MAKNA TRADISI SAPARAN

BAGI MASYARAKAT DUSUN MULUNGAN KELURAHAN NOGOSAREN KECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG

Widodo

Tri Widiarto

Wahyu Purwiyastuti

Progdi Sejarah FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK

Tradisi Saparan di Dusun Mulungan Kabupaten Semarang merupakan tradisi turun-temurun yang diwarisi oleh nenek moyang yang tetap terjaga kelestariannya sampai sekarang. Tradisi saparan bertujuan untuk meminta keslamatan dan ketentraman warga masyarakat Dusun Mulungan. Tradisi Saparan adalah wadah dalam mempererat kerukunan warga Dusun Mulungan, dilihat dari kerja sama warga mulai persiapan, prosesi, dan hingga akhir Upacara Tradisi Saparan. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam tradisi Saparan di dusun Mulungan antara lain gotong-royong, kekeluargaan, solidaritas, ketentraman, menghormati leluhur, syukur, dan ketaatan. Nilai-nilai tersebut tetap terjaga dalam pelaksanaan tradisi saparan di Dusun Mulungan

Kata kunci: Tradisi saparan, Makna, Mulungan


PENDAHULUAN

Indonesian adalah negara kepulau-an yang memiliki beragam budaya, suku, adat-istiadat, dan bahasa yang berdeda di setiap daerah. Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan tradisi yang masih dilaksanakan dan di jaga keberadaannya oleh setiap suku di daerahnya masing-masing, kini terasa hampir punah. Pada umumnya masyarakat sekarang dengan isu globalisasi dan kemajuan teknologi merasa malu apabila masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal dan budaya daerah.

Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang Bhineka bukan hanya karena keadaan geografisnya tetapi juga karena sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Indonesia berada pada persim-pangan budaya internasional. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bukan hanya terjadi dari berbagai suku tapi juga dari berbagai jenis kebudayaan. Masing-masing daerah memiliki ragam bahasa, kesenian, tradisi, pola hidup, falsafah hidup dan lain sebagai-nya yang khas milik masyarakat mereka sendiri. Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi ber-dasarkan suatu sistem adat istiadat terten-tu yang kontinu dan menimbulkan ikatan rasa identitas yang sama (Koentjaraning-rat, 1984:146).

Prioritas kebutuhan dan gaya hidup telah mengikis nilai-nilai budaya yang sebenarnya telah dilakoni secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Iden-titas kebersamaan dalam bentuk budaya yang mengikat masyarakat perlahan mulai merenggang dan luntur. Lunturnya kebu-dayaan tersebut seringkali dimulai karena para generasi penerus tidak mampu untuk melestarikan budaya mereka sendiri. Terutama kelunturan dalam nilai budaya yang dianut dan berbagai warisan bentuk kebudayaan yang mulai ditinggalkan.

Penanaman nilai-nilai dan falsafah hidup yang telah turun temurun dilakukan pada akhirnya menemui kesurutan. Hanya sedikit generasi yang masih mampu untuk menjunjung tinggi budaya asli mereka dalam tatanan yang seutuhnya. Namun tidak semua daerah mudah melepaskan kebudayaan mereka meskipun modernisasi telah mereka rasakan. Mereka adalah masyarakat yang mengerti dengan baik apa yang telah diyakini dan dilaksanakan oleh para nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Mereka masih menghormati budaya yang mereka yakini kesucian dan keluhurannya. Terdapat beberapa masyarakat yang masih memilih untuk mempertahankan warisan budaya mereka. Mereka menganggap budaya tersebut merupakan kebiasaan yang tetap harus dipertahankan bahkan meskipun telah mengalami tantangan baik tantangan internal maupun eksternal.

Salah satunya adalah sebuah masyarakat di Dusun Mulungan, Kelurahan Nogosaren, Kecamatan Getasan, Kabupa-ten Semarang. Hingga kini Tradisi Saparan masih menjadi peristiwa budaya yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Dusun Mulungan setiap tahunnya. Peneliti memilih Saparan sebagai kajian untuk diteliti karena melihat keberadaan Saparan saat ini bukan semata-mata hasil warisan saja, melainkan juga merupakan hasil dari keteguhan hati masyarakat Dusun Mulungan untuk mempertahankan budaya mereka.

KAJIAN PUSTAKA

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwaris-kan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, ba-ngunan, dan karya seni. Bahasa, sebagai-mana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika sese-orang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Kebudayaan sangat erat hubungannya de-ngan masyarakat.

Penggunaan istilah kebudayaan dapat dikatakan longgar dan pengertiannya pun berganda (ambiguous), yaitu mulai cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar bisa luas. Cakupan luasnya itu tidak hanya terjadi dalam penggunaanya dalam kehidupanya sehari-hari, tetapi penggunaannya sebagai istilah dalam wacana ilmu pengetahuan, kususnya ilmu penetahuan sosial (social sciences). Secara etimologis, kata ‘Kebudayaan’ berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berati akal atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya diderivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenan dengan hal-hal yang berkenan dengan budi atau akal (Sidi Gazalba, 1998 (dalam Sulasman 2013:17).

Tradisi (Bahasa latin: Tradito atau diteruskan) atau kebiasaan dalam pengerti-an yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah di lakukan sejak lama dan men-jadi bagian dari kehidupan suatu kebuda-yaan. Hal yang paling mendasardari tradisi adalah adanya informasi yang di teruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lesan, karena adanya ini suatu tradisi dapat punah.

Tradisi merupakan roh dari sebu-ah kebudayaan, dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Biala tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan efisiensi-nya selalu mengikuti perjalanan perkem-bangan unsur kebudayaan. Berbagai ben-tuk sikap dan tindakan dalam menyelesai-kan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efisiensinya rendah akan segera diting-galkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.

Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan secara turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masya-rakat, serta berupa penilaian atau anggap-an bahwa cara cara yang baik dan benar. Serta tindakan yang selalu berpegang te-guh dengan norma dan adat istiadat turun temurun. Tradisi merupakan kesadaran yang kolektif sebuah masyarakat yang sifatnya luas dan meliputi kehidupan yang kompleks. Trdisi juga dapat diterjemahkan dengan pewariasan atau penerusan unsur unsur adat istiadat serta kaidah kaidah. Tradisi sebagai kebiasaan kesadaran yang kolektif yang dapat memperlancar serta penting artinya dalam pergaulan bersama masyarakat.

Peranan tradisi sangat nampat pada masyarakat pedesaan walaupun kehi-dupan tradisi terdapat pula pada kehidupan masyarakat kota. Masyarakat pedesaan dapat didefinisiakan sebagai masyarakat agraris, maka sikap masyarakat seperti itu cenderung tidak berani berspekulasi dengan arternatif yang baru, tingkah laku masyarakat selalu pada pola pola tradisi yang telah lalu. (Bastomi, 1986: 14)

Masyaarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang menarik untuk dikaji. Istilah masyarakat dari bahasa inggris adalah Society, sedangkan dari bahasa arap adalah Syaraka yang berarti ikut serta, atau partisipasi.

METODOLOGI

Penelitia yang dilakukan bersifat kualitatif, artinya penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif yang berupa kata-kata tertulis terhadap apa yang telah diamati, atau dengan kata lain data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan kualitas data, sehingga teknik pengumpul-an datanya banyak menggunakan wawan-cara berkesinambungan dari observasi langsung. Peneliti bermaksud menggam-barkan dan menguraikan tentang Makna Tradisi Saparan Bagi Masyarakat Dusun Mulungan Kelurahan Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.

PEMBAHASAN

Letak Geografis Dusun Mulungan

Berdasarkan letak geografisnya Dusun Mulungan berada di daerah pegu-nungan dengan ketinggian 600-800 m di atas permukaan laut. Dusun Mulungan be-rupa dataran tinggi dengan kemiringan 15%-40%. Kemiringan lereng menurun ke arah Timur sejajar dengan jalur-jalur sungai.

Dusun Mulungan adalah sebuah perkampungan yang berada di kelurahan Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Dusun Mulungan berada di lereng gunung Telomoyo, dengan batas wilayah sebelah timur kelurahan Nogosaren dan Obyek Wisata Kali Pancur, sebelah utara Desa Srandil, sebelah Darat Daya Dusun Karang Bawang, dan di sebelah Selatan Dusun Gejayan.

Kependudukan

Dusun Mulungan merupakan salah satu dari 4 (empat) dusun yang berada di kelurahan Nogosaren. Dusun yang berada di kelurahan nogosaren yaitu desa Nogosaren, Dusun Gejayan, Dusun Karang Bawang, dan Dusun Mulungan.

Jumlah Penduduk pada tahun 2014 di Dusun Mulungan adalah 300 jiwa, terdiri dari 62 Kepala Keluarga.

Jumlah penduduk di kelurahan Nogosaren yaitu 1561 jiwa. Jumlah 1561 tersebut terdapat 799 laki-laki dan 762 perempuan (Laporan monografi kependu-dukan kelurahan Nogosaren). 1561 jiwa penduduk di kelurahan Nogosaren, 5,2 % merupakan penduduk dusun Mulungan yaitu sebanyak 300 jiwa. Dusun Mulungan kelurahan Nogosaren kecamatan Getasan terdapat 2 RT yaitu RT/RW 10/02 dan RT/RW 11/02. Dua RT tersebut jumlah penduduk terdapat 300 jiwa dari 63 Kepala Keluarga (KK), dengan data penduduk, laki-laki 148 dan perempuan 152. (laporan kependudukan dusun Mulungan).

Jumlah penduduk di Dusun Mulu-ngan dengan 300 jiwa. Dari dua yaitu RT 10 dan RT 11, yang paling banyak penduduknya adalah RT 10 yaitu terdapar 164 jiwa dari data penduduk Laki-laki 81 jiwa, dan perempuan 83 jiw.

Jumlah penduduk di Dusun Mulungan yang berjumlah 300 jiwa dan 164 jiwa merupakan penduduk RT 10 dan sisanya merupakan penduduk RT 11 yaitu berjumlah 136, dengan data penduduk laki-laki 67, dan perempuan 69.

Kehidupan Sosial Masyarakat

Interaksi sosial antar masyarakat Dusun Mulungan masih terjadi secara in-tensif. Masyarakat hidup saling berdam-pingan secara rukun, penuh toleransi, dan saling menghormati, tanpa membanding atau membedakan status sosial dan sistem kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu.

Kehidupan Ekonomi

Dilihat dari kondisi wilayah dusun Mulungan yang berada di daerah pegu-nungan, kehidupan ekonomi masyarakat dusun Mulungan mayoritas adalah bekerja sebagai petani, peternak. Tetapi ada yang bekerja sebagai pegawai swasta, dan pegawai negeri.

Kehidupan Agama

Masyarakat Mulungan merupakan masyarakat yang taat beragama. Agama yang dianut oleh masyarakat Dusun Mulungan adalah agama Islam, itu terbukti adanya kegiatan-kegiatan yang menyang-kut tentang keagamaan. Kegiatan keaga-maan yang dilakukan masyarakat dusun Mulungan yaitu, tahlilan, pengajian, solat 5 waktu, puasa, dan peringatan hari-hari besar agama Islam

Sejarah Asal Mula Tradisi Saparan

Tradisi saparan adalah tradisi turun temurun yang merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat jawa. Pada umumnya tradisi saparan dikenal sebagai tradisi merti desa. Tradisi saparan dilaksanakan untuk mengenang hari jadi dusun atau desa. Perayaan tradisi saparan, sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat yang pada umumnya tinggal di daerah pedesaan. Hal tersebut, sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Mulungan Kelurahan Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, yang sampai sekarang masih melaksana-kan tradisi saparan.

Tradisi saparan merupakan tradisi tahunan dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Mulungan. Tradisi yang diwarisi dari leluhurnya yaitu Mbah Kyai Pagol. Dusun Mulungan dulu merupakan perkampungan, daerahnya mayoritas berupa kebun kopi, suatu hari, datanglah seorang yang bena-ma Mbah Kyai Pagol bersama istrinya, Mbah Nyai Senggani. Semula mereka bertempat tinggal di Solo, tapi karena ada serangan dari penjajahan Belanda, maka mereka melarikan diri untuk menyelamat-kan diri. Kemudian mereka mencari tempat yang aman untuk bersembunyi, dan tibalah mereka di kebun kopi dan membuat suatu pemukiman yang sampai sekarang disebut Dusun Mulungan.

Mengapa permukiman tersebut diberi nama Mulungan? Pada waktu itu saat keadaan sudah mulai aman, terhindar dari serangan penjajahan Belanda, mbah Kyai Pagol merenung di atas tebing, tepatnya di sebelah Barat tempat tinggalnya. Mbah Kyai Pagol melihat Prinjalin Wulung (dalam bahasa Indonesia pohon Rotan berwarna hitam) yang tingginya dari dasar tebing melintang sampai melebihi tinggi rumah-nya, berdasarkan peristiwa tersebut mbah Kyai Pagol kemudian memberikan nama permukimannya itu sebagai Mulungan.

Setelah diberi nama, kemudian Mbah Kyai Pagol meresmikan nama terse-but dengan mengadakan acara sukuran, tepatnya pada hari Senin Pahing bulan Sapar. Maka sebagai tanda hari peresmian nama Mulungan, setiap tahun di hari dan bulan tersebut diadakan selamatan desa. Selamatan desa tersebut sampai sekarang masih dilaksanakan dan dikenal dengan nama Saparan atau Merti Desa.( wawancara Mbah Juari dan Mbah Supomo: 6 maret 2015).

Tujuan Pelaksanaan Tradisi Saparan

Bulan sofar atau lebih dikenal dengan bulan sapar bagi masyarakat Indo-nesia kususnya orang jawa adalah bulan kedua dalam penanggalan tahun Hijriyah. Di dusun Mulungan melaksanakan tradisi yang setiap tahunnya dilaksanakan pada bulan Sofar yaitu yang dinamakan tradisi saparan. Tradisi saparan di dusun Mulungan ini dilaksanakan sudah dari jaman dulu. Tradisi ini merupakan warisan budaya dari nenek moyang di dusun Mulungan atau cikal bakal dusun Mulungan. tradisi saparan di dusun Mu-lungan ini bagi masyarakat dusun Mu-lungan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan dilaksanakan Tradisi saparan ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberi keselamatan dalam mengarungi kehidupan ini.

Masyarakat di dusun Mulungan masih melestarikan tradisi saparan, karena saparan merupakan tradisi tahunan yang setiap tahunnya harus dilaksanakan. Tradi-si saparan ini untuk meminta ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kususnya semua warga masyarakat Dusun Mulungan

Seperti yang telah diketahui, bahwa tradisi saparan di Dusun Mulungan mempunyai tujuan meminta keselamatan dan ketentraman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi di sisi lain, dilaksanakan Tradisi saparan yaitu untuk memperingati hari jadi Dusun Mulungan, seperti halnya perayaan ulang tahun Dusun, dan merupakan wujut rasa syukur terhadap Tuhan atas nikmat yang diberikan kepada masyarakat dusun Mulungan, yaitu berupa sumber daya alam yang cukup yaitu berupa air yang melimpah dan tanah yang subur, hal tersebut patut untuk disyukuri, dan juga turut mendoakan seseorang yang berjasa di Dusun Mulungan yaitu Mbah Kyai Pagol yang merupakan Cikal bakal di Dusun Mulungan agar arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa, dan dosa dosanya diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa.                        

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Saparan

Pelaksanaan upacara tradisi sapar-an ada beberapa prosesi yang harus dilakukan oleh masyarakat Mulungan yaitu bersih kali dan bersih kubur (makam). Ber-sih kali dan bersih kubur (makam) merupa-kan suatu kegiatan masyarakat mulungan sebelum pelaksanaan upacara tradisi saparan. Jadi pada saat bersih kali semua warga harus kerjabakti membersihkan kali, yaitu mulai dari sumber mata air, kali umum (kamar mandi umum) dan kamar mandi milik pribadi. Setelah semua masya-rakat mulungan selesai membersihkan kali, kemudian masyarakat dusun Mulungan melakukan bersih kubur (makam). Dalam bersih kubur (makam) ini, masyarakat hanya membersihkan makam milik sanak keluarganya dan setelah itu mereka berdoa di makam tersebut.

Bersih Kali

Bersih kali merupakan suatu kegiatan tahunan pada masyarakat dusun Mulungan, yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan saparan. Tepatnya pada hari rabu pahing dalam kalender jawa atau 5 (lima) hari sebelum upacara tradisi saparan.

Dilaksanakannya bersih kali ini merupakan suatu simbol masyarakat dusun Mulungan. Yaitu agar semua warga masyarakat dusun Mulungan diberi kelancaran, yaitu kelancaran saat proses upacara tradisi saparan. Dilaksanakannya bersih kali dalam kepercayaan masyarakat dusun Mulungan supaya di kasih kelancaran dalam mencari rezeki, dan semua aktifitas warga masyarakat dusun Mulungan di beri lancar oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.( wawancara dengan mbah Supomo: 2 Maret 2015).

Bersih Kubur

Sebelum melaksanakan upacara Tradisi saparan, warga masyarakat Mulu-ngan diharuskan untuk bersih kubur atau tilik kubur. Bersih kubur merupakan suatu bentuk penghormatan kepada sanak kelu-arga yang sudah meninggal. Kegiatan yang dilakukan pada saat tilik kubur adalah membersihkan kuburan (makam) dan mendoakan sanak keluarganya yang sudah meninggal, yaitu meminta pengampunan dosa agar arwahnya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Pelaksanaan Upacara Tradisi Saparan

Tradisi saparan dilaksanakan pada pagi hari jam 09.00 WIB. Yaitu semua warga dusun mulungan bersama-sama membawa makanan atau sesaji kerumah Kepala Dusun, setelah semua warga berkumpul maka acara segera dimolai. Acara upacara saparan ini sangatlah sederhana, karena yang memimpin acara tersebut adalah Bapak Kepala Dusun sendiri, yaitu sambutan, tahlilan dan doa. Setelah selesai berdoa, makanan atau sesaji yang di bawa oleh warga masyarakat Dusun Mulungan di makan bersama sama ditempat tersebut, dalam hal makan bersama warga saling berbagi atas makanan yang di bawa warga. Kemudian pukcak acara adalah menonton kesenian yang sudah disiapkan oleh panitia saparan.

Nilai-nilai Pendidikan Dalam Tradisi Saparan

a. Nilai Gotong-royong

Nilai gotong-royong dalam tradisi saparan di dusun Mulungan nampak pada masyarakat di Dusun Mulungan sebelum pelaksanaan upacara Saparan yaitu seluruh warga masyarakat Dusun Mulungan harus melakukan kerja bakti membersihkan air yang di konsumsi masyarakat dusun Mulungan setiap harinya (bersih kali). Kemudian masyarakat dusun Mulungan melakukan kerja bakti untuk membersihkan makam (bersih kubur). Nilai Kekeluargaan

Dalam tradisi Saparan di Dusun Mulungan terdapat nilai kekeluargaan. Nilai kekeluargaan tersebut nampak pada saat prosesi pelaksanaan Tradisi Saparan dari bersih makam, bersih kali, dan juga pada saat semua warga Mulungan melaksanakan upacara Saparan yaitu berdoa dan makan bersama.

b. Nilai Solidaritas

Nilai solidaritas ini nampak pada pelaksanaan upacara saparan yaitu rasa senasib sepenanggungan masyarakat da-lam melaksanaan Tradisi Saparan demi mendapatkan keselamatan dan keten-traman warga masyarakat di Dusun Mulungan

c. Nilai Ketentraman

Dilaksanakannya upacara tradisi Saparan di dusun Mulungan, supaya men-dapat ketentraman pada warga masyarakat Mululungan, yaitu ketentraman yang berupa kelancaran dalam mencari rizki, terhindar dari malapetaka, dan bencana alam. Menurut cerita dari masyarakat sean-dainya tradisi saparan tidak dilaksanakan maka akan mendapat masalah, antara lain ketidak beruntungan dalam mencari rejeki, mendapat bala seperti wabah penyakit yang menyebabkan kematian.

d. Nilai Syukur

Bersyukur merupakan suatu hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat dusun Mulungan. Terkait dalam upacara tradisi saparan, masyarakat sangat bersyukur atas apa yang diberikan oleh Tuhan yang beru-pa keselamatan, ketentraman, kelancaran dalam melaksanakan upacara Saparan. Maka bentuk rasa syukur pada masyarakat Mulungan dalam pelaksanaan upacara tradisi saparan adalah memberikan sebagi-an hasil bumi untuk disedekahkan kepada warga yang tidak mampu dan memberi makanan bagi warga Mulungan yang tidak bisa mengikuti upacara tradisi saparan.

e. Nilai Menghormati Leluhur

Menghormati leluhur sudah dilaku-kan oleh masyarakat Dusun Mulungan sejak dahulu. Terkait dalam pelaksanaan Tradisi Saparan, masyarakat menghormati leluhurnya dengan cara membersihkan makam dan mendoakannya itu terlihat pada saat masyarakat melakukan prosesi pelaksanaan upacara Saparan yaitu pada waktu bersih kubur atau makam. Antara lain masyarakat bersama sama membersihkam makam dan dan mengirim doa kepada para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal.

f. Nilai Ketaatan

Nilai ketaatan pada masyarakat dusun Mulungan, terkait pada pelaksanaan Tradisi Saparan yaitu sejak jaman dahulu sampai sekarang masyarakat Mulungan masih melaksanakan upacara tradisi Saparan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Wujud dari nilai ketaatan yang dilaksanakan masyarakat Dusun Mulungan dalam tradisi saparan antara lain masyarakat melaksanakan prosesi saparan dengan aturan yang telah ditetapkan sejak jaman dahulu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisa dan pengumpulan data yang penu-lis paparkan dalam kajian “Makna Tradisi Saparan Bagi Masyarakat Dusun Mulungan Kelurahan Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang” dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tradisi Saparan di Dusun Mulungan merupakan tradisi turun-temurun yang diwarisi oleh nenek moyang yang tetap terjaga kelestariannya sampai seka-rang. Tradisi saparan bertujuan untuk meminta keslamatan dan ketentraman warga masyarakat Dusun Mulungan.

2. Tradisi Saparan adalah wadah dalam mempererat kerukunan warga Dusun Mulungan, dilihat dari kerja sama warga mulai persiapan, prosesi, dan hingga akhir Upacara Tradisi Saparan. Persiapan yang dilakukan masyarakat Dusun Mulungan adalah membersihkan Kali dan Makam dengan cara bersama-an.

3. Terdapat Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam tradisi Saparan di Dusun Mulungan antara lain gotong-royong, kekeluargaan, solidaritas, ke-tentraman, menghormati leluhur, syu-kur, dan ketaatan. Nilai-nilai tersebut tetap terjaga dalam pelaksanaan tradisi saparan di Dusun Mulungan, karena sudah menjadi suatu kebiasaan terhadap masyarakat Dusun Mulungan sejak dahulu hingga sekarang yang masih tetap dilestarikan dan tidak akan dihilangkan.

4. Makna tradisi Saparan adalah memu-puk rasa persaudaraan, gotong-ro-yong, dan kebersamaan warga tanpa memandang status sosial dan ekonomi pada masyarakat Dusun Mulungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, Suwaji. 1986. Kebudayaan Apresiasi Pendidikan Seni. Semarang: IKIP Pres.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita..

FX. Wartoyo. 2010. Kajian Masyarakat Indonesia, Mengenal Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Media Perkasa.

Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

_____________. 1982. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Paramerdi Girl Wiloso, dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Salatiga: Widya Sari Press.

Sulasman, Setia Gumilar. 2013. Teori-teori Kebudayaan dari Teori hingga Aplikasi. Bandung: CV Pustaka setia.

Suyatno Katodirdjo, dkk. 2012. Pedoman Tata Tulis Ilmiah. Salatiga: Widya Sari Press.

Tri Widiarto. 2007. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press.

Woro Aryandini S. 2000. Citra Bima Dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta: Universitas Indonesia ( UI-press).