TERAPI MELUKIS PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
TERAPI MELUKIS PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SEKOLAH ALAM
Lia Mareza
PGSD-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran terapi seni rupa pada anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah satu anak dengan gangguan autis dan satu anak dengan gangguan ADHD. Observasi dilakukan sebelum terapi, tahap perlakuan terapi, dan setelah perlakuan terapi. Peningkatan kemampuan adaptif ditunjukkan oleh subjek pertama yaitu AY dengan gangguan Autis. Peningkatan kemampuan adaptif ditunjukkan oleh subjek ke dua yaitu NF dengan gangguan ADHD. Hal ini menunjukkan terapi seni rupa efektif bagi anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden.
Kata Kunci: Terapi, Anak Berkebutuhan Khusus, Seni Lukis
PENDAHULUAN
Perilaku tiap individu merupakan buah dari kecerdasan, kreativitas, kepribadian dan upaya penyesuaian. Meskipun tiap individu pada umumnya cenderung untuk selalu mengaitkan kreativitas dengan persoalan seni. inspirasi, aspek imajinasi yang sangat berhubungan dengan pengalaman estetis seseorang. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan perhatian khusus agar seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki sebagai individu dapat berkembang dan berfungsi secara maksimal. Penanganan pada anak berkebutuhan khusus membutuhkan kerja sama antar berbagai profesi dan disiplin ilmu. Perlunya dilakukan berbagai upaya strategis dan integral dalam menunjang pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan yang berlaku untuk semua (Education for All) dalam mewujudkan tatanan pendidikan yang mandiri dan berkualitas seperti halnya yang telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses mengajar dan mendidik pada anak berkebutuhan khusus sedikit berbeda dengan anak normal pada umumnya. Orang tua dan guru harus mampu memiliki kemampuan dalam mendeteksi dini terhadap baik potensi maupun keterlambatan perkembangan seorang anak. Hal ini diperlukan agar orang tua dan guru dapat memberikan perlakuan atau langkah intervensi pada anak sehingga mampu memaksimalkan kualitas hidup dan memberi dukungan segala potensi yang dimiliki oleh anak.
Hingga saat ini para ahli masih mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosa pada anak dengan gangguan autis/Asperger atau ADHD. Terkadang bagi masyarakat awam, definisi autisme masih membaur dengan yang disebut dengan Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) dan Kesulitan Belajar (Learning Difficulties). Hal ini disebabkan simptom yang tampak pada anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasive hampir memiliki kesamaan. Terdapat beberapa strategi serta metode yang dapat diterapkan dan dikembangkan bagi anak berkebutuhan khusus. Program intervensi biasanya hanya diterapkan bagi anak berkebutuhan khusus secara individu atau dalam ruangan kelas saja. Anak berkebutuhan khusus diberikan ruang tersendiri dalam proses penanganannya, yang pada akhirnya justru melepaskan dari kebersamaan dengan anak normal pada umumnya. Hal ini secara tidak langsung memperlambat perkembangan dari anak berkebutuhan khusus dalam perkembangannya sebagai anak yang dapat beridir mandiri kelak.
Paradigma umum dalam dunia pendidikan adalah sekolah berkualitas selalu mahal. Infrastruktur seperti bangunan, lapangan olahraga, laboratorium dan sebagainya, hal ini yang terkadang membuat sekolah menjadi mahal. Sedangkan yang membuat sekolah itu berkualitas tidak hanya dinilai dari segi infrastruktur saja. Kontribusi infrastruktur terhadap kualitas pendidikan juga berasal dari kualitas guru, metode belajar yang tepat, dan buku sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Ketiga variabel yang menjadi kualitas pendidikan ini dapat diterapkan pada konsep sekolah alam.
Sekolah alam memiliki program pendidikan yang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Anak diberikan kesempatan untuk belajar dengan caranya sendiri di sekolah alam. Pendekatan yang digunakan dalam konsep sekolah alam yaitu anak diajak untuk melalui serangkaian kegiatan pengamalan dan pengalaman. Hal ini berbeda dengan umumnya pendidikan pada umumnya, yang hanya mempelajari buku pelajaran kemudian kemudian diamalkan.
Kegiatan belajar di alam tetap mengoptimalkan kapasitas akademik anak, hanya melalui metode dan strategi yang berbeda. Anak belajar melalui objek secara langsung, seperti belajar mengenal binatang, tumbuhan, bahkan proses alam secara alamiah, misalnya hukum gravitasi, proses binatang melahirkan, hingga memetk bunga yang dapat dilakukan secara langsung tidak sekedar gambar ataupun bacaan. Ruangan kelas tidak dibatasi oleh tembok dan jendela, namun anak langsung belajar bertempat di sebuah pendopo ruangan terbuka sehingga menyatu dengan lingkungan alam.
Salah satu sekolah alam yang terdapat di Kabupaten Banyumas yaitu sekolah alam Baturaden, yang terletak di wilayah lokawisata Baturaden. Sekolah alam ini membuka kelas Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak, dan Sekolah Dasar. Sekolah ini memiliki visi bahwa setiap anak adalah unik dan potensial, serta memiliki hak yang sama untuk belajar dan memperoleh pendidikan, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus.
Sekolah alam ini mengembangkan suatu bentuk terapi yang berbeda dengan terapi yang pada umumnya diberikan di sekolah luar biasa, klinik terapi, rumah sakit,ataupun sekolah-sekolah inklusi lainnya. Sekolah Alam Baturaden mengembangkan suatu bentuk terapi yang menyeluruh dan terintegrasi dengan tujuan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dan kurikulum sekolah alam. Sekolah mengadakan berbagai terapi hanya saja belum menjalankan terapi seni salah satunya yaitu terapi melukis bagi anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan terapi melukis bagi anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi melukis efektif bagi anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden.
METODE PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah dua anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden berusia 10 tahun. Subjek yang pertama adalah AY berjenis kelamin laki-laki, dengan permasalahan gangguan autis. Subjek yang ke dua adalah NF berjenis kelamin laki-laki dengan permasalahan gangguan ADHD. Subjek AY didiagnosa autis oleh Psikolog berdasarkan diagnosa pada DSM IV-R (Diagnostic and Statistical of Mental Disorder edisi Revisi, 2005), kontak sosial yang sangat lemah, seringkali tidak ada kontak mata, dan hanyut pada dunianya sendiri.
Subjek NF didiagnosa ADHD oleh Psikolog berdasarkan acuan diagnosa pada DSM IV-R (Diagnostic and Statistical of Mental Disorder edisi Revisi, 2005). Fungsi bahasa yang sangat lemah sehingga terkadang subjek tidak mampu melakukan proses komunikasi dua arah dengan orang lain. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi atau pengamatan mendalam pada dua subjek penelitian. metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh gambaran yang rinci mengenai aspek-aspek psikologis seorang anak atau sekelompok anak tertentu (Muhibbinsyah, 2001). Fenomena yang akan diteliti adalah respons subjek penelitian terhadap terapi seni lukis yang berkaitan dengan kemampuan ketrampilan sosial subjek sebagai wujud kemampuan akademik pada perlakuan (treatment) aktivitas melukis yang diberikan selama penelitian berlangsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
AY
Usia                    : 10 tahun
Jenis kelamin       : Laki-laki
Gangguan            : Autis
Subjek AY didiagnosa Autis sejak sebelum sekolah di Sekolah Alam. Sebelumnya AY pernah didiagnosa Gifted oleh dokter spesialis anak sebelumnya, saat AY masih tinggal di Jakarta. AY memiliki kepeminatan pada hal yang identic dengan teknik akhir-akhir ini, AY akan sangat fokus jika diberikan handphone, komputer, ipad, atau laptop.
NF
Usia                    : 11 tahun
Jenis kelamin       : Laki-laki
Gangguan            : ADHD
Subjek NF didiagnosa ADHD sejak sebelum sekolah di Sekolah Alam. NF dari komunikasi dan kemampuan motoriknya lebih terbatas daripada AY. NF memiliki kemampuan menghafal yang sangat detail, terutama pada alat transportasi. NF mampu menyebutkan semua jenis transportasi kereta dan bis sesuai dengan bentuknya. Pada proses melukis kedua subjek kecenderungan memunculkan objek-objek dalam bentuk-bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, dan persegi, hampir pada kedua subjek dan setiap sesi muncul. Visualisasinya tampak dalam berbagai gaya. pada awal sesi terapi keduanya cenderung melukiskan bentuk-bentuk yang absurd, namun pada sesi terapi selanjutnya, keduanya lebih mampu menampilkan beberapa bentuk yang dapat diidentifikasi, meskipun jika dilihat berdasarkan komposisinya masih terlihat absurd.
Pada proses aktivitas melukis, subjek mampu mengendalikan dirinya ketika sedang kesal/belum mood dan dapat mengatasi rasa cemas karena harus berdekatan dengan orang yang belum lama dikenalnya, atau bahkan marah hingga ngamuk karena belum terbiasa dengan instruksi selain guru. Hal ini memperlihatkan bahwa subjek mulai mampu meregulasi emosi negatifnya. (Reivich dan Shatte, 2002).
Salah satu capaian hasil yang sangat berpengaruh terhadap tercapainya target pokok perlakuan ini yaitu, kemauan subjek untuk berinteraksi lebih dekat dengan terapis dan tidak menghindar jika didekati. Hal tersebut ditunjukkan dalam hasil respons subjek pada hampir semua perlakuan. Aktivitas melukis yang bagi subjek dirasa menyenangkan seperti mencorat-coret kertas kemudian mencampur warna yang ditunjukkan oleh peneliti. Dengan adanya kesan yang menyenangkan dalam suatu aktivitas melukis, maka subjek akan lebih mudah untuk diajak berkomunikasi atau bekerjasama. Hasil yang didapatkan selama aktivitas melukis yaitu terciptanya bentuk kerjasama atau hubungan yang baik dalam suatu aktivitas melukis seperti menggambar bersama dalam rangka menumbuhkan rasa percaya diri dan kepercayaan subjek kepada peneliti. Ketika subjek sudah memiliki kepercayaan kepada peneliti, maka penyampaian materi akan lebih mudah untuk dilakukan, anak mulai bercerita dan dan berkomunikasi dengan peneliti melalui gambar (Kim & Ki, 2014). Subjek akan cenderung lebih mudah menangkap instruksi yang disampaikan oleh peneliti dan proses belajar dapat berjalan dengan baik. Asumsi ini dapat didukung oleh Djohan (2003), yang menyebutkan bahwa dengan bantuan alat seni, subjek akan didorong untuk berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan atau aktif bermain, tanpa harus mengucapkan kata-kata.
SIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian terapi melukis pada anak berkebutuhan khusus di Sekolah Alam Baturaden. Peningkatan kemampuan adaptif ditunjukkan oleh subjek pertama yaitu AY dengan gangguan Autis. Peningkatan kemampuan adaptif ditunjukkan oleh subjek ke dua yaitu NF dengan gangguan ADHD. Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengajukan saran kepada Guru, pendidik, ataupun pendamping anak berkebutuhan khusus, terapis, Psikolog, Dokter, orangtua, dan masyarakat dalam menangani dan memperlakukan anak berkebutuhan khusus. Gunakan selalu prinsip penerimaan tanpa syarat. Aktivitas terapi seni mungkin bagi masyarakat awam hanya terlihat seperti aktivitas kelas atau kursus seni rupa pada umumnya, namun sebenarnya terdapat perbedaan. Aktivitas terapi seni proses kreatif lebih dipentingkan daripada kemampuan individu dalam menghasilkan karya seni yang sesungguhnya. Tujuan terapi seni bukanlah untuk menghasilkan karya seni yang estetik, ataupun untuk mengasah bakat untuk menghasilkan seorang seniman, akan tetapi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh terapi seni adalah untuk membantu subjek agar merasa lebih nyaman terhadap dirinya sendiri. Penanganan anak berkebutuhan khusus tidak dapat diselesaikan hanya dari satu pendekatan atau satu profesi saja. Permasalahan anak berkebutuhan khusus membutuhkan upaya terpadu dari orangtua dan keluarga terutama, terapis dan pelaksanaan terapi, sekolah dan setiap iklim positif yang terbangun di dalam sekolah. Penanganan anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan diagnosa serta pengukuran yang tepat, terarah, detil, dan berkelanjutan dari yang professional.
REFERENSI
http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003-Sisdiknas.pdf diakses pada tanggal 12 November 2016 pukul 17.04 WIB
Djohan. 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.
Hallahan, D. P & Kauffman, J. M. 1988. Exeptional Children. New Jersey: Prentice Hall
Hurlock, E.B. 1997. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kim, S. & Ki, J. (2014). A Case Study on The Effects of The Creative Art Therapy with Stretching and Walking Meditation-Focusing On The Improvement of Emotional Expression and Alleviation of Somatisation Symptoms in A Neurasthenic Adolescent. The Art in Psychotherapy, 41, 71-78.
Muhibbinsyah.2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Reivich, K. dan Shatte, A. 2002. The Resilience Factor: 7 Essential skills For Overcoming Lifes Inevitable Obstacles. New York: Broadway Books.
Lia Mareza, memperoleh gelar S.Sn dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan M.A dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini sebagai staff pengajar Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.