Simbolisme Dalam Teater
SIMBOLISME DALAM TEATER
Studi kasus dalam naskah Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer
Yustinus Aristono
Widyaiswara PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
ABSTRAK
Simbolisme merupakan kelanjutan dari impresionisme dan neo romantik. Simbolisme dalam teater merupakan sebutan lain dari neoromantisme dan impresionisme. Dalam aktualisasi diatas panggung, simbol bisa diungkapkan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa verbal yang terucap melalui dialog dan non verbal dalam gerakan maupun ekspresi wajah. Pengalaman dan kemampuan interpretasi dalam mengapresiasi karya seni teater setiap orang berbeda sehingga dibutuhkan proses dalam mencerna hasil pertunjukan yang banyak menggunakan simbol. Naskah Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer dapat digolongkan sebagai naskah dengan gaya atau aliran realis simbolisme karena tema yang diangkat merupakan fenomena keseharian dan menggunakan idiom-idiom simbolis untuk menggambarkan perasaan, sifat dan keadaan cerita.
Kata kunci: simbolisme, teater, Pada Suatu Hari
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan komunikasi. Komunikasi itu dapat dilakukan melalui berbagai media. Salah satu media itu adalah seni.
Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kebutuhan berekspresi. Secara naluriah, manusia didesak oleh kebutuhan untuk mengungkapkan berbagai perasaan, tanggapan, pendapat, sikap serta pengalaman batin. Salah satu media ekspresi itu adalah seni.
Menurut Karna Yudhibrata dalam majalah Analisis Kebudyaan mengatakan: Pemikiran orang tentng seni berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan masyarakat. Mula-mula seni dipandang sebagai peniruan alam yang ideal ‘art is imitation of nature’. pada perkembangannya, seni dipandang sebagai ungkapan daya khayal atau imajinasi individu tentang sesuatu. Misalnya, lukisan Syurga Olympus atau patung Dewa Zeus sebagai benda seni. Bahkan ungkapan perlambang hidup yang dikhayalkan/diimpikan dianggap sebagai karya seni. Misalnya, Bima sebagai lambang keteguhan hati, tidak mengenal kompromi. Jadi, seni adalah simbolisasi (Analisis Kebudayaan 1982:102)
Karya estetik bukan hanya sekedar memproduksi realitas yang selesai, tetapi merupakan jalan kearah pandangan obyektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Simbol dalam seni adalah simbol yang utuh yaitu penciptaan seni berhubungan dengan intuisi (Syafruddin, 2006:22)
Seni sebagai media komunikasi dan pengungkapan ekspresi estetis, pertama-tama dan terutama berhubungan dengan pengaturan rasa, seperti rasa senang, kagum, rasa rindu, rasa kasih sayang, sedih dsb. Hasil dari pengaturan itu berbentuk karya seni. Sedangkan media ekspresi estetis yang terutama berhubungan penalaran atau pengetahuan intuitif.
Kebutuhan berekspresi dan berkomunikasi itu, tertutama dipenuhi dengan bahasa. Namun, bahasa tidak mampu mewadahi seluruh ekspresi. Sehingga ekspresi itu dipenuhi dengan menggunakan simbol.
Seni merupakan salah satu jalan kearah pandangan obyektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni bukannya imitasi realitas melainkan penyingkapan realitas (Sachari, 2002:15). Sehingga dengan menikmati seni manusia disadarkan akan sesuatu dalam kehidupannya. Melalui simbol yang dihadirkan, kita menginterpretasikan makna yang nyata dalam kehidupan kita. Kita disadarkan pada peristiwa yang muaranya menuju kearah yang lebih baik.
Jagad teater adalah jagad yang universal. Sebagaimana cabang seni yang lain, keberadaannya merupakan wahana untuk mengaktualisasikan diri si pelaku. Pelaku disini adalah Aktor, Pekerja panggung, Sutradara dan bahkan tokoh dibelakang semua itu yaitu penulis naskah yang mempunyai andil sangat besar.
Terkait dengan keberadaan naskah, penulis mempunyai hak mutlak dalam menuangkan ide, gagasan dan topik dari cerita yang hendak diciptakannya. Hak tersebut tentunya berhubungan dengan bentuk cerita, aliran serta gaya bercerita. Seorang penulis menuangkan ide-ide ceritanya menurut dorongan visi artistiknya, dengan berbagai kecenderungan bentuk dan gayanya (Anirun, 1998:53). Bentuk garapan sebuah pementasan teater memungkinkan sutradara untuk menafsirkan/meng-interpretasikan kemauan naskah yang kemudian dipadukan dengan motivasi dan keinginan sutradara.
Naskah teater secara sederhana dapat dibedakan dalam dua kategori besar yaitu: naskah yang bisa (enak) untuk dimainkan diatas panggung dan naskah yang hanya enak untuk dibaca (closed drama) tetapi sulit diaktualisasikan diatas panggung. Naskah yang bisa diaktualisasikan diatas panggung adalah yang dalam strukturnya mengacu pada kaidah-kaidah dramaturgi, misalnya: menggunakan kesatuan tempat, kesatuan kejadian dan kesatuan waktu.
Aliran dalam jagad teater dikenal sebagai gaya yang ditentukan oleh sikap yang tumbuh pada kurun waktu tertentu. Dalam kurun klasik Yunani hingga sekarang, terjadi banyak sekali aliran termasuk diantaranya simbolisme. Simbolisme merupakan sebutan lain dari Neo Romantik dan Impresionisme. Aliran ini berangkat dari gerakan kesadaran, bahawa hakekat kebenaran hanya mungkin dipahami oleh intuisi. Ia menolak sifat-sifat yang umum tentang pengertian ‘kenyataan’. Maka, kebenaran sebagai suatu kenyataan tak bisa dirumuskan dengan bahasa logika sendiri. Ia hanya bisa diarahkan dengan simbol-simbol (Tambajong, 1981:30).
Di Indonesia, naskah dalam teater yang mengikuti aliran simbolisme ini antara lain: Sumur tanpa Dasar dan Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer. Naskah Pada Suatu Hari inilah yang nantinya akan dikupas lebih lanjut dalam kajian Estetika. Naskah ini dijadikan sebagai bahan kajian karena tema cerita yang sangat dekat dengan realita hidup. Walaupun dalam penyajiannya menggunakan simbol-simbol tetapi mudah dipahami.
Dalam jagad teater, disamping pesan yang disampaikan secara verbal (kata-kata) juga ada pesan yang disampaikan melalui bentuk non verbal. Istilah ini dikaitkan dengan hadirnya pesan dalam bentuk simbol (pengertian konotatif). Bahasa sebagai alat komunikasi non verbal, yang lebih penting dari semua itu adalah meaning (makna) yang terkandung di dalamnya (Liliweri, 2003:177-178).
Simbolisme
Simbol berasal dari bahasa Latin symbolicum yang berarti ‘tanda’. Symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Symbol yang disampaikan melalui kata-kata bisa berbeda-beda pengertiannya maka komunikasi verbal lisan maupun tulisan tergantung pada penguasaan kata dan tata bahasa (Liliweri, 2003:179). Simbol yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lain harus menjadi kesepakatan bersama setidaknya antara komunikator dan komunikan.
Simbol menarik perhatian dari perasaan yang menjadi wahana ekspresi untik menghasilkan suatu upaya artistik, sebagaimana yang ditulis oleh Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art:
The symbolicsts interest withdrew from the emotionality of the late romantics and sensuality of the impressionists to the nature of the media as a vehicle of expression and to formal structuring which results from artistic effort.(hal. 682)
Teater
Kata teater berasal dari bahasa Latin ‘Theatron’ yang artinya sebagai tempat atau gedung pertunjukan atau ada pula yang mengartikan sebagai panggung. Tetapi kemudian, teater menjadi luas pengertiannya tidak hanya sebagai tempat pertunjukan melainkan segala tontonan yang dipertunjukan didepan orang banyak dengan media gerak, laku, percakapan, dengan atau tanpa dekor/setting, dengan atau tanpa amusik ilustrasi (Harymawan, 1998:2).
Isi dari tontonan tersebut merupakan kisah hidup dan kehidupan manusia. Adapun esensi dari teater adalah konflik. Jadi, bukan sekedar kisah hidup saja kemudian ditampilkan keatas panggung, tetapi harus ada konflik yang terjalin dari awal hingga akhir pementasan.
Perwujudan secara ekspresif dalam cerita diuangkapkan lewat kata-kata walaupun tidak selamanya. Kata-kata terkadang tidak cukup mewakili untuk mengungkapkan respons terhadap jalannya cerita sehingga harus dicari media lain yaitu melalui gerak pantomime. Gerak pantomime ini lebih mudah dipahami dan ditangkap maknanya karena menggunakan gerak keseharian.
Tentang naskah Pada Suatu Hari
Naskah Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer merupakan naskah teater yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang mempunyai dua anak perempuan. Kedua anak tersebut masingmasing sudah memiliki suami sehingga pasangan suami istri tersebut menjadi kesepian. Dalam kesepiannya itu muncul romantisme masa lalu mereka, termasuk terangkatnya kembali kisah cinta sang suami dengan mantan pacarnya.
Akibat dari rasa cemburu yang membabi buta, si istri kemudian meminta cerai. Keadaan menjadi bertmbah parah dengan hadirnya si anak yang kabur dari suaminya bersama dengan kedua anaknya. Masalah yang menjadi penyebabnya juga sama, si anak cemburu terhadap pasien dari suaminya yang dokter itu.
Jenis simbol
Tujuan paling esensial dari kesenian adalah memproduksi yang penting bagi manusia dalam kehidupan nyata. Tujuan ini cukup menunjukkan suatu obyek untuk menjelaskan maknanya yang memungkinkan orang memahami kehidupan.
Misalkan kita ingin memberitahukan seseorang perbedaan antara rasa anggur merah dan anggur putih. Mungkin ini terasa sangat sederhana, kita tahu benar bedanya; lalu apa susahnya mengatakan perbedaan itu pada orang lain?. Tetapi sebenarnya kita menemui kesulitan yang sangat besar ketika harus mengungkapkan perbedaan itu melalui kata-kata.
Hal itu senada dengan betapa kita merasa kesulitan ketika kita harus menggambarkan penghayatan perasaan. Sebagai contoh, ketika kita merasa dalam kesendirian, tanpa teman, agak menakutkan, walaupun tidak benar-benar berbahaya. Kita kesulitan untuk menggambarkan mood ini pada seorang teman, tetapi sekali lagi kita harus mengais-ngais kata, akhirnya merasa bahwa apapun yang telah kita katakan bukanlah penjelasan yang menandai bagi nuansa mood yang begitu banyak tadi. Akhirnya kita menjelaskan semua itu melalui simbol.
Simbol seringkali dirumuskan sebagai ‘sesuatu yang mewakili yang lain’. Rumusan ini terasa menjemukan, tetapi rumusan ini menjadi menarik jika kita melibatkan diri dengan simbol-simbol yang merupakan ekspresi indrawi dari apa yang dilihat, di dengar, dibaui, disentuh yang mewakili sesuatu yang lain. Simbol semacam ini adalah sesuatu yang berdiri diluar diri kita; yang disimbolkannya adalah sesuatu yang berada dalam diri kita. Bahasa simbolik adalah bahasa yang kita gunakan untuk mengungkapkan penghayatan batin seakan sebagai suatu pengalaman indrawi, seakan-akan sebagai suatu yang tengah kita kerjakan, atau yang dilakukan terhadap kita di dunia benda-benda. Bahasa simbolik adalah bahasa dimana dunia luar adalah suatu simbol dari dunia dalam, suatu simbol bagi jiwa dan alam pikir – rasa kita.
Jika kita mendefinisikan simbol sebagai ‘sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain’, pertanyaan yang sangat menentukan adalah apakah hubungan spesifik antara simbol dengan apa yang disimbolkan. Untuk menjawab hal itu, kita dapat membedakan dalam tiga jenis simbol: simbol konvensional, simbol aksidental dan simbol universal. Dua jenis yang terakhir yang mengungkapkan penghayatan batin seakan-akan sebagai pengalaman inderawi, dan hanya kedua jenis itulah yang mempunyai unsur bahasa simbolik.
Simbol konvensional adalah yang paling luas dikenal diantara ketiga jenis simbol, sebab kita menggunakannya dalam bahasa sehari-hari. Kita mempelajari hubungan ini semasa kanak-kanak dengan penghayatan yang berulang-ulang sewaktu mendengar suatu kata kemudian merujuk pada benda tertentu, sampai terbentuk kesan yang sedemikian kuat sehingga kita tidak perlu berfikir untuk mendapatkan kata yang tepat. Tetapi ada beberapa kata dimana asosiasinya tidak hanya konvensional. Ketika kita mengatakan ‘Huh…’ misalnya dengan bibir kita membuat gerakan menghembuskan udara dengan cepat. Ini adalah ungkapan rasa jijik dimana mulut kita ikut berpartisipasi. Melalui pengusiran udara yang cepat ini, kita meniru dan dengan demikian mengungkapkan maksud kita untuk mengusir sesuatu, mengeluarkannya dari sistem kita. Dalam hal lain, simbol mempunyai hubungan yang inheren dengan perasaan yang disimbolkan.
Kata-kata bukanlah satu-satunya ilustrasi bagi simbol-simbol konvensional, sekalipun kata-kata tadi yang paling sering dijumpai dan paling luas dikenal. Gambar juga bisa menjadi simbol konvensional. Sebuah bendera misalnya, bisa mewakili suatu Negara, tetapi toh tidak ada hubungan apapun antara warna-warnanya yang spesifik dengan negara yang diwakilinya. Warna-warna itu telah diterima sebagai merujuk apda negara tertentu, dan kita mennerjemahkan impresi visual bendera itu kedalam konsep tentang negara tadi, lagi-lagi atas dasar konvensional.
Lawan dari simbol konvensional adalah simbol aksidental, walaupun keduanya mempunyai kesamaan; tidak ada hubungan intrinsik antara simbol dengan yang disimbolkannya. Misalnya seseorang yang baru saja menerima pengalaman yang menyedihkan disuatu kota; ketika dia mendengar nama kota tadi, dengan mudah ia bisa menghubungkan nama itu dengan perasaan sedih, sebagaimana ia bisa menghubungkan nama itu dengan perasaan gembira andaikata pengalamannya tadi adalah pengalaman yang menggembirakan. Tidak ada satu hal-pun pada kota tadi yang sedih atau gembira. Yang menjadi nama itu simbol bagi perasaan adalah pengalaman individul yang berkaitan dengan kota itu.
Simbol universal adalah dimana ada hubungan intrinsik antara simbol dengan yang mewakilinya. Simbol universal adalah satu-satunya simbol dimana hubungan antara simbol dengan yang disimbolkan tidak bersifat koinsidental, melainkan intrinsik. Ini berakar dalam hubungan antara emosi atau pikiran disatu pihak, dengan pengalaman inderawi di pihak lain. Ia bisa disebut universal karena ia dialami oleh semua orang, berbeda dengan simbol aksidental yang pada hakekatnya bersifat personal, juga berbeda dengan simbol konvensional yang hanya terbatas pada sekelompok orang yang mengikuti konvensi yang sama. Simbol universal berakar pada unsur-unsur tubuh kita, indera kita, dan rasa kita, yang sama pada semua orang, dan karenanya tidak terbatas pada individu atau kelompok tertentu. Bahasa simbol universal adalah satu bahasa bersama yang dikembangkan oleh umat manusia.
Suatu reproduksi yang sesungguhnya dari kehidupan tidak sekedar sebuah salinan. Seorang seniman (penulis naskah teater) tidak dapat menyajikan sesuatu yang menyamai suatu peristiwa, yang menyamai manusia-manusia yang hidup, yang menyamai alam hidup tetapi mempunyai jangkauan imajinasi dari peristiwa-peristiwa individual yang kemudian dituangkan dalam karyanya (Chernyshevsky, 2005:112).
Simbol-simbol dalam naskah Pada Suatu Hari
Sinopsis cerita dari naskah Pada Suatu Hari adalah sebagai berikut: Kehidupan yang harmonis dari sepasang suami istri (kakek dan nenek) terkoyak tatkala hadir seorang perempuan tua (Ny. Wanas) yang merupakan bekas pacar dari si Kakek. Dan sampai usianya yang sudah senja ternyata mereka diam-diam tetap menjalin hubungan kasih. Hanya karena kehadiran perempuan tua itulah kemudian si Nenek meminta cerai.
Persoalan menjadi semakin keruh ketika Novi (anak si Nenek dan Kakek) itu datang dan ternyata kedatangannya disebabkan oleh kecemburuannya terhadap seorang pasien dari suaminya yang dokter itu. Kepulangan Novi kerumah orang tuanya itu disertai oleh kedua anaknya karena Novi-pun juga mengajukan cerai dari suaminya.
Ternyata, setelah benang yang menjadi kusut tadi diurai, permintaan cerai mereka itu justru karena perasaan cinta yang mendalam sehingga menyebabkan kecemburuan yang tidak beralasan.
Naskah Pada Suatu Hari ini dalam pemaparannya banyak menggunakan simbol, tanda atau kiasan. Kiasan itu ada dalam interpretasi kita setelah menangkap kata-kata melalui telinga. Kata-kata tersebut mempresentasikan makna yang tidak diungkapkan secara langsung. Adapun simbol yang dihadirkan meliputi: bunga, minuman, tanda baca, benda lain (sapu tangan, patung, binatang). Hal lain yang dapat dijadikan petanda atau simbol sebagai bahasa nonverbal adalah gesture tubuh, isyarat (pandangan) mata, dan gerakan tangan.
Menurut Alo Liliweri, pengungkapan makna simbolis dapat dilakukan dalam tiga cara yaitu:
- Simbolik-abstrak, tidak dapat diartikan apa-apa apabila kita hanya melihat obyek tanpa mempelajarinya.
- Ikonik-sama atau mirip dengan obyek atau konsep yang diterangkan oleh melalui tanda yang disampaikan.
- Indeksikal-dihasilkan oleh atau sedikit obyek atau konsep.
Pengungkapan simbol dalam naskah Pada Suatu Hari lebih merujuk pada konsep kedua dari Alo Liliweri. Hal itu dapat kita lihat dalam adegan delapan:
Pesuruh | : | Tidak, Nyonya. Tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan sore. Memang tengah malam sering diam-diam menyirami kaktus yang ditaruh di dalam kakus….(hal.4) |
Kiasan secara umum, kata ‘bunga’ adalah lambang dari seorang gadis/perempuan. Bunga kaktus digunakan sebagai simbol untuk mewakili nyonya Wanas (janda mantan pacar Tuan Besar). Nyonya Wanas dilambangkan sebagai bunga Kaktus yang keras dan berduri namun tahan banting. Dia mampu bertahan hidup dalam kondisi alam yang tidak bersahabat. Tuan Besar secara diam-diam tetap memupuk cintanya kepada nyonya Wanas. Bunga kaktus itu diletakkan di kakus yang merupakan kiasan dari suatu tempat yang sangat tidak sedap, namun nyaman (bukankah kita merasa enjoy ketika berada di dalam kakus: bisa berkhayal dsb.).
Ketidak-harmonisan rumah tangga Tuan Besar digambarkan dalam dialog pada adegan sembilan halaman 4 yaitu pada saat mereka menentukan minuman yang mereka sukai. Sedangkan nyonya Wanas merupakan wanita dengan selera tinggi yang selalu mengejar prestige.
Nenek | : | Nyonya suka minum jeruk? |
Janda | : | Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling suka |
Kakek | : | Saya sendiri tidak begitu, tapi….. |
Nenek | : | Kita berdua minum jeruk. Kita flu….
|
‘Es susu’ merupakan minuman orang dalam tingkatan ekonomi yang mapan. Sedangkan ‘jeruk’ sebagai minuman yang masam (kecut) simbol hubungan yang tidak baik.
Perasaan cinta dan perhatian nyonya Wanas dan sikap yang tidak tegas Tuan Besar nampak dalam ungkapan dialog nyonya Wanas:
Janda | : | Betul, nyonya. Suami nyonya adalah lelaki yang sangat amat lembut. Malah amat sangat lembut. Dia selalu cermat dalam memilih kata-kata dan saya kira ia tidak pernah memakai tanda seru selama hidupnya. |
Perang batin antara Nenek (istri) dengan nyonya Wanas (janda) tersirat dalam dialog halaman 5:
Janda | : | Alangkah sejuknya susu panas ini. |
Nenek | : | Alangkah panasnya es jeruk ini…… |
Juga dalam dialog halaman 6:
Janda | : | Tua dan tidak tua tetap sama saja, kaktus misalnya. |
Nenek | : | Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun |
Kakek | : | Saya jadi ingat Old Shatterhand dan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak diatas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh atau bagaimana mereka mendengarkan hentakan-hentakan kaki kuda musuh dari jarak bermil-mil. Kaktus liar banyak tumbuh di Amerika. |
Janda | : | Indahnya |
Nenek | : | Apa tidak lebih indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu diliputi manja? |
Sikap kebingungan Tuan Besar dalam menghadapi masalah pertengkaran batin antara istrinya dan Nyonya Wanas muncul dalam dialog:
Kakek | : | Saya kira lebih indah. Juga lebih bermanfaat kita bahkan bisa berteduh cahaya kuning merahnya. |
Cahaya ‘kunang-kunang’ merupakan ungkapan simbolis dari pertengkaran antara kedua wanita itu. Warna kuning diasumsikan sebagai sikap keragu-raguan, sementara warna merah adalah gejolak amarah yang membara. Lebih jauh perang dinginitu nyata pada dialog halaman 6:
Janda | : | Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang sederhana |
Nenek | : | Kaktus memang selalu kesepian |
Janda | : | Memang ia kurang dihiraukan orang |
Nenek | : | Lantaran berbahaya. |
Ketidak-berdayaan Tuan Besar terhadap sifat istrinya yang selalu minta diutamakan, mau menang sendiri dan galak disimbolkan dengan nabi Nuh yang sedang melayani singa betina yang sedang bunting. Kita tahu, seekor singa adalah binatang yang buas dan raja rimba apalagi sedang bunting.
Kakek | : | ….atau kau mau aku membaca kitab suci? dongeng? saya membaca bagaimana nabi Nuh melayani singa betina yang sedang bunting, sementara seekor kera sedang sakit influenza. |
Sementara, istri mengatakan suaminya tidak pernah memberikan perhatian kepadanya. Suaminya tidak punya perasaan bagaikan patung saja.
Nenek | : | Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah. Kau tidak punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan wanita berhati kaktus. Hatimu ular kobra. Kejam….kejam…. |
Para penonton secara langsung dapat menginterpretasikan dialog-dialog yang merangkai cerita. Hal itu karena simbol-simbol yang disampaikan sangat dekat dengan keseharian kita. Obyek yang disampaikan itu hanya menjadi alasan dalam menggambarkan inti ilham dari seniman. Dan hasil karya tersebut menjadi simbol dari apa yang menjadi bayangan si seniman (Muji Sutrisno, 1993:56).
Disamping simbol-simbol tersirat dalam dialog, sebenarnya masih banyak simbol yang disampaikan melalui gerakan si pemain. Itu semua tergantung pada kematangan pemain dan kejelian sutradara dalam menangkap tanda-tanda.
KESIMPULAN
Simbolisme merupakan kelanjutan dari impresionisme dan neo romantik. Simbolisme dalam teater merupakan sebutan lain dari neoromantisme dan impresionisme. Dalam aktualisasi diatas panggung, simbol bisa diungkapkan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa verbal yang terucap melalui dialog dan non verbal dalam gerakan maupun ekspresi wajah.
Pengalaman dan kemampuan interpretasi dalam mengapresiasi karya seni teater setiap orang berbeda sehingga dibutuhkan proses dalam mencerna hasil pertunjukan yang banyak menggunakan simbol.
Naskah Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer dapat digolongkan sebagai naskah dengan gaya atau aliran realis simbolisme karena tema yang diangkat merupakan fenomena keseharian dan menggunakan idiom-idiom simbolis untuk menggambarkan perasaan, sifat dan keadaan cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Anirun, Suyatna, (1998), MENJADI AKTOR, PT. Rekamedia Multiprakarsa, Bandung
Chernyshevsky, N.G, (2005), Hubungan Estetika seni dengan Realitas, CV. Ultimus, Bandung
Harymawan, RMA, (1986), Dramaturgi, PT. Rosda Karya, Bandung
Hauser, Arnold, (1978), The Sociology of Art, The University of Chicago Press, Ltd., London
Liliweri, Alo, (2003), Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LkiS, Yogyakarta
Majalah Analisis Kebudayaan, (1982), Peranan Seni dalam Membina Masyarakat Akademik di Lingkungan Pendidikan Guru, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Sutrisno, Mudji, Christ Verhaak, (1993), ESTETIKA FILSAFAT KEINDAHAN, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Sachari, Agus, (2002), ESTETIKA: Makna, Simbol dan Daya, Penerbit ITB, Bandung
Syafruddin, (2006), Telaah ESTETIKA, Hand out mata Kuliah Estetika, Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Tambajong, Japi, (1981), Dasar-dasar Dramaturgi, CV Pustaka Prima, Bandung