Perjumpaan Islam-Kristen di Halmahera Pasca Konflik
PERJUMPAAN ISLAM-KRISTEN DI HALMAHERA PASCA KONFLIK
Remelia F. Dalensang
Dosen Program Studi Ilmu Teologi Fakultas Teologi Universitas Halmahera
ABSTRAK
Pluralisme agama merupakan salah satu pergumulan masyarakat Asia pada umumnya, juga Indonesia khususnya. Berbicara tentang pluralisme agama tidak hanya berhenti pada pengertian tentang kemajemukan agama, tetapi bagaimana sikap setiap penganut agama menghadapi keberagaman tersebut. Sikap pluralis merupakan sikap yang mengakui eksistensi kebenaran dan keselamatan pada agama-agama lain. Tulisan ini, berupaya melihat sikap setiap agama dalam berelasi dengan agama lain. Dalam hal ini yang akan disoroti ialah kemajemukan agama khususnya hubungan antara Islam-Kristen. Budaya (adat) memainkan peranan penting dalam rekonsiliasi di Halmahera. Tetapi sangat disayangkan bahwa budaya yang begitu kental dengan persatuan dan kesatuan antara suku dan agama seringkali tidak diberi tempat oleh agama dalam hal ini gereja. Selama ini keberadaan budaya dianggap sebagai ancaman bagi gereja. Tetapi dengan realitas ini, setidaknya gereja juga dapat merefleksikan diri serta mengintrospeksi ajaran-ajaran gereja yang selama ini masih bersifat sakral dan mengabaikan konteks serta pergumulan masyarakat. Keberpihakan dan pemeliharaan gereja terhadap doktrin tersebut membuat gereja takut untuk merumuskan kembali ajaran dan tradisi gereja khususnya tentang makna Yesus sebagai Anak Allah dalam hubungannya dengan umat Islam. Setidaknya gereja bisa menggunakan budaya (adat) tersebut untuk memaknai dan merumuskan doktrin gereja yang relevan terhadap hubungan dengan umat Islam. Dengan demikian maka gereja juga terlibat untuk mengumandangkan (mengkomunikasikan) keselamatan Allah kepada semua orang, sehingga kehadiran Yesus pun nyata pada umat Islam. Dalam hal ini gereja harus berusaha menerima klaim-klaim Islam terhadap Yesus sebagai refleksi usaha merekonstruksi ajaran gereja sendiri. Harapan saya tidak hanya gereja tetapi bagaimana umat Islam juga bisa terbuka dengan klaim-klaim Kristen sehingga memperkecil kecurigaan antar keduanya.
Kata kunci: Islam-Kristen, Halmahera
Pendahuluan
Pluralisme agama merupakan salah satu pergumulan masyarakat Asia pada umumnya, juga Indonesia khususnya. Berbicara tentang pluralisme agama tidak hanya berhenti pada pengertian tentang kemajemukan agama, tetapi bagaimana sikap setiap penganut agama menghadapi keberagaman tersebut. Sikap pluralis merupakan sikap yang mengakui eksistensi kebenaran dan keselamatan pada agama-agama lain.[1] Tulisan ini, berupaya melihat sikap setiap agama dalam berelasi dengan agama lain. Dalam hal ini yang akan disoroti ialah kemajemukan agama khususnya hubungan antara Islam-Kristen.
Dalam kehidupan masyarakat Halmahera, hubungan kedua agama tersebut pasca konflik 1999 tidak lagi terjalin sebagaimana mestinya. Ada kecurigaan satu sama lain, hidup berdampingan tidak lagi nampak. Bagaimana kepercayaan Kristen dapat dipertemukan dengan kepercayaan Islam? Bagaimana pandangan Islam terhadap Yesus Kristus yang menjadi inti kepercayaan orang Kristen? Dapatkah konsep keselamatan Allah yang dipahami oleh orang Kristen sebagaimana nyata dalam pribadi Yesus dikomunikasikan dalam agama Islam?Dengan kata lain dapatkah Yesus Kristus hadir dalam kepercayaan Islam?
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, maka saya akan menyajikan pemahaman teolog Asia yakni Alexander Malik dan Michael Amaladoss, yang sekiranya dapat menjadi titik tolak perjumpaan Islam-Kristen. Karena itu, setelah melihat pandangan para pemikir tersebut, saya akan berupaya mencari titik temu antara Islam-Kristen yang juga berimbas pada sikap kedua agama tersebut dalam relasi satu dengan yang lain.
Alexander Malik
Alexander Malik[2] merumuskan bagaimana Kristus dalam konteks Islam di Pakistan. Mengakui Kristus dalam konteks Islam bukanlah merupakan hal yang mudah. Menurutnya, ada 3 (tiga) kesulitan yang harus dihadapi oleh orang Kristen ketika Kristus diakui dalam konteks Islam. Pertama, orang Kristen dihadapkan pada kristologi yang telah “dikurangi” di dalam Alquran. Kedua, kurangnya kewibawaan dan keaslian Alkitab sehingga Alkitab terkesan berisi kesalahan dan telah dibatalkan. Ketiga, nabi dalam Islam perlahan-lahan diubah menjadi “Kristus orang-orang Islam”.
Pandangan Islam terhadap Kristus didasarkan pada ajaran Alquran. Alquran sendiri tidak menyangkal keberadaan Yesus, sehingga Yesus dianggap sama seperti nabi-nabi Islam lainnya. Yesus disebut Ibni Maryam (anak Maria), Almasih (sang Mesias), Abid (hamba), Nabi dan Rasul, Kalimatullah (firman Allah), Ruh Kalimatullah (Roh Allah). Tidak hanya itu saja Alquran juga menyaksikan ajaran, karya, dan kenaikan Yesus ke Sorga meskipun tidak menyaksikan kematian-Nya, dan menyangkal akan keilahian dan pernyataan bahwa Yesus Anak Allah. Yesus bukanlah Anak Allah, Ia adalah seorang manusia biasa. Dengan kata lain, Alquran menolak ajaran mendasar tentang kristologi. Karena itu menurut Malik, hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mengakui Yesus dalam konteks Islam (khususnya di Pakistan) ialah bukan apa yang diakui oleh Alquran melainkan apa yang disangkal oleh Alquran.
Dalam rangka menghadapi penyangkalan yang diberikan oleh umat Islam, maka menurut Malik umat Kristen mempunyai dua pilihan untuk menghadapi penyangkalan tersebut. Pertama, bahwa orang Kristen harus tetap mengakui Kristus sesuai dengan kepercayaan dan ajaran Alkitab, meskipun Islam menyangkali kebenaran Alkitab dengan mengatakan bahwa Alkitab merupakan Injil yang telah diubah karena itu tidak dapat dipercaya lagi. Pilihan Kedua, melihat dari sudut pandang Islam berdasarkan Alquran. Dalam arti bahwa orang Kristen mengangkat semua rujukan dalam Alquran mengenai Yesus dan mengungkapkan pandangan Kristen. Melalui hal ini Malik tidak bermaksud supaya orang Kristen menyangkali kepercayaan mereka demi terciptanya hubungan yang harmonis dengan umat Islam. Setidaknya kedua pilihan ini dapat menjadi titik temu antara Islam-Kristen di tengah-tengah perbedaan mendasar yang seakan-akan tidak mungkin untuk dipersatukan.
Dari pengalamannya terhadap konteks Islam-Kristen di Pakistan, Malik hendak menegaskan bahwa permasalahan mendasar yang mempengaruhi hubungan kedua agama tersebut ialah penolakan Islam terhadap ajaran kristologi Kristen yang mengimani Yesus sebagai Anak Allah yang menderita dan mati di kayu salib. Pandangan Islam tersebut seharusnya dijadikan patokan bagi orang Kristen untuk mengembangkan kristologi yang lebih alkitabiah dalam arti kristologi yang sesuai dengan pergumulan yang dihadapi dalam konteks tersebut bukan berdasarkan tradisi dan ajaran gereja. Dengan berusaha menghindari kristosentris (gelar-gelar Yesus yang ditolak oleh Islam) dan menuju pada teosentris tidak berarti bahwa orang Kristen menyangkali atau bahkan meninggalkan iman mereka. Tetapi melihat sekaligus menerima pandangan Islam dan coba untuk mengkomunikasikannya dalam kehidupan bersama antar umat beragama.
Michael Amaladoss
Michael Amaladoss[3], berusaha merumuskan makna Kristus berdasarkan pengalamannya terhadap pluralisme agama di India. Agama-agama dapat berdialog satu sama lain tanpa melepaskan kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini tidak ada pemaksaan dari agama tertentu kepada agama lain. Karena tujuan dialog bukan untuk mencari kesamaan, tetapi yang penting ialah bagaimana kita menempatkan agama lain dalam pandangan iman kita sendiri dengan tetap mengahrgai jati diri mereka tanpa berusaha menafsirkan mereka dari sudut pandang kita sendiri. Dengan kata lain mencari tempat bagi agama lain dalam konteks iman kita dan membiarkan rumusan-rumusan yang dihasilkan dari dialog tanpa memaksakan atau menilai iman orang lain berdasarkan kepercayaan kita. Tidak perlu mencari-cari kesamaan sehingga terkesan semua agama sama saja. Kita harus mengakui bahwa setiap agama itu berbeda dan mempunyai keunikannya masing-masing, yang penting bahwa perbedaan itu tetap ada tetapi kita mempunyai tujuan yang sama yaitu keselamatan. Karena itu dialog bukan untuk saling melengkapi melainkan untuk memperkaya antar umat beragama.
Mengenai makna Yesus Kristus dalam pluralitas agama, Amaladoss menegaskan bahwa hal yang sering terjadi ialah kecenderungan terjebak dalam reduksionisme, yaitu memilih sifat-sifat tertentu dari Krsitus dan membuang sifat-sifat lainnya. Ajaran dan tradisi gereja selama ini sangat menekankan keilahian Yesus dan mengabaikan segi kemanusiaan-Nya. Karena itu sebelum melihat bagaimana agama lain memahami tentang Yesus Kristus maka setidaknya hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang Kristen ialah bertanya pada diri sendiri siapakah Kristus bagi kita? Pertanyaan ini sekaligus merupakan refleksi bagi kita orang Kristen untuk dapat merumuskan kembali ajaran dan tradisi gereja sehingga menghasilkan pemahaman tentang Yesus Kristus yang relevan dalam konteks pluralitas agama.
Amaladoss menekankan bahwa keselamatan Allah berlaku bagi semua orang. Allah adalah penyelamat semua orang dan bukan hanya pada umat tertentu saja. Karena itu, sebagai orang Kristen tugas kita ialah bukan mendatangkan Kristus di mana Ia tidak hadir, melainkan menemukan Dia di mana pun Ia berada meskipun dengan cara yang misterius sekalipun. Proses menemukan Kristus tidak secara ilmiah tetapi melalui dialog dengan berusaha mendengarkan orang lain dimana tindakan keselamatan Allah juga berlaku terhadap mereka.
Meskipun agak sedikit berbeda dengan pandangan Malik, tetapi secara keseluruhan keduanya hendak mengatakan bahwa memahami Kristus dalam agama lain bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Tetapi tidak berarti bahwa hal itu tidak mungkin, yang penting bagi Amaladoss ialah bahwa kita harus melihat sifat Yesus secara keseluruhan sehingga tidak terjebak dalam reduksionisme. Karena itu orang Kristen perlu merumuskan terlebih dahulu makna Kristus bagi kehidupan mereka, sehingga dapat menghasilkan pemahaman kristologi yang relevan.
Titik Temu Islam-Kristen di Halmahera
Setelah melihat pemikiran kedua tokoh di atas dalam konteks yang berbeda, hal penting apakah yang dapat dimaknai dalam hubungan Islam-Kristen di Indonesia? Kembali kepada pertanyaan yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan yang hendak dijawab dalam tulisan ini, yaitu Bagaimana kepercayaan Kristen dapat dipertemukan dengan kepercayaan Islam? Bagaimana pandangan Islam terhadap Yesus Kristus yang menjadi inti kepercayaan orang Kristen? Dapatkah konsep keselamatan Allah yang dipahami oleh orang Kristen sebagaimana nyata dalam pribadi Yesus dikomunikasikan dalam agama Islam?Dengan kata lain dapatkah Yesus Kristus hadir dalam kepercayaan Islam?
Secara historis perjumpaan Islam-Kristen sudah mengalami ketegangan. Awalnya (thn 600M) agama Kristen mengalami perkembangan dan perluasan yang pesat, tetapi keadaan ini berubah ketika masuknya Islam. Islam mengalami perkembangan yang pesat sama seperti agama Kristen, dan menjadi agama negara di berbagai negara yang berkuasa, sehingga gereja pada saat itu memilih untuk bertahan daripada berkembang.[4] Pertumbuhan gereja secara tidak langsung dihambat oleh agama Islam. Memang pada saat yang bersamaan ketika Islam juga mulai berkembang tidak ada paksaan kepada orang-orang Kristen untuk masuk Islam. Tetapi beberapa kebijakan yang diberlakukan pada masa itu menunjukkan bahwa secara tidak langsung Islam memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan gereja, misalnya orang Kristen dikenakan pajak yang tinggi dan tidak boleh berjalan di tempat umum dan harus mengenakan pakaian khusus.[5] Dalam arti bahwa meskipun agama Kristen tidak dilarang tetapi harus berada dalam keadaan yang terasingkan atau didiskriminasikan. Secara tidak langsung banyak orang Kristen yang masuk Islam karena tidak tahan dengan situasi seperti ini. Jelas bahwa hubungan yang kurang harmonis antara kedua agama tersebut sudah terjadi dari awal perjumpaan keduanya. Tidak dijelaskan apa yang membuat hubungan keduanya kurang harmonis, tetapi dapat diasumsikan bahwa ada perbedaan mendasar yang sulit untuk dipertemukan. Tetapi bukan berarti bahwa sesuatu yang sulit itu tidak mungkin terjadi.
Pada umumnya baik Islam maupun Kristen mempunyai persamaan karena keduanya berasal dari bangsa dan budaya semit serta percaya kepada satu Allah yang Esa. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga perbedaan mendasar yang paling mencolok ialah bahwa orang Kristen mengakui Yesus sebagai Anak Allah, jalan satu-satunya kepada Bapa. Sedangkan orang Islam menganggap bahwa gelar Anak Allah yang dikenakan kepada Yesus merupakan suatu penghujatan.[6] Lebih lanjut Olaf Schumann, menegaskan bahwa perbedaan ini terjadi pada masalah doktrin (ajaran) khususnya pada dat (hakikat Allah). Islam sangat menekankan perbedaan hakikat Allah dan manusia, dan perbedaaan ini tidak dapat dijembatani atau diperantai oleh siapa pun (apa pun).[7] Apakah perbedaan mendasar ini juga yang mengakibatkan hubungan Islam-Kristen di Halmahera kurang harmonis? Terlebih khusus konflik berdarah pada tahun 1999 yang diisukan sebagai perang agama? Belum tentu. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor (meskipun bukan faktor utama) penyebab konflik ialah perbedaan doktrin tersebut.[8] Realitas ini menunjukkan bahwa perbedaan doktrin bukanlah merupakan hal sepele, hal ini membutuhkan penanganan yang serius dari kedua belah pihak.
Kehidupan keagamaan di Halmahera berjalan dengan baik meskipun di tengah perbedaan tetapi hal ini tidak menjadi penghalang. Kehidupan masyarakat (baik agama maupun suku) didasarkan pada budaya hibualamo (dari kata hibua artinya rumah dan lamo artinya besar). Budaya hibualamo inilah yang mempersatukan masyarakat yang berbeda agama dan suku. Nilai positif budaya ini ialah solidaritas dan kebersamaan yang diwujudkan dalam menangkal isu-isu yang mencoba memecah-belah persatuan.[9] Tetapi dampak konflik membuat nilai positif budaya hibualamo menjadi luntur, sehingga kehidupan keberagamaan pun berubah menjadi permusuhan antar agama yang mengedepankan simbol-simbol agama, sehingga jika simbol-simbol agama tersebut diusik maka hal ini dengan cepat akan memicu terjadinya konflik. Keberagamaan seperti ini menunjukkan bahwa tidak ada “teologi kerukunan” dalam kehidupan beragama, yaitu teologi yang berpusat pada eksistensi manusia, yang mampu mengatasi teologi atau sikap eksklusif yang melebihi kepentingan komunitas agamanya.[10]
Mungkinkah ada peluang bagi kedua agama tersebut untuk bertemu? Jika ada, di mana titik temu kedua agama tersebut? Tentunya tidak mudah untuk menentukan titik temu antara Islam-Kristen khususnya dalam situasi pasca konflik di Halmahera. Tetapi bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran (teolog Asia) tersebut, maka bisa saja kedua komunitas agama ini dipertemukan. Mempertemukan kedua agama yang sebelumnya mengalami konflik bukanlah hal mudah, tetapi perlu diingat bahwa pertemuan dengan agama lain (Islam-Kristen) tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan kedua agama tersebut melainkan saling belajar dari pengalaman dan penghayatan, sehingga dapat saling memperkaya satu sama lain.[11] Karena itu menurut saya, ada dua hal penting yang dapat mempertemukan keduanya, yaitu dialog dan budaya.
Dialog sebagaimana yang dimaksud ialah dialog yang jujur dan terbuka satu sama lain. Dalam istilah Panikkar yaitu dialog intrareligius. Tujuan dialog intrareligius adalah pemahaman. Dalam arti bukan mencari kesalahan agama lain dan membuat kesepakatan bersama secara universal, tetapi dialog merupakan komunikasi untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman antar agama yang berbeda-beda, dan membiarkan mereka masing-masing berbicara dan mengungkapkan pandangan mereka sesuai dengan bahasa mereka sendiri.[12] Pada umumnya dalam dialog, setiap agama cenderung menghindari pembicaraan mengani ajaran (dogma). Ranah doktrin dianggap sebagai ranah yang suci sehingga tidak perlu atau tidak pantas dibicarakan, apalagi dengan agama lain. Pada taraf inilah setiap agama (baca: Islam-Kristen) perlu mempertimbangkan kembali ajarannya masing-masing apakah ajaran itu relevan dengan situasi dan pergumulan yang dihadapi ataukah tidak. Jika doktrin tersebut tidak dapat menjawab pergumulan yang dihadapi, maka inilah waktunya untuk mereinterpretasikan ajaran-ajaran tersebut. Dalam hal ini setiap agama harus saling terbuka pada penafsiran agama lain.[13]
Dalam berdialog dengan agama lain kita harus menghargai kepercayaan lawan bicara kita sebagai hal yang benar bagi mereka dan juga bagi kita. Dalam hal ini kita tidak perlu takut bahwa kepercayaan orang lain akan berpengaruh bagi kita. Oleh karena itu hal pertama yang harus dilakukan ialah kita harus menelanjangi iman kita sehingga terbuka pada berbagai jenis pakaian tanpa kuatir memakai pakaian yang salah (atau menjadi murtad). Kedua, perenungan yang bersifat intrareligius harus menggabungkan kepercayaan awal kita dan kepercayaan yang diperoleh sekarang (hal ini juga berlaku bagi teman dialog kita).[14] Hal ini juga tidak berarti bahwa kita terjebak dalam sinkritisme, tetapi inilah hal baru yang bisa dicoba untuk perubahan yang lebih baik lagi. Bukankah sesuatu yang tidak biasa atau baru akan memberikan hal baru bagi sistem keagamaan tersebut? Karena itu kita tidak perlu takut atau alergi terhadap hal yang tidak biasa sebab bisa saja yang tidak biasa itu akan membawa dampak yang luar biasa. Dialog bukan merupakan hal baru, itulah sebabnya dialog juga tidak menghasilkan hal yang baru tetapi akan membawa setiap agama pada pemahaman yang mendalam terhadap agama orang lain maupun agama sendiri.
Hal kedua bagi saya yang dapat mempertemukan Islam-Kristen di Halmahera ialah budaya (adat). Masyarakat Halmahera sebagaimana yang telah dijelaskan, merupakan masyarakat adat. Budaya (hibualamo) dapat mempertemukan dan mempersatukan masyarakat dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda. Meskipun keagungan budaya telah dinodai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tetapi tetap saja budaya masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Terbukti bahwa pada saat konflik, berbagai pihak (tokoh agama, tokoh masyarakat, maupn pemerintah) telah berupaya untuk meredam situasi tetapi hal ini tidak berhasil. Ketika agama dan pemerintah tidak sanggup menyelesaikan konflik dengan perdamaian, maka peran adat dibutuhkan. Terbukti bahwa pada tanggal 19 April 2002 budaya hibualamo digunakan sebagai prosesi deklarasi perdamaian antara Islam-Kristen.[15]
Budaya (adat) memainkan peranan penting dalam rekonsiliasi di Halmahera. Tetapi sangat disayangkan bahwa budaya yang begitu kental dengan persatuan dan kesatuan antara suku dan agama seringkali tidak diberi tempat oleh agama dalam hal ini gereja. Selama ini keberadaan budaya dianggap sebagai ancaman bagi gereja. Tetapi dengan realitas ini, setidaknya gereja juga dapat merefleksikan diri serta mengintrospeksi ajaran-ajaran gereja yang selama ini masih bersifat sakral dan mengabaikan konteks serta pergumulan masyarakat. Keberpihakan dan pemeliharaan gereja terhadap doktrin tersebut membuat gereja takut untuk merumuskan kembali ajaran dan tradisi gereja khususnya tentang makna Yesus sebagai Anak Allah dalam hubungannya dengan umat Islam. Setidaknya gereja bisa menggunakan budaya (adat) tersebut untuk memaknai dan merumuskan doktrin gereja yang relevan terhadap hubungan dengan umat Islam. Dengan demikian maka gereja juga terlibat untuk mengumandangkan (mengkomunikasikan) keselamatan Allah kepada semua orang, sehingga kehadiran Yesus pun nyata pada umat Islam. Dalam hal ini gereja harus berusaha menerima klaim-klaim Islam terhadap Yesus sebagai refleksi usaha merekonstruksi ajaran gereja sendiri. Harapan saya tidak hanya gereja tetapi bagaimana umat Islam juga bisa terbuka dengan klaim-klaim Kristen sehingga memperkecil kecurigaan antar keduanya.
Daftar Pustaka
Amaladoss Michael, “Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Banawiratma. B. J, “Kristologi dalam Pluralitas Religius”, dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi 13, 2006
Kwok Pui Lan, “Racism and Ethnoccentrism in Feminist Biblical Interpretation”, dalam Searching the Scriptures A Feminist Introduction, Ed. by, Elizabeth S Fiorenza, (New York: Crossroad, 1993)
Malik J Alexander, “Mengakui Kristus dalam Konteks Islam”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Panikkar. R, Dialog Intra Religius, Ed. By A Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Philips Gerardette, Beyond Pluralism: Open Integrity As A Suitable Approach To Muslim-Christian Dialogue, (Yogyakarta: Interfidei, 2013)
Pieris John, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Analisa Kritis Aspek Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Keamanan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004)
Ruck Anne, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Schumann Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: Grasindo, 1992)
Subandrijo Bambang, Eikon and Ayat: Points of Encounter Between Indonesia Christian and Muslim Perpectives on Jesus, pada Vrije Universiteit Amsterdam
Tindage Rudi, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi, (Jakarta: Yakoma PGI, 2006)
[1] Gerardette Philips, Beyond Pluralism: Open Integrity As A Suitable Approach To Muslim-Christian Dialogue, (Yogyakarta: Interfidei, 2013), p.198
[2] Tulisannya sebagaimana yang dimuat dalam Alexander J Malik, “Mengakui Kristus dalam Konteks Islam”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
[3] Tulisannya sebagaimana yang dimuat dalam Michael Amaladoss, “Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
[4] Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), p.61
[5] Ibid, p.65-66
[6] Bdk Ibid, p.64
[7] Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: Grasindo, 1992), p.108
[8] Perbedaan doktrin antara Islam-Kristen bukan merupakan faktor utama penyebab konflik di Halmahera. Berdasarkan pengalaman saya dan beberapa sumber, faktor politik yaitu Peraturan Pemerintah Daerah yang berusaha membentuk kecamatan baru. Hal ini dinilai sebagai hal yang merugikan masyarakat khususnya masyarakat Kao (sebagian besar Kristen dan menguntungkan bagi masyarakat Malifut (Islam). Situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memprovokasi sehingga terjadi konflik yang terkesan bernuansa agama. Bdk Rudi Tindage, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi, (Jakarta: Yakoma PGI, 2006), p.11-13
[9] Ibid, p.33
[10] Bdk John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Analisa Kritis Aspek Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Keamanan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), p.82
[11] Bdk J B Banawiratma, “Kristologi dalam Pluralitas Religius”, dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi 13, 2006, p.82
[12] R Panikkar, Dialog Intra Religius, Ed. By A Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1994), p.33
[13] Kwok Pui Lan, “Racism and Ethnoccentrism in Feminist Biblical Interpretation”, dalam Searching the Scriptures A Feminist Introduction, Ed. by, Elizabeth S Fiorenza, (New York: Crossroad, 1993), p.92
[14] Ibid, p.51
[15] Bdk Rudi Tindage, Damai yang Sejati, p.55