Persepsi Mahasiswa Terhadap Pentingnya Motivasi Belajar
PERSEPSI MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR UNIVERSITAS TERBUKA
TERHADAP PENTINGNYA MOTIVASI BELAJAR
DALAM KEGIATAN TUTORIAL DI UPBJJ-UT SURAKARTA
( Pentingnya Motivasi Belajar Dalam Pembelajaran Jarak Jauh)
Afif Kurniawan1)
Fadloli2)
Herawati Susilo3)
Siti Zubaidah4)
Ibrohim5)
1) Mahasiswa pasca sarjana Universitas Negeri Malang (UM)
2) Dosen Universitas Terbuka UPBJJ-UT Surakarta
3) Dosen pasca sarjana Universitas Negeri Malang (UM)
4) Dosen pasca sarjana Universitas Negeri Malang (UM)
5) Dosen pasca sarjana Universitas Negeri Malang (UM)
ABSTRAK
Salah satu tantangan terbesar bagi pendidik saat ini adalah mendorong motivasi peserta didik dan mendorong keinginan untuk belajar seumur hidup (Hodges, 2004). Agar sukses, peserta didik dalam pembelajaran jarak jauh harus motivasi diri mereka sendiri. Karena mahasiswa tidak dipaksa untuk menghadiri kelas-kelas, sehingga mereka merasa sangat sulit untuk tetap di atas pekerjaan mereka karena tidak ada yang menjaga mereka pada tugas (Wilkinson, 2010). Pembelajaran jarak jauh adalah kesempatan besar bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri, terutama ketika mereka dipengaruhi oleh hambatan tertentu yang mencegah mereka dari menghadiri kelas tradisional. Komponen motivasi belajar meliputi: perhatian, relevansi, percaya diri, dan kepuasan Driscolli (1994) dan Smith (2008). Sebagian besar mahasiswa Universitas Terbuka menganggap bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam proses kegiatan tutorial. Perlu diterapkan model tutorial yang dianggap mampu mengoptimalkan motivasi belajar mahasiswa Universitas Terbuka. Pengintegrasian model tutorial Problem Based Learning (PBL) dan Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction (ARCS) dianggap efektif dan efisien untuk mengoptimalkan motivasi belajar mahasiswa Universitas Terbuka.
Kata kunci: motivasi belajar, Universitas Terbuka, Pembelajaran jarak jauh, Probem Based Learning, Attention, Relevance, Confidence,
PENDAHULUAN
Universitas Terbuka (UT) adalah perguruan tinggi yang menerapkan sistem belajar jarak jauh yang berbeda bila dibandingkan dengan universitas konvensional. Perbedaan yang menonjol adalah sistem pembelajarannya. Sistem belajar jarak jauh memiliki beberapa karakteristik sebagaimana disebutkan oleh Keegan dan Rumbel (1987) dalam Rusfida (2001), pendidikan jarak jauh memiliki karakteristik antara lain: 1) Pemisahan antara dosen dan peserta didik selama proses belajar mengajar karena faktor jarak, waktu atau keduanya; 2) penggunaan media-media pembelajaran yang berupa bahan cetak maupun non cetak untuk menyatukan dosen dengan mahasiswa; 3) Peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan peserta didik; 4) Tersedianya komunikasi dua arah sehingga peserta didik dapat memanfaatkan kesempatan berkomunikasi baik yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung; dan 5) Adanya individualisasi dalam pembelajaran (belajar mandiri).
Karakteristik utama pendidikan jarak jauh yang ditandai keterpisahan secara fisik antara dosen dan mahasiswa merupakan salah satu alasan munculnya konsekuensi tuntutan kemandirian dalam belajar. Menurut Candy, dan Hiemstra (dalam Darmayanti, 2004: 173), istilah belajar mandiri merupakan istilah yang berkembang pada pendidikan orang dewasa, dimana belajar mandiri telah muncul sejak jamannya Socrates bahkan sebelumnya. Mereka mengungkapkan bahwa “istilah belajar mandiri merupakan istilah yang berkembang pada bidang pendidikan, pengajaran dan penelitian pada orang dewasa, dimana konsep tersebut digunakan untuk membedakan dengan konsep belajar yang pada umumnya bersifat belajar dengan bimbingan guruâ€. Selanjutnya Knowles (dalam Darmayanti, 2004:174) menjelaskan bahwa “Istilah belajar mandiri mempunyai beberapa label istilah dalam berbagai literatur antara lain, self-planed learning, inquiry method, independent learning, self-education, self instruction, self teaching self study dan outonomous learning. Dan masih ada lagi istilah yang dipakai seperti mengajar sendiri dan belajar mengelolaâ€.
Mudjiman (2008) mendifinisikan belajar mandiri “Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah yang dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki. Penetapan sebagai tujuan belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar sumber belajar, dan evaluasi hasil belajar yang dilakukan sendiri oleh pebelajarâ€. Sedangkan menurut Knowles (dalam Darmayanti, 2004) menyatakan bahwa “Belajar mandiri adalah suatu proses bagi seseorang untuk mengambil inisiatif, baik dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam melakukan diagnose kebutuhan-kebutuhan belajar mereka, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai dan mengevaluasi belajar mereka sendiriâ€. Demikian pula menurut Hiemstra (dalam Darmayanti, 2004: 175) yang mengemukakan bahwa “Belajar mandiri dilihat sebagai semua bentuk belajar individu yang memiliki tanggungjawab utama untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi usahanya untuk mendapatkan suatu pengetahuanâ€.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas bahwa pengertian belajar mandiri dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Kegiatan belajar mandiri merupakan kegiatan belajar yang memiliki ciri keaktifan pebelajar, keterarahan dan kreativitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan; 2) Motif atau dorongan untuk menguasai sesuatu kompetensi adalah kekuatan pendorong kegiatan belajar secara intensif, terarah dan kreatif untuk mendapatkan suatu pengetahuan; 3) Kompetensi adalah pengetahuan atau keterampilan tertentu yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan; 4) Dengan pengetahuan yang dimiliki pebelajar dapat mengolah informasi yang diperoleh dari sumber belajar, sehingga menjadi pengetahuan atau ketrampilan baru yang dibutuhkan; dan 5) Perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi belajar ditetapkan sendiri oleh pebelajar, sehingga ia sepenuhnya menjadi pengendali kegiatan belajarnya.
Tingkat penyelesaian kuliah mahasiswa dalam pendidikan jarak jauh mendapatkan perhatian dari para peneliti di seluruh dunia. Banyak faktor yang bertanggung jawab untuk tingkat penyelesaian mahasiswa dalam pendidikan jarak jauh adalah tanggung jawab pekerjaan, tekanan domestik dan kompleksitas isi kuliah. Beberapa peneliti melaporkan alasan psikologis untuk putus kuliah seperti, perasaan tidak mampu, kesulitan (Rickinson & Rutherford, 1996); kurang percaya diri (Cullen, 1994) pemeriksaan kekhawatiran (Fan & Chan, 1997). Dalam literatur kurangnya motivasi dianggap sebagai faktor utama yang bertanggung jawab untuk masalah ini sebagai mahasiswa umumnya merasa kesepian karena kurangnya komunikasi dan persaingan dalam pendidikan jarak jauh.
Menurut Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (2008:28) motivasi sangat penting dalam belajar karena motivasi dapat mendorong mahasiswa mempersepsi informasi dalam bahan ajar. Sebagus apa pun rancangan bahan ajar, jika mahasiswa tidak termotivasi maka tidak akan terjadi peristiwa belajar karena mahasiswa tidak akan mempersepsi informasi dalam bahan ajar tersebut.
Visser, el al. (2002) menunjukkan bahwa sejumlah besar mahasiswa program pembelajaran jarak jauh mengalami tingkat kelulusan sangat rendah dibandingkan dengan kelas tradisional. Mereka menganggap masalah motivasi sebagai penyebab yang mungkin untuk masalah tersebut. Dalam berbagai literatur, motivasi disinyalir sebagai salah satu alasan utama masalah ini. Hal ini dapat diterima kebenarannya, tetapi kualitas desain pembelajaran juga merupakan faktor penting. Ketika dianggap sebagai suatu proses, desain instruksional adalah penentuan persyaratan pendidikan peserta didik dan pengembangan sistem pembelajaran fungsional dalam rangka untuk memenuhi persyaratan ini.
Para mahasiswa dalam pendidikan jarak jauh tidak memiliki latar belakang yang sama. Mahasiswa ini berasal dari berbagai karakter sosial, budaya, ekonomi dan keluarga. Oleh karena itu mengembangkan interaksi yang erat antara siswa-guru dapat mengambil waktu yang lama. Selain itu, siswa dapat merasa gelisah selama periode belajar karena kurangnya tatap muka komunikasi (Scalese, 2001).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah termasuk penelitian survai Pengumpulan data dari subjek penelitian dilakukan melalui kuesioner/angket (Singarimbun, 1989). Angket berisi pernyataan mengenai komponen-komponen motivasi belajar mahasiswa meliputi keyakinan, relevansi, keyakinan, dan kepuasan Driscolli (1994) dan Smith (2008).
Temuan dan Pembahasan
Dalam penelitian ini dijaring pendapat para mahasiswa S1 PGSD di UPBJJ-UT Surakarta terhadap pentingnya motivasi belajar dalam konteks pendidikan tinggi jarak jauh. Ada beberapa pernyataan yang diajukan yang menghendaki jawaban dengan 4 (empat pilihan jawaban) yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Penggambaran jawaban mahasiswa ditulis dalam dua kolom yaitu pernyataan pada kolom sebelah kiri dan jawaban responden pada kolom sebelah kanan.
Komponen Motivasi Belajar
Desain motivasi model Keller memandang motivasi sebagai suatu yang berurutan. Pertama adalah mendapatkan perhatian dari peserta didik, dan kemudian relevansikan apa yang diajarkan dengan tujuan dan kebutuhan pribadi mereka. Peserta didik memiliki keyakinan dalam proses belajar. Kepuasan atas pengetahuan baru menimbulkan motivasi untuk terus belajar
Pada dasarnya para mahasiswa S1 PGSD merasa bahwa dosen perlu menarik perhatian mahasiswa terhadap proses tutorial dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (58%) dan Setuju (37%). Akan tetapi sebagian besar mahasiswa (51%) menganggap dosen kurang menarik perhatian selama kegiatan tutorial
Pengajar perlu membantu peserta didik menemukan relevansi atas apa yang dipelajari.dengan menghubungkan apa yang diajarkan dengan sesuatu yang akrab dan relevan dengan peserta didik dapat membantu memotivasi peserta didik. Pembelajaran akan relevan bagi peserta didik jika hal itu berkaitan dengan contoh-contoh konkrit dengan pengalaman peserta didik (Driscolll, 1994). Setelah peserta didik melihat re;levansinya mereka kemudia dalam posisi untuk menetapkan tujuan. Factor ini memiliki hubungan dengan teori tujuan yang mengasumsikan bahwa menetapkan tujuan yang akan diperoleh memotivasi prilaku (Hodgs, 2004 dan Driscolll, 1994).
Mahasiswa S1 PGSD merasa bahwa dosen perlu menghubungkan materi tutorial dengan pengalaman sehari-hari mahasiswa dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (61%) dan Setuju (36%). Akan tetapi, sebagian besar mahasiswa (65%) menganggap dosen kurang menghubungkan materi perkuliahan dengan pengalaman sehari-hari mahasiswa selama kegiatan tutorial berlangsung.
Mahasiswa S1 PGSD merasa bahwa Dosen perlu membantu mahasiswa merasa percaya diri (confidence) selama kegiatan tutorial berlangsung mahasiswa dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (69%) dan Setuju (29%). Akan tetapi, sebagian besar mahasiswa (95%) menganggap dosen tidak membantu mahasiswa merasa percaya diri (confidence).
Pada dasarnya para mahasiswa S1 PGSD merasa bahwa dosen perlu mengecek kepuasan mahasiswa terhadap proses tutorial dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (72%) dan Setuju (25%). Akan tetapi sebagian besar mahasiswa (94%) mennyatakan bahwa dosen tidak mengecek kepuasan mahasiswa terhadap proses tutorial.
Dampak Model Tutorial Problem Based Learning (PBL) Dipadu Attention, Relevance,Confidence, Satisfication (ARCS) dalam Mengambangkan Motivasi Belajar, Hasil Belajar Kognitif, dan Retensi
Problem Based Learning (PBL)
Pengertian PBL
Menurut Arends (2008), pada PBL, peserta didik mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksut untuk menyusun pengetahuan sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. PBL mendorong peserta didik untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah. Akcay (2009) mengemukakan bahwa PBL mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, membantu peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Yuan (2008) menyatan bahwa PBL memungkinkan peserta didik berpartisipasi, dan menghadapi situasi pemecahan masalah dalam kerja kelompok kecil selama proses mahirpembelajaran. PBL menggunakan permasalahan sebagaki langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Muhson,2009) dan memfasilitasi peserta didik melalui pemecahan masalah dunia nyata dan autentik serta mengintegrasikan pengetahuan lintas disiplin (Keziah,2010).
Tujuan PBL menurut Hmelo-Silver (2004) adalah (1) untuk membangun dasar-dasar pengetahuan yang luas dan fleksibel; (2) mengembangkan keterampilan memecahkan masalah yang efektif; (3) mengembangkan self-directed, keterampilan belajar sepanjang hayat; (4) menjadi kolaborator efektif; (5) menjadi motovasi intrinsik untuk belajar.Demikian pula,Tan (2004) menyebutkan tujauan PBL adalah menjadikan peserta didik mahir dalam keterampilan proses dan keterampilan pemecahan masalah serta belajar sepanjang hayat.Belajar sepanjang hayat adalah kecakapan belajar mandiri,bebas mencari informasi,belajar kolaboratif,dan berfikir refleksi.
Desain Model ARCS
Model motivasional ARCS (keller, 1987) adalah model untuk meningkatkan daya tarik motivasional pengajaran. Model motivasional ARCS memiliki tiga ciri khas. Pertama, berisi empat kategori konseptual yang menggolongkan banyak konsep yang spesifik dan variabel yang menjadi ciri motivasi manusia. Kedua, model ARCS termasuk setrategi yang digunakan untuk meningkatkan daya tarik motivational pembelajaran. ketiga, mengabungkan proses desain yang sistematis, yang disebut desain motivasi (Keller, 1987), yang dapat digunakan secara efektif dengan desain model pembelajaran tradisional.
Perasaan senang dalam belajar akan mempengaruhi kemudahan dalam memahami materi pelajaran, sehingga akan mempegaruhi motivasi siswa dalam belajar.guru dapat berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip motivasi dalam proses dan cara mengajar untuk merangsang, memelihara, dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam mewujudkan kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien, para guru dituntut memiliki strategi tersendiri yang sesuai dengan kondisi pembelajaran. guru diharapkan mampu memilih strategi seperti apa yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.
Model ARCS adalah suatu bentuk pembelajaran yang mengutamakan perhatian mahasiswa, menyesuaikan materi pembelajaran dengan pengalaman belajar mahasiswa, menciptakan rasa percaya diri dalam diri mahasiswa, dan menimbulkan rasa puas dalam diri mahasiswa tersebut. Pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori dan pengalaman nyata instruktur sehingga mampu membangkitkan semangat belajar mahasiswa secara optimal dengan motivasi diri mahasiswa sehingga didapatkan hasil belajar yang optimal.
Perhatian utama pada ARCS adalah peningkatan motivasi belajar. Cara mncapai tujuan belajar adalah ditetapkan setelah pebelajar merasa senang, termotivasi untuk belajar, dan mau berpartisipasi secara sukarela dalam pembelajaran. Komponen model ARCS terdiri dari empat komponen. Keempat komponen ARCS tersebut yaitu sebagai berikut: (1) Attention (Perhatian), (2) Relevance (Relevan) , (3) Confidence (Percaya Diri), (4) Satisfaction (Kepuasan).
Jika mahasiswa perhatian, tertarik pada konten, dan cukup menantang, maka mereka akan termotivasi untuk belajar. Tetapi untuk mempertahankan motivasi ini, kondisi keempat motivasi diperlukan yaitu kepuasan (Keller, 2000). Hal ini mengacu pada perasaan positif tentang prestasi seseorang dan pengalaman belajar. Ini berarti bahwa mahasiswa menerima pengakuan dan bukti kebrhasilan yang mendukung perasaan intrisik kepuasan mereka dan mereka percaya bahwa telah diperlakukan adil.
Jika hasil upaya siswa konsisten dengan harapan mereka dan mereka merasa relatif baik tentang hasil tersebut, dengan demikian siswa akan tetap termotivasi (Keller, 1988). Kepuasan siswa berasal dari pencapaian tujuan. Siswa dapat menjadi tidak termotivasi dengan cepat jika usahanya tidak konsisten dengan ekspektasinya.
Kepuasan yang dimaksud di sini adalah perasan gembira, perasan ini dapat menjadi positif yaitu timbul kalau orang mendapatkan penghargaan terhadap dirinya. Perasaan ini dapat meningkatkan kepada perasaan percaya diri mahasiswa nantinya dengan membangkitkan semangat belajar di antaranya dengan:
a. Mengucapkan “baikâ€,â€bagus†dan seterusnya bila siswa menjawab mengajukan pertanyaan
b. Memuji dan memberi dorongan dengan senyuman, anggukan dan pandangan simpatik atas partipasi peserta siswa.
c. Memberi tuntunan pada siswa agar dapat memberi jawaban yang benar.
d. Memberi pengarahan sederhana agar siswa memberi jawaban yang benar (Warsito,2008).
Medsker & Holdworth (2001) menyatakan bahwa diperlukan: 1) intrinsic reinforcement.How can I ipportunities to practice learned skills? Memberikan kesempatan untuk menggunakan skill dan setting nyata yaitu pelatihan sebelum melakukan tugas (in time training), sehingga mahasiswa dapat memperoleh kesempatan untuk menerapkan pembelajaran baru pada pekerjaan mareka, 2) extrinsic reward. How willi I provide reinforcement? Memberikan umpan balik dengan membangun variabel reinforcement maka akan dapat meningkatkan rasa bangga akan pencapaian mahasiswa dan memberi kesempatan untuk menerapkan skill yang baru dalam lingkungan yang dirasa aman oleh mahasiswa, 3) equity. How can I aid the learner to have a positive feeling about accomplishment? Dalam hal ini perlu mempertahankan standar kosekuensi secara konsisten untuk pencapain tugas. Perasaan adanya ketidaksamaan dan tidak konsistenan akan melemahkan motivasi sehingga diperlukan ekspetasi yang jelas dan konsisten dari pendidik di awal pembelajaran akhir. Warsita (2008) berpendapat bahwa satisfaction adalah suatu upaya melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan minat, karakteristik dan kebutuhan mahasisiswa sehingga menimbulkan kepuasan dalam mahasiswa.
Peran Model Tutorial PBL Dipadu ARCS Mengambangkan Motivasi, Hasil Belajar Konitif, dan Retensi
Problem Based Learning (PBL) telah diimplementasikan dalam berbagai disiplin ilmu pendidikan tinggi; medis, bisnis, pendidikan, teknik, kedokteran gigi, hukum, dan sebagainya. PBL meningkatkan proses belajar mengajar karena lebih memfokuskan pada pengembangan mahasiswa sebagai pembelajar mandiri dibandingkan dengan ceramah tradisional yang mendorong mahasiswa untuk disuapi oleh dosen. Banyak peneliti telah menunjukkan efektivitas PBL dalam meningkatkan kinerja siswa dalam belajar (Allen, et al., 1996; Biggs, J & Tang, C, 2007; dan Albanese, M & Mitchell, 2000)
PBL merupakan model pembelajaran di mana peserta didik, mengembangkan inquiri dan keterampilan berpikir lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri (Arends (2008). PBL dapat menimbulkan efek positif dalam belajar mahasiswa. Pertama, PBL mengembangkan self-drected, reflektif, pebelajar seumur hidup yang dapat mengintegrasikan pengetahuan, berpikir ritis, dan bekerja sama dengan orang lain. Kedua, PBL melatihkan belajar kolaboratif da mana mahasiswa saling membantu dan saling menghargai yang dapat meningkatkan yang dapat meningkatkan kualitas belajar mahasiswa. Ketiga, mahasiswa belajar memecahkan masalah dengan cara yang lebih efektif sebagai akibat dari PBL. Keempat, PBL muncul untuk menciptakan efek motivasi yang kuat. Mahasiswa cenderung merasa bahwa merasa baha mereka terlibat dengan situasi kehidupan nyata dan bukan hanya konsep teoritis (Barrows,1988 dan Barrows,1986).
PBL memberi peluang bagi mahasiswa untuk mengalami self-directed learning yang mendorong mahasiswa untuk berdisiplin dan memungkinkan mahasiswa untuk menemukan banyak fakta tentang topik seperti di paksa untuk membaca topik tertentu atau bab sehingga mendapatkan lebih besar wawasan tentang isu-isu yang berbeda. Selama PBL mahasiswa terlatih belajar mandiri, melakukan penelitian sendiri, bagaimana untuk menyaring informasi yang tidak relevan untuk memfokuskan pada hal yang lebih penting, kerja tim, pemecahan, dan belajar bagaimana menerapkan konsep masalah. Jnj mambantu mahasiswa menyerap lebih banyak dan membutnya bertangung jawab untuk pembelajarannya. Salah satu tujuan utama dari PBL adalah mengarahkan pengembangan diri mahasiswa untuk terampil dalam hal mengenali kebutuhan untuk belajar, menentukan tujuan belajar sendiri, mendefinisikan pertanyaan yang relevan untuk studi, mengagses informasi yang relevan, pengujian pemahaman mendalam tentang apa yanng dipelajari (Blumberg & Michael, 1992; Savin, 2004; dan Blumberg, 2000).
PBL merupakan strategi pembelajaran di manas peserta dsidik diperhapkan pada suatu masalah dunia nyata yang bersifat ill-structured. Dengan masalah yang demkian maka peserta didik akan berusaha untuk membuat masalah tersebut menjadi jelas dan testruktur (well-structured). Pesrta didik akan merumuskan beberapa kemungkinan hipotesis dan pemecahannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber bacaan. Aktivitas-aktivitas peserta didik yang terjadi selama pelaksanaan PBL tampak jelas melibatkan metakognisi dan berpikir kritis. Tentu saja aktivitas-aktivitas peserta didik dalam langkah-langkah PBL inilah yang menjadi tolak ukur kalau dalam PBL terjadi metakognisi dan pemberdayaan berpikir kritis (Downig, et al., 2009).
Menurut Biggs (1999), PBL dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan fungsionalyang mengingrasikan dasar pengetahuan akademik (pengetahuan deklaratif), keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan (pengetahuan prosedural) dan konteks untuk memecahkan masalah (pengetahuan kondisional). Dengan demikian, PBL memberdayakan metakognisi karena pengtahuan tersebut merupakan pengetahuan metakognisi selama proses pembelajaran berlangsung.
Hasil-hasil penelitian tentang PBL berpengaruh terhadap pemahaman konsep telah dilaporkan. Perangkat model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Arnyana, 2004). Perangkat pembelajaran PBL yang dipadukan dengan strategi metakognitif terbukti lebih efektif untuk meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan perangkat pembelajaran PBL (Paidi, 2008). Demikian juga yang dilaporkan oleh Danial (2010) bahwa penguasaan konsep padamahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan PBL lebih tinggi daripada yang mengikuti perkuliahan GI dan konvensional hal yang sama dilaporkan oleh Karmana (2010) bahwa pengaruh strategi PBL lebih tinggi 22,1% dari strategi konvensional terhadap hasil belajar kognitif biologi.
Demikian pula, strategi PBL akan berpengaruh terhadap retensi karena strategi PBL menuntut kemampuan berpikir peserta didik terhadap penyelesaian masalah yang dikajinya sehingga tersimpan lama dalam memorinya. Salah satu kelebihan PBL adalah retensi konsep menjadi kuat. Oleh karena itu, strategi PBL memberi pengaruh terhadap pemahaman konsep maka secara tidak langsung retensi akan dipengaruhi oleh strategi PBL. Hal ini sejalan dengan penelitian Muhidin (2012) yang memperlihatkan bahwa daya ingat mahasiswa yang diajar dengan PBL terhadap materi perkuliahan lebih lama dibandingkan dengan mahasiswa yang diajar dengan strategi pembelajaran konvensional.
Diperlukan suatu model pembelajaran/tutorial lain yang diharapkan mampu mengatasi kekurangan PBL seperti model ARCS (Attention, Relevnce,Confidence, Satisfication), dikembangkan oleh Keller (1987). Model motivasional ARCS (keller, 1987) adalah model untuk meningkatkan daya tarik motivasional pengajaran. Teori Desain Motivasi menegaskan bahwa materi pembelajaran harus dikonfigurasi dengan strategi yang meningkatkan perhatian, relevansi, kepercayaan dan kepuasan dari para mahasiswa untuk desain instuctional yang menjamin kelangsungan motivasi belajar (Keller, 1983; Keller & Kopp, 1987). Menurut Keller, tujuan dari banyak teori desain instruksional yang telah dikembangkan adalah menyediakan instruksi yang efektif dan efisien. Namun, dalam teori ini aspek motivasi umumnya telah diabaikan. Sedangkan motivasi adalah unsur penting dalam pembelajaran. Motivasi belajar mahasiswa merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan Problem Based Learning (PBL) (Harun, et al., 2012). Dengan penerapan PBL dipadu ARCS, maka penerapan PBL di kelas diharapkan akan lebih efektif dan efisien.
Model ARCS, berdasarkan teori motivasi dan desain instruksional, adalah pendekatan pemecahan masalah untuk merancang aspek motivasi dari lingkungan belajar untuk merangsang dan mempertahankan belajar siswa (Keller, 1979). Model ARCS adalah suatu kerangka kerja untuk meningkatkan motivasi melalui penggunaan bahan ajar (Keller, 1984). Model konsep perhatian, relevansi, percaya diri, dan kepuasan adalah persyaratan untuk peserta didik untuk tetap termotivasi (Keller, 1984)
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa: Strategi motivasi meningkatkan disposisi peserta didik untuk menyelesaikan Kuliah hingga berhasil, jumlah peserta didik yang berhasil menyelesaikan kuliah meningkat, pesan kolektif lebih efisien daripada pesan pribadi; tidak ada konklusif bukti bahwa penggunaan pesan pribadi lebih efektif daripada penggunaan pesan kolektif; pesan memiliki dampak yang sangat kuat pada tingkat peningkatan rasa percaya diri peserta didik dan penggunaan strategi motivasi mengakibatkan pengayaan sistem dukungan mahasiswa (Sali, J.B, 2008).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian survey yang telah dilakukan hahasiswa program SI PGSD Universitas Terbuka menganggap bahwa motivasi menjadi faktor penting dalam keberhasilan kegiatan tutorial, hal tersebut sejalan dengan Visser, et al. (2002) yang menunjukkan bahwa sejumlah besar mahasiswa program pembelajaran jarak jauh mengalami tingkat kelulusan sangat rendah dibandingkan dengan kelas tradisional. Mereka menganggap masalah motivasi sebagai penyebab yang mungkin untuk masalah tersebut. Perlu dikembangkan model tutorial untuk mengoptimalkan motivasi belajar dalam kegiatan proses tutorial. Model Problem Based Learning (PBL) dan desain model motivasi ARCS dianggap dapat mengoptimalkan motivasi belajar dan meningkatkan hasil belajar kognitif, dan retensi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Akcay, B. (2009). Problem Based Learning in Science Education. Journal of Turkish Science Education. Vol. 6(1):26-23.
Akinoglum Orban dan R.O. Tandogan. (2007). The Effects of Probel-Based Active Learning in Science Education on Students, Academic Achievment, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematic, Science & Technology Education. 2007, 3(1), 71-81.
Albanese, M., Mitchell, S. (2000). Problem-based learning: A review of literature on its outcomes and implementation issues, in: P. Lai. C. Tang Obstacles to the implementation of problem-based learning (PBL) in local universities of Hong Kong.
Allen, D.E., duch, B.J., and Groh,.E. 1996. The power of problem-based learning in teaching introductory science courses, in: L. Wilkerson, W. H. Gijselaers, Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice, New Directions for Teaching and Learning, 68 43-51.
Arends, R.I. 2008. Learning to Teaching. Terjemahan oleh Helly. P.S. dan Sri Mulyantini. S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biggs, J. 1999. Teaching for Quality Learning in University. London. The Society for Research into Higher Education & Open University Press.
Biggs, J, Tang, C. 2007. Teaching for Quality Learning at University, 3rd ed., McGraw Hill, New York.
Blumberg, P. & Michael, J.A. 1992. Development of Self-directed Learning Behaviors in a Partially Teacher-directed Problem-Based Learning Curriculum. Teaching and Learning in Medicine, 2(1), 3-8
Blumberg, P. (2000). Evaluating the Evidence That Problem-Based Learners Are Self-Directed Learners: A Review of the Literature. In Problem-Based Learning:A Research Perspective on Learning Interactions, pp 199-226. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Darmayanti, T. (2002). Kemandirian pada Pendidikan Tinggi Jarak Jauh. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Driscoll, M. P. (1994). Psychology of Learning for Instruction. Needham Heights, MA: Allyn& Hacon
Downing, K., et al. (2000). Problem Based Learning and Development of Metacognition. High Educ. Number. 57: 609-621.
Gassner, L. (2009). Developing MetakognitiveAwarencss: Modified Model of a PBL-Tutorial. Thesis. Malmo University.
Hanoroun. (2010). Model Pembelajaran ARCS. Online, http://learningtheori.wordpres.com/2010/03/08/model-arcs-keller/. Diakses 12 Desember 2014
Harun, N.F., Khairiyah Mohd Yusof, Mohammad Zamry Jamaludinc, Syed Ahmad Helmi Syed Hassand. 2012. Motivation in Problem-based Learning Implementation. Journal Procedia-Social and Behavioral Sciences 56 (2012) 233–242 (online) http://ac.els-cdn.com/S1877042812041122/1-s2.0-S1877042812041122-main.pdf?_tid=6d146ed6-b714-11e4-a657 00000aacb35e&acdnat=1424226088_01cb86b3e367ca28821997edf2fde92a diakses 18 Februari 2015.
Hodges, C. (2004). Designing to motivated:Motivational Techniques to Incorporate in E-Learning Experiences. The Journal of Interactive Online Learning 2(3). Retrieved on June 23, 2008 from http://www.ncolr.org/jiol/issues/PDF/2.3.1.pdf
Hodges, C. (2004). Designing to motivated:Motivational Techniques to Incorporate in E-Learning Experiences. The Journal of Interactive Online Learning 2(3). Retrieved on June 23, 2008 from http://www.ncolr.org/jiol/issues/PDF/2.3.1.pdf
Karmana, I.W. (2010). Pegaruh Strategi PBL dan Integrasinya dengan STAD terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah, Kemampuan Berpikir Kritis, Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar Kognitif Biologi pada SMA 4 Mataram. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPSUniversitas Negeri Malang.
Keller, J.M. (1987). Development and Use of ARCS Models of Instructional Desing. Journal of Instructional Development, Vol. 10 No.. 3. Online, http://ocw.metu.ifd/pluginfile.php/8620/mod/reseorce/content/J/Keller%20Development%20%20Use%20o1%20ARCS.pdf. Diakses 11 Juni 2014
Keller, J.M., & Suzuki, K. (1988). Use of the ARCS Motivation Model in Courseware Design. In D.H.Jonassen (Ed). Instructional Designs for Microcomputer Courseware. Hilllsdale. NJ: Lawrence Erlbaum..
Keller, J.M.. (2000). How to integrate learner motivation planning into lesson planning: The ARCS model approach. Paper presented at VII Semanario, Santiago, Cuba, February, 2000. (Online). http://apps.fischlerschool.nova.edu/toolbox/instructionalproducts/itde8005/weeklys/2000-Keller-ARCSLessonPlanning.pdf. diakses 27 Januari 2014.
Keller, J.M. (1987). Strategies for stimulating the motivation to learn. Performance & Instruction, 26(8), 1-7.
Keziah, A.A. (2010). A Comparative Study of Problem-Based Lecture and Lecture-Based Learningin Secondary School Students’ Motivation to Learn Science. International Journal of Science and Technology Education Research. Vol. 1(6): 126-131.
Meier, S., Hovde, R., & Meier, R. (1996). Problem Solving Teachers, Perceptions, content area models, interdisciplinary connections. School Science and Mathematics, 96, 230-237.
Muhidin. 2012). Pengaruh Integrasi Pembelajaran Based Learning dengan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw dan Kemampuan Akademik terhadap Metakognisi, berpikir kritis, Pemahaman Konsep dan Retensi Mahasiswa pada Perkuliahan Biologi Dasar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang.
Muhson, A. (2009). Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa Melalui Penerapan Problem-Based Learning. Jurnal Kependidikan. Vol. 39 (2): 171-182.
Naime-Diefenbach, B. N.(1991). Validation of attention and confidence as independent components of the ARCS motivational model. Unpublished doctoral dissertation, Florida State Univeristy, Tallahassee.
Sali, J.B. (2008). Designing Motivational Learning Systems In Distance education. Turkish Online Journal of Distance Education-TOJDE July 2008 ISSN 1302-6488 Volume: 9 Number: 3 Article 13 (online). http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED502090.pdf. diakses 27 Januari 2014
Savin-Baden, M. (2000). Problem-Based Learning in HingerEducation: Untold Stories. Buckingham: Open University Press.
Smith, Ruth. (2008). Motivational Factors in E-Learning. America: George Washington University
Singarimbun, M. (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta:LP3ES
Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tan, O.S. 2003. Problem Based Learning Inovation. Using Problem to Power Learning in the 21st Country. Singapure: Cengage Learning Asia Pte. Ltd.
Tan, O.S. 2004. Cognition, Metacognition and Problem Based Learning. In Tan, OOn Seng (Ed). Enhancing Thingking Trough Problem Based Learning Aroaches. Singapure: Thomson.
Treagust, D.F. & PPeterson, R.F. (1998). Learning to Teach Primary Science trough Problem Based Learning Science Education. 82(2), 215-217