SEKITAR MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Andreas Agam Broto Windriyanto

SMA N 1 Jogonalan Klaten

 

ABSTRAK

Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks, salah satunya adalah masalah pemerataan pendidikan di Indonesia yang mendapatkan perlakuan yang berbeda, perbedaan pemerataan tersebut dikarenakan adanya otonomi daerah, sehingga terjadi ketimpangan di berbagai wilayah. Program pembangunan nasional sebagai usaha pemerataan pendidikan yang ada di Indonseia adalah 1) Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah, 2) Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah, 3) Pendidikan Luar sekolah, selain itu perlu peningkatan kualitas dari Guru dan Tenaga Pendidikan. Pendidikan berada pada titik tengah bagi keberhasilan pembangunan maka dari posisi strategis itu pendidikan ini seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk merancang pendidikan secara professional

Kata Kunci: Pemerataan pendidikan, Pembangunan pendidikan,

 

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan entry point bagi pembangunan suatu bangsa. Andaian ini telah dibuktikan oleh Jepang sejak jaman Tokugawa (1600) dan berhasil menyejajarkan Jepang dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris (Cummings,1984). Sebaliknya andaian tersebut di Indonesia kurang dapat diterima akibat pembenaran egositas keilmuan yang bernuansa politik. Pendidikan, ekonomi dan stabilitas ditempatkan pada sumbu lingkaran yang sama, dalam arti; pembangunan bidang pendidikan tidak akan berhasil jika pembangunan ekonomi kurang berhasil. Demikian pula pembangunan ekonomi tidak berhasil jika stabilitas keamanan sebagai prasyarat kurang mantab. Sebaliknya pembangunan ekonomi tidak berhasil jika tidak ditopang dengan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas. Demikian pula stabilitas keamanan tidak dapat dicapai jika kondisi ekonomi bangsa terpuruk dan kualitas sumber daya manusianya rendah(Tilaar,1995).

Dalam kerangka pikir seperti itulah ketiga komponen di atas berjalan seiring dalam praktek pembangunan selama ORBA. Namun karena jargon politik ORBA berkiblat pada pembangunan ekonomi maka selama ORBA pembangunan ekonomi menjadi entry point dalam pembangunan nasional. Kondisi obyektif ini akhirnya menghadirkan masalah yang sangat serius setelah munculnya UU.NO.22 Tahun 1999 Jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah khususnya otonomi daerah.

Salah satu persoalan utama otonomi daerah adalah sumber daya manusia baik dalam jumlah maupun dalam kualitas (Umbu Tagela,2000). Dalam tautan makna yang sama, Paul Suparno (2003) mengatakan tantangan besar yang bakal dihadapi bangsa Indonesia di masa depan adalah: (1). Tantangan yang bersumber dari kehendak kita untuk mencapai keunggulan dalam pembangunan nasional, peningkatan terus menerus pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional, sehingga mampu memasuki persaingan global,(2). tantangan yang bersumber dari transformasi budaya, yaitu dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, (3). Tantangan yang ditimbulkan oleh gejala globalisasi, gejala di mana batas-batas politik dan ekonomi antar bangsa menjadi samar (borderless world) dan hubungan antar bangsa  menjadi lebih transparan 4).tantangan akibat      munculnya kolonialisme baru dalam bentuk kolonialisme ilmu pengetahuan dan tehnologi. Keempat tantangan tersebut di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan dunia pendidikan, karena bermuara pada tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas.

PEMERATAAN PENDIDIKAN

Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati pendidikan di Indonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat Sekolah Dasar, Indeks partisipasi kasar di Indonesia telah mencapai 100% (Paul Suparno,2003). Tetapi deskripsi yang diperoleh akan berbeda, lantaran equality of access belum diikuti oleh equality of survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi. Demikian pula equality of output masih pada tataran keinginan daripada kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih menyikapi tugas-tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring peserta didik yang semakin heterogen akibat masalisasi kesempatan, daripada memberikan layanan ahli yang profesional..

Salah satu masalah yang tak kunjung selesai dalam pendidikan adalah pemerataan (equality) dan keadilan (equity). Secara khusus dapat dipertanyakan: pemerataan yang bagaimana yang adil bagi semua pihak? Pemerataan pendidikan merupakan topik yang senantiasa menjadi pumpunan (focus) dalam setiap tahapan pembangunan di negara kita. Dengan alasan, demi pertanggungjawaban kepada rakyat (sesuai pasal 31 UUD’45), mungkin juga demi prestise penguasa. Secara sangat mencolok kita melihat dan mendengar statemen pemerataan pendidikan. Seperti yang telah kita alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan pemenuhan fisik pendidikan, seperti pemenuhan daya tampung, ratio siswa dengan ruang, ratio siswa guru, ratio siswa perjenjang, ratin siswa dengan anak usia sekolah dan sebagainya. Akibatnya laju pembangunan gedung sekolah cukup tinggi, sementara tuntutan kualitas agak terabaikan. Kondisi obyektif ini menurut Barnadib (1988) hanya merupakan solusi jangka pendek dari equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih jauh dari harapan.

Konsep dan takrif pemerataan dan keadilan yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pendapat Bronfenbrenner (1973), yakni, “ equity to mean social justice, or fairness, it refers to as subjective and ethical judgement. Equality refers to the pattern of distribution of something, such as income or education, for example. Equality is a more objective, descriptive term”. Selanjutnya dikemukakan tiga konsep pemerataan sebagai berikut: Pertama. Perlakukan yang sama kepada mereka yang menurut kriteria tertentu termasuk kategori yang sama, Kedua. Upaya mengurangi ketidakmerataan penghasilan (outcome), yang diukur berdasarkan pendapatan (income), kesejahteraan, dan harga diri, Ketiga. Pemerataan kesempatan. Ide ini merupakan indikator masyarakat yang adil, karena memberikan kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing memperoleh keuntungan sosial.

Jikalau Konsep pemerataan pendidikan diterjemahkan ke dalam kegiatan operasional, akan menghasilkan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk jelasnya diuraikan sebagai berikut: Pertama. Pemerataan memperoleh pendidikan dasar yang universal. Diasumsikan setiap anak berhak memperoleh pelayanan pendidikan universal. Andaian (asumsi) ini didasarkan pada pandangan: humanistik yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya persiapan yang ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu diberi pendidikan dasar yang universal agar kelak dapat meningkatkan kemampuhasilan (produktivitas). Kedua. Pemerataan penyajian mutu pendidikan. Adalah wajar jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya menyamakan mutu lewat Ujian Nasional, sementara kualitas pelayanan sangat berbeda. Ketiga. Pemerataan pendidikan melalui pendidikan bebas. Yang dimaksudkan adalah siswa tidak memiliki keharusan untuk membayar uang sekolah. Kesempatan memperoleh pendidikan jangan dihalang oleh kemiskinan atau ketiadaan uang (Paulo Freire,1999). Keempat. Perlakuan sama bagi siswa. Yang dimaksud adalah terciptanya suasana demokratis dan tidak diskriminatif dalam proses pendidikan.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Kalau saja kita mau jujur, Persoalan pendidikan di Indonesia pada saat ini antara lain adalah ; (1) rendahnya kualitas output ; (2) rendahnya kualitas kepenadan (relevansi) pendidikan; (3) kekurangan guru baik dalam jumlah maupun kualifikasi (4) rendahnya kualitas dan didiplin guru; (5) lemahnya manajemen pendidikan; (5) kurangnya sarana prasarana pembelajaran, (6) rendahnya daya bayar masyarakat dan ke (7) minimnya dana yang tersedia dalam APBD.(8) lemahnya manajemen pendidikan Untuk mengatasi persoalan seperti dipaparkan di atas, Pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia umumnya mesti memiliki kiat khusus. Jika kita tidak memiliki komitmen untuk mengatasinya, maka otonomi daerah yang saat ini sedang dilaksanakan hanya menjadi beban bagi masyarakat Indonesia.

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Untuk menentukan program pendidikan di Indonesia, kita perlu memiliki arah kebijakan yang jelas, antara lain; (1) mengupayakan perluasan pemerataan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu; (2) meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (3)melakukan modifikasi terhadap kurikulum, agar adaptif terhadap

keberagaman peserta didik dan kebutuhan masyarakat setempat; (4) memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat kebudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat; (5) membenahi manajemen pendidikan yang berbasis sekolah; (6) mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan sinambung; (7) meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan tehnologi termasuk tehnologi lokal (Umbu Tagela,2007).

Atas pijakan demikian, diusulkan program pembangunan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah

Tujuan dari program ini antara lain adalah; (1) memperluas daya tampung TK, SD, MI, MTs, SMP, SMA, SMK; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung (masyarakat di desa terpencil, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan); (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar, menengah dan prasekolah; (4) terselenggaranya manajemen pendidikan dasar, menengah dan prasekolah yang berbasis pada sekolah dan masyarakat.

Sasaran yang akan dicapai adalah (1) meningkatkan angka partisipasi kasar SD,MI, SMP, SMA, SMK; (2) terwujudnya organisasi sekolah disetiap Kecamatan yang lebih demokratis, transparan, efisien dan efektif; (3) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat; (4) terwujudnya Komite Sekolah disetiap Sekolah.

Adapun kegiatannya antara lain; (1) Meningkatkan sarana prasarana pembelajaran;(2) Memberikan subsidi pada sekolah swasta; (3) melaksanakan revitalisasi serta regrouping SD agar lebih efisien dan efektif; (4) memberikan bea siswa bagi siswa berprestasi; (5) membangun TK (6) meningkatkan kualitas, profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (7) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai kebutuhan daerah; (8) meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (9) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja institusi pendidikan; (10) melaksanakan desentralisasi pendidikan secara bertahap; (11) melaksanakan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat; (12) menggalang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (13) meninjau kembali berbagai produk hukum di daerah tentang pendidikan yang tidak sesuai dengan arah kebijakan dan tuntutan pembangunan pendidikan.

Pendidikan Luar Sekolah

Tujuan program pembinaan pendidikan luar sekolah adalah menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sasaran program ini adalah warga belajar yang tidak atau belum memperoleh pendidikan formal termasuk warga belajar yang belum menyelesaikan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Adapun kegiatannya adalah sebagai berikut; (1) mempercepat penuntasan buta aksara; (2) meningkatkan sosialisasi dan jangkauan pelayanan pendidikan; (3) mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan ketrampilan dan kemampuan kewirausahaan.

Selain program pendidikan yang telah dipaparkan di atas, maka program pembangunan pendidikan yang sangat mendesak adalah meningkatkan kualitas tenaga kependidikan termasuk guru-guru SD, SMP dan SMA./K.

KEBIJAKAN UMUM

Target pembangunan pendidikan yang hendak dicapai oleh Pemerintah kita dalam bidang pendidikan, pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lewat bangku sekolah, kedua, peningkatan mutu pendidikan pada semua jenjang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Bagi peserta didik yang bernasib baik menamatkan pelajarannya equality of outputnya lebih menyerupai keinginan daripada kenyataan. Pendidikan formal kita kelihatannya baru sampai pada tahap memenuhi keinginan subyektif masyarakat Hal ini disebabkan oleh peran guru dan dosen dalam menyikapI tugas-tugas kependidikannya lebih ke arah berfungsi sebagai menyaring peserta didik yang heterogen akibat masalisasi kesempatan daripada memberikan layanan profesional sesuai kebutuhan peserta didik. Persoalan substansial yang sedang kita hadapi adalah bagaimana memberikan pemerataan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didik di seluruh pelosok tanah air. Target kedua, kelihatannya belum dicapai. Persoalan peningkatan mutu pendidikan sebenarnya telah menjadi kepedulian semua pihak termasuk pemerintah. Gaungnya semakin kelihatan menggema sejak PELITA V, lantaran kerisauan Pemerintah kita mengantisipasi ketersediaan SDM yang berkualitas untuk menopang pembangunan dalam rangka lepas landas. Salah satu contoh, dicanangkannya wajib belajar 9 tahun (mudah-mudahan nanti 12 tahun). Kelihatannya semua komponen dalam pendidikan telah committed pada peningkatan mutu, tetapi cara meraih target belum terartikulasi secara relevan dan akurat untuk dijadikan rujukan dalam menagih pertanggungjawaban keberhasilan peserta didik (Rakajoni,1991).

Kalau kita mau jujur, selama ini, Hasil Ujian Nasional untuk pendidikan Dasar/Menengah dan IPK untuk Perguruan Tinggi, dijadikan indikator tunggal dari mutu pendidikan. Bagaimana dengan daya kritis, penalaran, kemahirwacanaan, argumentasi dan kreativitas peserta didik? (Umbu Tagela,2001) Alat ukurnya apa? Dimana letak kelemahan dari sistem pendidikan kita selama ini? Sebaik apapun undang-undang pendidikan, kalau tidak didukung oleh political will pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah yang tercermin pada APBN/APBD dan pengisian jabatan strategis pada jajaran Depdiknas dan Kepala Sekolah serta Pengawas semua itu bagai mengurai benang kusut.

PENUTUP

Untuk mewujudkan ideal-ideal tersebut di atas, kita butuh manpower planning yang baik. Kita butuh tenaga-tenaga pendidikan yang profesional. Untuk menduduki jabatan Hakim Agung saja dilakukan fit and proper test, mengapa untuk menduduki jabatan professional dalam bidang pendidikan tidak dilakukan fit and proper test?

Pendidikan merupakan entry point bagi keberhasilan pembangunan, seperti ditunjukkan oleh Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan Cina. Mestinya posisi strategis pendidikan ini menjadikan masukan bagi pemerintah untuk memanage pendidikan secara professional. Jika tidak, maka cita-cita Kihajar Dewantara hanya akan menjadi kenangan manis yang sulit untuk diwujudkan.

KEPUSTAKAAN

Cummings, William. K,1980, Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja Pada Beberapa Industri   Besar di Indonesia, Jakarta, Puslit BP3K Depdikbud.

Dimyati M, 1988, Landasan Kependidikan, Jakarta, Depdikbud

Edgar Morin, 2005, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Yoyakarta, Kanisius

Houston.W.R.Freiber, and Warner, 1988, Touch the future:Teach.St Paul, West Publishing Co.

Mulyasa, E, 2007, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung, Remaja Rosdakarya

Paul Suparno, dkk, 2003, Reformasi Pendidikan sebuah Rekomendasi, Yogyakarta, Kanisius

Paulo Freire, dkk, 1999, Menggugat Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Rakajoni,T, 1991, Potret Pendidikan Masa Kini Dan Prospek Masa Mendatang, (Makalah pada Hardiknas, FKIP- UKSW 1991)

Supandi, 1988, Kebijakan dan Keputusan Pendidikan, Jakarta, Depdikbud

Sudarman Danim, 2007, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi keLembaga Akademik, Jakarta, Bina Aksara

Suyanto, dkk, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia

Memasuki Millenium III, Yogyakarta, Adi Cita Tilaar, H.A.R, 1995, Pembangunan Pendidikan Nasional, suatu Analisis Kebijakan, Jakarta, Crasindo

Umbu Tagela, 2000a. Mengantisipasi Otonomi Daerah, (Dalam Majalah Kritis)Volume XII NO.3. Maret.

——————-, 2000, Investasi  Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Model Rate of Return, (Dalam Majalah Dian Ekonomi) Volume VI.NO.1. Maret.

——————-, 2007, Kebijakan dan Keputusan Dalam Pendidikan, Kupang News, 24 Maret