UPAYA MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI

PESERTA DIDIK TUNANETRA MELALUI PELATIHAN ASERTIF

DALAM BIMBINGAN KELOMPOK DI SLB NEGERI 1 PEMALANG TAHUN PELAJARAN 2019/ 2020

 

Yulita Listianita

Guru Bimbingan dan Konseling SLB Negeri 1 Pemalang

 

ABSTRAK

Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang penting dalam kehidupan manusia khususnya remaja. Begitu juga Remaja Tunanetra dengan keterbatasan, dan permasalahan yang mereka punya, tentu sangat berdampak pada masalah social mereka. Dengan kepercayaan diri, remaja akan mudah untuk menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan dengan individu lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Bentuk pelatihan asertif dalam bimbingan kelompok, 2) Tingkat kepercayaan diri pada peserta didik, 3) Pelatihan asertif dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik tunanetra SLB Negeri 1 Pemalang. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi sekaligus sampel dalam penelitian adalah sejumlah 8 peserta didik yang terdiri dari peserta didik tunanetra di SLB Negeri 1 Pemalang Tahun Pelajaran 2019/2020. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket, wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif persentase dan rumus rata-rata. Bentuk pelatihan asertif dalam layanan bimbingan kelompok pada peserta didik Tunanetra SLB Negeri 1 Pemalang, dengan melalui diskusi kelompok, ceramah, role playing, studi kasus dan pengisian lembar kerja peserta didik. Tingkat kepercayaan diri peserta didik mengalami peningkatan yang cukup baik. Dari 8 peserta didik tunanetra pada tahap prasiklus 25% mempunyai tingkat kepercayaan diri sedang, 50% kategori rendah dan 25% lainnya dengan kepercayaan diri sangat rendah. Setelah pelaksanaan bimbingan kelompok siklus 1, ada perubahan peserta didik dengan tingkat kepercayaan diri tinggi di siklus 1 ini sebanyak 25%. Peserta didik dengan kategori kepercayaan diri sedang 37,5% dan kepercayaan diri rendah juga 37,5%. Siklus ke 2, kategori kepercayaan diri sangat tinggi sebanyak 1 peserta didik (12,5%) kategori tinggi 4 peserta didik (50%), dan kategori sedang 3 peserta didik (37,5). Dengan demikian pelatihan asertif dalam bimbingan kelompok dapat sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik Tunanetra SLB Negeri 1 Pemalang. Pelatihan asertif tersebut belum begitu bervariasi, sehingga guru BK diharapkan lebih mendalami dan lebih memberi inovasi pada pelatihan asertif tersebut agar lebih menarik dalam pelaksanaannya.

Kata kunci: percaya diri, pelatihan asertif, bimbingan kelompok, tunanetra.

 

PENDAHULUAN

Setiap Manusia pasti melalui tahap tahap kehidupan, salah satunya tahap masa remaja. Tahap remaja memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya. Secara tradisional masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1993). Masa remaja adalah masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa. Bermula dari perubahan fisik, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, serta perubahan bentuk tubuhdan perubahan mental. Sama halnya dengan remaja pada umumnya, remaja pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), juga mengalami perubahan fisik, hingga emosi, serta memandang seorang teman mempunyai tingkatan sosial kompetensi yang mampu memberikan energi tersendiri dalam penyesuaiannya dilingkungan sekolahnya. Selain peran keluarga, peran lingkungan juga sangat membantu remaja dalam perkembangannya Tak terkecuali masa remaja tunanetra.

Definisi tunanetra Hardman dalam Anastasia Widdjajanti &Imanuel hatipiew (2007: 5), menjelaskan tunanetra adalah seorang anak yang tidak dapat menggunakan penglihatannya, oleh sebab itu ia bergantung kepada indera lainnya seperti pendengaran atau perabaan. Pada masa remaja, kemampuan seseorang untuk lebih memahami orang lain mulai berkembang. Remaja hendaknya memiliki kepercayaan diri yang baik, untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang penting dalam kehidupan manusia khususnya remaja. Dengan kepercayaan diri, remaja akan mudah untuk menyuesuaikan diri dan bersosialisasi dengan dengan individu lain. Dengan itu tugas perkembangan untuk menciptakan hubungan baru dengan individu lain dapat tercapai. Kepercayaan diri juga merupakan syarat utama seorang individu untuk mencapai kesuksesan.

Kepercayaan diri, menurut Barbara (2008: 5) adalah “sesuatu yang mampu menyalurkan apa yang seorang individu ketahui dan segala yang dikerjakan”. Sikap seseorang yang menunjukan dirinya tidak memiliki kepercayaan diri yaitu di dalam berbuat sesuatu, terutama dalam melakukan suatu pekerjaan penting dan penuh tantangan selalu dihinggapi rasa ragu-ragu, mudah cemas, tidak yakin, cenderung menghindari, tidak punya inisiatif, mudah patah semangat, tidak berani tampil di depan orang banyak dan gejala kejiwaan lainnya yang menghambat untuk melakukan sesuatu.

Kemampuan asertif pada peserta didik merupakan suatu kemampuan diri agar tegas dalam mengambil keputusan dalam hidupnya dan mempertahankan haknya. Pada prinsipnya kemampuan asertif adalah tingkah laku interpersonal yang mengungkap emosi secara terbuka, jujur, tegas dan langsung pada tujuan sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi dan dilakukan dengan penuh keyakinan diri dan sopan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang individu harus bersikap asertif agar tidak dipandang sebelah mata oleh lingkungan. Oleh karena itu diperlukan pelatihan asertif untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik.

Berdasarkan hasil pengamatan awal diketahui bahwa adanya peserta didik masih kurang percaya diri yaitu ditunjukan dengan hasil AKPD, yaitu tingginya peserta didik yang kurang percaya diri khususnya kelas tunanetra. Banyaknya laporan dari walikelas bahwa peserta didik tidak jujur dalam mengerjakan tugas, peserta didik tidak percaya akan kemampuan sendiri sehingga memilih untuk mencontek pekerjaan temannya. Selain itu perilaku peserta didik yang kurang berani mengungkapkan pendapat, kurang mandiri, pemalu dan cenderung menutup diri. Sementara itu peserta didik tidak mau datang ke ruang bimbingan dan konseling untuk menceritakan masalahnya kepada guru bimbingan dan konseling. Tidak hanya kepada guru bimbingan konseling melainkan juga kepada teman sekelasnya tidak mau menceritakan. Keadaan ini sering menyulitkan guru bimbingan dan konseling untuk membantu peserta didik yang terlihat memiliki masalah. Kebanyakan peserta didik malu dan merasa tidak percaya diri untuk menceritakan masalahnya kepada guru bimbingan dan konseling maupun teman sekelasnya. Peneliti sudah memilih 8 peserta didik tunanetra baik dari SMPLB dan SMALB yang mempunyai masalah kepercayaan diri, pada tahap prasiklus 25% mempunyai tingkat kepercayaan diri sedang, 50% kategori rendah dan 25% lainnya dengan kepercayaan diri sangat rendah.

Dalam penelitiannya Sunari (2018) yang berjudul Upaya Peningkatan Rasa Percaya Diri Melalui Layanan Bimbinan Kelompok Bagi Peserta Didik Kelas X. Ia-1 Sma Negeri 15 Semarang Pada Semester I Tahun Pelajaran 2017/2018. Hasil penelitian diperoleh simpulan: 1) rasa percaya diri peserta didik termasuk dalam kriteria tinggi, hal ini setelah dilakukan tindakan pada siklus I diperoleh skor rata- rata sebesar 31 atau 86,11% dengan kriteria cukup dan pada siklus II meningkat menjadi 30 atau 83,33% dengan kriteria tinggi; 2) faktor yang menyebabkan anak belum memiliki rasa percaya diri adalah, kurangnya motivasi dari anak itu sendiri (intern) dan faktor ekstren, seperti: kurangnya perhatian dari teman, keluarga, dan juga guru sehingga layanan BKP menjadi sesuatu yang sangat berperan dalam peningkatan rasa percaya diri; dan 3) pelaksanaan layanan BKp efektif meningkatkan rasa percaya diri anak, hal ini didukung perolehan skor setelah dilakukan refleksi pada siklus II sebesar 31 atau 86,11% pada siklus II.

Permasalahan di atas jika tidak ditangani dengan perlakuan khusus, maka akan mengakibatkan hal buruk bagi masa depan peserta didik. Oleh karena itu dengan layanan bimbingan kelompok dengan pelatihan asertif diharapkan peserta didik dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti mengadakan penelitian dengan judul Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik Tunanetra Melalui Pelatihan Asertif Dalam Bimbingan Kelompok Di SLB Negeri 1 Pemalang Tahun Pelajaran 2019/ 2020.

KAJIAN TEORITIS

Kepercayaan Diri

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Lie (2008: 4) menjelaskan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu faktor seseorang untuk dapat mempertimbangkan dan membuat keputusan tertentu sendiri Santrock (2009: 336) mendefinisikan kepercayaan diri merupakan sebuah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri seseorang sehingga seseorang dapat melihat gambaran positif dari diri mereka. Percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri. Dari pendapat yang ada diatas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu aspek kepribadian yang dimiliki seseorang berupa keyakinan dan kemampuan diri, kemandirian dan mempunyai kekuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. Individu yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan mudah untuk masuk pada lingkungan tertentu sedangkan individu yang kurang memiliki rasa percaya diri akan sulit untuk masuk pada lingkungan pergaulan

Ciri-Ciri Percaya Diri Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Ciri-ciri perilaku yang mencerminkan percaya diri menurut Lie (2008: 3) adalah: 1) Yakin kepada diri sendiri, 2) Tidak tergantung pada orang lain, 3) Merasa diri berharga, 4) Tidak ragu-ragu, 5) Tidak menyombongkan diri, 6) Memiliki keberanian untuk bertindak.

Ciri-Ciri Individu yang Tidak Percaya Diri Setiap inividu berbeda antara satu dengan yang lain, masing masing memiliki ciri yang khas pada dirinya, dari perbedaan itu dapat diketahui bahwa ada inidividu yang memiliki kepercayaan diri. Berikut ini merupakan ciri-ciri individu yang kurang percaya diri menurut Iswidharmanjaya (2007: 12) adalah: 1) Tidak bisa menunjukan kemampuan diri 2) Kurang berprestasi dalam studi 3) Tidak berani mengungkapkan ide-ide 4) Membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan 5) Apabila gagal cenderung menyalahkan orang lain.

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri menurut Maslow dalam (Iswidharmanjaya & Agung, 2007: 13) gambaran mengenai orang yang kurang percaya diri antara lain pesimis, ragu-ragu dan takut dalam menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan membandingkan diri dengan orang lain.

Pelatihan Asertif

Pelatihan asertif digunakan untuk membantu mengurangi rasa takut yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan interpersonal klien. Menurut Rahmawati (2008: 70), penggunaan pelatihan asertif perlu dilandasi beberapa hal, yaitu: 1) Saat ini klien memang benar-benar dalam keadaan dimana dia harus mendapat pelatihan asertif. 2) Klien mengalami kesulitan untuk merespon kejadian- kejadian yang berpengaruh langsung terhadap kehidupannya. 3) Klien kesulitan untuk mengekpresikan perasaannya terhadap orang-orang terdekat dalam hidupnya. Rahmawati (2008: 71) juga menyebutkan bahwa pelatihan asertif terdiri dari 3 komponen: 1) Role Playing, 2) Modeling, 3) Social Reward

Di dalam perilaku asertif kita tidak hanya dapat mengungkapkan perasaan atau keinginan secara lugas dan terbuka namun didasari oleh beberapa aspek yang tidak bisa terlepaskan dari pengertian dasar perilaku asertif. Menurut Galassi dalam Rakos (2011: 9) terdapat empat aspek dari perilaku asertif, antara lain: 1) Ekspresi emosi, 2) Hak-hak dasar manusia, 3) Kebebasan berpendapat dan kebebasan dalam memberikan respon, 4) Respon-respon khas manusia.

Perilaku asertif bukanlah suatu yang sudah ada sejak lahir, sehingga untuk membentuk dan membiasakan seseorang berperilaku asertif diperlukan pelatihan asertif yang bertahap dan sebaiknya dimulai sejak dini. Pelatihan asertif menekankan pada proses mempelajari responrespon asertif dalam berbagai situasi. Pada dasarnya pelatihan asertif merupakan penerapan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara berhubungan lebih langsung dalam situasi-situasi intrapersonal (Corey, 2007: 219). Corey (2007: 218) Mengembangkan pelatihan aserif lebih berfokus pada pelaksanaan, pelatihan secara kelompok. Pembentukan kelompok dilakukan dengan membagi peserta dimana dalam satu kelompok terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota yang memiliki latar belakang yang sama. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi penguatan, dan sebagai model peran. Dalam diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai seorang ahli, memberi bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan balik kepada para anggota.

Berikut ini juga dijelaskan sesi-sesi yang dilaksanakan pada pelatihan asertif: 1) Sesi pertama Dimulai dengan pengenalan diktaktik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapus responrespon internal yang tidak efektif dan telah mengakibatkan kekurangtegasan dalam belajar peran tingkah laku baru yang asertif 2) Sesi kedua Memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masingmasing anggota menerangkan tingkah laku spesifik dalam situasisituasi interpersonal yang dirasa menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan menegaskan diri yang semula mereka hindari sebelum memasuki sesi selanjutnya. 3) Sesi ketiga Para anggota menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah dicoba di jalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan jika belum sepenuhnya berhasil, kelompok langsung menjalankan permainan peran. 4) Sesi keempat Selanjutnya terdiri atas penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan tingkah laku menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi. Pendapat Corey di atas menjelakan bahwa sesi dalam pelatihan asertif dilakukan dalam empat sesi dengan kegiatan permainan peran dilakukan setelah peserta mencoba untuk mengimplementasikan.

Layanan Bimbingan Kelompok

 

Bimbingan kelompok merupakan bantuan terhadap individu yang dilaksanakan dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok dapat berupa penyampaian informasi ataupun aktifitas kelompok membahas masalah masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi, dan sosial. Bimbingan kelompok mengupayakan perubahan sikap dalam perilaku secara tidak langsung, melalui penyampaian informasi yang menekankan pengolahan kognitif oleh para peserta sehingga mereka dapat menerapkan sendiri suatu pengolahan kognitif tentang informasi yang diberikan kepada anggota kelompok (Winkel, 2008: 543).

Sedangkan Menurut Wardati dan Jauhar (2011: 105) menyatakan bimbingan kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan    osial, kegiatan belajar, karier/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui kegiatan dinamika kelompok. Gazda, 2013: 309 mengemukakan bahwa bimbingan kelompok disekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok peserta didik untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Berdasarkan pendapat para ahli pada umumnya, aktifitas kelompok menggunakan prinsip dan proses dinamika kelompok, seperti dalam kegiatan diskusi, sosiodrama, simulasi dan lain lain. Bimbingan melalui aktifitas kelompok lebih efektif karena selain peran individu lebih aktif, juga memungkinkan terjadinya penukaran pemikiran, pengalaman, rencana, dan penyelesaian masalah.

Menurut Prayitno (2004: 14-15) asas-asas dalam bimbingan kelompok meliputi: 1) Asas keterbukaan, 2) Asas kesukarelaan, 3) Asas kekinian, 4) Asas kenormatifan.

Ada beberapa tujuan bimbingan kelompok yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu menurut Winkel, (2008: 547) bahwa “Tujuan bimbingan kelompok yaitu membantu setiap seperta didik supaya dapat berkembang semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan belajar, bakat, dan juga, minat anak itu. Tujuan dari pemberian bimbingan kelompok disekolah tidak lain dari yang diuraikan tadi, namun jalan yang ditempuh dalam bimbingan kelompok lain dari jalan yang ditempuh bimbimgan perorangan. Fungsi utama bimbingan yang mendukung oleh layanan bimbingan kelompok ialah fungsi pemahaman dan pengembangan”.

Menurut Juntika (2009: 56), bahwa pelaksanaan layanan bimbingan kelompok memiliki langkah-langkah,pembentukan, peralihan, kegiatan, dan pengakhiran.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan untuk bimbingan konseling (PTBK) yang dilakukan kepada 8 peserta didik Tunanetra SMLB dan SMALB SLB Negeri 1 Pemalang. Pemilihan dan penetapan peserta didik, karena hasil AKPD kurangnya rasa percaya diri yang dimiliki olehpeserta didik, dan juga hasil observasi peneliti dan wawancara kepada walikelas.

Menurut Suharsimi (2009: 11) penelitian tindakan dilakukan melalui 4 tahap. Adapun tahap-tahap yang menggambarkan penelitian tindakan yaitu perencanaan (planning), Pelaksanaan tindakan (action), observasi (Observation), dan Refleksi (reflection).

Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Perbedaan di tiap siklus terletak pada pelaksanaan pelatihan asertif terdiri empat sesi, yaitu: 1) Mengajarkan mengenai perbedaan antara asertif, agresif, non asertif dan sopan. Disini terapis mencoba menjelaskan dan memberi pemahaman kepada klien mengenai makna asertif, agresif, non asertif dan sopan.

2) Membantu individu mengidentifikasi dan menerima hak-hak pribadi dirinya serta hak-hak orang lain. 3) Mengurangi hambatan yang menjadi masalah dalam aktualisasi perilaku asertif. 4) Setelah klien memahami mengenai pemahaman asertif itu sendiri, maka dilanjutkan dengan mengembangkan ketrampilan perilaku asertif secara langsung melalui praktek di dalam pelatihan.

Pembahasan

Data Awal (Prasiklus)

Adanya pra siklus adalah untuk mengetahui kemampuan awal kepercayaan diri peserta didik, apakah peserta didik tersebut benarbenar memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau tidak. Adapun hasil penelitian pra siklus adalah sebagai berikut:

Dari 8 peserta didik tunanetra pada tahap prasiklus 25% mempunyai tingkat kepercayaan diri sedang, 50% kategori rendah dan 25% lainnya dengan kepercayaan diri sangat rendah. Dari hasil prasiklus tersebut dapat disimpulkan bahwa “rasa percaya diri” peserta didik tunanetra SLB Negeri 1 Pemalang adalah rendah. Dengan demikian maka perlu dilakukan tindakan agar peserta didik memiliki “kepercayaan diri” yang tinggi dan maksimal salah satunya adalah melalui layanan dan bimbingan kelompok.

Siklus 1

Siklus 1 terdiri dari 2 pertemuan dengan tema yang sudah disepakati adalah “Kita Asertif Kita Percaya Diri”. Materi dimulai dengan pemaparan mengenai apa itu sikap kepercayaan diri dan memberikan contoh-contoh perilaku yang tidak ada rasa percaya diri. Setelah itu guru pembimbing mencoba melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai perilaku yang seharusnya dilakukan. Di pertemuan ke 2, peneliti membuat studi kasus, dan peserta didik dibentuk dalam kelompok kecil lagi untuk menyelesaikan masalah.

Setelah pelaksanaan bimbingan kelompok siklus 1, ada perubahan peserta didik dengan tingkat kepercayaan diri tinggi di siklus 1 ini sebanyak 25%. Peserta didik dengan kategori kepercayaan diri sedang 37,5% dan kepercayaan diri rendah juga 37,5%.

Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan kepercayaan diri peserta didik terlihat dari perilaku peserta didik saat mendapatkan layanan bimbingan kelompok menunjukkan perkembangan yang cukup baik, terlihat beberapa peserta didik sudah berani berpendapat, berkonsentrasi, memperhatikan penulis dan guru BK menjelaskan, mau bertanya dan memahami materi yang disampaikan. Walaupun demikian tingkat kepercayaan diri hanya 25% atau 2 peserta didik saja yang mempunyai kriteria kepercayaan diri tinggi, untuk itu masih dilanjutkan ke siklus ke 2 agar kepercayaan diri peserta didik meningkat lewat pelatihan assertif bimbingan kelompok.

Siklus 2

Hasil refleksi pada siklus 1 ditemukan adanya beberapa hal yang belum maksimal yang dijalankan oleh peneliti dalam melaksanakan perannya pada setiap tahapan kegiatan tindakan. Hal-hal yang kurang tersebut sekaligus menjadi rekomendasi perbaikan pada pelaksanaan tindakan layanan pada siklus 2.

Dari hasil observasi, para peserta didik cukup antusias dalam menyimak setiap permainan peran yang ditampilkan, namun peserta didik kurang memahami maksud dari permainan peran yang ditampilkan. Dalam diskusi sebelum penampilan role playing, ada beberapa peserta kurang aktif dalam kelompoknya. Dari refleksi yang dilakukan pembimbing, para peserta didik menyampaikan senang mengikuti kegiatan role playing. Namun menurut peserta didik diskusi mengenai peran yang akan ditapilkan terlalu cepat sehingga apa yang ditampilkan kurang maksimal. Pemberian reward untuk kelompok terbaik diberikan agar peserta didik lebih serius dalam menampilkan perannya. Pada pertemuan selanjutnya peneliti menggunakan media video, dan diskusi. Hasil dari Siklus ke 2, kategori kepercayaan diri sangat tinggi sebanyak 1 peserta didik (12,5%) kategori tinggi 4 peserta didik (50%), dan kategori sedang 3 peserta didik (37,5).

Simpulan

Setelah pelaksanaan bimbingan kelompok,menggunakan pelatihan assertif, dari 8 peserta didik tunanetra pada tahap prasiklus 25% mempunyai tingkat kepercayaan diri sedang, 50% kategori rendah dan 25% lainnya dengan kepercayaan diri sangat rendah. Setelah pelaksanaan bimbingan kelompok siklus 1, ada perubahan peserta didik dengan tingkat kepercayaan diri tinggi di siklus 1 ini sebanyak 25%. Peserta didik dengan kategori kepercayaan diri sedang 37,5% dan kepercayaan diri rendah juga 37,5%. Siklus ke 2, kategori kepercayaan diri sangat tinggi sebanyak 1 peserta didik (12,5%) kategori tinggi 4 peserta didik (50%), dan kategori sedang 3 peserta didik (37,5). Dengan demikian pelatihan asertif dalam bimbingan kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik tunanetra SLB Negeri 1 Pemalang tahun pelajaran 2019/ 2020.

DAFTAR PUSTAKA

Anastasia Widdjajanti & Imanuel Hitipiew. 2007. Ortopedagogik Tunanetra 1. Jakarta: Departemen Pendididkan dan Kebudayaaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Angelis, Barbara. 2005. Confidence (Percaya Diri). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifudin. 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Corey, Gerald. 2008. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.

Gazda, George M. 2013. Group Counseling: a Developmental Approach. Jakarta: Galia Indonesia

Geldard, Kathryn & Geldard, David. 2011. Konseling Remaja. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghufron, M Nur & Risnawati, Rini S. 2011. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Gunarsa, Singgih D. 2008. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hakim, Thursan. 2005. Mengatasi Tidak Percaya Diri. Jakarta: Bumi Aksara.

Indriati, Aulia. 2007. Kepercayaan Diri Pada Remaja. Bandung: Pustaka Setia. Iswidharmanjaya, Dery. 2004. Satu Hari Menjadi Lebih Percaya Diri. Jakarta: Media Komputindo.

Juntika, Achmad Nurihsan. 2009. Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Refika Aditama.

Latipun. 2007. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang. Lie, Anita. 2008. 101 Cara Menumbuhkan Percaya Diri Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Marwati, Dian. 2010. Satu Hari Menjadi Lebih Percaya Diri. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Mighwar, Al- M. 2006. Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia. Nursalim dkk.

  1. Strategi Konseling. Surabaya: Unesa University Press.

Panuju, Panut & Umami, Ida. 2005. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana. Prayitno. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Rahman, Maman. 2006. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahmawati, Hetti. 2008. Modifikasi Perilaku. Malang: LP3 Universitas Negeri Malang.

Rakos, Richard F. 2011. Assertive Behaviour: Theory, Research, And Training. New York: Routledge London.

Santrock, J. W. 2008. Adolescense: Perkembangan Remaja (edisi keenam). Jakarta: Erlangga.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabet.

Sunari. 2018. Judul Upaya Peningkatan Rasa Percaya Diri Mel Alui Layanan Bimbinan Kelompok Bagi Peserta Didik Kelas X. Ia-1 Sma Negeri 15 Semarang Pada Semester I Tahun Pelajaran 2017/2018. Semarang. PAWIYATAN XXIV (1) (2017) 47-57 Pawiyatan IKIP Veteran Semarang http: //e-journal. ikip- veteran. ac. id/index. php/pawiyatan

Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.