Upacara Hukum Adat Dolop Suku Dayak Agabag Desa Salang
UPACARA HUKUM ADAT DOLOP
SUKU DAYAK AGABAG DESA SALANG KECAMATAN TULIN ONSOI KABUPATEN NUNUKAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA
Kezia Utari
Sunardi
Emy Wuryani
Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Masyarakat Dayak masih memegang teguh dengan kepercayaan animisme dan budaya aslinya. Mereka percaya bahwa disetiap tempat tertentu ada penguasanya. Salah satu suku Dayak yang demikian ialah suku Dayak Agabag. Suku Dayak ini masih kental dengan budaya, tradisi dan upacara turun-temurun yang diyakini bisa membantu dalam menyelesaikan masalah dengan hukum adat. Upacara hukum adat sendiri dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu oleh masyarakat yang terlibat dalam masalah. Upacara hukum adat ini disebut Dolop. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara hukum adat Dolop dan makna yang terkandung dalam upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian adalah Upacara hukum adat Dolop merupakan serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Agabag di Desa Salang. Upacara hukum adat Dolop adalah penghakiman terakhir atau dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara dalam menyelesaikan suatu masalah.
Kata Kunci: Masyarakat, Kebudayaan, Upacara Hukum Adat Dolop.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terdiri dari berbagai pulau dan sejumlah propinsi yang memiliki beragam suku yang menjadikan Indonesia memiliki ragam budaya dan yang berbeda-beda dengan ciri khasnya masing-masing. Setiap daerah yang masih menjaga dan melestarikan budaya juga memiliki hukum yang mengatur tentang tatanan kehidupan yang disebut dengan hukum adat. Kebudayaan merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang unik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Oleh karena itu, di jaman modern seperti sekarang masyarakat harus mampu mempertahankan tradisi kebudayaannya dan melestarikannya untuk menjadi sarana kebudayaan nasional.
Upacara dan kebudayaan merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang berkaitan dengan pengungkapan rasa kesenian serta keindahan. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari kesenian dan keindahan sepanjang hidupnya, karena itu manusia tidak dapat dipisahkan dari kesenian dan upacara adat. Dalam ruang lingkup bermasyarakat, kebudayaan merupakan suatu objek yang harus diperhatikan perkembangan dan perubahannya.
Banyak orang berpikir bahwa suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya suku Dayak terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-keompok kecil. Setiap sub suku memiliki budaya unik dan memberi ciri khas tersendiri pada masyarakat di berbagai daerah. Suku Dayak merupakan suku yang terbesar di pulau Kalimantan. Meskipun demikian tidak semua penduduk pedalaman Kalimantan adalah orang Dayak, kerena telah berbaur dengan penduduk dari suku lain akibat perkawinan campur. Walaupun demikian, tradisi lama dalam hidup masyarakat Dayak masih melekat erat tidak hanya dalam bahasa, gerak-gerik, simbol, ritus, serta gaya hidup.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh dengan kepercayaan animisme dan budaya aslinya. Mereka percaya bahwa di setiap tempat tertentu ada penguasanya. Salah satu suku Dayak yang demikian ialah suku Dayak Agabag. Suku Dayak ini masih kental dengan budaya, tradisi dan upacara turun-temurun yang diyakini bisa membantu dalam menyelesaikan masalah dengan hukum adat. Upacara hukum adat ini sendiri dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu oleh masyarakat yang terlibat dalam masalah. Pada masyarakat Dayak Agabag ada hukum adat yang telah diberikan dan diwariskan dari para leluhurnya. Upacara huum adat ini disebut Dolop. Salah satu Desa yang menjadi tempat tinggal masyarakat suku Dayak Agabag dengan upacara Dolop ialah Desa Salang. Desa Salang terletak di Kecamatan Tulin Onsoi Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara, masyarakatnya masih percaya pada hukum adat untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang terjadi diantara mereka. Masalah tersebut juga harus diselesaikan secara adat yang menurut masyarakat sangat tepat. Bagi masyarakat suku Dayak Agabag hukum adat Dolop merupakan penghakiman terakhir dalam menyelesaikan suatu masalah. Rumusan masalah penelitian adalah bagaimanakah prosesi upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag, apa makna yang terkandung dalam upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag. Adapun tujuan penelitian adalah mendeskripsikan prosesi upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag, menjelaskan makna yang terkandung dalam upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag.
KAJIAN TEORI
Menurut Koentjaraningrat (1974:19), kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddayahâ€, dalam bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Sementara klarifikasi tentang perkembangan kebudayaan tidak akan pernah tuntas tanpa aspek-aspek sosiologinya. Senada yang dikemukakan Widiarto (2009:10), kebudayaan adalah salah satu dari hasil daya pikir manusia dan kemudian akan dieksplorasikan melalui aspirasi masyarakat melalui tradisi.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan Undang-Undang, yang meliputi peraturan hidup, dan meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Secara positif, hukum adat yang tumbuh dan berkembang di negara, yang terdiri atas beragam suku bangsa dan adat istiadat, bisa dijadikan sumber rujukan, kebijakan, dan pendekatan dalam melaksanakan hukum positif (Hadikusuma 2003: 32).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksakan pada tanggal 13 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 19 Agustus 2018 di desa Salang kecamatan Tulin Onsoi kabupaten Nunukan propinsi Kalimantan Utara. Teknik pengambilan data melalui wawancara bebas terpimpin kepada ketua adat suku Dayak Agabag, tokoh yang terlibat, dan kepala Desa Salang. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang upacara hukum adat Dolop suku Dayak Agabag Dokumentasi berupa foto-foto hasil wawancara dan upacara Dolop. Studi kepustakaan diperoleh dari buku-buku, skripsi, jurnal yang berhubungan dengan masalah yang dibahas untuk mendapatkan landasan teori dan konsep-konsep dalam penulisan ini. Studi pustaka tersebut dilakukan di perpustakaan Unuversitas Kristen Satya Wacana. Analisis data merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengumpulan data. Perolehan data diolah dan dianalisis kembali untuk mendapatkan gambaran yang kongkrit dan jelas mengenai Upacara Hukum Adat Dolop. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif, yakni data dianalisis dengan memaparkan data-data yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh di lapangan. Seluruh hasil analisis dikemas dalam sebuah laporan yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANDesa Salang
Desa Salang merupakan salah satu dari 12 desa di Kecamatan Tulin Onsoi Kabupaten Nunukan dengan luas wilayah 6.012 Ha. Desa Salang memiliki 525 Kepala Keluarga yang terdiri dari 4 Rukun Tetangga. Batas wilayah desa Salang di sebelah Utara desa Tinampak I, di sebelah Selatan desa Tembalang, di sebelah Timur desa Semenggaris, dan di sebelah Barat Desa Tinampak II. Jarak tempuh dari desa Salang ke kota Kecamatan sekitar 45 menit (Arsip desa, 2018). Penduduk desa Salang terdiri dari karyawan pabrik, pedagang dan petani. Sebagian besar masyarakatnya memiliki usaha perkebunan kelapa sawit yang saat ini dapat dikatakan hasilnya sangat menguntungkan dan memuaskan. Sebagian lagi menanam singkong yang merupakan makanan pokok Suku Dayak Agabag. Dan sebagiannya bekerja sebagai Pegawai Negeri.
Sosial Budaya
Dalam kehidupan sosial sehari-hari masyarakat suku Dayak Agabag dibatasi oleh hukum yaitu hukum adat. Hukum adat memegang peranan penting bagi kehidupuan masyarakat suku Dayak Agabag karena hukum adat suku Dayak Agabag mengatur segala hal yang berhubungan dengan tata keharmonisan kehidupan bersama. Hukum adat suku Dayak Agabag sudah berlangsung dari nenek moyang masyarakat suku Dayak Agabag dan ditaati oleh masyarakat suku Dayak Agabag sampai sekarang. Pelestarian hukum adat dari awal sampai sekarang dengan cara mengingat setiap permasalahan yang diselesaikan dan apabila hal tersebut terjadi lagi baik kepada orang yang sama atau pada orang lain putusan atau denda yang pernah dijatuhkan kepada orang yang terdahulu akan diambil acuan untuk mejatuhkan denda, hal ini juga tergantung dengan wilayah ketua adat atau ketua adat besar yang memutuskan. Hukum adat suku Dayak Agabag masih dihormati oleh masyarakat suku Dayak Agabag hal ini terlihat pada banyaknya kasus yang diselesaikan oleh lembaga adat, mulai dari kasus pencurian, perkawinan, perceraian, pereselingkuhan sampai pada kasus pembunuhan akan diselesaikan oleh lembaga adat. Di kehidupan masyarakat suku Dayak Agabag hukum adat sangat penting. Selain menjadi kepercayaan hukum adat merupakan salah satu cara yang mampu meciptakan keharmonisan dalam berinteraksi. Suku Dayak Agabag memandang bahwa hukum adat sangat real bertujuan untuk memdamaikan suatu masalah yang terjadi diantara masyarakat yang satu dengan masayarakat yang lainnya.
Pengertian dan Pemahaman Tentang Upacara Hukum Adat Dolop
Upacara Dolop adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Agabag tepatnya di desa Salang. Menurut masyarakat Suku Dayak Agabag, Upacara Dolop adalah penghakiman terakhir atau dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara dalam menyelesaikan suatu masalah contohnya, pencurian uang. Bagi masyarakat Dayak Agabag upacara Dolop dianggap sangat sakral artinya, upacara Dolop tidak dilakukan dengan sembarangan karena memiliki resiko yang sangat tinggi. Upacara ini hanya dilakukan pada waktu tertentu atau dilakukan saat kedua pihak memiliki suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Upacara Dolop dapat terjadi apabila keputusan dari Ketua Adat dan persetujuan dari keluarga kedua pihak. Dolop artinya sumpah kepada roh-roh jahat untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang bersalah. Dolop sangat dipercayai oleh masyarakat Suku Dayak Agabag karena bagi masyarakat upacara Dolop mampu membuktikan suatu kebenaran, hal ini dibuktikan setiap kali dilaksanakan Upacara Dolop.
Peran hukum adat Dolop dalam mengadili siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah sebenarnya sebagai media komunikasi dalam masyarakat Suku Dayak Agabag untuk meyelesaikan permasalahan yang terjadi karena mengedepankan tentang nilai kejujuran dan media pencari kebenaran. Melalui Dolop masyarakat Dayak Agabag mampu menyelesaiakan masalah yang berakibat konflik sesuai dengan fakta yang terjadi. Upacara Dolop dilakukan dengan cara menyelam ke dalam air sungai yang mengalir atau dalam bahasa Dayaknya Siyang Mayo. Dolop merupakan salah satu budaya Dayak Agabag yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Dalam menggelar upacara ini membutuhkan biaya yang besar untuk menyediakan tebusan bagi yang terbukti bersalah. Pihak yang kalah dalam persidangan ini harus membayar tebusan berupa guci antik dengan harga yang sangat mahal atau hewan ternak yang memiliki harga sesuai kesepakatan sebelumnya, diberikan kepada pihak yang menang dalam persidangan adat Dolop.
Dalam upacara ini ada pemanggilan roh ghaib atau mahkluk halus bertujuan untuk mendatangkan semua roh leluhur yang baik yang ada di darat maupun di sungai. Inti dari pemanggilan roh-roh leluhur ini pada dasarnya adalah meminta ijin kepada alam agar dapat mengadili para pelaku dengan seadil-adilnya.
Dalam melaksanakan upacara ini Ketua Adat harus menyiapkan beberapa persyaratan khusus yang akan digunakan. Diantaranya persyaratan yang dibutuhkan adalah kayu rambutan hutan atau biasa disebut Kalambuku, beras kuning, kain kuning, dan batang pisang.
Kegunaan Persyaratan dalam Upacara Dolop
Beberapa persyaratan dalam upacara Dolop sebagai berikut:
1. Kayu kalambuku berfungsi sebagai pegangan oleh kedua belah pihak yang bermasalah saat menyelam.
2. Beras kuning berfungsi sebagai sajian/makanan dengan cara dihambur ke sungai untuk diberikan kepada penghuni sungai dan tanah (setan) sebagai bentuk ijin untuk melakukan ritual. Beras kuning juga berfungsi untuk memanggil penghuni sungai agar dapat menyaksikan proses ritual Dolop tersebut. Beras kuning ini berasal dari beras yang dicampurkan dengan kunyit.
3. Batang pisang berfungsi untuk memukul tanah agar tanah yang berada di pinggiran sungai tidak longsor.
4. Kain berwarna kuning berfungsi sebagai aksesoris atau tali pinggang yang dipakai oleh orang yang dituakan atau dipercayakan untuk untuk memimpin proses ritual Dolop.
Prosesi Upacara Dolop
Upacara Dolop biasanya dilakukan pada siang menjelang sore hari. Tempat pelaksanaan upacara adat Dolop di sungai besar yang cukup dalam. Menurut kepercayaan suku Dayak Agabag sungai besar berperan untuk menyelamatkan desa dari bencana dan sumpah roh jahat para leluhur.
Setelah Ketua Adat memutuskan untuk menyelesaikan masalah antara keluarga JK dan keluarga SH dalam kasus pencurian uang dengan upacara Dolop, maka pihak-pihak yang bertikai dibawa oleh Ketua Adat ke sungai, tempat dilangsungkannya upacara Dolop. Selain didatangi oleh kedua belah pihak serta keluraga yang bertikai dan Ketua Adat juga disaksikan oleh masyarakat setempat. Kemudian kedua belah pihak yang bermasalah, para sanksi, dan pawang/pemimpin proses dolop, datang ke tempat itu (lokasi tempat dolop).
Di tengah sungai tersebut ditancapkan dua buah kayu kalambuku dengan kedalaman satu meter. Kayu ini menjadi tonggak atau tempat berpegangan orang yang diadili. Setelah itu sesepuh yang memimpin upacara ini melakukan pemanggilan roh para leluhur dengan menggunakan persyaratan yang telah disiapkan sebelumya yaitu: kayu kalambuku (kayu rambutan hutan), beras kuning, kain kuning, dan batang pisang. Kemudian sesepuh yang memimpin upacara ini memanggil kedua orang yang diadili untuk menuju kayu yang sudah ditancapkan dan masing-masing pihak memegang kayu tersebut sesuai arahan.
Setelah itu pemimpin upacara mengambil beras kuning lalu membaca mantera (aguwok uwok) sambil menghamburkan beras kuning di sekitar kedua orang tersebut sebelum kedua orang itu menyelam. Penghamburan beras kuning ini dilakukan sebagai tanda bahwa pemimpin upacara memberi makan kepada roh para leluhur agar kedua pihak yang diadili tidak diganggu oleh roh para leluhur yang telah dipanggil. Setelah menghambur beras kuning, pemimpin upacara mengambil batang pisang dan memukulkan batang pisang itu ke tanah sebanyak tujuh kali, tanda bahwa upacara Dolop siap dilaksanakan. Kemudian setelah dirasakan jika roh para leluhur telah hadir, pemimpin upacara menyuruh kedua pihak menyelam ke dalam air sungai sambil berpegangan pada tonggak yang telah ditentukan bagi masing-masing pihak. Selanjutnya kedua belah pihak menyelam (tumolop) kedalam air secara bersama. Penyelaman tersebut tidak ditentukan oleh waktu.
Dalam prosesi upacara Dolop ini dipercayai bahwa bagi siapapun yang mengikuti upacara namun sama sekali tidak bersalah maka tidak akan terjadi sesuatu selama menyelam di dalam air sungai. Meskipun orang tersebut sedang menyelam tetapi masih bisa bernafas secara normal dalam waktu yang lama bahkan sampai berhari-hari dan tetap selamat tanpa cidera. Berbeda halnya dengan pihak yang bersalah ketika mengikuti prosesi upacara ini, meskipun sudah terbiasa menyelam, dijamin tidak akan mampu bertahan lama di dalam air. Jika orang tersebut nekad bertahan untuk tidak keluar dari dalam sungai, maka dapat dipastikan orang tersebut mendapat celaka dan cidera. Orang yang bersalah, selama menyelam di dalam sungai akan mendapat gangguan dari roh para leluhur dan juga hewan-hewan sungai berupa: ular, ikan, buaya bahkan tanah maupun lumpur dan pasir akan menyerang masuk ke dalam tubuh mereka yang bersalah. Jika salah satu diantaranya keluar dari dalam air, maka orang itu lah yang dinyatakan bersalah.†Setelah yang bersalah timbul, pastinya yang tidak bersalah masih di dalam air lalu salah seorang harus menarik orang tersebut. Upacara ini selesai, Ketua Adat menyuruh pihak yang bersalah ini meminta maaf kepada pihak yang tidak bersalah serta keluarganya dan wajib memberikan barang tebusan atau ganti rugi berupa guci antik dengan harga yang sangat mahal atau hewan ternak yang memiliki harga sesuai kesepakatan sebelumnya.Makna yang Terkandung dalam Upacara Dolop
Dari berbagai tindakan yang telah dilakukan nampak bahwa upacara hukum adat Dolop merupakan adat yang menunjukkan kebenaran sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan dan merasa tidak adil. Secara tidak langsung masyarakat Dayak Agabag masih mempercayai adanya pengaruh dan perlindungan nenek moyang. Upacara hukum adat Dolop merupakan media komunikasi alternatif terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan mencari sebuah kebenaran. Masyarakat Suku Dayak Agabag sangat mengedepankan tentang nilai kejujuran. Dalam menyelesaiakan permasalahan yang terjadi dan kebenaran yang terungkap dalam proses penyelesaian peradilan adalah kejujuran yang sesungguhnya, segala persoalan yang diselesaikan melalui Dolop dapat mengembalikan keharmonisan dalam kehidupam bermasyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Upacara Dolop adalah penghakiman terakhir atau dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara dalam menyelesaikan suatu masalah. Peran hukum adat Dolop dalam mengadili siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah sebenarnya sebagai media komunikasi dalam masyarakat Suku Dayak Agabag untuk meyelesaikan permasalahan yang terjadi karena mengedepankan tentang nilai kejujuran dan media pencari kebenaran.
Makna yang terkandung dalam upacara hukum adat dolop adalah upacara hukum adat Dolop merupakan adat yang menunjukkan kebenaran sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan dan merasa tidak adil.
Saran
1. Kepada masyarakat Desa Salang diharapkan agar tetap mempertahankan dan melestarikan upacara hukum adat Dolop.
2. Penatua dan Ketua Adat agar dapat memberikan pengertian kepada generasi muda di Desa Salang tentang arti penting dari upacara hukum Dolop.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Wulansari C. 2010. Hukum Adat Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.
Hasan, Hambali. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Pariwisata Alam Kepercayaan Daerah Sumatra Selatan. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentaliet Dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
______. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Moleong, J. Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.