RITUAL IBADAH KEBAKTIAN UMAT BUDDHA TANTRAYANA ZHENFO ZONG KASOGATAN DI WIHARA VAJRA BUMI HONOCOROKO DESA BEDONO
RITUAL IBADAH KEBAKTIAN
UMAT BUDDHA TANTRAYANA ZHENFO ZONG KASOGATAN
DI WIHARA VAJRA BUMI HONOCOROKO DESA BEDONO
Cintya Santi Sudarto, Tri Widiarto, Emy Wuryani
Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: ritual ibadah kebaktian umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zhong Kasogatan di wihara Vajra Bumi Honocoroko Desa Bedono. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, observasi langsung dan wawancara. Berdasarkan literatur yang mendukung masalah penelitian, teknik observasi langsung berupa pengamatan langsung. Teknik wawancara yang dilakukan yaitu dengan tanya jawab antara penulis dan informan. Hasil penelitian ialah bahwa ritual ibadah kebaktian adalah kegiatan ibadah rutin setiap Selasa malam, dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan langit dan bumi, menghormati, mengabdikan diri dan berbakti kepada Sang Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, para Arya. Pembacaan mantra-mantra suci menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa, sehingga terjadi sinkretisme antara Buddha dengan budaya Jawa yang harus dipertahankan dan tetap dilestarikan.
Kata Kunci: Ritual, Ibadah Kebaktian, Agama Buddha, Sinkretisme
PENDAHULUAN
Awal mulanya agama Buddha di-perkenalkan di Desa Bedono pada tahun 1969 oleh Kirtoharjo. Kirtoharjo merupakan seorang warga dusun Wawar Kidul, Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang yang lahir di Bedono pada tahun 1929. Pada tahun itulah sekaligus menandai awal masuknya agama Buddha di Desa Bedono. Sebelum memeluk agama Buddha, Kirtoharjo menganut agama Islam, tetapi hanya Islam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kirtoharjo terpanggil untuk mempelajari agama Buddha dengan ajaran-ajaran yang ada didalamnya. Ia adalah penganut agama Buddha yang pertama kali pada tahun 1969. Awalnya ia mendalami agama Buddha dibawah bimbingan Romo Prawirowirono, seorang pandita agama Buddha Mahayana versi Jawa yang bertempat tinggal di Salatiga. Bimbingan kerohanian berlangsung satu kali dalam seminggu, dengan cara ia mendatangi tempat Romo Prawirowirono. Namun kadang kala Romo berkenan datang bersama rombongan dari Salatiga untuk memberikan bimbingan agama Buddha di Desa Bedono dan sekitarnya (M. Bandiyono, 2004: 4-5).
Adanya aturan dari Komando Distrik Militer (KODIM) Salatiga, bahwa untuk mendapatkan pengakuan dan izin dalam melaksanakan kegiatan agama, minimal harus mempunyai pengikut sebanyak 15 orang. Maka Romo Kirtoharjo memperkenalkan dan menyebarkan agama Buddha kepada sanak saudaranya yang waktu itu beragama Islam, namun tidak aktif dalam menjalankan ibadah agama Islam. Respon positif dari sanak saudara tentang agama yang dianut Romo Kirtoharjo, menjadikan ia tidak segan-segan memulai berlatih bersama dan saling bertukar pikiran (M. Bandiyono, 2004: 5).
Berawal dari sinilah pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha dimulai. Pada tahun 1981 didirikanlah Wihara Vajra Bumi Honocoroko yang berlokasi di pelataran belakang rumah Romo Kirtoharjo di Dusun Wawar Kidul, Desa Bedono dengan aliran (sekte) umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan. Pelaksanaan ritual ibadah kebaktian setiap hari Selasa malam di Wihara Vajra Bumi Honocoroko ini memiliki perbedaan dengan ritual ibadah di Wihara Dhamma Surya yang beralamat di Dusun Janggleng Desa Tlogowungu Kecamatan Kaloran Kabupaten Semarang. Ritual ibadah di Wihara Dhamma Surya ini memakai parita-parita suci. Sedangkan ritual ibadah di Wihara Vajra Bumi Honocoroko ini memakai mantra-mantra suci. Serta keunikan yang paling menonjol yang hanya ada di Wihara Vajra Bumi Honocoroko yaitu sebelum pelaksanaan ibadah dimulai akan diadakan karawitan (memainkan gamelan) terlebih dahulu. Selama pelaksanaan ritual ibadah kebaktian juga diiringi dengan incing, tambur dan ketuk yang berguna untuk menyelaraskan suara. Kegiatan Sekolah Minggu diadakan untuk membina anak-anak dalam bidang seni budaya dengan berlatih karawitan sebagai pelestarian budaya Jawa. Hal inilah yang menarik untuk diteliti.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Agama Buddha Menurut U.P. Suk–tadharmi dan U.P. Dharmanitya, dijelaskan bahwa “Agama Buddha atau Buddha Dharma adalah ajar–an-ajaran semua Buddha” (Sukta–dharmi, 1986: 1). Pengertian Bud–dha sendiri yaitu, “Buddha berarti seseorang yang telah mencapai Kebijaksanaan Agung” (Sukta–dharmi, 1986: 6).
2. Agama Buddha Tantrayana meru-pakan perkembangan lanjutan dari agama Buddha Mahayana yang dianggap cukup memegang peran-an penting dalam penyebarannya di wilayah India hingga ke Asia sejak awal tahun 400 Masehi. Aliran agama Buddha Tantrayana ini menekankan pada hal akhir tentang “keselamatan tertinggi / Nibbana” yang dapat dicapai me-lalui berbagai macam meto-de meditasi dan visualisasi (segi pikiran), mantera (segi ucapan) serta pembentukan mudra (segi jasmani) hasil observasi dan analisa yang mendalam dari para Guru Akar, dimana hal-hal tersebut harus dilakukan secara harmonis oleh seorang sadhaka dengan cara berusaha memahami sifat jati diri ke-Tuhan-an yang absolut dan pemanfaatan kekuatan alam semesta lewat bimbingan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli. (http://bodhi-cahyana.blogspot.com/2008/11/buddha-tantrayana. html, diunduh tanggal 18 Juni 2014 pukul 20:18).
3. Menurut Suwardi Endraswara, sinkretisme adalah memadukan, mencampur dan menyelaraskan dua keyakinan atau lebih. Hasil sinkretisme adalah terbentuknya keyakinan baru yang lebih kental, dalam penggabungan dapat saja menomorsatukan keyakinannya paling benar, tidak lepas dari kenisbian, bersifat divergen, bersi–kap longgar, adaptif dan akomo–datif. “Penyatuan” dua keyakinan atau lebih. “Penyatuan” tidak harus manunggal, melainkan hanya pemaduan beberapa unsur saja (Suwardi, 2006: 78).
4. Ritual merupakan “agama dalam tindakan”. Iman adalah bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menje–laskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan meng–arahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut (Adeng Muchtar Ghazali, 2011: 50). Menurut Oka Diputhera ritual artinya bhakti, puja bhakti, sembahyang (Oka Diputhera, 1997: 5).
5. Ibadah menurut Kamus Besar Ba–hasa Indonesia adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan me-ngerjakan perintah-Nya dan men-jauhi larangan-Nya (Hasan Alwi, 2007: 415).
6. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebaktian adalah rasa tunduk dan khidmat, perbuatan (pekerjaan) bakti, kesetiaan dan perbuatan baik seperti berdoa dan menyanyikan puji-pujian (Hasan Alwi, 2007: 94). Kebaktian umat Buddha merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan langit dan bumi. Menghormati, mengabdikan diri dan berbakti kepada Sang Buddha, Bodhisattva, Dharmapala dan para Arya dengan membaca mantra-mantra suci dan berme–ditasi.
METODOLOGI
Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif, artinya penelitian yang mengha-silkan data deskriptif kualitatif yang berupa kata-kata tertulis terhadap apa yang diamati, atau dengan kata lain data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan kualitas data, sehingga teknik pengumpulan datanya banyak menggunakan wawancara berkesinam-bungan dan observasi langsung. Peneliti bermaksud menggambarkan dan meng-uraikan tentang ritual ibadah kebaktian umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan di Wihara Vajra Bumi Honoco-roko Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang.
PEMBAHASAN
Ritual ibadah kebaktian umat Buddha di Desa Bedono ini dilaksanakan setiap Selasa malam pukul 19.00 sampai pukul 20.00 WIB. Biasanya sebelum pelaksanaan ibadah kebaktian diawali dengan menabuh gamelan (karawitan). Dengan ada kegiatan karawitan dahulu, menyebabkan waktu untuk ibadah kebaktian menjadi lebih malam. Dikhawa-tirkan anak-anak yang besuknya sekolah, bisa mengantuk, capek atau bangun kesiangan dikarenakan mereka harus sampai larut malam. Maka dibuatlah kebijakan, bahwa ibadah kebaktian tidak diawali dengan karawitan terlebih dahulu. Meski dengan demikian, karawitan tetap ada, hanya saja pelaksanaannya pada hari-hari besar umat Buddha.
Umat Ibadah Kebaktian
Umat Buddha di Wihara Vajra Bumi Honocoroko Desa Bedono dalam beribadah kebaktian adalah seluruh warga di Desa Bedono yang memeluk agama Buddha. Sebab di Desa Bedono hanya ada satu wihara saja. Dari anak-anak, remaja, dan juga dewasa berkumpul di dalam wihara untuk melaksanakan ibadah kebaktian.
Dalam ritual ibadah kebaktian ini, ada enam petugas yang dipilih secara bergantian. Tiga orang bertugas memegang alat yaitu incing, tambur dan ketuk. Satu orang bertugas sebagai pembawa acara, satu orang bertugas sebagai atur pambagyo (sambutan dari tuan rumah sebagai wakil umat Buddha dengan menggunakan bahasa Jawa) dan satu lagi bertugas sebagai pemimpin ibadah kebaktian. Pemilihan petugas ibadah kebaktian ada beberapa ketentuan, yaitu:
(1) Minggu I (malam Rabu Legi) yang bertugas adalah bapak-bapak.
(2) Minggu II (malam Rabu Pon) yang bertugas adalah para pemuda.
(3) Minggu III (malam Rabu Kliwon) yang bertugas adalah ibu-ibu.
(4) Minggu IV (malam Rabu Pahing) yang dipimpin oleh ketua wihara (Romo Pandita Dono Priyoto).
(5) Minggu V (malam Rabu Wage) yang bertugas memimpin kebak-tian adalah umat Buddha lainnya dengan kebaktian menggunakan bahasa Jawa.
Waktu Ibadah Kebaktian
Ritual ibadah kebaktian umat Buddha di Desa Bedono ini dilaksanakan setiap Selasa malam pukul 19.00 sampai pukul 20.00 WIB. Ketentuan waktu ibadah berdasarkan hitungan Jawa, yaitu:
(1) Minggu I (malam Rabu Legi)
Dipimpin oleh bapak-bapak. Sadhana Utama yaitu berdana yang dilakukan dengan memberikan persem-bahan kepada wihara dalam bentuk barang seperti minyak, lilin, buah dan makanan yang dapat dimanfaatkan. Minyak dan lilin dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah, buah dan makan-an dimanfaatkan dengan cara dibagi-kan kepada seluruh umat Buddha setelah ibadah kebaktian selesai.
(2) Minggu II (malam Rabu Pon)
Dipimpin oleh para pemuda, dimana seluruh petugas ibadah kebak-tian adalah para pemuda.
(3) Minggu III (malam Rabu Kliwon)
Dipimpin oleh ibu-ibu, dimana seluruh petugas ibadah kebaktian adalah ibu-ibu.
(4) Minggu IV (malam Rabu Pahing)
Dipimpin oleh Romo Pandita Dono Priyoto, ibadah kebaktian khusus pada malam Rabu Pahing mengguna-kan bahasa Mandarin.
(5) Minggu V (Rabu Wage)
Ibadah kebaktian khusus pada Minggu V (malam Rabu Wage) tidak menggunakan mantra Sadhana Gu-ruyoga (Padmakumara-Adinatayoga), melainkan dengan mantra Puja Bakti Sansekerta Kasogatan yang meng-gunakan bahasa Jawa kuno.
Peralatan Ibadah Kebaktian
Peralatan yang digunakan dalam ibadah kebaktian, diantaranya: incing, tambur, ketuk, jamapala dan lonceng. Incing, tambur, dan ketuk berguna untuk menyelaraskan nada, jamapala adalah sejenis tasbih yang digunakan untuk menghitung mantra serta lonceng yang digunakan untuk mengawali dan meng-akhiri kebaktian.
Sarana Ibadah Kebaktian
(1) Rupaan Buddha (patung Buddha) yaitu merupakan obyek meditasi yang paling utama.
(2) Air yaitu melambangkan keren-dahan hati.
(3) Lilin yaitu melambangkan pene-rangan.
(4) Bunga yaitu melambangkan keti-dakkekalan.
(5) Dupa yaitu melambangkan keha-ruman ajaran Sang Buddha.
Tata Urutan Ibadah Kebaktian
Makna dari ritual ibadah kebaktian umat Buddha itu sendiri adalah untuk mensucikan diri, mendekatkan diri, menyatukan diri, serta sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan langit dan bumi. Selain itu juga untuk menghormati, mengabdikan diri dan berbakti kepada Sang Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, para Arya.
Sebelum masuk ke dalam wihara untuk melaksanakan ibadah kebaktian, umat Buddha harus mempersiapkan diri. Pakaian yang dikenakan harus bersih dan sopan, hati dan pikiran harus benar-benar berniat untuk kebaktian. Masuk ke dalam wihara tidak ada larangan bagi perempuan yang sedang haid, yang penting jangan sampai mengotori wihara. Pada saat masuk ke dalam wihara, umat Buddha melakukan namaskara yaitu penghormatan kepada Buddha. Setelah itu, mereka duduk di tempat yang telah disediakan. Posisi duduk diatur, sebelah kanan untuk laki-laki dan sebelah kiri untuk perempuan.
(1) Pembukaan Ibadah Kebaktian
Acara ibadah kebaktian akan diawali pembukaan oleh pembawa acara. Pembawa acara bertugas memimpin, biasanya dengan ucapan selamat datang kepada para umat ibadah dan sekaligus memberikan waktu kepada orang yang bertugas sebagai atur pambagyo.
(2) Atur pambagyo
Atur pambagyo ialah sambutan dari tuan rumah sebagai wakil umat Buddha dengan menggunakan bahasa Jawa.
“Kulo minongko wakilipun umat Buddha ngaturaken sugeng rawuh kaliyan umat kebaktian sekaliyan ingkang badhe numindakake kewigaten ibadah kebaktian ing dalu Rabu puniki. Monggo kita sedaya sami ngaturaken syukur dhateng Tuhan Yang Maha Esa, mugi-mugi kita sedaya tansah dilindungi uga nyagedaken berkah saking Tuhan Yang Maha Esa”.
Artinya dalam bahasa Indone-sia adalah, “Saya selaku wakil umat Buddha mengucapkan selamat datang kepada seluruh umat kebaktian yang akan melaksanakan kegiatan ibadah kebaktian pada malam Rabu ini. Marilah kita bersama-sama mengucap-kan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga kita semua selalu dilin-dungi dan bisa mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa”.
(3) Kebaktian
Kebaktian dimulai dengan membaca mantra-mantra suci. Mantra-mantra suci dibaca oleh pemimpin kebaktian dan diikuti seluruh umat kebaktian.
(4) Dhamma (membaca khotbah/pida-to)
(5) Membaca Pancasila Buddhis dan mantra wilujeng (doa keselamatan)
PANCASILA BUDDHIS BAHASA PALI
1. Panatipatha veramanisikha pa-dhang samadiami
2. Adhinadhana veramanisikha padhang samadiami
3. Khamesumicacara veramanisikha padhang sama-diami
4. Musavadha veramanisikha pa-dhang samadiami
5. Surameraya majja pamadhata-na veramanisikha padhang sa-madiami
MANTRA SANTI DAN MANTRA UMUR PANJANG (WILUJENG)
Dwam Ratna Sambawa Amogasi-dhi, Sri Vairocana Dewa, Winana Alayam Tri Lokanam, Sarwa Jagad Pratistanam, Sarwe Roga Winurci-tam, Sarwa Rogo Winasanam, Sarwa Wignya Desa Wawar Kidul.
Dwam Nama Umat Buddha Tantra-yana Zhenfo Zong Kasogatan.
Dwam Trayam Bakam Jaya Mahisu-gande Pustiwardhana, Uriwa Aru Kamiwa Bandanat Merti Hurmu Kesaya Maha Mretat, Dwam Ayur Werdir Yasuh Werdih Werdir Praja-na Suka Sreyam Dharma Santana, Werdista Santute,
Mersapta Werdhayah, Yawam Me-rahorseta Dewa Yawat Gangga Mahitale Candra Arka Gagana, Yawatawata Twelayanibawet.
Dwam Dirgahayu Astu Tatastu Astu, Dwam Avignam Astu Tatastu Astu,
Dwam Subam Astu Tatastu Astu, Dwam Sukam Bawatu, Dwam Pur-nam Bawatu,
Dwam Sreyam Batu, Saptu Merdi Astu Tatastu Astu Swaha,
Dwam Yang Buddha Parama Acita Yanama Swaha,
Dwam Sadhu, Sadhu, Sadhu.
(6) Penutupan Ibadah Kebaktian
Acara ibadah kebaktian ditutup oleh pembawa acara dengan ucapan terima kasih, rasa syukur dan peng-harapan, supaya umat Buddha dan seluruh umat manusia di alam semesta selalu mendapatkan kemuliaan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, anali-sa dan interpretasi data yang penulis paparkan dalam kajian “Ritual Ibadah Ke-baktian Umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zhong Kasogatan di Wihara Vajra Bumi Honocoroko Desa Bedono” dapat disim-pulkan sebagai berikut: (1) Ritual ibadah kebaktian umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan di wihara Vajra Bumi Honocoroko setiap Selasa malam merupa-kan ibadah rutin yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Buddha di Desa Bedono. (2) Ritual ibadah kebaktian dilakukan dengan membaca mantra-mantra suci dalam bahasa Sansekerta dan Jawa, sehingga terjadi sinkretisme antara Buddha dengan budaya Jawa yang harus diperta-hankan dan tetap dilestarikan. (3) Tujuan pelaksanaan ritual ibadah kebaktian adalah sebagai ungkapan rasa syukur umat Buddha kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan langit dan bumi, menghormati, mengabdikan diri dan berbakti kepada Sang Buddha, Bodhisattva, Dharmapala, para Arya.
Nilai dan manfaat yang terkandung dalam ritual ibadah kebaktian adalah nilai religius yakni kewajiban untuk selalu beribadah, berbakti dan bersyukur terhadap Sang Pencipta dan alam semesta dengan rasa ikhlas dan lahir batin. Nilai gotong royong yakni rasa kebersamaan untuk saling membantu serta nilai kesetiaan yakni tetap melestarikan, menggunakan, serta menghargai tradisi budaya Jawa, yang sudah ada sejak dahulu dan masih tetap ada sampai sekarang. Serta manfaat bagi masyarakat adalah manfaat sosial, ekonomi, religi dan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adeng Muchtar Ghazali. 2011. Antropologi Agama (Upaya Memahami
Keragaman Kepercayaan, Keyakinan dan Agama). Bandung: Alfabeta.
Bandiyono, M. 2004. Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Desa Bedono
Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang Tahun 1965-2003.Semarang: IKIP Veteran.
Endraswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan
Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Hasan Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Oka, Diputhera. 1997. Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Yayasan Sanata Dharma Indonesia.
Suktadharmi. 1986. Rangkuman Tanya Jawab Perihal Agama Budha Indonesia
dan Parita Suci. Jakarta: Sangha Agung Indonesia.
Diunduh dari (http://bodhicahyana.blogspot.com/2008/11/buddha-tantrayana.
html, tanggal 18 Juni 2014 pukul 20:18.