengganti-kannya dengan negara nation berdasarkan pada kedaulatan rakyat serta pemerintahan yang dipilih sendiri.
2. Perjuangan Rakyat. Perjuangan berarti suatu usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan. Rakyat adalah orang-orang yang bernaung dibawah pemerintah tertentu. Rak-yat (Peoples) adalah bagian dari suatu negara atau elemen penting dari suatu pemerintahan. Jadi perjuangan rakyat adalah suatu usaha bersama yang dilakukan oleh segenap warga negara untuk mencapai cita-cita bersama yaitu menjadi bangsa yang merdeka lepas dari kolonialisme.
3. Perang Gerilya. Perang gerilya adalah suatu taktik dalam perta-hanan, yang dilakukan dengan cara maju untuk menghancurkan musuh dan mundur agar jangan dihancurkan musuh, yang dilaku-kan sekaligus, serentak dan de-ngan gerakan yang cepat. Dinamis dalam arti berpindah-pindah de-ngan mobilitas yang tinggi, tidak bersifat statis, bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, berada dibawah satu kendali dan koman-do. Untuk itu harus ada daerah gerilya yang dipimpin oleh seorang komandan yang menghubungkan gerakan satu dengan lainnya, sehingga tidak merupakan perang liar, karena mempunyai susunan tertentu dengan rencana dan garis beleid yang tertentu pula (Nasuti-on, 1979: 261-262).
4. Nasionalisme. Secara konseptual nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mendorong bangkitnya semangat untuk men-capai cita-cita nasional. Secara harfiah nasionalisme berasal dari dua kata “nation” atau bangsa dan “ism” atau paham. Dengan demi-kian nasionalisme dapat diartikan sebagai paham kebangsaan atau keinginan untuk menjadi satu bangsa. Semangat kebangsaan yang merupakan psychological state of mind harus selalu dibang-kitkan dan dihidupkan. Karena itulah nasionalisme harus dipupuk setiap saat (Suhartono, 1994:8)
5. Agresi Militer Belanda II. Agresi militer adalah penggunaan kekuat-an bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan negara lain. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia menggunaka cara dian-taranya melakukan: 1) invasi beru-pa serangan bersenjata nagara musuh; 2) bombardemen berupa penggunaan senjata atau bom yang dilakukan oleh musuh; 3) serangan unsur angkatan bersen-jata yang berada dalam wilayah dimana tindakan atau keberadaan-nya bertentangan dengan keten-tuan perundang-undangan yang berlaku; 4) pengiriman kelompok militer khusus untuk melakukan tindakan kekerasan (Yahoo ans-wer)
METODE PENELITIAN
Berdasarkan masalah yang dikaji, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode Historis atau metode sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, verifikasi (kritik), interpretasi, dan historiografi. Jenis penelitian deskriptif naratif yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara jelas dan memberikan kesimpulan analisa yang mendalam pada persoalan yang dikaji. Dalam penelitian ini ada tiga sumber data yang dimanfaatkan yaitu pustaka, dokumen dan arsip, serta informan (narasumber).
PEMBAHASAN
Temanggung merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Kendal di utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, dan Kabupaten Wonosobo di barat. Sesuai dengan yang tercatat dalam Binnenland Bestuur, Departemen Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda, besluit kelahiran Kabupaten (Regentschap) Temanggung yaitu 10 November 1834. Tanggal 10 November sekarang diperingati sebagai kelahiran Temanggung.
Agresi Militer Belanda I, berakhir dengan diadakannya perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Meskipun Temanggung tidak menjadi medan tempur tetapi dampak dari Agresi Militer Belanda I ini juga dirasakan di Temanggung. Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda semakin ketat sejak 1947, membuat persediaan logistik di daerah republik semakin menipis. Mutu pelayanan umum ikut merosot. Pukulan terberat adalah hilangnya daerah-daerah yang paling makmur, serta diikuti dengan pemotongan jalur-jalur komunikasi dan lalu lintas barang (Husni, 2008: 199). Dalam keadaan serba keterbatasan, Temanggung harus ikut menampung pasukan dari daerah lain yang hijrah akibat perjanjian Renville.
Pada November 1948, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A. H. Nasution, ketika masih menjabat Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang (SOMBAP), pada Juni 1948 telah menyusun konsep pertahanan rakyat semesta yang sekaligus merupakan konsep strategi militer Republik Indonesia. Rencana operasi tersebut dirumuskan dalam Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar. Adapun pokok isi Perintah Siasat No. 1 adalah: Tidak akan mene-rapkan pertahanan linier; Memperlambat kemajuan serbuan musuh dan pengungsian total (semua pegawai) serta bumi hangus total; Membentuk kantong-kantong di setiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintah gerilya (wehrkreise) yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan; Melakukan aksi Wingate (penyusupan kembali ke daerah asalnya), bagi pasukan-pasukan dari daerah federal, dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya besar.
19 Desember 1948, pasukan Be-landa melakukan penyerbuan secara besar-besaran ke Kota Yogyakarta. Setelah Yogyakarta sebagai ibukota negara berhasil diduduki, tentara Belanda meneruskan penyerbuan ke daerah RI yang belum didudukinya. Sekalipun Belanda berhasil menawan pimpinan pemerintahan RI dengan pendudukan Yogyakarta, Belanda tidak berhasil menawan pimpinan utama Angkatan Perang RI, Panglima Besar Sudirman. Panglima besar Jenderal Sudirman sebelum meninggalakan istana negara di Yogyakarta sempat mengelu-arkan Perintah Kilat No. 1, yang meng-instruksikan segenap jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi yang telah ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar. Di dalam strategi militer yang telah digariskan Perintah Siasat No. 1 tidak ada rencana untuk menghadapi serangan Belanda secara mati-matian, sebab sudah diperhi-tungkan bahwa keunggulan taktis dan teknis militer Belanda, seperti pada agresi militer pertamanya, akan sangat menen-tukan dalam perang konvensional (Hima-wan, 2006:301).
Sesuai perintah Markas Besar Ang-katan Perang RI (APRI), sebelum Belanda datang, taktik bumi hangus harus dilaku-kan. Senin, 20 Desember 1948, aksi bumi hangus Temanggung dilaksanakan. Massa berkumpul di berbagai tempat, dengan perintah Komandan Batalyon Terirtotial Salmun, aksi bumi hangus dilakukan serentak di Temanggung, Parakan, dan Ngadirejo. Aksi massa itu di bawah kendali Kompi Oetoyo dibantu polisi, Tentara Pelajar, pemuda Hisbullah, para pamong praja dan massa rakyat. Di kota Temang-gung terdapat 28 bangunan yang dibumi-hanguskan. Untuk menghambat laju bala tentara Belanda, jembatan Progo di Kranggan diprioritaskan untuk dihancurkan. Beberapa lokasi jembatan tersebut sudah dipasangi peledak. Tetapi rencana peng-hancuran jembatan yang sangat strategis, untuk menuju Temanggung dan Wonosobo itu gagal karena jembatan Progo tidak hancur dan hanya berlubang. Jembatan Progo yang tidak berhasil dihancurkan oleh TNI menguntungkan Belanda untuk dapat bergerak lebih maju lagi (Emy, 2006:19).
Tanggal 21 Desember 1948 pasuk-an Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Temanggung. Pada hari Selasa pagi empat unit Mustang P-51 menembaki Kota Temanggung menyebab-kan tangsi Gemoh porak-poranda. Serangan udara hanya untuk membuka jalan bagi pasukan darat yang akan melakukan pendudukan. Sekitar pukul 13.45 pasukan Belanda mulai masuk dan menduduki Temanggung. Mereka menem-bus kota dari dua arah. Pertama dari Sumowono melalui Ngoho, Kaloran, ke Temanggung. Pasukan ini merupakan bagian dari pasukan Brigade T. Kedua, dalam jumlah yang jauh lebih besar, dari Brigade W, datang dari Magelang melalui Secang dan tembus ke Temanggung
Sehari kemudian, tanggal 22 Desember 1948 pukul 10.00 WIB, mereka berhasil masuk ke kota Temanggung yang hanya tinggal reruntuhan. Setelah rendez-vous di Temanggung, satuan Brigade T bergerak ke Yogyakarta memperkuat induk pasukannya. Temanggung dijaga oleh Vossen Brigade (V-Brigade/Anjing NICA) dibantu serdadu kulit putih Koninglijke Landmacht (KL) hasil wajib militer di Belanda. Pasukan Belanda ini dipimpin oleh Mayor A. Van Zanten (Mei 1947-Juli 1949). Sebagian anggota pasukannya yang berjumlah sekitar 900 personil adalah orang Indonesia.
Tidak ada birokrasi sipil yang bisa difungsikan untuk melegitimasikan pendu-dukan Belanda di Temanggung. Para tokoh birokrasi menolak bekerjasama dengan tentara pendudukan dan memilih menying-kir ke pedalaman bekerjasama dengan TNI membentuk pemerintahan darurat di pedesaan. Di dalam kota, tersebar bebera-pa anggota Tentara Pelajar yang sengaja tinggal untuk memata-matai gerakan pasukan Belanda.
Gerak mundur dilakukan oleh Pimpinan Komando Daerah Militer (KDM) yang sekaligus merangkap sebagai Ko-mandan Batalyon Teritorial Temanggung, Mayor Salmun. Bersama jajaran aparatur Pemerintah Kabupaten dan beberapa Jawatan menuju ke lereng Sumbing selatan, ke Desa Ngawen, Tembarak. Mereka berada di bawah komandan SWK Mayor Bintoro. Markas tentara dan kantor-kantor darurat dibuka di rumah-rumah penduduk. Markas Polisi Temanggung mundur ke dukuh Kerokan desa Losari. Pasukan TNI dan pejuang segera melaku-kan konsolidasi. Konsolidasi pertama menghasilkan 4 keputusan. Pertama, membantu struktur komando/organisasi. Kedua, membagi wilayah dan tanggung Jawab. Ketiga, membentuk pasukan mobil, dan keempat melakukan serangan menda-dak, penghadangan patroli Belanda, sabotase dan melakukan pengacauan di daerah yang diduduki Belanda (Gema, 2009:38).
Temanggung masuk daerah STC II yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, meliputi Kedu dan Semarang Barat. Kekuatan 5 batalyon TNI dengan persenjataan lebih kurang 80%, serta berbagai pasukan lain, sehingga jumlah seluruhnya lebih kurang 6 batalyon infanteri. Tiga “sub–wehrkreise” di utara, dipimpin oleh Mayor Akhmad Yani, Komando Brigade 9, dengan 3 batalyon infanteri. Dengan tiap komandan “sub–wehrkreise” turut pula bupati atau patih yang bersangkutan yang memimpin staf urusan sipil dalam Pemerintahan Militer Kabupaten (“sub–wehrkreise”), biasanya disertai pula kepala polisi dan beberapa orang kepala Jawatan kabupaten. Penyu-sunan organisasi teritorial berjalan cepat dan tenaga umumnya cukup. Tenaga pelajar banyak disebarkan untuk memban-tu (Nasution,1979:46).
Mayor Salamun selaku Komando KDM, dibantu oleh Kapten Yudomo selaku wakil Komando KDM ini membawahi OPI yang terbagi menjadi tiga. OPI I dipimpin seorang komandan Letnan Mutamat Siswanto. OPI II dipimpin Letnan Utoyo dan OPI III dikomandani oleh Letnan Trisno dan Nirboyo. OPI I membawahi Operasi Distrik Militer (ODM) Temanggung dengan komandan Letnan Taryono, ODM Bulu dengan Komandan Letnan Darsono, ODM Tembarak dengan komandan Letnan Mardi Dembyak, ODM Pringsurat dengan Komandan Letnan Sumardi, dan ODM Kranggan dengan komandan Letnan Sutjipto yang diganti serma Sudarno. OPI II membawahi ODM Kaloran dengan komandan Letnan Tusi, ODM Kandangan dengan komandan Letnan Tamijis, ODM Kedu dengan komandan Letnan Janan, dan ODM Jumo dengan komandan Letnan Marsaid. OPI III membawahi ODM Ngadirejo dengan komandan Letnan Suwardikum, ODM Candiroto dengan komandan Letnan Permadi, ODM Tretep dengan komandan Letnan Sayuti dan ODM Parakan dengan komandan Letnan Hartono. Selain membentuk KDM-OPI dan ODM, TNI juga membentuk pasukan mobil. Pasukan Mukri, Istanto, Usmanpuger, pasukan Cakra Buntung
Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar untuk semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda, maka tidak akan dilaku-kan pertahanan linier dengan pertim-bangan bahwa dengan perang konvensio-nal tidak akan berhasil mengalahkan Belanda. Keunggulan Belanda dalam persenjataan harus dihadapi dengan perang gerilya yang inovatif. Tujuan dari perang gerilya adalah melelahkan, mengacaukan, dan mengikis kekuatan musuh.
Pertempuran terjadi di Temang-gung, sepanjang bulan Februari, Maret dan April 1949, merupakan masa-masa Brigade 9 pimpinan Letkol Ahmad Yani gencar melakukan serangan. Pada tanggal 1 Februari 1949 kota kabupaten Temang-gung mendapat giliran serangan Gerilya. Beranggotakan 15 orang tentara dan 10 orang TP menargetkan menyerang stasiun kereta api di kampung Banyuurip. Pasukan gerilya menyerbu ke dalamnya dan melakukan pengacauan selama sejam (Nasution,1979:48). Selain membuat pu-kulan fisik dan mental kepada lawan, serangan itu juga dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat yang berani mencoba-coba menjadi kaki tangan Belanda.
Pada tanggal 28 Februari kompi Sukarno dari Batalyon Bintoro menyerbu Parakan, serangan dilakukan pada malam hari dengan target pos militer Belanda. Baku tembak berlangsung selama tiga jam, beberapa prajurit Belanda dilaporkan tewas dan di pihak TNI tidak ada korban jiwa, beberapa terluka dan sepucuk mitraliur hilang. Pada tanggal 25 Maret 1949 penjagaan musuh di jembatan Kali Progo ditembaki (Nasution,1979:50). Pada 5 Mei 1949, sebuah truk berisi personil militer Belanda dihancurkan oleh TNI di Nguwet Temanggung (Husni, 2008:272). Sementa-ra itu penghadangan di jalan raya terhadap lalu lintas musuh tidak putus-putusnya dilakukan oleh pasukan gerilya. Aksi ini sangat melelahkan pasukan Belanda (Nasution,1979:51). Aksi-aksi ini merupa-kan kerja sama antara Tentara dan TP juga masyarakat Temanggung diantaranya: Pasukan TP Gedetacheerd bersama Havik Soejono; Desa Jengkeling, pencegatan patroli Belanda dengan TP yang pulang patroli; Pertempuran di desa Balon, Citran, dan Bledu Kandangan; Penyusupan ke patroli Belanda di Selopampang; Serangan TP ke Bantir markas Belanda Soemowono pimpinan Soetarto
Pasukan TNI dan pejuang Temang-gung secara gencar menyerang garis perhubungan, garis logistik, pos, dan patroli Belanda. Bantuan yang diberikan penduduk berupa makanan, intelijen, petunjuk-petunjuk jalan, kurir, pasukan territorial “pager desa”, dan early warning system (sistem peringatan dini) apabila ada gerakan pasukan Belanda. Bantuan-bantuan itu memungkinkan pasukan gerilya semakin mengembangkan inisiatif. Rintang-an-rintangan di jalan pendekat yang dipasang rakyat semakin berat dan semakin sempurna dan terutama taktik gerilya TNI semakin canggih (Himawan, 2006:341). Diluar bantuan tenaga, support moril, pasokan bahan pangan, dan perlindungan fisik, sumbangan yang tidak ternilai dari rakyat Temanggung adalah rakyat rela mempersembahkan putra-putri terbaik mereka untuk perjuangan kemerde-kaan (Husni, 2008:276).
Upaya Belanda untuk mengaman-kan kedudukannya di Temanggung dilakukan dengan menangkap siapa saja yang dicurigai. Para pejuang dari TNI, kelaskaran dan Tentara Pelajar, bahkan rakyat biasa yang tertangkap dipenjarakan di markas Inlichtingen Veiligheids Groep (IVG/Badan Penyelidik Pemerintah Militer Belanda). Jika tahanan merupakan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi Belanda, mereka akan dibawa ke jembatan Kali Progo untuk dieksekusi mati. Jumlah korban mencapai ribuan orang.
Perundingan kembali dilakukan antara Indonesia dengan Belanda. Perun-dingan Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949 dengan pokok tema pengembalian kedaulatan RI. Berdasarkan wawancara dengan Letda. Inf. (Purn) Mundjiat (wawancara tanggal 18 Februari 2012), keadaan Temanggung selama berlangsungnya perundingan antara pihak RI dan Belanda, yaitu pada tanggal 1 September 1949 semua pasukan pejuang yang sebelumnya bermarkas di daerah pegunungan turun dan berkumpul di daerah Kedu. R. Soemarsono yang pada waktu itu menjabat menjadi Bupati Temanggung juga turut bermarkas di Kedu. Pada waktu itu Kedu menjadi pusat Kota Temanggung Republik dari tanggal 1 September s/d 10 November 1949. Pasukan Belanda yang waktu itu masih menguasai Temanggung hanya boleh berpatroli sampai pada batas/kring, patroli pasukan Belanda hanya diberi jarak 1 km dari kota, di luar itu daerah telah menjadi daerah Republik. Pada tanggal 10 November 1949 Belanda meninggalkan kota Temanggung dengan tenang dan tanpa ada aksi tembak-menembak.
Setelah Belanda meninggalkan Temanggung, pasukan TNI dan Bupati R. Soemarsono mulai masuk Kota Temanggung. Pada waktu itu kantor Kabupaten menempati Kantor Jawatan Sosial (RPCM), KDM menempati Kantor Kabupaten sekarang, sedangkan polisi bertempat di Gemoh (sekarang asrama polisi). Pasukan TP masih berada di luar kota untuk menjaga kekacauan, namun akhirnya turut masuk pula ke kota Temanggung sebanyak 1 regu di bawah kompi Tjipto Darsono yang menempati kantor Pos. Orang-orang sipil yang semula ikut Belanda, akhirnya menyerahkan diri kepada pemerintahan di Temanggung, setelah pasukan Belanda meninggalkan Temanggung. Mantan Tentara Pelajar yang turut mempertahankan kemerdekaan, berjuang dan terpaksa meninggalkan sekolahnya, sebagian ada yang melanjut-kan sekolah dan ada pula yang masuk ke Akademi Militer.
KESIMPULAN
Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Temanggung pada tang-gal 21 Desember 1949. Pada 22 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki kota Temanggung yang hanya tinggal rerun-tuhan karena aksi bumi hangus yang dilakukan oleh TNI, pejuang dan rakyat sebelumnya. Brigade T kembali bergerak ke Yogyakarta, dan Temanggung dijaga oleh V-Batalyon NICA dibantu serdadu kulit putih KL hasil wajib militer di Belanda. Pasukan ini dipimpin oleh Mayor A. Van Zanten. Untuk menghadapi pendudukan pasukan Belanda di Temanggung, TNI dan rakyat melakukan perlawanan dengan jalan:
1. Perlawanan gerilya. Fase perang gerilya terjadi di Temanggung sepanjang bulan Februari, Maret, dan April 1949. Dibawah letkol Ahmad Yani serangan gencar dilakukan oleh TNI dan pejuang terutama dari Tentara Pelajar. De-ngan melakukan serangan menda-dak, aksi pengacauan di daerah yang diduduki Belanda, sabotase, dan melakukan aksi penghadangan patroli Belanda di jalan raya. Aksi ini sangat melelahkan pasukan Belanda.
2. Mendirikan pemerintahan darurat. Banyak tokoh birokrasi menolak untuk bekerjasama dengan Belan-da dan memilih untuk menyingkir ke pedalaman dan bersama TNI membentuk pemerintahan darurat. Kantor-kantor pemerintahan ber-pindah-pindah dan menggunakan rumah warga.
3. Bantuan dari rakyat Temanggung. Ada kerjasama yang rapi antara rakyat, lurah membantu pemerin-tah darurat, TNI dan pejuang. Rakyat dan lurah memberikan ban-tuan berupa makanan, petunjuk-petunjuk jalan, kurir, dan pemon-dokan untuk pejuang yang lewat dan bermalam di suatu desa. Ban-tuan dari rakyat ini memungkinkan pasukan gerilya semakin mengem-bangkan inisiatifnya dalam meng-hadapi Belanda. Rintangan-rin-tangan yang dibuat rakyat semakin hari semakin sempurna sehingga merepotkan Belanda. Selain itu kerelaan rakyat untuk merelakan anak-anak mereka berjuang demi mempertahankan kemerdekaan merupakan sumbangan terbesar bagi perjuangan Republik Indo-nesia.
DAFTAR PUSTAKA
Emy Wuryani. 2006. Perang Kemerdekaan di Magelang 1948-1949. Salatiga: Widya Sari Press
Himawan Soetarto. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1). Jakarta. Gramedia
Husni Tamrin, Putut Tri Husodo, Soediran. 2008. Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Temanggung: Dewan Harian Cabang Badan Pembudayaan Kejuangan 45.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kansil C. S. T., dan Julianto. 1988. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Erlangga.
Nasution. Abdul Haris. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10: Perang Gerilya Semesta II. Bandung : Angkasa
Sartono Kartodirdjo. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES
Sudharmono. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1. Jakarta: PT. Tira Pustaka.
Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Jakarta: Pustaka Pelajar
Majalah dan arsip
Gema Bhumi Phala. 2009. November. Temanggung Setelah Proklamasi. Majalah Pemkab Temanggung.
Internet
https://id.answers.yahoo.com/question//index?qid=20120910054403AAqnoao diakses pada tanggal 15 Juni 2014