Culture Shock Dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Timor Leste Di Universitas Kristen Satya Wacana
CULTURE SHOCK DAN ADAPTASI BUDAYA
MAHASISWA TIMOR LESTE
DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Novriani Monika Wangka
Prodi Manajemen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera
ABSTRACT
This study aims to determine the Culture Shock and Culture Adaptation of Timor Leste and Java students at Satya Wacana Christian University. This study used a qualitative approach. The informants were taken in this study is the Timor Leste students who studying in academic year 2013-2014 at SWCU. The key informants were selected using purposive method. Consider students which studying at economics faculty and business management and accounting in collage more than one semesters are six students. The results of this study found that all informants students from Timor Leste are experience culture shock. The negative effect experienced by student from Timor Leste when adapting is the loss of confidence, desperate dont know what to do, and stress that causes a fever and colds. To overcome culture shock, Timor Leste students prepare a strategy that is adjusted to new environment by means of individual adaptation consists of two anticipatory adaptation measures, that is anticipatory adjustment and self efficacy.
Keywords: Culture shock, cultural adaptation, students of Timor Leste.
Pendahuluan
Menempuh pendidikan tinggi merupakan impian banyak orang. Pandian, (2008) hasrat ini didasari oleh sejumlah tujuan, mulai dari memperoleh pengalaman baru, bahkan untuk memperoleh pendidikan pada sebuah universitas yang berkualitas. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) merupakan salah satu universitas kristen yang ada di Jawa Tengah (Salatiga). Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dijuluki sebagai kampus Indonesia mini, dikarenakan UKSW memiliki mahasiswa yang berasal dari sabang sampai merauke. Dalam artian bahwa mahasiswa UKSW tidak hanya berasal dari Indonesia saja melainkan dari berbagai daerah, pulau, kota, propinsi bahkan ada yang berasal dari luar Negara Republik Indonesia salah satunya adalah mahasiswa asal Timor Leste. Berdasarkan data Biro Kemahasiswaan dan Administrasi Program Pascasarjana UKSW tahun 2014, diketahui mahasiwa asing (luar Indonesia) yang kuliah di UKSW berjumlah lima puluh empat orang, lima belas orang diantaranya adalah mahasiwa yang berasal dari Timor Leste. Dari kelima belas orang tersebut, enam orang diantaranya kuliah di fakultas ekonomika dan bisnis progdi magister manajemen dan magister akuntansi, (data di dapat pada tanggal 09 Oktober 2014).
Kedatangan mahasiswa asal Timor Leste ke Indonesia (UKSW), secara langgsung akan memberikan dampak positif. Adapun dampak positif yang dimaksdukan adalah Indonesia (UKSW) kaya akan kebudayaan. Namun, apabilah keberagaman kebudayaan ini tidak dikelola dengan baik maka bisa berdampak pada hal yang negatif salah satunya adalah culture shock. Adler, (2002) mengungkapkan bahwa culture shock adalah goncangan yang dialami oleh individu ketika keluar dari negara asalnya. Gajdzik (2005) menemukan bahwa mahasiswa manapun, baik tingkat sarjana maupun pasca sarjana, mahasiswa domestik maupun asing, pasti menghadapi sejumlah persoalan dalam transisi ketika memasuki perguruan tinggi. Permasalahan yang lazim ditemui meliputi tekanan akademik, permasalahan finansial, rasa kesepian, konflik antar pribadi, kesulitan menghadapin perubahan dan permasalahan mengembangkan otonomi pribadi. Selanjutnya, Khawaja dan Dempsey (2007), sejumlah persoalan ini akan lebih berat untuk dihadapi oleh seorang mahasiswa apabilah mahasiswa tersebut tidak memiliki kemampuan dalam mengatasi sejumlah persolan dalam proses penyesuaian. Hal ini sejalan dengan Poyrazil, et al. (2001) menemukan bahwa persoalan ketidakmampuan individu ketika beradaptasi di lingkungan yang baru akan memberikan gangguan psikologis. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka dibutuhkan kesiapan dari setiap individu agar dapat melakukan tindakan penyesuaian atau adaptasi budaya.
Berdasarkan hasil survey terhadap keenam orang mahasiswa yang dijadikan informan, semuanya menjelaskan bahwa mereka sulit beradaptasi di lingkungan UKSW, dikarenakan UKSW memiliki beragam kebudayaan yang membedahkan antara daerah yang satu dengan lainnya. Selain itu tidak ada pelatihan yang diterima oleh mahasiswa asal Timor Leste ketika memasuki lingkungan UKSW. Dengan perbedaan budaya seperti ini memungkinkan mahasiswa dapat mengalami culture shock ketika beradaptasi dilingkungan Universitas Kristen Satya Wacana.
Banyak riset yang membahas mengenai culture shock seperti Indrianie, 2012 yang dikembangkan dari berbagai pendekatan yang berbeda, namun ternyata ditemukan adanya hasil yang konsisten yaitu bahwa banyak mahasiswa yang gagal dalam proses perkuliahan, kegagalan ini bukan karena ketidakmampuan kompetensi teknik namun ketidakmampuan (inability) menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kegagalan adaptasi ini terjadi karena setiap negara mempunyai kondisi lingkungan makro yang berbeda satu dengan yang lain. Terutama negara maju (developed country) dan negara sedang berkembang (developing country) mempunyai kondisi yang berbeda. Maka mahasiswa yang datang belajar di negara maju (developed country) dan negara sedang berkembang (developing country) mempunyai kondisi yang berbeda pula. Namun beberapa penelitian tentang adaptasi budaya yang telah dilakukan di negara maju (developed country) menemukan hasil adaptasi yang sama, bahwa saat kedatangan individu ke lingkungan yang baru, individu akan melakukan penyesuaian terhadap tiga dimensi adaptasi yang disebut in-country adjustment diantaranya work adjustment, general adjustment dan interaction adjustment (Vance and Paik, 2006). Selanjutnya ada penelitian lain yang mengembangkan hasil penelitian diatas seperti yang dilakukan oleh Oberg., 1960, Tanggulungan, 2009, menemukan bahwa ketika individu melakukan penyesuaian terhadap ke tiga dimensi diatas maka individu akan mengalami 4 tahapan dalam adaptasi yang dimulai dengan tahapan honeymoon, culture shock, recovery, dan adjusment yang disebut “the U curve theory of adjustment. Walaupun demikian penelitian lain yang dilakukan oleh Marx 1999, (dalam Oberg, 1960) menemukan hasil yang berbeda bahwa, tahapan adaptasi dimulai dari tahap honeymoon, culture shock, recovery, culture shock dan breaking through.
Dari hasil penelitian terdahulu mengenai culture shock serta tahapan adaptasi dapat diasumsikan bahwa masih ada kontradiktif dalam hasil penelitian tentang culture shock dan tahapan adaptasi (phases of adaptation). Selain itu, penelitian ini berangkat dari adanya perbedaan budaya antara mahasiswa asal Timor Leste dengan Indonesia khususnya mahasiswa yang kuliah di UKSW yang memungkinkan peluang terjadinya culture shock, namun minat untuk membahas mengenai culture shock serta adaptasi budaya di kalangan mahasiswa lebih khusus di negara Indonesia belum banyak ditemui. Padahal, culture shock dapat terjadi kepada setiap mahasiswa ketika memasuki lingkungan yang baru, jalan satu-satunya adalah adaptasi budaya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini 1) Apakah sebagian besar mahasiswa asal Timor Leste mengalami culture shock ketika beradaptasi di lingkungan UKSW, dan faktor-faktor apa yang menyebab mahasiswa Timor Leste mengalami culture shock? 2) Apa saja dampak negatif dari culture shock yang dialami mahasiswa asal Timor Leste ketika beradaptasi di lingkungan UKSW? 3) Strategi apa yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste agar dapat beradaptasi di lingkungan UKSW dalam rangka mengatasi culture shock? Dengan demikian tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1) Untuk menganalisis apakah mahasiswa asal Timor Leste mengalami culture shock ketika beradaptasi di lingkungan UKSW, dan faktor-faktor apa yang menyebabkan mahasiswa Timor Leste mengalami culture shock. 2) Untuk mengetahui dampak negatif dari culture shock yang dialami mahasiswa asal Timor Leste ketika beradaptasi di lingkungan UKSW? 3) Untuk menjelaskan strategi yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste agar dapat beradaptasi di lingkungan UKSW dalam rangka mengatasi culture shock.
Telaah Pustaka
culture shock adalah goncangan yang dialami oleh individu ketika keluar dari lingkungan asalnya Adler,(2002). Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa culture shock memberikan dampak negatif berupa ketidaknyaman fisik dan emosional yang di alami individu ketika datang dan tinggal di negara lain atau disuatu tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Kebanyakan individu mengalaminya bila memasuki budaya yang baru dan berbeda. Swenee dan Mc. Ferlin (2002), budaya secara ideal mengkomunikasikan secara jelas pesan-pesan tentang bagaimana melakukan suatu tindakan, berperilaku di sekitar sini (how we do things around here). Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan tersebut dapat dinyatakan bahwa budaya merupakan cara hidup termasuk didalamnya cara berpikir, bertindak, dan sebagainya dalam suatu komunitas tertentu, baik dalam bentuk organisasi perusahaan maupun masyarakat, sehingga membedahkan suatu komunitas dengan yang lainya. Dengan adanya perbedaan seperti ini, memungkinkan individu yang datang disuatu lingkungan dalam jangka waktu tertentu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami gegar budaya atau culture shock. Untuk mengindari implikasi yang negatif adaptasi budaya perlu untuk dilakukan.
Gudykunst, (2002) adaptasi budaya merupakan suatu proses panjang untuk memperoleh kenyamanan ketika berada dalam suatu lingkungan yang baru. Hal ini sejalan dengan Suparlan, (2004) menjeÂlaskan adaptasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sosial atau sekunder (berkomuÂnikasi dengan sesama, pendidikan, kontrol sosial, dan sebagainya) dan untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa individu yang datang ke lingkungan yang baru akan melakukan penyesuaian terhadap tiga dimensi adaptasi yang disebut in-country adjustment diantaranya work adjustment, general adjustment dan interaction adjustment (Vance and Paik, 2006). Selanjutnya Oberg., 1960 (dalam ward, dkk., 2001) menemukan bahwa ketika individu melakukan penyesuaian terhadap ke tiga dimensi diatas maka individu akan mengalami 4 tahap dalam adaptasi yaitu: honeymoon, culture shock, recovery dan adjustment yang disebut “the U curve theory of adjustmentâ€.
Adapun tahapan ini dimulai dari tahap bulan madu (honeymoon) dalam waktu beberapa hari atau minggu yang ditandai dengan perasaan terpesona, antusias, senang, adanya hubungan yang baik dengan tuan rumah (host country). Lalu tingkat krisis yang disebut culture shock, tahap ini dimulai jika individu atau group tersebut telah menetap dalam waktu yang lama. Terdapat bermacam-macam kesulitan untuk dapat hidup ditempat yang baru seperti kesulitan bekerja secara optimal, tidak dapat mengekspresikan perasaannya dalam bahasa lisan (bahasa verbal) yang benar, kesulitan dalam bergaul karena persoalan bahasa, adanya nilai-nilai yang berbenturan dengan kepercayaan atau kebiasaan yang dianut. Tingkat berikutnya adalah tahap penyembuhan (recovery), dalam tahap ini krisis dapat dipecahkan jika sudah menguasai bahasa, budaya tuan rumah yang bersangkutan. Tingkat yang terakhir adalah penyesuaian (adjustment), individu mulai menikmati dan menerima lingkungan atau budaya tersebut meskipun masih mengalami sedikit ketegangan dan kecemasan. Tahapan yang terakir individu sudah mulai beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan yang baru. Lamanya seseorang mengalami fase culture shock hingga ia dapat beradaptasi disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat, dukungan orang lain, atau minimnya motivasi dari individu tersebut. Levine dan Adelman, (1993) menemukan bahwa setiap orang mengalami fase culture shock yang berbeda-beda maka strategi adaptasi harus diperhatikan oleh setiap individu.
Riady, (2004) strategi-strategi dalam proses adaptaÂsi sangat penting bagi individu yang meneÂmui lingkungan baru, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Salah satu bentuk strategi adaptasi individual adalah penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak (self efficacy), yang berlandaskan pada strategi adaptasi budaya menurut Herbert 1984, (dalam Riyandhiani 2013) dimulai dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), pada tahapan ini individu melakukan persiapan sebelum berangkat, yaitu mencari informasi tentang daerah tujuan dari berbagai literatur seperti, internet dan orang-orang terdekat yang memiliki pengalaman tentang daerah yang dituju. Tujuan dari kegiatan yang dimaksudkan adalah untuk mengenali lingkungan sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman diri. Tahap yang kedua yaitu tahap meniru dalam hal bertindak (Play Stage) , individu mulai meniru kebiasaan atau cara hidup masyarakat yang ada disekitarnya. Tahap yang ketiga yaitu siap dalam bertindak (game stage), individu suda mempunyai kemampuan dalam hal menempatkan diri dalam sebuah lingkungan, dan menyadari tentang apa yang hendak dilakukan, dan tentunya tidak berbenturan dengan norma yang berlaku. Pada tahap ini lawan beriteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan masyarakat sebaya di luar lingkunganya. Peraturan-peraturan yang berlaku diluar lingkungan asalnya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, individu mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku diluar lingkungan asalnya. Tahap yang keempat yaitu penerimaan norma kolektif (generalized stage), pada tahap ini individu suda dianggap dewasa. individu suda dapat menempatkan dirinya pada masyrakta secara luas. Dengan kata lain individu dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas dalam rangka mengatsi culture shock yang berkepanjangan .
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sering disebut penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah atau natural seting Sugiyono, (2009). Adapun desain penelitian bersifat deskriptif yang akan menggambarkan atau memaparkan mengenai Culture Shock dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Timor Leste – Jawa Di Universitas Kristen Satya Wacana, yaitu analisis mengenai mahasiswa asal Timor Leste yang mengalami culture shock, dampak negatif dari culture shock, serta strategi yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste agar dapat beradaptasi dengan budaya mahasiswa Jawa dalam rangka mengatasi culture shock .
Informan yang diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Timor Leste yang kuliah di UKSW tahun akademik 2013-2014. Kemudian key informan dipilih dengan menggunakan purposive method. Dengan Mempertimbangkan mahasiswa fakultas ekonomika dan bisnis progdi magister manajemen dan akuntansi yang sudah kuliah lebih dari satu semester yang berjumlah enam orang mahasiswa. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau melalui objeknya yang dilakukan melalui wawancara mendalam (in depth interview) dengan mahasiswa asal Timor Leste yang sudah kuliah lebih dari satu semester mengenai bentuk culture shock, dampak negatif dari culture shock serta strategi adaptasi yang dilakukan dalam rangka mengatasi culture shock. Data sekunder didapat dari arsip yang dimiliki organisasi/instansi, studi pustaka, penelitian terdahulu, dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam (In depth Interview) dan observasi. Kegiatan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada panduan wawancara mengenai culture shock, dampak culture shock serta strategi adaptasi yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste dalam rangka mengatasi culture shock ketika berinteraksi di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam Kegiatan wawancara peneliti menggunakan alat bantu berupa HP yang digunakan sebagai alat perekam ketika melakukan wawancara. Adapun kegiatan wawancara dilakukan di kontrakan mahasiswa asal Timor Leste tepatnya di jalan Margosari Salatiga, pada tanggal 11 November 2014 pukul 17.00, dimana dalam kegiatan wawancara lebih bebas dan terbuka.
Dalam menguji keabsahan data penelitian, menggunakan teknik triangulasi data dengan cara mengabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada untuk mencari keabsahan data dengan membandingkan hasil wawancara dengan observasi dan literatur-literatur maupun penelitian-penelitian terdahulu, agar data lebih valid, reliable dan kredibel, hasil wawancara diperoleh dari informan yang berbeda namun dengan menggunakan teknik yang sama. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan dengan berpedoman pada prosedur analisis yang dipaparkan oleh Ihalauw, Grouw dan Trita (2011). Tahap-tahap analis data tersebut dimulai dengan menyalin hasil dari jawaban wawancara ke dalam protokol wawancara, kemudian dirumuskan saripati wawancaranya, setelah dirumuskan maka pengkategorian saripati wawancara tersebut menjadi penting untuk memudahkan peneliti dalam membaca hasil wawancara. Setelah mengkategorikan saripati wawancara tersebut, peneliti harus membentuk pola jawaban yang diberi label untuk menandai hal-hal yang penting. Langkah selanjutnya yaitu memberi definisi konseptual dari nama atau simbol yang dicuplik, pemberian definisi konseptual ini sangat penting untuk pembangunan konsep yang menjadi dasar dari hasil penelitian sementara. Lalu setelah selesai merumuskan kesimpulan sementara, setelah itu peneliti mulai mengkonstruksi hasil penelitian yang satu dengan lainnya, untuk kemudian membentuk suatu kesimpuilan akhir dari penelitian.
Analisis dan Pembahasan Hasil
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) semula lahir dengan nama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-KI). Diresmikan pada tanggal 30 November 1956 dengan lima jurusan, yaitu Pendidikan, Sejarah, Bahasa Inggris, Hukum, dan Ekonomi. PTPG-KI Satya Wacana berubah menjadi FKIP-KI pada tanggal 17 Juli 1959. Kemudian pada tanggal 5 Desember 1959 diresmikan menjadi Universitas Kristen Satya Wacana dengan kehadiran Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum yang kemudian diikuti dengan pembukaan beberapa Fakultas dan Program Studi baru. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang kini melewati usia emasnya, Satya Wacana yang berarti “Setia Kepada Firman Tuhanâ€, terus berkembang dan mendapat kepercayaan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada saat ini UKSW memiliki 56 Program Studi yang terdiri dari 4 Program Studi Diploma 3, 39 Program Studi Program Sarjana (S1), 10 Program Studi Program Magister (S2), dan 3 Program Studi Program Doktoral (S3) diakses dalam http://www.uksw.edu/id.php/akademik/programstudi/title/pendidikan-sejarah, pada tanggal 03 Desember 2014 pukul 16.00.
Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Timor Leste yang kuliah di UKSW Fakultas Ekonomika dan Bisnis progdi Magister Manajemen dan Magister Akuntansi yang terdiri dari enam orang mahasiswa yaitu F dan M aktif sebagai mahasiswa semester 2. J dan T aktif sebagai mahasiwa semester 3, R dan L aktif sebagai mahasiswa semester 4. Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan faktor demografi yang meliputi usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan lamanya tinggal di Indonesia (Salatiga).
Dari jumlah mahasiswa asal Timor Leste yang dijadikan informan, jika di dasarkan pada umur maka key informan atas nama J berusia 30 tahun, T berusia 40 tahun, R berusia 33 tahun, L berusia 34 tahun, F dan M masing-masing berusia 31 tahun. Selanjutnya jika didasarkan pada jenjang pendidikan: J S1 Manajemen kemudian melanjutkan ke S2 pada jurusan manajemen, T S1 ambil jurusan administrasi publik setelah itu melanjutkan S2 pada jurusan manajemen, R S1 Manajemen kemudian melanjutkan pendidikan S2 dengan jurusan manajemen, L S1 keperawatan kemudian melanjutkan S2 dengan jurusan manajemen, sedangkan F dan M S1 Akuntansi kemudian melanjutkan S2 dengan jurusan akuntansi. Dilihat dari segi sumber daya manusia mahasiwa asal Timor Leste yang diteliti dalam obyek penelitian ini semuanya memiliki pengetahuan yang baik.
Ada dua jenis status keluarga dari mahasiswa asal Timor Leste yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini yaitu menikah (Married) yang berjumlah 3 orang, 3 orang lainya berstatus singel. Dan jika didasarkan pada lama mahasiswa asal Timor Leste berada di Indonesia (Salatiga) antara 5-7 bulan berjumlah dua orang, 9-11 bulan berjumlah dua orang, 12-15 bulan berjumlah dua orang. Selain itu juga didasarkan pada pernyataan atau pengikut dalam hal ini keluarga, informan tidak didampingi keluarga walaupun tiga dari enam informan sudah berstatus menikah.
Oberg (Ward, dkk 2001) ada 4 fase dalam culture shock, yaitu fase honeymoon, fase culture shock, fase recovery, dan adaptation. Fase honeymoon umumnya terjadi pada satu hingga dua bulan setelah kedatangan individu ke tempat yang baru. Pada saat itu individu akan sangat tertarik dengan segala macam sesuatu dan ingin mencoba semua hal baru yang ditemui di tempat baru tersebut. Hal serupa juga terjadi kepada enam orang mahasiswa yang dijadikan informan. Mereka sangat tertarik dengan segala macam hal tentang Indonesia (UKSW) yang merupakan tempat yang asing bagi mereka sebagaimana yang diungkapkan oleh informan yang berinisial J berikut ini:
“dalam waktu tiga bulan pertama kali saya menginjakan kaki di Salatiga (UKSW) saya diliputih dengan perasaan senang, dan bahagia.
Namun, dalam kenyataannya tidak semua mahasiswa menyukai hal-hal yang baru yang ada di tempat yang baru pula, yang tentunya berbeda dengan tempat asalnya. Perbedaan itu dapat saja menyebabkan individu mengalami gegar budaya (culture shock). Seperti halnya yang dialami oleh diungkapkan oleh informan yang berinisial M berikut ini:
“saya pernah adu mulut karena perbedaan pandangan dalam mengartikan sebuah maksud dan tujuan. Awalnya kami hanya bercanda gurau dan kami sepakat untuk berbagi pengalaman serta kebiasaan hidup di daerah kami masing-masing. Saking semangatnya saya, saya pun tertawa dengan volume yang agak kencang sampai-sampai teman saya tersinggung kemudian meninggalkan saya sendiri. Bagi kami orang Timor Leste ini cuman sekedar bercanda tidak ada maksud untuk berantem, walaupun volume suara yang agak kencang. Hal ini juga yang membuat saya putus asa dalam waktu 3-4 bulan berlangsung, sehingga tidak tahu harus berbuat apa dan dengan siapa saya harus bergaul.
Dari hasil wawancara diatas, terlihat bahwa watak dan karakter individu sangat berpengaruh dalam sebuah interaksi, apalagi berhadapan dengan lawan bicara yang berasal dari negara yang berbeda yang tentunya memiliki latar belakang budaya yang berbeda pula.Permasalahan-permasalahan seperti ini dapat saja terjadi kepada siapa saja yang diakibatkan adanya perbedaan cara hidup serta kebiasaan yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu komonitas tertentu. Hal ini sejalan dengan Gajdzik, 2005 yang menemukan bahwa mahasiswa manapun, baik sarjana maupun pasca sarjana, mahasiswa domestik maupun asing, pasti mengalami sejumlah persolan ketika memasuki perguruan tinggi. Untuk menghindari perbedaan itu maka keselarasan dan rasa saling menerima perbedaan antara yang satu dengan lainnya sangat diharapkan. Inilah yang disebut dengan fase recovery. Seperti halnya yang dilakukan oleh informan yang berinisial T, L dan J berikut ini:
“dalam kurun waktu tiga minggu pertama saya merasa sulit untuk menyesuaikan diri. Tetapi saya tetap berusaha untuk dapat melewati masa-masa sulit tersebut. Adapun upaya yang saya lakukan adalah membangun hubungan persahabatan dengan beberapa teman asal Timor. Karena bagi saya, bergaul dengan sesama orang Timor interaksi lebih cepat nyambung.
Mahasiswa Timor Leste pada umumnya memiliki logat serta watak atau karakter yang kedengarannya kasar atau ketus. Berbeda dengan mahasiswa Indonesia (Salatiga) yang memiliki volume yang pelan, lembut dan mendayu-dayu. Perbedaan-perbedaan seperti ini dapat memberikan dampak negatif seperti culture shock. Untuk menghindari culture shock maka adaptasi (adjustment) perlu dilakukan. Hal serupa juga dlakukan oleh informan yang berinisial L dan J
“saya selalu memperhatikan kebiasaan masyarakat Indonesia (Salatiga) kemudian saya mencoba untuk meniru kebiasaan tersebut. Karena ketika saya mencoba untuk menggunakannya, kayanya ada jembatan yang menghubungkan sehingga interaksi lebih nyaman dan lebih nyambung. Tujuan saya belajar agar culture shock yang saya rasakan tidak berkepanjangan.
Dari hasil wawancara, diketahui bahwa enam orang mahasiswa Timor Leste yang dijadikan informan, semuanya mengalami culture shock. Dengan melewati empat tahapan adaptasi yaitu honeymoon, culture shock, recovery, adjustment. Terjadinya culture shock disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang budaya yang berbeda seperti bahasa, karakter, logat atau dialek, dan cuaca antara Timor Leste dengan Indonesia (Salatiga). Perbedaan pemahaman serta pandangan dalam mengartikan sesuatu disebabkan adanya perbedaan budaya dalam hal ini, tradisi atau kebiasaan, bahasa, logat atau dialek. Culture shock dapat saja memberikan dampak yang negatif kepada siapa saja, apabilah tidak ada kesiapan dari individu tersebut.
Culture shock dapat saja memberikan dampak positif maupun negatif. Tetapi hampir semua dampak culture shock berakibat pada hal yang negatif yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya seperti bahasa, logat atau dialek dan juga cuaca. Hal ini juga yang dialami oleh informan yang berinisial L, R, dan F berikut ini:
“saya pernak tidak diajak ngobrol karena dianggap susah mengerti dan menangkap isi pembicaraan mereka. Saya kecewa hilang harapan dan tidak tahu harus berbuat apa†yang berujung pada sakit yang kami derita seperti mengalami demam, flu dan pilek, selama dua minggu dikarenakan Indonesia (Salatiga) memiliki udara yang dingin, sedangkan di negara kami memiliki udara yang panas. Perbedaan cuaca ini menyebabkan saya demam selama satu mingguâ€.
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa perbedaan bahasa, logat atau dialek serta cuaca dapat menyebabkan individu mengalami culture shock. Untuk mengatasi culture shock mahasiswa asal Timor Leste menyiapkan beberapa strategi adaptasi. Riady, (2004) strategi-strategi dalam proses adaptaÂsi sangat penting bagi individu yang memasuki lingkungan baru, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Salah satu bentuk strategi adaptasi individual adalah penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak (self efficacy). Adapun strategi adaptasi indiviodual adalah melakukan tindakan penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak (self efficacy) yang didasari dalam pernyataan Herbert 1984, (dalam Riyandhiani 2013) yang dimulai dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), tahap meniru dalam hal bertindak (Play Stage), tahap kesiapan dalam bertindak (game stage), tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage).
Tahapan persiapan terdiri dari 2 faktor yaitu penyediaan pelatihan sebelum keberangkatan (pre-departure training) dan pengetahuan serta pengalaman tentang lingkungan yang dituju. Yang dimaksud dengan tahapan persiapan yaitu individu melakukan persiapan sebelum keberangkatan dan sesudah tiba, dengan cara mengikuti kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan atau traning harus disesuaikan dengan keadaan dimana mereka akan ditugaskan. Sebab kondisi Negara yang dengan Negara yang lain adanya perbedaan kultur dan bahasa juga perbedaan iklim. Hal ini juga yang menjadi harapan terbesar bagi mahasiswa asal Timor Leste. sebagaimana yang diungkapkan T berikut ini:
“keberadaan kami (mahasiswa asal Timor Leste) di UKSW dalam rangka melanjutkan studi ke Strata 2, merupakan program pemerintah daerah Timor Leste. Oleh karena itu saya berharap adanya kegiatan pelatihan sebelum keberangkatan dan sesudah tiba perlu diberikan dari pihak pemerintah Timor Leste dan juga lembaga Universitas temapat kami belajar. Tetapi dalam kenyataannya sampai saat ini Pemerintah Timor Leste dan lembaga Universitas Kristen Satya Wacana juga belum pernah melakukan training mengenai budaya Indonesia (UKSW), sehingga kami merasa kesulitan dengan budaya baru.
Adapun upaya lain yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste sebelum keberangkatan adalah mencari informasi tentang Salatiga (UKSW) dari berbagai literatur seperti, internet dan teman-teman terdekat yang memiliki pengalaman tentang daerah yang dituju. Hal ini juga yang dilakukan oleh M dan F berikut ini:
“saya melakukan persiapan sebelum berangkat ke Salatiga (UKSW) dengan cara mencari informasi tentang Indonesia lebih khusus UKSW melalui internet, bertanya kepada teman-teman asal Timor Leste yang suda duluan datang ke Indonesia (UKSW) dalam rangka belajar.
Mahasiswa yang memiliki penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) akan lebih efektif dalam melakukan penyesuaian diri. Namun, berdasarkan hasil wawancara kepada enam orang informan, diketahui bahwa semua informan tidak pernah menerima kegiatan pelatihan sebelum keberangkatan dan sesudah tiba. Berdasarkan dengan pernyataan keenam orang mahasiswa tersebut semuanya mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian. Adanya kesulitan melakukan penyesuaian karena Negara Timor Leste dengan Indonesia (Salatiga) memiliki perbedaan budaya seperti bahasa, dialek atau logat, karakter, dan cuaca.
Walaupun semua mahasiswa asal Timor Leste mengalami kesulitan dalam penyesuain akan tetapi semua mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self efficacy) atau otodidak yaitu mengenal budaya Indonesia (Salatiga) melalui berbagai literatur yang dianggap dapat membantu mereka dalam melakukan adaptasi di UKSW. Seperti yang diungkapkan J berikut ini:
“Upaya yang saya lakukan adalah mengamati kebudayaan atau tradisi masyarakat Salatiga lebih kusus yang berada di lingkungan UKSW, kemudian saya mencoba menggunakan budaya serta kebiasaan tersebut dalam kehidupan sehari-hariâ€.
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun para mahasiswa asal Timor Leste mengalami kesulitan dalam penyesuaian atau adaptasi budaya akan tetapi mereka memiliki kemampuan untuk mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self study) atau otodidak. Selain itu mahasiswa asal Timor Leste juga mempelajari budaya dengan dengan melakukan pengamatan tentang kebiasaan masyarakat Indonesia (Salatiga) dalam hal ini mahasiswa yang berada dalam lingkungan UKSW. Mahasiswa asal Timor Leste juga berupaya untuk mempraktekan budaya Indonesia (Salatiga) dalam keseharaian meraka, walapun pada awalnya sulit untuk dilakukan, tetapi mereka berupaya untuk menyesuaikan diri dalam rangka menghindari culture shock.
Kesimpulan dan Saran
Diketahui mahasiswa Timor Leste yang dijadikan informan dalam penelitian ini semuanya mengalami culture shock. Dengan melewati empat tahapan adaptasi yaitu honeymoon, culture shock, recovery, adjustment. Terjadinya culture shock disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang budaya yang berbeda seperti bahasa, karakter, logat atau dialek, dan cuaca. Selain itu, tidak ada penyediaan pelatihan sebelum keberangkatan dan sesudah tiba. Adapun dampak negatif dari culture shock yang dialami mahasiswa Timor Leste ketika beradaptasi di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana antara lain seperti stres hingga demam, flu, dan pilek, putus asa, hilang rasa percaya diri, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Strategi yang dilakukan mahasiswa Timor Leste dalam rangka mengatasi culture shock ketika beradaptasi di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana adalah melakukan tindakan adaptasi individual yang terdiri dari dua tindakan adaptasi yaitu penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan self efficacy dengan berpedoman pada strategi adaptasi budaya menurut Herbert 1984, (dalam Riyandhiani 2013) dimulai dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), tahap meniru kebiasaan atau budaya tuan rumah (Play Stage), terlibat dalam bertindak (game stage), tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage).Adapun temuan dalam hasil penelitian pertama mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gajdzik, 2005. Hasil penelitian kedua mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ward, dkk., 2001. Selanjutnya, hasil penelitian ketiga mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Novera, 2004, dan Herbert 1984, (dalam Riyandhiani 2013).
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait langsung seperti lembaga Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), masukan bagi perusahaan dan Pemerintah Timor Leste yang mana menugaskan mahasiswa untuk tugas belajar dalam hal menyediakan pelatihan sebelum keberangkatan dan sesuda tiba . Bagi para mahasiswa asal Timor Leste, sangat baik untuk mulai mempelajari budaya melalui anticipatory adjustment sebelum berangkat atau sesudah tiba (Pre-departure or on arrival) di negara baru yang akan didatanginya. Culture shock dapat terjadi kepada mahasiswa sarjana, pasca sarjana, domestik atau asing, oleh sebab itu perlu untuk mengetahui, belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Hal ini bertujuan agar para mahasiswa dapat menjalankan tugas belajar di UKSW dengan baik dan lancar serta tidak mengalami culture shock yang berkepanjangan atau terhindar dari berbagai kendala-kendala yang disebabkan oleh lingkungan makro. Adapun beberapa pengembangan yang dapat dilakukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat meneliti mengenai:
Pelatihan tentang kesadaran budaya orang lain pada saat sebelum keberangkatan dan sesudah tiba, dan keterbukaan mahasiswa dalam mengekpresikan budaya daerah lainya dalam konteks masyarakat majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Nancy J., 2002, International Dimension of Organization Behavior, Wadsworth Inc., Calofornia
Gudykunst, William B. 2002. “Intercultural Communication Theories†dalam William B. Gudykunst & Bella Mody (eds). Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd Ed. Sage Publications. California.
Gudykunst, William B & Mody, Bella. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication, 2nd edition. London: Sage Publication, Inc
Gajdzik, P.K 2005. Relationship between selfefficacy beliefs and socio-cultural adjustment of international gruduate student and american graduatestudents.diakseskembalidari:https://beardoes.baylor.edu/xmlui/bitstream/hande/2104/2682/Gajdzik%2BFinalDissertation.pdf pada tangal 13 November 2014, pukul 16.30
Ihalaw, John Joi, W. Gouw, Y. Trita. 2011. Dari Realitas Bisnis Menuju ke Konstruksi Model. Jakarta: UPH
Indrianie. E. 2012. Culture Adjustment Training untuk Mengatasi CultureShock pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Jawa INSAN Vol. 14 No. 03
Khawaja, N. G., & Dempsey, J. 2007. Psychological distress in international university students: An Australian study. Australian Journal of Guidance & Counselling, 17(1), 13-27.
Levine, D.R. dan Mara B. A. 1993. Beyond Language: Cross Cultural Communication. Longman.
Novera, I.A. 2004. Indonesian postgraduate students studying in Australia: An examination of their academic, social and cultural experiences. International Education Journal, 5(4), 475-487.
Oberg, K. 1960, Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Enviroments’ practical Antropology, vol.7.177-182
Poyrazli, S., A, C., B, R., and Pisecco, S., 2001 Adjustment issues of Turkish college students studying in the United States. College Student Journal, 35 (1), 52-62.
Pandian, A. 2008. Multiculturalism in higher education: A case study of middle eastern students’ perceptions and experiences in a Malaysian university. IJAPS, 4(1), 33-59.
Riady, M. 2004. Adaptasi Masyarakat Transmigran dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di Daerah Pemukiman TransÂmigrasi Kota Bangun Propinsi Kalimantan Timur). Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial BuÂdaya.
Riyandhiani, D. 2013. Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, yang dikuti dalam http://www.academia.edu/7288561/Materi-sosiologi, 27 Maret 2015
Suparlan. 2004. Manusia dan Kebudayan dalam PerspeÂktif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta. Rineka Cipta
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif, dan R&D: Alfabeta, CV Torbiorn
Tanggulungan-E. Thesis 2009, Adaptasi Budaya para Ekspatriat di Indonesia.
Vance, C. M., & Paik, Y. 2006. Managing a global workforce – Challenges and opsportunities in international human resource management. Armonk, New York, United States: M.E. Sharpe.
Ward, C., Bochner, S. & Furnham, A. (2001). The psychology of culture shock, USA and Canada: Routledge
www.uksw.edu/id.php/akademik/programstudi/title/pendidikan-sejarah, pada tanggal 03 Desember 2014 pukul 16.00.
Â