MANAJEMEN TALENTA DALAM PERUSAHAAN DAN IMPLIKASINYA

DALAM BIROKRASI PEMERINTAH

Umbu Tagela

Staf Pengajar FKIP

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

PENDAHULUAN

Awalnya konsep manajemen talenta diperkenalkan kepada publik, berangkat dari sebuah hasil penelitian selama 25 tahun yang dilakukan oleh sebuah lembaga konsultan yang bernama LBA Consulting Group. Dalam hasil penelitiannya tahun 1990-an tentang faktor-faktor yang memberi kontribusi pada penciptaan dan pemeliharaan keunggulan organisasi menunjukkan enam kondisi sumber daya manusia (SDM) yang harus dipenuhi antara lain adalah: (1) budaya berorientasi pada kinerja, (2) rendahnya tingkat keluar masuk (turnover) karyawan terutama pada karyawan yang yang kinerja unggul, (3) tingkat kepuasan karyawan yang relartif tinggi, (4) kaderisasi karyawan SDM yang berkualitas, (5) efektifnya investasi yang berupa balas jasa dalam pengembangan SDM dan (6) proses seleksi karyawan serta evaluasi kinerja yang berbasis kompetensi.

Berdasarkan hasil penelitian tentang keunggulan organisasi mengungkapkan bahwa kondisi infra struktur sistem dan proses SDM pada organsasi yang gagal biasanya merupakan mosaik yang tidak padu dan tidak saling menyambung dan tidak lengkap. Hasil riset yang lain menunjukkan bahwa suatu sistem dan proses manajemen SDM yang telah dikembangkan secara canggih selama 70-an tahun kadang tidak dihargai atau tidak dianut sebagaimana mestinya (Lance dkk, 2007).

Selanjutnya Lance dkk dalam hasil penelitiannya tentang pengukuiran kinerja pada 350 organisasi termasuk Perusahaan yang berhasil melaksanakan manajemen talenta menunjukkan bahwa sebagian besar mereka menggunakan lima skala untuk mengukur kinerja yakni: (1) sangat lebih dari yang diharapkan, (2) lebih dari yang diharapkan, (3) sesuai yang diharapkan, (4) kurang dari yang diharapkan dan (5) sangat kurang dari yang diharapkan.

Mengacu paparan di atas, Lance dkk (2007) mengemukakan organisasi yang unggul biasanya didukung oleh manajemen SDM yang proaktif dan sistematis. Selanjutnya dikatakan bahwa organisasi yang gagal biasanya manajemen SDM secara asal-asalan saja atau masih menggunakan sistem yang tradisional. Atas dasar itulah Lance dkk mempernalkan konsep manajemen talenta untuk mengoptimalkan kamampuan dalam mencapai keunggulan organisasi yang langgeng.

Selanjutnya Lance dkk (2007) mengatakan bahwa Perusahaan yang berhasil secara sengaja dan intuitif memiliki pumpunan (focus) pada tiga hal yakni: (1) melakukan identifikasi, seleksi, pengembangan dan mempertahankan pada superkeeper, (2) mengindentifikasi dan mengembangkan karyawan yang berkualitas tinggi sebagai kader pengganti pemegang jabatan pada posisi – posisi kunci yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan organisasi, (3) melakukan klasifikasi dan investasi setiap karyawan berdasarkan realisasi dan atau potensi kontribusinya pada kinerja organisasi. (superkeeper, keeper, solid citizen dan misfit)

MENCIPTAKAN SISTEM MANAJEMEN TALENTA

Mengembangkan Alat-alat dan Skala Assessment

Dalam mengembangkan skala assessment, hal penting yang mesti dipahami adalah tentang kompetensi sebagai basis pengembangan alat dalam rangka penyusunan skala assessment.

Berkenaan dengan hal tersebut, Liyle (Lance dkk, 2007) menakrifkan (definition) kompetensi sebagai karakteristik atau kombinasi beberapa karakteristik yang dapat diukur secara andal dan relatif bertahan lama (stabil) yang dimiliki seseorang, Tim atau organisasi yang menyebabkan dan secara statistik dapat memprediksi criteria (ukuran) tingkat kinerja.

Karakteristik kompetensi artinya pengetahuan, ketrampilan, perilaku, kemampuan kognitif, sikap, nilai-nilai, motif dan kadang-kadang kemampuan sensomotorik yang secara akurat menggambarkan level; kinerja tertentu. Pengetahuan, ketrampilan dan karakteristik pribadi yang merupakan tuntutan minimal untuk mencapai kinerja pada tingkat wajar disebut sebagai kompetensi “threshold”. Makusdnya adalah kompetensi yang membedakan antara orang yang bisa melakukan suatu pekerjaan dengan orang yang tidak dapat melakukan suatu pekerjaan.Karakteristik yang menunjukkan kearah kinerja superior merupakan kompetensi differentiating karena membedakan antara orang yang mampu mencapai kinerja unggul dengan orang yang kinerjanya rata-rata.

Merujuk kerangka pikir di atas, disusunlah sistem penilaian kinerja yang dapat dikategorikan berdasarkan pengarah kinerja dan pengarah kinerjalah yang menjadi pumpunan pengukuran. Kategori sistem penilaian tersebut menurut Martin (Lance dkk 2007) adalah:

*.   Trait based, sifat tertentu tertentu merupakan pengarah kinerja, jadi yang diukur adalah karakteristik pribadi pemegang pekerjaan.

*    Behavior based, perilaku tertentu merupakan pengarah kinerja. Hal yang diukur adalah apa yang dilakukan oleh pemegang pekerjaan.

*    Knowledge/skill based, pegetahuan dan ketrampilan tertentu merupakan pengarah kinerja, yang dikur adalah aapa yang diketahui/diaplikasikan oleh pemegang pekerjaan.

*    Result based, pencapaian sasaran sama dengan kinerja, yang diukur adalah apa yang berhasil dicapai oleh pemegang pekerjaan.Sistem penilaian kinerja yang terbaik dan sesuai dengan organisasi sangat tergantung pada sasaran yang hendak dicapai.

Perkiraan keberhasilan seorang karyawan pada setiap level disebut sebagai perkiraan potensi. Assessment dilakukan berdasarkan kinerja yang telah dicapai dan proyeksi terhadap hal-hal yang akan dilakukan dan besarnya tanggungjawab yang bisa dilakukan.

Perkiraan untuk posisi-posisi staf biasanya dilakukan berdasarkan satu set faktor seperti skills, kecerdasan intelektual, sikap, loyalitas, prestasi kerja dan pengalaman serta masa kerja. Rasa percaya diri, kekuatan mental, agresivitas, kebiasaan pribadi, ketenangan diri dan instink.

Program assessment digunakan untuk mengkoordinisasi daur hidup profesionalisasi staf pada tingkat yang berbeda dalam organisasi dan membandingkannya dengan staf pada level yang lebih atas untuk dapat memperkirakan waktu rotasi yang tepat.

Berbagai potensi talenta yang diharapkan dimiliki oleh staf perlu dikembangkan dan diukur secara terus menerus. Untuk maksud itu perlu disusun alat pelatihan dan pengembangan yang juga digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja setiap staf yang bermuara kepada rencana tindakan selanjutnya.

Adapun kompetensi inti yang menjadi basis penyusunan skala, menurut Lance dkk (2007) adalah sebagai berikuit:

1.   Action orientation seperti menetapkan target dan mencapai hasil, mengatasi masalah, bertanggungjawab, mengembangkan standard dan tanggungjawab, men-ciptakan kondisi yang berorientasi pada penyelesaian masalah dan melakukan tindak lanjut.

2.   Communication seperti, melakukan komunikasi lisan dan tertulis secara baik, bertukat dan menyampaikan informasi dan ide-ide secara efektif, mendengarkan dengan baik dan memahami arah pembicaraan, menyampaikan ide-ide secara jelas dan sistematis serta memahami detail yang berkaitan dengan informasi yang disampaikan.

3.   Creativity/innovation seperti, menghasilkan ide-ide baru dan mengembangkan sistem baru atau meningkatkan sistem yang berlaku saat ini untuk menghadapi situasi status quo, berani mengambil resiko, dan mendorong terjadinya inovasi.

4.   Critical Judgment seperti, memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu keadaan/kondisi/peristiwa dan focus untuk mendapatkan solusi yang tepat, secara konsisten melakukan sesuatu yang benar yang ditunjukkan melalui kinerja yang nyata.

5.   Customer orientation seperti, mendengarkan pelanggan, membangun kepercayaan pelanggan, meningkatkan kepuasan pelanggan, memastikan bahwa komitmen yang telah dibuat terlaksana, semaksimal mungkin memenuhi permintaan pelanggan, dan responsive/tanggap terhadap kebutuhan pelanggan.

6.   Interpersonal Skill seperti, menjalin hubungan dengan orang lain secara efektif, dan produktif dan mengembangkan rasa saling percaya, dapat dipercaya dan percaya pada orang lain.

7.   Leadership seperti, memotivasi, mendayagunakan, menginspirasi, berkolaborasi, dan menyemangati orang lain, mengembangkan kultur sehingga meningkatkan rasa memiliki karyawan terhadap yang dilaksanakan dan terus menerus memperbaikinya, mengembangkan consensus, bila diperlukan mengarahkan anggota kelompoknya pada tujuan bersama.

8.   Teamwork seperti, mengetahui kapan dan bagaimana untuk menarik, menghargai, dan mendayagunakan tim untuk mencapai hasil yang maksimal, membangun kepercayaan, menumbuhkan antusiasme, membantu menyelesaikan konflik, mengembangkan konsensus untuk menciptakan kinerja tim yang tinggi.

9.   Technical/Functional expertise seperti, memiliki kemampuan tehnis fungsional yang kuat serta pengetahuan yang sesuai dengan pengalamannya, memahami bisnis perusahaan dan memiliki pengetahuan strategi dan financial, termasuk proses perencanaan beserta implikasinya bagi perusahaan.

Atas dasar itu maka pemetaan kompetensi merupakan proses untuk menguraikan kompetensi ke dalam perilaku-perilaku yang dituntut oleh setiap level jabatan pada suatu organisasi.

Mengembangkan Alat Pelatihan dan Pengembangan

Pelatihan (training) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja karyawan. Menurut pasal 1 ayat 9 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 – ketenagakerjaan – pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktifitas, disiplin, sikap, daan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan. Pelatihan terdiri atas serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman, atau perubahan sikap seseorang.

Pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian atau pengetahuan tertentu. Program pelatihan megajarkan kepada para peserta bagaimana menunaikan aktivitas atau pekerjaan tertentu. Sebagai contoh, manakala sebuah organisasi mengkomputerisasi prosedur pesanan yang masuk, karyawan mungkin diminta mengasah kecakapan yang dibutuhkan untuk menggunakan Komputer, menimba pengetahuan mengenai prosedur pesanan masuk yang baru, atau barangkali mengembangkan sikap yang lebih efektif terhadap komputerisasi. Dalam pelatihan diciptakan suatu lingkungan dimana para karyawan dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan, dan perilaku yang spesifik yang berhubungan dengan pekerjaan. Pelatihan biasanya terpumpun pada penyediaan keahliaan khusus bagi para karyawan atau membantu membenahi kelemahan kinerja mereka. Melalui peletihan dilakukan segenap upaya untuk meningkatkan kecakapan karyawan pada pekerjaan yang didudukinya sekarang. Jikalau seseorang ingin melakukan pembedaan antara pelatihan (training) dan pengembangan (development), maka pelatihan diarahkan untuk membantu para karyawan menunaikan pekerjaan mereka saat ini secara lebih baik, sedangkan pengembangan mewakili suatu investasi yang berorientasi ke masa depan dalam diri para karyawan. Pelatihan mempunyai fokus yang agak sempit dan harus memberikan keahlian yang bakal memberikan manfaat bagi organisasi secara cepat. Manfaat finansial pelatihan bagi organisasi biasanya terjadi dengan segera.

Pengembangan (development) diartikan sebagai penyiapan individu untuk memikil tanggung jawab yang berbeda atau yang lebih tinggi di dalam organisasi. Pengembangan biasanya berhubungan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk menunaikan pekerjaan yang lebih baik. Pengembangan berpijak pada fakta bahwa seorang karyawan akan membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang berkembang supaya bekerja dengan baik dalam suksesi posisi yang dijalani selama karirnya. Persiapan karir jangka panjang dari seorang karyawan untuk serangkaian posisi inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan karyawan. Pengembangan mempunyai lingkup yang lebih luas. Pengembangan lebih berfokus pada kebutuhan umum jangka panjang organisasi. Hasilnya bersifat tidak langsung dan hanya dapat diukur dalam jangka panjang. Pengembangan juga membantu para karyawan untuk menyiapkan diri menghadapi perubahan dipekerjaan mereka yang dapat diakibatkan oleh teknologi baru,disain pekerjaan, pelanggan baru, atau pasar produk baru.

Pelatihan (training) sering dibedakan dari pendidikan (education). Pendidikan atau edukasi dianggap lebih luas lingkupnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan individu. Biasanya pendidikan dianggap sebagai pendidikan formal di sekolah, akademi, atau perguruan tinggi, sedangkan pelatihan lebih berorientasi kejuruan (vocationally oriented) dan berlangsung di dalam suatu lingkungan organisasi. Pelatihan pada umumnya lebih mempunyai tujuan segera ketimbang pendidikan. Program pelatihan dirancang dalam upaya membatasi kemungkinan respons karyawan hanya pada perilaku yang dikehendaki oleh perusahaan. Respons semacam ini akan lebih digemari karena beberapa sebab. Respons barangkali lebih efisien, aman, atau hanya konsisten dengan tujuan atau filosofi organisasional. Sebagai contoh, sekiranya berkembang situasi yang tidak aman, seorang karyawan dapat dilatih dengan cara yang paling tepat untuk menanggulanginya. Tujuannya adalah untuk membuat karyawan bereaksi dengan cara tertentu tanpa ragu-ragu. Dalam keterbatasan respons inilah pelatihan berbeda dengan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai suatu alat peningkatan rentang respons karyawan ketimbang pengurangan. Pendidikan menunjukkan suatu perluasan individu sehingga dia dapat dipersiapkan untuk menilai berbagai situasi dan memilih respons yang paling tepat. Meskipun banyak posisi ahli, semi ahli, dan tidak ahli yang membutuhkan pelatihan, posisi kepenyeliaan dan manajemen memerlukan unsure edukasi. Akhir-akhir ini terlihat adanya kekaburan perbedaan antara latihan dan edukasi. Karena semakin banyak karyawan yang diminta menggunakan pertimbangan (judgment) dan memilih diantara alternatif-alternatif solusi terhadap permasalahan kerja. Program pelatihan mencoba memperluas dan mengembangkan individu melalui edukasi. Sebagai contoh, karyawan dalam pekerjaan yang diperkaya (enriched job), tim kerja yang dikelola sendiri, dan/atau karyawan dalam industri jasa mungkin diminta mengambil keputusan independen mengenai pekerjaan dan hubungannya dengan klien. Oleh karena itu, orgaisasi patut memperhitungkan unsur edukasi dan unsur pelatihan ketika merencanakan program pelatihan.

Tanggung jawab utama atas pelatihan dan pengembangan diemban bersama oleh manajemen puncak, departemen sumber daya manusia, penyelia langsung, dan karyawan.

Manajemen puncak Komitmen pejabat eksekutif kepala dan manajemen puncak sangatlah penting bagi berlangsungnya pelatihan yang efektif diseluruh organisasi. Manajer-manajer cenderung mengelola sebagaimana mereka dikelola. Setiap program bersifat pengembangan yang tidak mendapat perhatian, pemahaman, dan komitmen dari manajemen puncak akan sangat membatasi perubahan dasar yang dapat dihasilkannya.

Manajemen puncak memikul tanggung jawab atas penyampaian kebijakan umum dan prosedur yang dibutuhkan untuk menerapkan program pelatihan. Manajemen puncak perlu menjalankan pengendalian administratif guna memastikan bahwa para manajer dan karyawan mematuhi program dan mengerahkan komitmen yang sungguh-sungguh.

Penciptaan latar kultur guna menggalakkan pelatihan dan pengembangan terletak ditangan manajemen puncak. Sekiranya manajemen puncak tidak melakukan hal itu, pembentukan iklim yang kondusif di dalam organisasi akan sangat sulit.

Departemen sumber daya manusia pada intinya melakukan fungsi penunjang. Departemen ini menolong manajemen lini dalam pelatihan dan pengembangan dengan menyediakan berbagai keahlian dan sumber daya serta mensponsori seminar dan program pelatihan.

Setiap penyelia langsung karyawan dan orang-orang dalam hierarki yang lebih tinggi mempunyai tanggung jawab langsung untuk memastikan bahwa terjadi pelatihan dan pengembangan. Penyelia harus mendorong para karyawan untuk mengembangkan diri dan harus meluangkan waktu agar hal itu terjadi. Penyelia langsung harus menciptakan atmosfir, sumber daya, dan dorongan untuk pengembangan dirinya.

Kendatipun spesialis sumber daya manusia dan manajer lini harus memfasilitasi dan mengelola proses pelatihan dan pengembangan, tanggung jawab utama pelatihan berada ditangan individu. Tanggung jawab karyawan adalah menunjukkan minat dalam pengembangan karir pribadi relatif terhadap tujuan organisasi. Pada akhirnya, setiap karyawan haruslah mengajak karyawan lain untuk memanfaatkan kesempatan pelatihan.

Melakukan Evaluasi Terhadap Setiap Karyawan.

Faktor kritis yang berhubungan dengan keberhasilan jangka panjang organisasi adalah kemampuannya untuk mengukur seberapa baik karyawan-karyawannya bekerja dan menggunakan informasi itu untuk memastikan bahwa pelaksanaan memenuhi standar saat ini dan meningkat sepanjang waktu. Penilaian merupakan alat yang berfaedah tidak hanya untuk mengevaluasi kerja para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan. Sayangnya, penilaian kinerja juga dapat menjadi sumber kerisauan dan frustrasi para manajer dan karyawan. Hal ini sering disebabkan oleh ketidak pastian dan ambiguisitas diseputar sistem penilaian. Pada intinya penilaian dapat dianggap sebagai alat untuk memverifikasi bahwa individu memenuhi standar pengerja yang ditetapkan. Penilaian dapat pula menjadi cara untuk membantu para karyawan mengelola kinerja mereka.

Teknik paling tua yang digunakan oleh manajemen untuk meningkatkan kinerja adalah penilaian (appraisal). Motivasi karyawan untuk bekerja, mengembangkan kemampuan pribadi, dan meningkatkan kemampuan dimasa depan dipengaruhi oleh umpan balik mengenai kinerja masa lalu dan pengembangan. Penilaian (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan. Dalam penilaian dinilai kontribusi karyawan kepada organisasi selama periode waktu tertentu. Umpan balik kinerja (performance feedback) memungkinkan karyawan mengetahui seberpa baik mereke bekerja apabila dibandingkan dengan standar organisasi. Sekiranya penilaian kinerja dilakukan secara benar, para karyawan, penyelia mereka, departemen sumber daya manusia, dan akhirnya organisasi akan diuntungkan dengan pemastian bahwa upaya individu memberi kontribusi kepada fokus strategik organisasi.

Di dalam organisasi modern, penilaian kinerja merupakan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan dan standar kinerja dan memotivasi kinerja individu di waktu berikutnya. Penilaian kinerja menjadi basis bagi keputusan-keputusan yang mempengaruhi gaji, promosi, pemberhentian, pelatihan, transfer, dan kondisi kepegawaian lainnya.

Semua organisasi dapat mengevaluasi atau menilai dengan beberapa cara. Di dalam organisasi yang kecil, evaluasi ini mungkin sifatnya informal. Di dalam organisasi yang besar evaluasi atau penilaian kinerja sangat mungkin merupakan prosedur yang sistematik dimana kinerja sesungguhnya dari semua karyawan manajerial, profesional, teknis, penjualan, dan klerikal dinilai secara formal.

Penilaian berbicara tentang kinerja karyawan dan akuntabilitas. ditengah kompetisi global, Perusahaan menuntut kinerja yang tinggiseiring dengan itu, kalangan karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman perilaku di masa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan. Penilaian kinerja merupakan salah satu aktivitas dasar departemen sumber daya manusia; kadang-kadang disebut juga dengan telaah kinerja, penilaian karyawan, evaluasi kinerja, evaluasi karyawan, atau penentuan peringkat personalia. Semua istilah tadi berkenaan dengan proses yang sama.

Penilaian (performance appraisal) secara keseluruhan merupakan proses yang berbeda dari evaluasi pekerjaan (job evaluation). Penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan/diberikan. Evaluasi pekerjaan menentukan seberapa tinggi harga sebuah pekerjaan bagi organisasi, dan dengan demikian, pada kisaran berapa gaji sepatutnya diberikan kepada pekerjaan itu. Sementara penilaian kinerja dapat menunjukkan bahwa seseorang adalah pemrogram komputer terbaik yang dimiliki organisasi, evaluasi pekerjaan digunakan untuk memastikan bahwa pemrogram tadi menerima gaji maksimal untuk posisi programmer komputer sesuai dengan nilai posisitersebut bagi organisasi.

Menyiapkan Rencana Tindakan

Setelah setiap karyawan dievaluasi dengan menggunakan formulir assessment, rencana tindak lanjut sudah harus dipersiapkan. Kekuatan karyawan memuat elemen-elemen utama organisasi yang mesti dipertimbangkan untuk menyusun rencana tindak lanjut yang di dalamnya termasuk strategi-strategi penting tentang:

*    pengembangan superkeeper

*    calon-calon pemegang jabatan

*    pengelompokkan karyawan berdasarkan kontribusinya

PENUTUP

Berkenaan dengan era reformasi saat ini, birokrasi pemerintah juga mengalami reformasi  sejalan dengan perkem-bangan tuntutan reformasi itu sendiri. Sebagai misal, birokrasi, dunia usaha dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu serta sumber daya individu serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Oleh karena itu birokrasi yang konsisten seperti itu, dan dapat bekerja dengan baik dan bersih dalam mengemban perjuangan mewujudkan keseluruhan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD45 yang merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia.

Birokrasi saat ini mesti dipahami dalam konteks peran dan kemampuannya dalam menunjang tugas-tugas pemerintahan baik dalam merespons berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian birikrasi yang mampu merespons dinamika global secara positif berpeluang akan mampu memfasilitasi kepercayaan dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi (Umbu tagela, 2003).

Reformasi birokrasi pada tataran global ditunjukkan dengan berbagai perubahan seperti dilakukan pada tahun 1996. Organization for economic Cooperation and Development yang beranggotakan 24 negara menyelenggarakan pertemuan tingkat Menteri mengenai manajemen pemerintahan. Menurut Osborne dan Plastrik (2004) alasan ke 24 negara melakukan reformasi adalah; pertama, adanya tekanan fundamental yang sama untuk berubah, kedua, ekonomi global, ketiga, warga negara yang tidak puas dan keempat karena krisis keuangan.

Adapun hasil dari pertemuan 24 negara tersebut, Osborne dan Plastrik (2004) adalah sebagai berikut:

a.   desentralisasi wewenang dalam unit-unit pemerintahan dan penyerahan tanggungjawab sampai tingkat-tingkat rendah di pemerintahan.

b.   Mengkaji kembali apa yang seharusnya dilakukan dan dibiayai, apa yang dibiayai tetapi tidak untuk dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan dan dibiayai.

c.    Perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan.

d.   Mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai beaya seperti kontrak kelua, mekanisme pasar dan pembebaban kepada pengguna.

e.   Orientasi pelanggan termasuk standar mutu yang eksplisit untuk pelayanan publik.

f.    Bencmarking dan pengukuran kinerja dan

g.   Reformasi yang dirancang untuk menyederhanakan peraturan dan mengurangi biaya-biayanya.

Selanjutnya Osborne dan Plastrik (2004) mengatakan bahwa pembaruan bukan berarti reorganisasi, tapi pembaruan berkaitan dengan restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintahan dengan mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan. Atas dasar itu dikatakan bahwa pembaruan adalah penciptaan organisasi pemerintah yang secara terus menerus mencari cara untuk menjadi lebih efisien.

Kondisi kualitas profesionalisme rata-rata birokrasi yang masih belum memuaskan, salah satu penyebabnya adalah karena praktik menejemen sumber daya manusia yang belum benar. Manusia merupakan faktor paling menentukan dalam setiap organisasi, termasuk dalam hal ini birokrasi pemerintah yang diawaki sumber daya aparaturnya sebagai birokrat. Biroktar sebagai salah satu unsur kekuatan saya saing bangsa, bahkan sebagai penentu utamanya, harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi demi pencapaian tujuan, tidak saja profesionalitas dan pembangunan citra pelayanan public, tetapi juga sebagai perekat pemersatu bangsa.

Birokrasi dicitrakan sebagai suatu yang bertele-tele, sering rapat, sering seminar, banyak bicara, saling menyalahkan, suka membuat berbagai panitia, jam karet, buang waktu, tidak efesien dan korup. Birokrasi atau Bareaucracy, secara harfiah diartikan: “Rule by Officials” (Fitz-en et all, 2002), atau “diatur oleh pejabat”.

Pengertian klasik mengenai birokrasi yang paling terkenal Max Weber: “organisasi yang memiliki fungsi tertentu yang diatur dengan peraturan, organisasi ini mematuhi prinsip-prinsip hierarki, unit yang ada dibawah dikontrol dan dikendalikan oleh atasannya, ketentuan administratif, keputusan, dan peraturan dituangkan dan dicatat secara tertulis”.

Birokrasi merupakan suatu organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh seorang pejabat yang ditunjuk atau diangkat, disertai dengan aturan tentang kewenangan dan tanggung jawabnya, dan setiap kebijakkan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandat.

Sebagai salah satu contoh stigma buruk yang perlu dibantah dengan keras, namun berwujud bukti tindakan nyata berupa langkah perbaikan, pada sebuah dictionary politik yang dipasarkan tahun 2003, dicantumkan:

1.   Birokrat adalah pegawai yang bertindak secara birokratis

2.   Birokrat adalah:

a. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

b. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya.

c. Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintahan sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk ia menghalangi pekerjaan yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif, terikat dalam peraturan yang rumit dan bergantung kepada perintah atasan, berjiwa statis dan karena itu menghambat kemajuan.

Persyaratan ijasah/tingkat pendidikan yang saat ini menjadi salah satu syarat bagi PNS untuk diposisikan sebagai pejabat merupakan langkah mundur, karena cenderung mengabaikan keahlian, pengalaman, ketrampilan atau kompetensi seorang PNS. Tidak berlebihan jika manajemen talenta dipertimbangkan untuk digunakan dalam mempromosikan seorang PNS menjadi pejabat.

DAFTAR PUSTAKA

Barkley, George E., 1978, The Craft Of Public Administration, Allin and Bacon, Inc. New York.

Hartato, Bambang, 1986, Sistem dan Pelayanan Informasi, Arga Kencana Abadi, Jakarta.

Henry Situmorang, 2004, Manajemen Sumber Daya manusia, STIE YKPN, Yogyakarta

Lance A Berger & Dorothy R Berger, 2007, The Hand Book Of Best Practices On Talent Management , PPM, Jakarta

Steers, Richard M. Terjemahan Yamin Magdalena ( 1997 ); Effektivitas Organisasi, Erlangga, Jakarta.

Tagela, Umbu.,2003, Manajemen dan Kelompok Kerja, Widyasari Press, Salatiga

UU. No. 13 Tahun 2003, Tentang Tenaga kerja