MENYOAL PBM DI SEKOLAH
MENYOAL PBM DI SEKOLAH
Umbu Tagela
Pengajar FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Pada dasarnya proses pendidikan adalah proses transformasi atau proses perubahan kualitas tingkah laku indivi-du. Perubahan tingkah laku yang diharapkan bukanlah sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah laku, tetapi perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan dalam pola tingkah laku atau pola kepribadian yang makin sempurna. Transformasi pendidikan tidak hanya dimaksudkan agar seseorang makin banyak mengerti tentang segala sesuatu, tetapi terutama agar orang tersebut makin memiliki kemampuan untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir batin dalam peranannya sebagai pribadi, warga masyarakat, warga negara dan warga gereja. Atas pijakan yang demikian, maka proses pendidikan dapat dipahami sebagai upaya manusia mentransformasikan atau mengubah kemampuan potensial seseorang menjadi kemampuan nyata yang diperlukan dalam meningkatkan taraf hidup lahir batin. Sebagai proses, maka di dalam pendidikan ada salingtindak fungsional antar komponen pendidikan yang juga berinterdepen-den satu sama lainnya. Sesuai fungsinya menyongsong hari esok, maka pendidikan selayaknya dilandaskan bukan saja pada apa yang diketahui oleh guru tentang hidup dan kehidupan, melainkan juga pada apa yang dikehendaki dari hidup dan kehidupan itu.
Rasanya, agak ironis jika andaian di atas dipadukan dengan praktek pendidikan/pengajaran yang terjadi, dimana putusan – putusan dan tindakan- tindakan instruksional yang digagas dan dilaksanakan oleh guru tidak didasarkan pada andaian-andaian kependidikan yang eksplisit, melainkan diturunkan saja dari pengalaman pribadi, kalau tidak sepenuhnya dikendalikan atau diombang ambingkan oleh rentetan kebetulan atau godaan pragmatis, sehingga sangat mudah mempengaruhi keputusan serta tindakan guru yang kurang mantap wawasan kependidikannya. Pada akhirnya proses pendidikan bukan lagi sebagai proses transformasi tingkah laku tetapi lebih menyerupai proses domestikasi yang menjebak para guru pada pekerjaan rutin yang bersifat mekanistis. Realitas obyektif ini agaknya memiliki gayut dengan kepentingan subyektif masyarakat akan pendidikan formal. Misalnya dalam pendidikan tinggi, masyarakat kurang peduli terhadap proses pendidikan yang terjadi, dan yang penting putra/putrinya berhasil menyandang gelar sarjana. Pola pikir seperti di atas juga telah muncul pada abad 19 melalui pemikir-pemikir neo marxism yang dipelopori oleh Bowles, Gintis dan cain yang terkenal dengan teori Screening Hypothesis dan teori Dual Labor Market Hypothesis yang hanya melihat keluaran-nya sebagai aset, tanpa menghiraukan proses pendidikan. Tahapan selanjutnya setelah mahasiswa berhasil menyandang gelar sarjana merupakan dimensi baru yang lepas dari rangkaian proses pendidikan formal, dimana orang tua/masyarakat dan dosen tidak lagi ikut bertanggungjawab. Dalam kerampatan makna yang demikian banyak guru mendaku (claim) tindakannya sebagai tindakan profesional yang derajad akuntabilitasnya dapat ditakar berdasarkan pedoman teknis mengelola proses belajar mengajar yang dikeluarkan oleh Depdiknas.
Untuk melengkapi analisis di atas, penulis memberikan dua contoh, yakni:
1. Pada umumnya setelah ujian atau tes semester selesai, orang tua selalu menanyakan besaran indeks prestasi putra/putrinya. Pertanyaan ini menjadi sangat wajar, lantaran orang tua tidak mengetahui indikator lain untuk mengukur kemajuan pendidikan anaknya. Sayangnya para dosen juga terjebak pada pola pikir yang sama, lantaran cara ini dianggap paling mangkus dan sangkil karena memiliki bobot kebeningan (transparan) yang dapat dipertanggungjawabkan. Memang dalam prinsip perencanaan dikatakan “recovery of cost principles”, teta-pi persoalanya adalah apakah pengembalian investasi oleh anak hanya dalam bentuk indeks prestasi yang dapat di kuantifikasi? Bagaimana dengan perubahan sikap, tingkah laku, tutur kata, nalar, logika, kepribadian? yang oleh pakar pendidikan sering dikemas dalam bahasa performance intelectual, performance social? Agak aneh jikalau kita temukan seorang mahasiswi yang memiliki IP tinggi, tapi bertingkah laku seperti anak TK jika keinginannya tidak dituruti oleh orang tuanya. Kalau sudah demikian, siapa yang bertanggungjawab?
2. Banyak ditemui Sarjana yang tidak mampu membuat surat lamaran kerja, hingga mereka harus menyewa orang lain untuk membuatkan. Kenyataan ini memang sangat memilukan, tetapi apa lacur. Lalu, apanya yang salah dalam proses pendidikan?. Apakah proses pendidikan kita berorientasi pada inarticulate genius, dimana mahasiswa menguasai konsep pengetahuan dengan baik tapi tidak mampu menyatakan secara verbal, atau orientasi pendidikan pada articulate idiecy dimana mahasiswa pandai menyatakan secara verbal tetapi kurang penguasaannya terhadap konsep pengetahuan secara benar.
Mestinya kedua hampiran di atas harus diramu dan dikemas dalam suatu anyaman proses belajar mengajar di kelas, karena disitulah mahasiswa dibentuk untuk mulai berkarya, kreatif, memiliki inisiatif, dinamis, menjadi inovator dan memiliki attitude dalam pembangunan. Bagaimana pembangunan atau kebudayaan bisa berkembang, kalau proses pembenahan SDM kurang diletakkan secara proporsional dalam bingkai kependidikan yang tepat?
PBM INTI AKTIVITAS PENDIDIKAN
Proses belajar mengajar merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Orang yang paling bertanggungjawab dalam memanage PBM adalah guru. Tugas dan peranan guru antara lain “merencanakan, melaksanakan pelajaran, mengontrol dan mengevaluasi mahasiswa”.
Paparan di atas tidak serta merta berarti bahwa pola pengajaran menekankan pada peranan tenaga pengajar (teacher centered education), tapi sebaliknya pola pengajaran harus memumpun pada peranan siswa (student centered education). Pola student centered education “memandang pendidikan dari arah siswa” siswa dipandang sebagai titik pusat terjadinya proses belajar. Siswa sebagai subyek yang berkembang melalui pengalaman belajar. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator belajar bagi siswa. Guru membantu memberikan kemudahan agar siswa mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, serta merangsang atau memberikan dorongan sewaktu-waktu diperlukan. Pandangan ini sesuai dengan karakteristik pendidikan seumur hidup yang mengatakan, bahwa “secara paedagogis guru tidak mungkin lagi mengajar segala sesuatu di dalam kelas, karena itu tugas guru memotivasi siswa untuk terus belajar.
Dalam konteks yang demikian, baik siswa maupun guru, kedua-duanya mesti sama-sama aktif. Dalam interaksi yang demikian itu terjadi proses belajar pada siswa dan kegiatan mengajar pada guru yang disebut proses belajar mengajar. Agar proses belajar mengajar membuahkan hasil sebagaimana diharapkan, maka siswa dan guru perlu memiliki sikap, kemampuan dan ketrampilan yang mendukung proses belajar mengajar.
Bagaimana menyiasati program pengajaran yang mendidik, bukan semata-mata sebagai penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-nilai tersebut ke dalam latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik. Merujuk sudut pandang yang demikian, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin membuahkan hasil yang dikehendaki apabila pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk “ Answering question, questioning answer and questioning questions”, sehingga kelas terwujud sebagai “a vigorous community of learnes where intelectual authority derives from evidence and argument and not from assertation”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa mengajar pada hakekatnya adalah melakukan kegiatan belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara mangkus dan sangkil.
Proses belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Batasan atau takrif tersebut mendeskripsikan bahwa proses belajar mengajar merupakan suatu transaksi personal antar guru dan siswa. Transaksi tersebut mengindikasikan bahwa guru dan siswa sama-sama memiliki kepentingan dan bersama-sama menyepakati cara untuk meraih kepentingan atau tujuan yang diharapkan.
Untuk memiliki kemampuan intelektual siswa harus memiliki juga pengetahuan mutakhir tentang berbagai aspek. Paling tidak dalam disiplin ilmunya sendiri seorang siswa tidak ketinggalan kereta. Persoalannya adalah seberapa lentur kapasitas belajar seorang manusia? Toffler (1990) pernah mengatakan kesadaran berpikir manusia amat tergantung kepada kemampuan untuk mengabsorb, memanipulasi, menilai serta mempertahankan informasi yang diterima. Hal Ini menunjukkan bahwa walaupun manusia adalah sumber yang terus menerus menemukan sehingga terjadi akumulasi pengetahuan baru, ia sendiri memiliki keterbatasan dalam memroses informasi terse-but. Hal ini berbeda dengan penemuan manusia akan komputer yang memiliki kapasitas “tidak terbatas” dalam menampung informasi. Apa yang perlu dimiliki oleh manusia untuk mempergunakan komputer tersebut bagi kepentingannya adalah menguasai tehnik untuk menarik keluar informasi tersebut dan memperguanakan sesuai kebutuhan. Hal ini menunjuk pada kenyataan bahwa dunia ilmu pengetahuan akan turut menimbulkan “information overload” sehingga kalau dipaksakan maka daya tampung informasi yang terbatas pada manusia hanya akan menimbulkan distorsi bahkan kekeliruan. Permasalahan di dalam belajar adalah bukan bagaimana menguasai seluruh informasi yang telah didokumenter, tetapi bagaimana memperolehnya dengan menggunakan tehnik-tehnik mutakhir yang tersedia serta pemilihan kemampuan untuk mengantisipasi hal-hal baru yang akan terjadi. Itulah sebabnya dalam menyiapkan siswa agar tidak terperangkap dalam “future schook”nya Toffler, Werdell (1974) menganjurkan bahwa”..the new styles of learning must prepare srudents for imagining possible futures, for predicting probable futures, and for deciding a bout preferable futures” Tanpa munculnya sikap guru yang mendorong terlaksananya proses belajar demikian dapat disimpulkan bahwa ada ketidakpercayaan terhadap kemampuan serta kapasitas siswa. Konklusi semacam itu bisa saja dibiarkan oleh karena didalam kenyataannya proses pendidikan hanyalah cenderung untuk menganalisis informasi yang sudah ada bukan mendorong pemikiran yang spekulatif dan sintesis. Yang masih terjadi sekarang adalah bahwa kurikulum sekolah belum dapat melepaskan diri dari tradisi yang sangat” teacher based” dan text-book centred” Andaian yang dipertahankan adalah bahwa pengetahuan yang hendak ditransmisi akan dikuasai dengan sendirinya oleh siswa apabila kontennya dapat diorganisir ke dalam format pengajaran. Hal ini Tampak sekali dalam keyakinan yang berlaku bahwa apabila siswa telah dapat mengumpulkan pengetahuan yang banyak, apalagi jika menunjukkan adanya kemampuan analisis secara intelektual maka ia akan sanggup. Lebih dari itu siap untuk memasuki kehidupan masyarakat dengan segala tantangan dan permasalahannya. Yang terjadi dalam kenyataan adalah sebaliknya, siswa menemukan perbedaan yang besar antara yang dipelajari secara teoritik dengan realitas hidup.
TUGAS SEKOLAH
Tugas sekolah di masa depan adalah mengaktualkan upaya yang (secara produktif dan “up to date “) memadukan kuantitas serta kualitas sumber daya manusia serta hasil karya pendidikan untuk memenuhi keperluan manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat dalam konteks pembangunan ekonomi maupun pembangunan bangsa dan negara. Jikalau dihubungkan dengan uraian sebelumnya tentang ekspektasi siswa dari pendidikannya, maka, isu tentang kepenadan (relevansi) tersebut mengandung pertimbangan-pertimbangan prinsipil. Di satu pihak terdapat tanggung jawab sekolah untuk memenuhi harapan siswa agar setelah usai masa studinya ia akan mampu memperoleh, memenuhi atau menciptakan sendiri lapangan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang telah diikutinya. Tetapi, di pihak yang lain, kemiskinan, pertumbuhan penduduk, keterbelakangan, penyusutan sumber alam, pencemaran lingkungan bahkan peperangan, semuanya merupakan permasalahan yang merupakan sebagian saja dari permasalahan sosial yang dihadapi umat manusia didunia. Karena itu, penanaman dalam diri siswa akan kepekaan dan kesadaran terhadap lingkungan sosial dan lebih dari itu pengembangan kemampuan untuk memutuskan, jikalau perlu secara normatif, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat adalah aspek lain dari konsep kepenadan tersebut.
Dalam era embaran (information) seperti sekarang ini, posisi dan peranan sains dan tehnologi amat menentukan dan mempengaruhi arah perkembangan masyarakat. Hasil-hasil penelitian tentang bio tehnologi, microelectronic, information technology dan material technology telah merambah kehidupan masyarakat. Dampak dari hasil-hasil penelitian tersebut ada yang bersifat positif, artinya telah terjadi eksplosi pengetahuan terutama dalam sains dan tehnologi. Seiring dengan hal itu muncul kesadaran baru yang mendorong bangsa-bangsa untuk meningkatkan kualitas hidup melalui proses pembangunan nasional. Selain itu, muncul juga spirit untuk mengakhiri marginalisasi dalam masyarakat melalui proses demokratisasi yang menumbuhkan interdependensi diantara bangsa-bangsa sehingga kelangsungan hidup bersama menjadi isu sentral yang menentukan. Pengaruh negatif yang timbul lebih disebabkan oleh aplikasi ilmu dan tehnologi untuk tujuan-tujuan yang menghan-curkan seperti degradasi lingkungan hidup, eksplosi penduduk, krisis nilai.
Tantangan yang serius bagi sistem pendidikan di negara-negara berkembang adalah bagaimana menemukan solusi untuk menyiapkan diri dan kemudian mengambil peran yang mangkus di dalam arus revolusi ilmu pengetahuan yang telah terjadi. Cara one small step at a time progression tidak lagi dapat ditempuh. Dan yang mesti dilakukan adalah development leap (lompatan katak). Ketertinggalan kita dalam pendidikan saat ini tidak mungkin dikejar melalui closing a knowledge gap. Kita mesti melompati berbagai bodies of knowledge maupun generasi tehnologi yang ketinggalan jaman berikut teori dan prilaku organisasi yang inheren. Atas dasar itu kita mesti menguasai dan menyikapi perkembangan ilmu dan tehnologi. Jika tidak “we are letting other forces play God”. Saat ini sedang berkembang a new breed of graduate dari lembaga pendidikan kita. Kita sedang berhadapan dengan struktur ekonomi dunia kerja maupun kehidupan sosial yang didominasi oleh komputer dan sibernasi yang manajemennya memerlukan spesialisasi.
Secara kultural dunia sedang mengalami suatu pergeseran paradigma dari post ideological culture kearah kebudayaan yang berkiblat pada overall plurality. Lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab untuk memerikan (elaboration) perubahan-perubahan itu dan mengembangkan prilaku peserta didiknya untuk berperan secara positif dalam proses transformasi. Dalam tautan yang demikian, Hans Kung (1994) menyebutkan nilai-nilai baru yang lahir karena berubahnya kultur masyarakat, yakni,”(1) ethic-free society kepada suatu ethically responsible society, (2) technocracy ke human technology, (3) an enviromental friendly industry, (4) democracy, which is lived out”.
Menyikapi kondisi obyektif seperti dipaparkan di atas, rasanya kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali meningkatkan mutu proses belajar mengajar di dalam kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S, 1983, Manajemen Pengajaran Yang Manusiawi, Jakarta, Rineka Cipta
Karo-karo Bukit.I, 1981. Metodologi Pengajaran, CV Saudara, Salatiga
Gafur, A, 191982, Disain Instruksional, Surakarta, Tiga Serangkai
Gagne and Brigg L.J, 1979, Principles of Instruction Design, New York, Holt Rinehart and Winston
Ibrahim dan Nana Syaodin, 1992, Strategi Belajar mengajar, Jakarta, Depdikbud
Idris Zahara, 1981, Dasar-dasar kependidikan, Bandung, Angkasa
Mudhofir, 1987, Tehnologi Instruksional, Bandung, remaja karya
Nasution, S, 1982, Tehnologi Pendidikan, bandung, jemmars
Muhammad,A, 1987, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung, Sinar Baru
Rakajoni,T, 1991, Potret Pendidikan Masa Kini Dan Prospek Masa Mendatang, (Makalah pada Hardiknas, FKIP-UKSW 1991)
Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar proses belajar mengajar, Bandung, Rosda Karya
Umbu Tagela, 2000a. Mengantisipasi Otonomi Daerah, (Dalam Majalah Kritis) Volume XII NO.3. Maret.
——————-, 2000, Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Model Rate of Return, (Dalam Majalah Dian Ekonomi) Volume VI.NO.1. Maret.
——————-, 2000, Pengantar Ilmu Mendidik, Widyasari Press, Salatiga
Wiles Kimball, 1967, Supervision For better School, New Jersey, Prentice Hall, Engliwood Cliffs