TEORI KRITIS JΫRGEN HABERMAS

“Sumbangsih Pemikiran Habermas terhadap Perkembangan Ilmu Sosial-Teologi

di Indonesia”

 

Remelia F. Dalensang

Dosen Program Studi Ilmu Teologi Fakultas Teologi Universitas Halmahera

 

ABSTRAK

Ilmu teologi termasuk dalam rumpun ilmu sosial. Pergumulan bidang teologi untuk mendapat pengakuan sebagai ilmu cukup panjang. Bahkan pemetaan dan perbedaan antara rumpun ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam menjadi isu yang krusial dalam bidang pendidikan. Ilmu alam diyakini sebagai ilmu yang dapat membuktikan kebenarannya, sedangkan ilmu sosial sering diragukan kebenarannya. Seakan-akan ilmu alam yang lebih menguasai bidang pendidikan dengan mengutamakan rasio dan mengabaikan sisi yang lain. Teori kritis yang dikembangkan Habermas dapat menjadi solusi untuk hal ini. Habermas berupaya untuk mengangkat posisi ilmu sosial-teologi dengan mengambangkan rasio yang komunikatif. Teori kritis Habermas juga mengembangkan sisi lain ilmu pengetahuan yang diabaikan atau yang hanya menitikberatkan pada rasio. Paradigma baru hadir lewat teori kritis ini, sehingga dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu sosial-teologi yang semakin berkembang saat ini.

Kata Kunci: Teori Kritis Habermas, Ilmu Sosial-Teologi

 

Pengantar

Jϋrgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman, yang lahir di kota Dusseldorf, Jerman, 18 Juni 1929. Setelah Perang Dunia II selesai (pada waktu itu ia berumur belasan tahun), barulah disadari olehnya kejahatan-kejahatan dari rezim nasionalis sosialis yang berada di bawah pimpinan Adolf Hitler. Hal ini yang memungkinkan dia untuk menguatkan tentang arti pentingnya demokrasi di negaranya. Setelah berakhirnya kekuatan dan kekuasaan Nazi, buku-buku yang awalnya dilarang untuk dibaca oleh masyarakat Jerman, akhirnya boleh dibaca oleh siapa saja. Habermas mempergunakan kesempatan ini untuk mulai mempelajari banyak hal seperti filsafat, psikologi dan kesusteraan Jerman. Semuanya ini ditempuh di Universitas Gottingen. Setelah itu, ia memperoleh gelar doktor di Universitas Bonn pada tahun 1945.

Habermas merupakan tokoh terakhir dari mazhab Frankfrut. Ketika masa kejayaan mazhab Frankfrut berakhir, maka teori kritis yang ditawarkan juga berakhir dengan sikap pesimis. Habermas menghidupkan dan melanjutkan kembali teori kritis yang menjadi proyek dari para pendahulunya. Tetapi bukan hanya teori kritis yang dilanjutkan oleh Habermas, dewasa ini ada banyak hal yang dia berikan dalam dunia filsafat. Habermas memulai karirnya di “Frankfurt School” sama seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse,[1] tetapi pemikirannya agak berbeda dengan mereka. Dalam Dialectic of Enlightement yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasional dan represi. Setelah perang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikirnya dengan menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Dari sinilah Habermas memulai pemikirannya dengan menekankan pada pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrument teknis dari subjek individu yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional.[2]

Pemikiran Filosofis dan Teori Kritis

Sejak awal, filsafat telah berupaya menjelaskan dunia secara keseluruhan dengan menggunakan beberapa pendekatan atau prinsip yang dapat ditemukan di dalam rasio dan bukan melalui komunikasi. Habermas tidak menyangkali akan hal ini, baginya penggunaan rasio dalam dunia filsafat merupakan hal yang wajar dan tidak dapat disangkal serta dihindari oleh siapa pun. Masalah mendasar yang sering dikemukakan dalam filsafat, baik dalam sosial maupun politik ialah apakah peran rasio dalam refleksi-refleksi tentang masyarakat? Apakah mungkin ada suatu teori atas dasar perspektif tertentu yang tidak memihak atau netral terhadap masyarakat? Bertolak dari permasalahan tersebut, sebuah teori kritis mulai muncul dengan tidak mengabaikan semua minat atau usaha yang pernah ada dan dilakukan sebelumnya. Akhirnya, teori kritis ini menarik perhatian dunia internasional.

Teori kritis yang dikemukakan oleh Habermas sebenarnya bukan merupakan suatu teori baru. Teori ini sebelumnya telah dikemukakan oleh para pendahulunya yang tergabung dalam mazhab Frankfurt yaitu Theodor Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse. Tetapi teori kritis ini mengalami kebuntuan atau tidak dapat dilanjutkan lagi dikarenakan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut ialah: 1) teori ini terjebak oleh daya integratif sistem masyarakat kapitalisme, padahal dalam kenyataannya kaum buruh semestinya tidak ditindas dalam masyarakat kapitalis; 2) teori kritis tetap bertolak pada pandangan Marx yang terlalu pesimis yang menilai manusia secara material saja; dan 3) teori kritis menerima sepenuhnya pikiran Marx bahwa manusia adalah makhluk yang bekerja, yang berarti juga menguasai.[3] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Habermas berusaha melanjutkan apa yang pernah dikemukakan oleh para pendahulunya yang gagal karena mereka terlalu pesimis (atau sebagaimana 3 faktor yang disebutkan di atas). Di sini ia bertindak sebagai pembaharu, dimana teori kritis ini dilihat dan tinjau dengan suatu paradigma baru karena teori sebelumnya tidak begitu memadai untuk menganalisa keadaan masyarakat. Ia berusaha untuk mengembangkan suatu teori yang dapat menunjukkan keterlibatan masyarakat serta mampu menjawab kebutuhan masyarakat.

Teori kritis sebagaimana yang telah disebutkan di atas, terlalu menekankan aspek material dari masyarakat sehingga pekerjaan sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Di sinilah Habermas tampil dan memberikan suatu jalan keluar melalui rekonstruksi besar-besaran terhadap teori kritis mazhab Frankfurt. Dengan menerima pemikiran Marx begitu saja yang mereduksikan manusia pada satu macam tindakan, yaitu pekerjaan termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain sesungguhnya merupakan suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh mazhab Frankfurt. Karena bekerja, sama artinya dengan menguasai, maka pekerjaan untuk pembebasan akan menghasilkan perbudakan baru yaitu saling menguasai satu sama lain sehingga orang yang lemah akan semakin tertindas.

Habermas berusaha mengkritisi hal ini dengan mengembangkan suatu penelitian sosial sebagai praksis komunikasi. Singkatnya, ia mau membuktikan bahwa suatu pengetahuan itu tidak hanya dapat dilakukan dengan menggunakan rasio saja melainkan komunikasi juga tidak kalah pentingnya. Komunikasi merupakan perwujudan dari tindakan saling pengertian. Komunikasi juga dapat memberikan solusi dalam menyelesaikan kebuntuan teori kritis yang telah dikemukakan oleh mazhab Frankfurt. Itulah sebabnya, Habermas menambahkan konsep komunikasi pada teori kritis yang dikembangkannya sebagai suatu paradigma baru. Dengan demikian, ia berusaha mengembangkan suatu penelitian sosial sebagai praksis dari komunikasi karena menurutnya teori tidak dapat dipisahkan dari praksisnya. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional dan rasio itu sendiri tidak hanya mewujud dalam pekerjaan saja melainkan juga menyangkut interaksi dengan orang lain dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, suatu kritik dapat berkembang dengan menggunakan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai tindakan komunikatif atau praksis komunikatif. Masyarakat yang komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik dengan menggunakan kekerasan, akan tetapi melalui argumentasi-argumentasi yang dilakukan dengan komunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, Habermas membedakan dua bentuk argumentasi yaitu argumentasi kritik dan argumentasi diskursus atau perbincangan.[4]

Teori kritis yang dikemukakan Habermas, bukanlah merupakan suatu teori ilmiah yang sudah biasa dikenal di kalangan akademisi maupun dalam masyarakat. Teori kritis ini hendak menggambarkan sesuatu yang lain, yang berusaha menimbulkan suatu kesadaran bahwa filsafat tidak akan bermakna tanpa penelitian empiris. Sebaliknya penelitian empiris tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan kerangka filsafat yang memberi makna pada penelitian tersebut. Ia menggambarkan teori kritis sebagai sebuah metodologi yang berdiri dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Oleh karena itu, teori kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif yang umumnya dianut oleh kaum positivistik, tetapi lebih dari itu berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empirisme.[5]

Pemikiran Habermas ini secara jelas menyatakan bahwa ada kepincangan yang terjadi antara filsafat dan ilmu pengetahuan lebih khusus masalah sosial. Seakan-akan ada persaingan di antara keduanya. Sehingga teori ini mengambil jalan tengah antara keduanya dengan berusaha membuktikan apa yang tidak dapat dibuktikan sebelumnya, apa yang transenden yang melebihi fakta empiris. Dengan demikian, teori kritis berusaha melakukan suatu dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan bersifat empiris. Karena sifat dialektis tersebut, maka teori kritis dimungkinkan melakukan 2 (dua) macam kritik, yaitu kritik transendental untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek dan kritik imanen untuk menemukan kondisi sosio-historis yang mempengaruhi pengetahuan manusia dalam konteks tertentu[6].

Oleh sebab itu, teori kritis secara langsung dapat dikatakan sebagai suatu kritik ideologi; suatu refleksi-diri untuk membebaskan ilmu pengetahuan yang hanya menitik beratkan pada salah satu kutub saja (baik imanen maupun transendental). Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi Habermas ini berusaha melakukan pembaharuan terhadap kepincangan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan yang sering menekankan satu kutub saja dan mengabaikan yang lainnya. Keseimbangan antara yang transendental dan imanen itu perlu diperhatikan dalam ilmu pengetahuan.

Bertolak dari apa yang dialami masyarakat modern yang berdasar pada tradisi pencerahan, Habermas melihat kepincangan dalam tradisi pencerahan tersebut, disebabkan karena adanya tendensi untuk saling menindas. Itulah sebabnya, ia menolak pendekatan transendental dan idealistik terhadap rasio. Ia berusaha menjadikan rasio sebagai suatu konsep yang dapat dijadikan dasar bagi norma-norma sosial. Apa yang diupayakan Habermas ini, bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan yang dilakukan atas nama “rasionalitas modern”.[7] Dengan demikian, jelaslah bahwa yang menjadi tujuan Habermas ialah rasio, kebebasan dan keadilan. Ketiga hal ini tidak hanya menjadi suatu wacana yang selalu dikumandangkan, melainkan tugas dasar atau praktis yang harus dilakukan. Kritik yang dikembangkan Habermas ini, bertujuan untuk menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi, yang sebenarnya secara tidak langsung menghasilkan suatu penindasan. Dengan kata lain, suatu kritik merupakan refleksi diri atas kesadaran palsu.

Teori kritis Habermas berpijak pada suatu pandangan umum terhadap realitas sosial dalam masyarakat baik secara faktual maupun normatif. Dengan belajar dan mengamati realitas sosial masa lalu dan realitas sosial masa kini, maka suatu kehidupan sosial yang lebih baik akan dapat diharapkan. Karena suatu pandangan umum terhadap masyarakat di masa lalu maupun masa kini akan membentuk cara pandang seseorang, sekaligus dapat mencapai suatu masyakarat yang dicita-citakan. Intinya bahwa untuk dapat membuat suatu kemajuan dan perkembangan yang berarti dalam masyarakat, maka seseorang harus lebih dulu mengetahui dan mendalami realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Dengan teori kritis masyarakat dimampukan untuk dapat melihat lebih dalam lagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Teori kritis menolong masyarakat untuk menjadi suatu masyarakat yang tidak hanya duduk diam menerima segala sesuatu bahkan struktur masyarakat yang menindas.

Implikasinya Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Indonesia

Analisis atau teori kritis yang dikembangkan oleh Habermas melalui suatu paradigma baru, menurut saya masih tetap relevan serta dapat diterapkan untuk masyarakat Indonesia khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Teori kritis Habermas merupakan kritik yang tajam terhadap ilmu pengatahuan dan positivisme yang memberhalakan sains dan teknologi modern sebagai kebenaran universal yang bebas nilai dan kepentingan. Hal ini dikarenakan Habermas menolak sikap bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Menurutnya setiap manusia mempunyai kepentingan yang berada di antara ketegangan empirik dan transendental. Sikap bebas nilai sama sekali tidak menyentuh kedua aspek ini, sebabnya dia mengarahkan kepada suatu kepentingan konstitutif pengetahuan, karena kepentingan ini mencakup kedua aspek kepentingan manusia tersebut (empiris dan transendental), yang tidak terpisah dari proses kehidupan tetapi melampauinya.

Habermas menekankan suatu penelitian sosial sebagai praksis komunikasi yang melibatkan metode hermeneutik. Tetapi dalam perkembangan pemikirannya, dia mengembangkan suatu metode psikoanalisis yang pernah dikembangkan sebelumnya oleh Freud. Baginya, metode psikoanalisis Freud ini juga berfungsi sebagai suatu proses penafsiran metodis atas struktur simbolis, seperti tingkah laku, mimpi, dan kata-kata seseorang sehingga hal ini dapat dibandingkan dengan ilmu hermeneutik. Akan tetapi menurutnya ada perbedaan mendasar antara metode hermeneutik dan psikoanalisis. Hermeneutik berhubungan dengan teks-teks yang akan membawa manusia pada ingatan sejarah yang terjadi dalam hidupnya pada kondisi normal, sedangkan psikoanalisis berhadapan dengan teks yang mencurigakan dan hanya dari segi internal penulis.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hermeneutik menghadapi language game yang berfungsi baik, sementara psikoanalisis menghadapi language game yang telah menjadi kacau susunannya.[8] Dengan demikian, meskipun keduanya (hermeneutik dan psikoanalisis) digunakan sebagai suatu proses penafsiran, tetapi psikoanalisis melampaui hermeneutik sehingga sering disebut “hermeneutik dalam”. Berusaha menafsirkan teks (kehidupan sehari-hari) sebaik mungkin, sehingga dapat dipahami oleh subjek dan orang lain, karena language game (kata-kata dan tindakan) tidak dapat dimengerti oleh semua orang. Itu sebabnya, psikoanalisis (hermeneutik dalam) menolong supaya baik subjek maupun orang lain dapat saling mengerti. Dengan kata lain, psikoanalisis yang dikembangkan Habermas, merupakan suatu metode yang dapat menafsirkan atau menerjemahkan ketidaksadaran menjadi suatu kesadaran.

Konsepsi atau gagasan yang dikembangkan oleh Habermas tentulah memberikan suatu sumbangan yang berarti dan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu. Dalam wilayah ilmu pengetahuan modern, teori kepentingan kognitif Habermas memberi sumbangan yang berharga terhadap usaha untuk menerapkan teori dan praksis dalam ilmu-ilmu sosial. Tidak menutup kemungkinan konsepsi ini pun berpengaruh dalam lingkungan ilmu pengetahuan di Indonesia (sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas). Dengan teori kritis atau kritik ideologi terhadap ilmu pengetahuan, kita dapat mengetahui bahwa ada ketidakberesan atau kepincangan yang terjadi dalam lingkungan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dihadapkan pada masalah positivisme, dimana ilmu historis-hermeneutik tidak diakui kebenarannya, yang diunggulkan ialah empiris-analitis. Positivisme merasa yakin bahwa dalam ilmu empiris-analitis terdapat pengetahuan yang benar dan tidak perlu diragukan lagi sehingga ilmu empiris-analitis tidak perlu melakukan refleksi terhadap dirinya sendiri.

Dengan kata lain, teori kritis Habermas tidak berlaku bahkan bertentangan dengan positivisme. Jelas bahwa positivisme ini berusaha mempersatukan ilmu-ilmu pengetahuan di bawah satu metodologi yaitu metodologi empiris-analitis ilmu-ilmu alam. Berkat teori kritisnya, Habermas dapat membuktikan bahwa ruang lingkup ilmu-ilmu alam (empiris-analitis) dan ilmu-ilmu sosial (historis-hermeneutik) itu berbeda dan karena itu tidak mudah bahkan tidak mungkin untuk mempersatukan keduanya dalam satu metodologi, karena masing-masing ilmu memiliki the conditions of possibility yang berbeda-beda. Ilmu-ilmu sosial juga dapat dibuktikan kebenarannya lewat metode psikoanalisis.

Jelas bahwa sumbangsih pemikiran Habermas ini membawa pengaruh bagi ilmu pengetahuan. Selain berusaha untuk menyadarkan dan membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas, sehingga membuat masyarakat tidak berkembang, Habermas juga mengkritisi para ilmuwan supaya pengetahuan tidak hanya membuat diri mereka sendiri menjadi kritis, tetapi bagaimana mereka mengembangkan pengetahuan itu dan berusaha membuat masyarakat juga menjadi kritis. Dengan demikian, maka masyarakat pun dibebaskan dari keterpurukan dan semakin menjadi kritis. Persoalannya bukankah ketika masyarakat menjadi kritis maka segala hal dapat dikritisi sehingga bisa saja akan bertambah lagi penindasan dan ketidakteraturan dalam masyarakat? Bagaimana membuat suatu masyarakat menjadi kritis jika masyarakat itu sendiri tidak mau berkembang dan tidak mau menjadi kritis (masyarakat yang hanya menerima keadaan saja)? Persoalan ini memanglah tidak mudah untuk dijawab. Tetapi setidaknya usaha yang dilakukan Habermas membuka pikiran masyarakat bahwa dalam masyarakat tanpa disadari ada banyak struktur-struktur yang menindas. Bukan berarti teori kritis ini memaksakan kepada masyarakat untuk melawan para ilmuwan dan para penguasa, tetapi bagaimana teori ini berperan dalam menyadarkan dan menolong masyarakat untuk dapat membawa perubahan dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, teori kritis yang dikembangkan oleh Habermas ini selain berusaha menyadarkan dan membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas, juga membuat masyarakat mendapatkan pengetahuan yang lebih baik lagi. Dapat dikatakan Habermas menjadi pejuang bagi masyarakat yang belum mendapat pendidikan yang baik. Dengan demikian maka semua orang mendapat hak yang sama dalam pendidikan.

Di lain pihak dengan teori kritisnya, Habermas setidaknya memperlihatkan bahwa tidak hanya ilmu-ilmu alam (positivisme) yang diakui kebenarannya, melainkan ilmu-ilmu sosial termasuk didalamnya ilmu teologi pun dapat diakui kebenarannya. Buktinya rumpun ilmu sosial (teologi) dalam ilmu pengetahuan mendapat tempat yang tidak kalah pentingnya dengan ilmu-ilmu alam (disebut ilmu pasti) dan berkembang sampai sekarang. Dari sini jelas bahwa dengan teorinya, Habermas mau menunjukkan bahwa setiap bidang ilmu itu mempunyai batasan dan ruang lingkupnya masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Sehingga para ilmuwan (teolog) dapat memilah dan tidak dengan serta merta mengklaim suatu kebenaran mutlak dalam bidang ilmu tertentu. Untuk itulah refleksi diri sangat diperlukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Refleksi diri memampukan manusia untuk dapat terus membuat pencerahan terhadap pengetahuan dan terhadap dirinya sendiri. Refleksi diri ini (menurut saya) kemudian berkembang dalam ilmu pengetahuan yang diterapkan hampir di seluruh bidang pendidikan, apa yang biasa disebut dengan “evaluasi diri”. “Evaluasi diri” ini dilaksanakan (baik oleh sekolah-sekolah maupun Perguruan Tinggi) setiap 6 bulan sekali sebagai laporan wajib untuk mengetahui perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Evaluasi diri dilaporkan dalam bentuk laporan yang sudah dirangkum selama 1 (satu) semester. Meskipun evaluasi diri ini merupakan program yang sudah ditetapkan oleh lembaga pendidikan di tingkat daerah tertentu, tetapi hal ini bagi saya merupakan sumbangsih teori kritis yang dikembangkan Habermas lewat paradigma baru. Justru dengan evaluasi ini dapat terjalin komunikasi yang baik antar masing-masing bidang pendidikan dan hal ini juga dapat menjadi suatu acauan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Menurut saya inilah penerapan teori kritis Habermas dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia selain beberapa hal yang telah saya sebutkan di atas. Tentulah hal ini berguna dalam ilmu pengetahuan untuk dapat berkembang menjadi lebih baik lagi. Setiap refleksi atau evaluasi bertujuan untuk menjadikan sesuatu lebih baik dan berkembang. Dari sini kritik tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif, melainkan kritik hendaknya dipahami sebagai hal yang dapat membangun serta memberikan kemajuan terlebih khusus dalam bidang pendidikan.

Daftar Pustaka

Hardiman Budi F, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jϋrgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009

———————-, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Kanisius, 2009

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar, 2008

Placher William, Unapologetic Theology A Christian Voice In a Pluralistic Conversation, Kentucky, John Knox Press

Tjahyadi Sindung, Teori Kritis Jurgen Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial, dalam Jurnal Filsafat, 2003, Jilid 34, no 2

http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/24/biografi-jurgen-habermas, diakses 30 November 2020

 

 

[1]     William Placher, Unapologetic Theology A Christian Voice In a Pluralistic Conversation, Kentucky, John Knox Press, hlm. 75

[2]     http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/24/biografi-jurgen-habermas, diakses 30 November 2020

[3]     Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar, 2008, hlm.164

[4]     F Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Kanisius, 2009, hlm. 14

[5]     F Budi Hardiman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jϋrgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009, hlm. 33

[6]     Ibid, hlm. 33

[7]     Sindung Tjahyadi, Teori Kritis Jurgen Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial, dalam Jurnal Filsafat, 2003, Jilid 34, no 2, hlm. 181

[8]     F Budi Hardiman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jϋrgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009, hlm. 191