GURU BLOGGER SOLUSI ALTERNATIF

DALAM MENJAWAB TANTANGAN MENGAJAR DI ERA DIGITAL

 

Martinus Ruma

Guru Bahasa Indonesia di SMA Kristen Kanaan Jakarta Pusat

 

ABSTRAK

Menjadi seorang guru di era digital merupakan tantangan terberat bagi seorang pendidik. Bagi remaja milenial kebenaran versi mereka adalah google, bukan guru. Segala yang dijelaskan oleh guru selalu dikonfirmasi kebenarannya di internet. Lantas pertanyaanya, masih ampuhkah cara-cara lama yang diterapkan oleh seorang guru di depan kelas? Karya sederhana yang berjudul, GURU BLOGER SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENJAWAB TANTANGAN MENGAJAR DI ERA DIGITAL ini; hadir di hadapan sidang pembaca sekalian dengan tujuan untuk berbagi kisah. Tentang pergumulan seorang guru kampung di SMA Kanaan Jakarta dan solusi alternatif yang ditawarkan melalui plaffon blog gratisan.

Kata Kunci: Guru, Siswa, Blog, sekolah

 

 â€œTidak ada anak yang sulit, yang ada orang tua dan guru yang kesulitan dalam mendidik anak” (Roswitha, IX: 2009). Kutipan di atas saya ambil untuk menjawab pandangan generasi X yang merasa seolah-olah masanya adalah suatu situasi yang paling benar daripada generasi saat ini (baca: generasi Y). Mungkin diantara kita pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini:

1.     Anak-anak zaman sekarang susah diatur, baik itu dari para guru maupun orang tua.

2.     Beda banget dengan zaman kita sekolah dulu; dulu itu,…….”. Jika sampai pada bagian ini lantas semua memori masa lalu diungkapkan, dan kesannya seperti sedang mengadili generasi saat ini.

3.     Ada juga kisah ibu-ibu arisan, “ini semua gara-gara warnet di situ, di sana, di sini. Semenjak adanya warnet nilai anak saya turun”.

Kegagalan dalam mendidik generasi milenial akhirnya pada taraf keputusasaan, maka benda mati seperti warnet pun disalahkan. Siapa sebenarnya yang salah? Tulisan sederhana yang saya beri judul, GURU BLOGGER SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENJAWAB TANTANGAN MENGAJAR DI ERA DIGITAL ini, hadir bukan untuk menggurui sidang pembaca yang terhormat melainkan sekedar berbagi tentang pengalaman saya sebagai guru dalam menjawab tantangan mengajar di era digital.

Bukan juga tulisan ilmiah popular yang penuh data, hanya catatan pengalaman seorang guru kampung biasa. Berharap di tangan guru bangsalah pandangan miris tentang generasi saat ini dicerahkan dan membawa pembaharuan pada dunia pendidikan melalui kecanggihan teknologi saat ini. Goresan pena yang jauh dari sempurna ini terdiri dari enam sub judul.

1.     Sub judul yang pertama tentang masa peralihan saya dari Papua menuju Jakarta. Bagian ini saya ingin berkisah tentang kesulitan dan tantangan mengajar di era digital. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah dimana saja kita mengabdi sebagai guru selalu punya kisah tentang kesulitan dalam mendidik anak bangsa, namun selalu ada jalan keluar jika mau berusaha.

2.     Sub judul kedua soal guru blogger, di sini saya ingin berbagi tentang peran teknologi, khususnya blog bisa mengatasi kesulitan belajar di era digital.

3.     Sub judul yang ketiga, tentang cara memanfaatkan platform blog gratisan untuk belajar Bahasa Indonesia. Bagian ini bukan tutorial cara membuat blog, melainkan cara sederhana untuk membiasakan siswa mencintai dunia literasi melalui menulis di blog.

4.     Sub judul yang keempat saya ingin meyakinkan sidang pembaca bahwa pengalaman yang saya alami dan lakukan memiliki teori yang mendukung. Penekanannya adalah pada mau atau tidaknya seorang pendidik menerima perkembangan teknologi yang dihadirkan zaman ini.

5.     Sub judul yang kelima penutup berisi kesimpulan.

6.     Sub judul yang keenam berisi tentang tindak lanjut. Bagian ini saya ingin mengajak segenap pemangku kebijakan, ketika membaca tulisan saya dan setuju bahwa ada manfaatnya maka tindak lanjutnya seperti apa. Tidak perlu mengikuti saran saya jika tidak berfaedah, tetapi setiap orang punya pandangan, maka mari kita wujud nyatakan pandangan yang kreatif dan inovatif untuk kebaikan bersama.

Mari berpikir untuk kemajuan bersama, bagian pertama:

MASA PERALIHAN: DARI PAPUA KE JAKARTA

            Seorang guru kampung yang bertugas di Distrik Fef, sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota dan berjarak langit-bumi dari kecanggihan teknologi era digital. Fef adalah sebuah tempat terpencil di pedalaman Papua Barat. Kekuatan fisik dan mental yang prima adalah keharusan untuk menjangkau tempat tersebut. Jika dari Sorong, Papua Barat maka harus menempuh perjalanan laut sekitar 8 jam menuju Sousopor, ibu kota kabupaten.Tak lupa, masih ada perjalanan darat menggunakan mobil pick up dabel garden. Kemudian yang terekstrim yaitu menerjang hutan belantara Papua Barat dengan berbagai aral melintang. Butuh waktu sekitar 12 jam untuk mencapai distrik Fef jika cuaca sedang baik. Kalau musim hujan, maka butuh waktu 1 atau 2 hari untuk sampai di tempat tujuan karena jalanan yang dilalui pasti tidak bersahabat, tanah liat bercampur lumpur sungguh menyulitkan pengemudi. Apabila terjadi situasi seperti ini maka dapat dipastikan penumpang dan pengemudi harus bermalam di jalan. Kalaupun bernasib baik maka sampai di tempat tujuan akan disambut dengan kegelapan yang pekat dan gulita sebab daerah tersebut belum ada listrik. Mall? Tak usah dibayangkan sebab satupun tidak ada. Sinyal HP? Kalau ada satu bar berarti keajaiban. Disini yang tersisa hanya kabut tebal yang menyelimuti hutan perawan di wilayah tersebut. Itulah tempat tugasku sebelum pindah ke Jakarta.

Pada tahun 2013, suatu alasan mengharuskan saya pindah ke ibu kota dan mengajar di SMA Kanaan, Jakarta. Ini seperti air di padang gurun. Saya berada di ibu kota Jakarta yang hebat, berhadapan dengan siswa yang luar biasa dan harus menggunakan teknologi seperti internet, komputer, power point dan sederet fasilitas canggih dari sekolah, bak mimpi yang menjadi kenyataan. Sesuatu yang tidak pernah ada di sekolah tempat saya bertugas sebelumnya yaitu SMP Negeri 1 Fef, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

Peralihan dari suatu kondisi pendidikan yang jauh dari kata ideal pada suatu keadaan pendidikan yang serba ada menjadikan pengalaman dan tantangan tersendiri untuk saya saat itu. Kerap kali saya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa saya bisa. Pagi itu, dengan derap langkah yang pasti saya memasuki kelas XI IPS 2, SMA Kanaan, Jakarta. Sejenak, seisi kelas terdiam menyaksikan seorang guru dengan rambut keriting dan berkulit hitam memasuki kelas mereka. Suasana kala itu benar-benar sunyi nan senyap. Hanya tatapan penuh tanya dari 26 siswa-siswi di kelas itu. Jujur ini sangat menegangkan bagi saya di hari pertama saya bertugas.

“Siapa sih orang ini?” batin saya tentang pemikiran siswa saat itu, jika boleh saya berasumsi.

“Selamat pagi anak-anak, saya Martinus Ruma guru Bahasa Indonesia yang…….”

Kalimat tersebut belum selesai terucap masih menggantung di udara. Namun, seisi kelas mulai tertawa terbahak-bahak dengan berbagi komentar yang mengiringi. Bahkan ada yang mengatakan, “Sumber air sudah dekat”. Entahlah saya tidak mengerti maksud anak-anak ini, ada pula yang mengatakan bahwa saya mirip Boas Salosa, kapten tim sepak bola PERSIPURA Jayapura, serta ada yang meniru ucapan saya dengan dialek Indonesia Timur yang melekat saat itu. Benar-benar suatu ucapan selamat datang yang melunturkan kepercayaan diri saya sekaligus menghadirkan sebuah tanda tanya besar dalam benak saya, “Apakah saya bisa mengajar dengan baik di tempat ini?”.

Hari berlalu dan semuanya tidak menjadi lebih baik, sambutan yang sama saya terima dari kelas-kelas yang lain. Kondisi ini berdampak pada kegiatan belajar mengajar secara paralel. Anak menjadi sulit untuk menerima kehadiran saya, termasuk gaya saya mengajar. Untuk gaya mengajar, saya bisa pahami karena metode yang dipakai adalah ceramah. Selanjutnya saya mengubah metode dan pendekatan, namun hasilnya pun tidak lebih baik, malah nilai dan animo belajar semakin menurun.

Di sisi lain siswa lebih rajin mengupdate status di sosial media daripada mencatat kembali pelajaran yang saya jelaskan. Hal ini saya ketahui setelah memantau keberadaan anak di luar jam sekolah melalui sosial media mereka masing-masing. Kejadian yang saya nyatakan bukan pandangan para pakar tetapi kesan yang saya dapati di tahun pertama mengajar. Bahkan pada taraf yang paling sulit untuk saya pahami ialah mereka meminta bahan ajar (slide power point dan dan materi yang lain) dikirim melalui email masing-masing untuk dipelajari kembali. Saat ditanya mengapa melakukan hal tersebut? Jawaban yang saya dapat adalah, “Pak, kalau ada yang lebih mudah, ngapain dipersulit sih?”. Sangat realitis memang pemikiran siswa milenial.

Kenyataan yang sulit dan pengalaman-pengalaman perjumpaan dengan siswa di tahun pertama mengantarkan saya pada suatu refleksi bahwa, untuk menjadi guru era baru yang bisa diterima oleh siswa milenial maka guru harus akrab dengan teknologi. Alasan saya sederhana yaitu siswa yang saya hadapi adalah generasi y yang akrab dengan teknologi dalam tumbuh kembangnya. Maka dari itu, bagian sub judul yang kedua saya ingin berbagi cerita tentang blog dan peran guru di era digital.

 

 

GURU BLOGGER

2014 merupakan tahun kedua saya di SMA Kanaan Jakarta. Variasi metode yang tidak berhasil di tahun pertama telah mengantarkan saya pada suatu kesimpulan bahwa kemasan pelajaran harus berbasis pada teknologi kekinian.

Demi mengawali komitmen ini, pertama-tama saya meminta siswa membuat grup line. Setiap kelas harus mempunyai grup line untuk memudahkan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia. Selanjutnya grup-grup tersebut menjadi media saya dan siswa untuk berkomunikasi dan belajar Bahasa Indonesia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Bagaimana caranya?

Saya membuat blog dengan platform blogspot versi gratisan. Blog tersebut saya beri nama gubanesia yang artinya guru Bahasa Indonesia. Selanjutnya saya mengisi materi pelajaran Bahasa Indonesia, tugas-tugas yang harus dikerjakan sampai dengan nilai yang diperoleh siswa pada blog itu. Semua tentang Bahasa Indonesia. Selanjutnya di share melalui grup line. Tahap berikutnya, saya sebagai guru harus siap dengan gadget untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa terkait tugas dan lain-lain secara online.

Saya cukup berhasil dalam menggunakan cara ini, siswa tertarik dan saya menjadi idola baru bagi siswa karena menciptakan cara belajar versi mereka. Bahasa Indonesia yang dulunya membosankan bagi mereka kini berubah menjadi yang dinanti –nanti di hadapan kelas. Mengapa?. Sebab, siswa menunggu informasi hasil tugasnya sudah dipublish di blog atau belum, sebagai syarat bahwa siswa yang bersangkutan telah berhasil mencapai KKM. Jika karya siswa tidak terpublish sampai batas waktu yang ditentukan, itu artinya yang bersangkutan harus berusaha lebih keras lagi karena belum mencapai standar minimal yang diberikan. Pengalaman saya menggunakan cara ini, sebagian besar siswa sangat antusias dan maksimal dalam mengerjakan tugas yang diberikan karena mereka tidak ingin menjadi nomor dua. Semangat kompetisi sangat terlihat saat saya menggunakan cara ini. Sebagian dari siswa mengutarakan niatnya untuk membuat blog dan menuliskan pengalaman-pengalamannya. Akhirnya saya putuskan untuk menciptakan pelajaran Bahasa Indonesia berbasis blog.

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS BLOG

Tahun 2015, SMA Kanaan Jakarta menjadi satu dari sekian sekolah di DKI Jakarta yang menerapkan kurikulum 2013 sehingga sekolah mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan siswa membawa HP ke sekolah. Dengan didukung oleh fasilitas Wi-Fi yang cukup memadai maka kesempatan untuk mewujudkan pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis blogpun saya terapkan. Langkah pertama saya mengajari anak cara membuat blog melalui platform blog gratis, baik blogspot maupun wordpress, siswa bebas memilih platform blog yang disukai. Rupanya tidak semudah yang saya bayangkan, berbagai kesulitan datang. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain:

1.     Kekonsistenan guru dalam membimbing siswa, dalam hal ini saya sebagai penggagas tidak konsisten mengakomodir siswa-siswi yang ingin membuat blog atau yang saya suruh buat blog. Selain itu tidak cukup waktu untuk membangun komunikasi dengan siswa, sebab dengan cara ini seorang guru harus merelakan beberapa jam waktu berharganya bersama keluarga untuk membimbing siswa-siswi secara online di luar jam sekolah. Fase ini ruang dan waktu tidak membatasi siswa untuk berinteraksi dengan guru, pembelajaran pun tidak sebatas guru ataupun dalam kelas. Itulah kendalanya. Waktu bersama keluarga di luar jam sekolah diambil untuk membangun komunikasi secara online. Rupanya hal ini menjadi kendala terbesar bagi saya di awal pelaksanaan ide ini.

2.     Minimnya pemahaman dan kemampuan sebagian siswa dalam hal menulis. Ini kendala kedua yang saya hadapi sebab bicara blog berarti konten yang dibahas, untuk menghasilkan konten yang baik maka seorang siswa harus memiliki keterampilan menulis.

3.     Kurangnya pengetahuan saya tentang dunia bloging, seperti cara mengganti template, menambahkan widget, dan seluk beluk blog yang belum saya ketahui secara pasti. Kendala ini saya hadapi sebab ide awal membangun blog hingga blog utama gubanesia hadir hanya bermodalkan tutorial yang bertebaran di internet tentang cara membuat blog. Sehingga saat ditanya hal-hal lain yang belum saya kuasai tentang blog oleh siswa saya tidak bisa menjawab. Akhirnya kepercayaan siswa terhadap saya perlahan-lahan sirna.

Hal-hal tersebut menyebabkan ide pembelajaran berbasis blog vakum cukup lama. Saat vakum tersebut saya coba menganalisis kelemahan dan keunggulan, juga daya dukung untuk membangun ide pembelajaran berbasis blog. Pantang menyerah, saya memulai kembali dengan angkatan yang baru ditahun ajaran 2015 (saat itu kelas 10 sekarang kelas 12).

Tahun ajaran baru, 2015/2016. Pada awal tahun, saya meminta pihak sekolah untuk mendatangkan seorang blogger profesional untuk mengajari siswa-siswi tentang blog. Setelah berdiskusi dan saya menjelaskan maksud dan tujuan akhirnya disetujui oleh pimpinan. Seorang blogger professional didatangkan di SMA Kanaan Jakarta. Yang diajarkan bukan seluruh siswa-siswi SMA Kanaan Jakarta tetapi siswa-siswi yang tergabung di ekskul jurnalistik. Kebetulan saya pembina ekskul tersebut sehingga mudah dalam mengakomodir siswa. Sekitar 4 kali pertemuan tentang dasar-dasar blog rasanya sudah bisa diterima oleh siswa milenial.

Langkah selanjutnya melalui 12 anak jurnalistik, saya minta mereka menjadi tutor sebaya, sekaligus membantu saya mengajari tentang seluk beluk blog pada siswa-siswi yang lain. Proses seperti ini terus berjalan sampai saat ini, diskusi dan pembelajaran kami melalui grup line pada setiap kelas. Link dari blog yang dibuat harus memakai nama siswa, demikian juga dengan nama blognya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan saya dalam memeriksa pekerjaan siswa secara online melalui blog utama.

Caranya bagimana?

Blog-blog dari siswa-siswi saya kelompokkan menurut kelasnya masing-masing. Kemudian saya tautkan ke blog utama milik saya, namanya kuncup blog. Sedangkan www.gubanesia.com hanya berisi materi yang akan diajarkan kepada siswa. Kesimpulannya kendala tentang blog bisa diatasi.

Selanjutnya kendala kedua soal menulis. Ini adalah tugas saya sebagai guru bahasa Indonesia. Tidak ada teori yang muluk-muluk untuk diberikan, saya cuma meminta siswa untuk meringkas kembali materi yang saya ajarkan dan dimasukan ke dalam blog, bagian halaman about me atau halaman tentang saya dalam blog, saya minta siswa yang bersangkutan untuk menulis profilnya sendiri; tujuannya untuk mengenal siswa itu lebih baik. Selain itu, saya pun mempublish latihan soal, maupun tugas-tugas tentang Bahasa Indonesia lengkap dengan kriteria penilaiannya untuk dikerjakan di blog masing-masing. Selanjutnya hasil penilaian akan saya umumkan via blog utama milik saya. Jika ada siswa-siswi yang tidak mencapai KKM maka harus memperbaiki disertai dengan hukuman (yang disepakati bersama), yaitu meringkas salah satu mata pelajaran.

Hukuman tentang meringkas pelajaran ini secara perlahan saya jelaskan kepada siswa, maksudnya adalah agar dapat membiasakan siswa yang bersangkutan untuk menulis. Manfaat praktisnya apabila guru menyampaikan ulangan tentang topik tertentu pada hari Jumat dan hari Senin sudah harus ujian; sementara Sabtu dan Minggu libur untuk waktu siswa bersama keluarga, misalnya berwisata ke Puncak atau berekreasi ke Ancol. Maka dengan adanya hukuman tersebut, siswa-siswi yang bersangkutan tidak perlu harus membawa buku, cukup membuka blognya dan mempelajari kembali tulisan-tulisan yang diringkas, entah itu pada saat dalam perjalanan atau di saat waktu senggang. Sampai pada taraf ini maka waktu bersama keluarga dapat terakomodir dengan baik, serta tugas dan tanggung jawab sebagai pelajar teratasi.

Hal-hal seperti inilah yang terus saya berikan pengertian dan motivasi kepada siswa untuk tidak memandang seberapa berat hukumannya, melainkan untuk melihat manfaatnya. Dengan harapan besar, bukan hukuman yang membuat siswa itu menulis melainkan kesadaran akan manfaat yang diterima.

Selanjutnya, masalah waktu koreksi dan konsultasi. Bersama siswa kami sepakati, dengan satu pemikiran bahwa Sabtu dan Minggu adalah waktu bersama keluarga tetapi ada tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Maka komitmen kami adalah setiap hari sabtu pagi pukul 08.00 – 10.00 WIB adalah waktu saya mempublish nilai siswa dan mengoreksi pekerjaan siswa secara online (jika ada). Oleh karena itu, siswa-siswi yang tugasnya akan dikoreksi oleh saya dijam yang telah disepakati harus online; untuk sekedar melihat nilai atau memperbaiki koreksian. Lewat dari jam tersebut tidak dilayani sebab itu adalah waktu untuk siswa dan saya sebagai guru bersama keluarga. Awalnya memang sulit tetapi jika guru mampu mengajak siswa untuk bertanggung jawab dan disiplin hal ini sangat mengasikkan.

Lantas pertanyaannya jika demikian, apa yang dilakukan saat pelajaran Bahasa Indonesia di kelas?. Jika 2 jam pelajaran, biasanya 1 jam saya gunakan untuk menjelaskan kembali materi yang telah saya tulis di blog utama dari KD yang diajarkan hari itu. Satu jam lagi saya memanggil siswa satu persatu untuk menggobrol. Apa yang diobrolkan? Topiknya bebas. Intinya, saya berusaha untuk dekat dengan siswa dan terus membangun komunikasi sebab harus diakui konsep pembelajaran seperti ini akan berhasil jika guru bisa menjaga komitmen dan bisa memotivasi siswa. Selain itu, siswa-siswi harus memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin tingkat tinggi sebab antara guru dan siswa dibatasi oleh ruang yang berbeda; sehingga 1 jam tersebutlah waktu bagi saya untuk membangun kembali motivasi siswa, menanamkan arti disiplin dan menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Apa yang saya bagikan ini, sampai dengan saat saya menulis artikel ini masih dijalani. Kendala tentu ada, tetapi kemauan dari siswa-siswi untuk bersama-sama menjalani ide inilah yang membuat saya mampu menjalaninya dan bertahan sampai saat ini.

Kesimpulannya tidak ada siswa-siswi yang sulit untuk diajak bekerja sama dalam menciptakan ide kreatif di era digital; sebab siswa – siswi milenial sangat kreatif. Hanya perlu mengambil satu langkah untuk mengenal siswa lebih dekat untuk tahu banyak hal tentang mereka. Jika sudah mengenal siswa dengan baik, maka apapun konsep seorang guru termasuk inovasi-inovasi dalam menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan pasti akan berhasil. Kualitas murid adalah gambaran kemampuan seorang guru.

LANDASAN TEORI

Siapa sih generasi milenial? Generasi milenial adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1980 – 2000 an. Kadang disebut juga dengan generasi Y. Jadi siswa milenial yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah mereka yang lahir mulai dari tahun 2000 hingga 2017. Kelompok ini lahir saat internet sudah diperkenalkan sehingga generasi milenial mahir dalam teknologi. Oleh karena itu, untuk memahami cara belajar siswa milenial seorang guru dituntut oleh zaman untuk mengemas pelajaran yang dekat dengan dunia anak zaman sekarang. Itu adalah kesimpulan dari pergumulan saya menerapkan pembelajaran berbasis blog di SMA Kanaan Jakarta. Internet yang terkoneksi melalui sosial media dan platform blog gratis menjadi jawaban saya dalam mengatasi tantangan mengajar di era digitalisasi. Semangat tersebut dilandasi oleh pemikiran Khoe Yao Tung dalam bukunya Pendidikan dan Riset di Internet yang dikutip kembali oleh Herman J. P Maryanto dalam bukunya yang berjudul Guruku Matahariku (hlm, 30). Internet memiliki kontribusi signifikan dalam pelajaran di sekolah, diantaranya:

1.     Sebagai sarana interaktif yang didukung oleh basis data yang sangat banyak dan lengkap.

2.     Memungkinkan siswa untuk belajar jarak jauh sehingga kendala ruang dan waktu dapat tereliminasi.

3.     Memungkinkan siswa untuk belajar dengan gayanya sendiri.

4.     Dengan karakteristik internet synchronous dan asynchronous communication memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan kecepatannya.

5.     Siswa belajar tidak terbatas pada satu saja, yakni gurunya melainkan dimungkinkan untuk dapat memperoleh informasi langsung dari ahlinya.

Apa itu blog?. Sebenarnya saya tidak ingin mengulas hal ini, sebab tulisan dengan topik blog banyak bertebaran di internet yang ditulis oleh para blogger profesional. Tetapi rasanya hambar jika membahas topik blog tanpa menyinggung sedikit secara teoritis apa itu blog. Sederhananya blog bagi saya adalah buku catatan elektronik yang dibuat oleh seseorang. Isinya bukan hanya tulisan semata, bisa foto atau video tergantung selera pemilik blog. Dari sekian banyak manfaat yang ditawarkan blog, apakah masih ada alasan bagi seorang guru untuk tidak menggauli kebaruan teknologi ini?

“Pengen sih tetapi tidak tahu cara membuat blog, Pak”.

Ada banyak sekali tutorial cara membuat blog di internet, salah satu yang bisa saya rekomendasikan untuk guru bangsa sekalian adalah www.sugeng.id seorang blogger profesional yang membahas tentang blog dari awal sampai akhir menggunakan bahasa yang lugas dan mudah untuk dipahami oleh orang awam sekalipun.

PENUTUP

Pembaca yang terkasih, berdasarkan uraian terdahulu maka dapat saya simpulkan:

1.     Dimana saja seorang guru mengabdikan ilmu dan pengetahuannya pasti selalu ada masalah karena yang dihadapi adalah pemuda-pemudi yang masih mencari identitas diri. Tetapi sebagai seorang yang dewasa dan guru profesional yang telah dibekali dengan metode mengajar dan pendekatan yang baik kepada siswa, masalah bisa jadi solusi, tantangan bisa jadi peluang. Dengan syarat, mau berusaha dan mau belajar menerima perkembangan teknologi.

2.     Perkembangan zaman yang beriringan dengan maraknya teknologi canggih hadir merambah semua aspek, termasuk dunia pendidikan. Dunia pendidikan akan berhasil mencerdaskan generasi penerus bangsa apabila terbuka dan mau mempelajari hal-hal baru yang disediakan zaman yang terus berkembang.

3.     Blog adalah salah satu solusi alternatif pembelajaran era digital karena siswa-siswi yang dihadapi adalah generasi milenial yang sangat fasih menggunakan internet. Blog adalah bagian dari ratusan aplikasi yang disediakan oleh blogger.com untuk membagikan tulisan (bahan ajar, tugas kepada siswa maupun perolehan nilai), termasuk foto atau video tutorial secara online.

4.     Blog bukanlah sesuatu yang baru, sudah banyak blogger professional yang dengan rela membagikan tutorial gratis cara membuat blog kepada siapapun. Satu yang saya rekomendasikan untuk calon guru blogger adalah www.sugeng.id. Melalui blog guru bisa menuliskan materi pelajaran, membagikan tugas-tugas sekolah hingga menginput laporan nilai siswa, kemudian dibagikan melalui grup line atau whatsapp. Pada taraf ini ruang dan waktu tidak lagi menjadi kendala bagi guru dan murid untuk belajar. Bukankah ini sesuatu yang sangat menggembirakan bagi dunia pendidikan kita saat ini?

5.     Melalui blog, guru bisa melatih diri untuk terus menulis dan menumbuhkan rasa cinta akan literasi kepada peserta didiknya.

6.     Blog menjadi pilihan utama saya dalam menjawab tantangan mengajar di era digitalisasi.

Sumber Refrensi

Buku:

Maryanto, Herman; Guruku Matahariku: Merenungi dan Memaknai Profesi, Jakarta: Obor, 2011.

Ndraha, Roswittha dan rekan; Tidak Ada Anak yang Sulit: Mendidik Anak dengan Suka Cita dan Cinta yang Melimpah, Yogyakarta: Andi, 2009.

Internet:

http://sugeng.id/tutorial-blogger/