KEMAHIRWACANAN TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN DASAR

Alpres Tjuana

Dosen FKIP-Universitas Halmahera

Upaya penanganan ribut-ribut perkara TKI antara indonesia dan Arab Saudi dengan pengumpulan lebih banyak informasi melalui sebuah tim penemu fakta dan tulisan yang menyoroti keobjektifan pemberitaan TKW di Malaysa yang diperkosa Polisi malaysa dan diberitakan oleh berbagai media massa mancanegara merupakan 2 contoh sangat jelas mengenai gejala abad informasi. Untuk bisa membentuk pendapat dan menetapkan pendirian mengenai sesuatu persoalan, diperlukan informasi yang memadai jumlah, jenis maupun nilainya. Akan tetapi yang terlebih-lebih penting lagi adalah diperlukannya kemampuan untuk menemukan, menilai serta memanfaatkan informasi itu, yang sudah barang tentu dalam gradasi yang berbeda-beda, harus memiliki setiap individu warganegara. Tanpa kemampuan mengelola informasi seperti itu, mustahil kedua artikel tersebut di atas akan mempunyai makna bagi manusia.

Di pihak lain, sebagaimana dikeluhkan oleh banyak pihak termasuk oleh Prof. Samsuri antar lain di dalam bunga rampainya yang berjudul Out of Daily Humdrum, gejala memprihatinkan yang menampak adalah belum membudayanya kebiasaan membaca (dan menulis) yang merupakan landasan bagi terbentuknya kemahirwacanaan. Kita lebih banyak menggunakan cara lisan didalam komunikasi, tetapi agaknya harus dikatakan, itupun belum dengan mutu yang lebih tinggi. Di satu pihak, kesenangan kita berbicara nampaknya tidak dibarengi oleh kesediaan menjadi pendengar (perhatikanlah perilaku hadirin didalam suatu kumpulan yang sedang mendengarkan ceramah!), sedangkan di pihak lain, apabila terjadi interaksi, tidak jarang kadar penalarannya amat rendah-pendapat yang berbeda “diselesaikan” bukan dengan argumentasi substantif akan tetapi tidak jarang dengan membelokkannya kepada permasalahan lain sehingga cenderung menumbuhkan apa yang beliau namakan “budaya bisu” itu.

Disamping alasan efiseinsi yang dikemukakan Prof. Samsuri, kemahirwacanaan juga perlu di kembangkan karena alasan yang jauh lebih mendasar yaitu demi kelestarian dan kejayaan bangsa, demi kemaslahatan umat manusia, lebih-lebih di dalam abad informasi ini. Hanya saja sayangnya, pranata sosial yang justru seharusnya memikul misi utama pembentukan kemahirwacanaan yaitu sistem persekolahan, nampaknya masih belum memberikan urunannya yang maksimal. Secara lebih lugas bahkan mungkin harus dikatakan bahwa selama inisekolah kita nyaris membengkalaikan tugas yang penting ini.

Oleh karena itu didalam artikel ini dikemukakan pengertian kemahirwacanaan yang mungkin lebih tepat dan produktif daripada kemelekhurufan atau bahkan dibandingkan dengan keberaksaraan fungsional didalam mengartikulasikan kemampuan yang sangat vital dalam kelangsungan hidup didalam abad informasi, beserta implikasinya bagi sistem persekolahan khususnya bagi sekolah dasar. Sebagai latar pembahasan, dikemukakan gambaran mengenai karakteristik masyarakat dan manusia abad informasi, masyarakat dan manusia masa depan indonesia yang di kehendaki.

MASYARAKAT INDONESIA YANG DIKEHENDAKI

Secara global dapat di saksikan sejumlah gejala. Per-ubahan cara kerja dan gaya hidup pada umumnya yang semakin pesat kelajuannya akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merebak sangat cepat kesegenap permukaan bumi melalui teknologi telekomunikasi yang semakin canggih. Tata nilai yang mapan dilanda oleh nilai-nilai yang baru yang mengiringi perubahan cara bekerja. Disamping membantu masalah serta teknologi yang berkembang pesat juga menimbulkan permasalahan baru yang tidak kalah rumitnya, mulai dari penggerogotan lapisa ozon sampai dengan pergulatan etis yang menyertai kemampuan rekayasa genetik baik yang di terapkan kepada tanaman dan hewan, apalagi kepada sistem ragawi manusia.

Juga penting untuk disimak dalam hubungan ini adalah bahwa perbuatan perorangan ternyata berdampak global-gejala dan peristiwa yang berdampak global bermula dari perbuatan individu. Peristiwa-peristiwa besar (seperti pendekatan Amerika dan Rusia) dimulai dengan visi dan gagasan serta prakarsa dan keuletan individual, sementara denga teknologi informasi, gagasan serta peristiwa dapat dengan sangat cepat menyebar luas sehingga mempengaruhi lebih banyak individu-individu lain dengan dampak yang fenominal-ditinggalkannya sistem pemerin-tahan komunis di negara-negara Eropah Timur nerupakan contoh yang mutakhir. Penggerogotan ozon terjadi akibat pemanfaatan teknolgi pendinginan dan aerosol yang menyajikan kenyamanan hidup sementara pengotoran lingkungan, di samping oleh industri, juga terjadi di banyak bagian dunia oleh individu-individu kurang bergantug yang belum memiliki sistem pembuangan yang memadai di samping terpaksa menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu mereka yang lebih pesimis bahkan secara lugas menyatakan bahwa “people polute”-lebih banyak manusia bearti lebih banyak polusi yang memerosotkan mutu lingkungan.

Oleh karena itu, penanganan masalah-masalah yang bersifat global itu ada pada dasarnya mempersyaratkan perubahan acuan didalam pengambilan keputusan dan tindakan oleh setiap individu di dalam arti yang sebenar-benarnya. Artinya, pemecaha permasalahan yang bersifat global itu harus di mulai penanganannya dari tingkat individual, yang mengisyaratkan pentingnya peranan potensial, dan sekaligus tanggung jawab, pendidikan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang di tandai oleh partisipasi yang di galakkan oleh kepedulian yang di bangkitkan oleh kepekaan serta persetujuan yang bertolak dari pemahaman (“informed consent”) yang di berikan berdasarkan kemampuan berpikir mandiri dan perasaan tanggung jawab oleh segenap individu warganegara. Dengan perkataan lain, salah satu ciri khas abad informasi erat dengan individualisasi yaitu dengan keberjayaan”…. individual (awareness and responsibility against the anonymity (and indifference) of the collective” (Naisbitt dan Aburdene, 1990, , dengan tambahan frase dari penulis). Kesadaran individual bahwa umat manusia adalah “penumpang senasib” pesawat ruang angkasa maha besar yang bernama bumi itu telah semakin meningkat. Oleh karena itu, pendidikan ditantang untuk memberikan urunan di dalam mereka masa depan.

Dari uraian di atas dapat di angkat 2 karakteristik khas yang dapat di gunakan untuk melukiskan manusia indonesia masa depan yang di kehendaki yaitu kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab, yang tentu saa penjabaran, pengembangan serta penerapannya selalu berpijak pada landasan pandangan hidup bangsa, yaitu pancasila. Kepekaan berarti kemampuan yang tajam-dalm arti kemampuan berpikir maupun kemudahtersentuhan hati nurani-didalam melihat atau merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain, termasuk mereka yang akan di lahirkan, sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Maha Pencipta (Cf. Emil Salim, 1981). Kemandirian berarti kemampuan menilai hasil dan proses berpikir sendiri di samping menilai hasil dan proses berpikir orang lain serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar dan perlu. Sedangkan tanggung jawab berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.

Ketiga ciri-ciri operasional tersebut merupakan persyaratan setiap individu warga mayarakat, untuk mampu bertahan-baik sebagai individu, maupun bersama dengan individu-individu lain, sebagai masyarakat-didalam badai perubahan yang, di negara kita, secara serempak di bawa oleh revolusi indistri dan revolusi informasi lain. Oleh karenanya, maka ketiga sasaran operasional tersebut harus terjadi salah satu acuan dasar penting didalam merancang serta melaksanakan program pendidikan nasional, yang tidak semata-mata merupakan penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-nilai tersebut kedalam latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik. Dari sudut pandangan ini, upaya mencerdaskan kehidupan bangsahanya mungkin membuahkan hasil yang di kehendaki, apabila pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk “….answering questions, questioning answers, and questioning questions” (Hutson, dkk. 1988) sehingga kelas terwujud sebagai “a vigorous community of learners where intellectual authority derives from evidence and argument and not from assertion” (White, 1987). Oleh karena itu maka apabila di simpulkan, ciri utama dari manusia dan masyarakat masa depan yang di maksud dapat di rumuskan sebagai (a) manusia yang mendidik dari sendiri sepanjang hayat, dan (b) masyarakat belajar yang terbuka terhadap perubahan, namun memiliki pandangan hidup yang mantap sehingga tidak kehilangan jati dirinya di dalam mengurangi badai perubahan yang semakin melaju.

KEMAHIRWACANAAN SEBAGAI TUNTUNAN ABAD INFOR-MASI

Salah satu kemampuan penting yang di perlukan untuk mengelola infromasi bagi penetapan pendirian serta pengambilan keputusan dan tindakan oleh individu adalah kemahirwacanaan atau kemampuan “literate thinking” (Wells, 1990). Dikaitkan dengan bidang wacana, Gordon Wells mendefinisikan “literacy” menggunakan simbol-simbol pesan dalam bentuk tulisan. Sebalik-nya, ia mengartikannya sebagai kemampuan bergaul dengan wacana sebagai representasi pengalaman, pikiran perasaan dan gagasan secara tepat sesuai tujuannya. Demikinlah, ia memilahkan niat penciptaan wacana itu menjadi 3 kelompok yaitu sebagai (a) alat untuk mempengaruhi tindakan secara langsung, yang dapat mengambil rentangan wujud dari pesan tertulis dari seorang ibu rumah tangga yang terpaksa meninggalkan rumah untuk sesuatu keperluan sehingga rumah menjadi kosong kepada puteranya yang belum pulang dari sekolah (“Kunci di Bu Don”) sampai dengan paduan pengoperasian perangkat lunak yang rumit (“3.30 MS-DOS Manual”), (b) sedia informasi yang dapat dirujuk sewaktu-waktu sesuai keperluan, juga dengan rentangan ragam yang luas dengan resep pembuatan rendang didalam majalah khas untuk khalayak wanita sampai dengan “Encyclopedia Britanica”, dan (c) hasil kajian (“considered interpretation”) penulis tentang aspek tertentu, baik riil maupun imajiner, yang berkenaan dengan pemikiran, perasaan, pilihan nilai serta pergaulatan batin lain juga di tampilkan dalam aneka wujud-paparan teoritik, sejarah, biografi, novel, puisi, dan drama.

Pergaulan ragam pertama dengan wacana menuntut modus fungsional, yang kedua mempersyaratkan modus informa-sional, dan yang ketiga di tandai pemikiran kritikal dan imajinatif yang dinamakan “literate thinking” yang sebagaimana dikemuka-kan sebelumnya penulis salin dengan istilah kemahirwacanaan. Baik menulis maupun membaca yang di lakukan dalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kegiatan berpikir yang intens-penciptaan makna yang sangat mempribadi dengan mengarah-kan segenap khasanah pengalaman menggauli gagasan melalui analisis dan sintesis, proses membandingkan dan memperten-tangkan, serta pengakomodasian dan pengasimilasian. Membaca yang di lakukan di dalam modus kemahirwacanaan di tandai oleh kemampuan menilai makna yang di berikan kepada wacana yang dibaca, sedangkan menulis yang di lakukan didalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kemampuan memanfaatkan wacana yang di ciptakan untuk membaca dan menjernihkan makna berkenaan dengan permasalahan yang ditulis. Perwujudan kemampuan menilai proses serta hasil berpikir sendiri selain menilai proses serta hasil pikir orang lain yang merupakan karakteristik penting kemahirwacanaan di dalam membaca maupun menulis inilah yang menandai kemandirian berpikir. Tanpa kemampuan berpikir secara mandiri tidak akan pernah ada kemerdekaan yang sebenarnya, sedangkan tanpa kemerdekaan, masyarakat yang demokratis tidak mungkin berfungsi.

Rasanya, pembentukan kemampuan serta kebiasaan berpikir kritikal dan imajinatif baik yang di terapkan di dalam modus “menulis” maupun “membaca” yang di namakn kemahir-wacanaan inilah yang di amanatkan sebagai salah satu perwujud-an penting upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan bukan kegesitan mengingat potongan-potongan informasi miskin makna sebagaimana di tuntut didalam acara “cerdas cermat” dan sebangsanya. Kemampuan dan kebiasaan mengelola informasi yang bertumpu pada kemahirwacanaan inilah yang akhirnya merupakan “cutting edge” yang akan sangat menentukan “survival” kita sebagai negara bangsa, baik di dalam menangkal kemungkinan ancaman yang akan datang dari luar, maupun yang justru berada di tengah-tengah kita, ya bahkan yang bersembunyi di dalam diri kita sendiri dalam bentuk kebodohan dan keterbelakangan akibat keenggaan belajar di dalam wabah ledakan informasi. Dengan perkataan kata lain, sebagaimana di disyaratkan di dalam, pembentukan kemahirwacanaan juga bertolak dari pilihan nilai.

IMPLIKASI BAGI PENDIDIKAN

Acuan Konseptual Sistem Persekolahan

Penyelenggaraan pendidikan sebagai pemberian informa-si dengan sistem tagihan yang terlalu mementingkan pencapaian belajar jangka pendek dalam bentuk potongan-potongan informa-si yang nyaris hampa makna yang menggejala di lingkungan sekolah kita dapat di lacak pada kesenjangan yang terdapat antara rumusan tujuan utuh pendidikan dengan jabara operasionalnya yang merupakan upaya pencapaiannya melalui program pengajaran yang dilaksanakan dari hari ke hari di sekolah. Jelasnya, meskipun tujuan rumusan utuh pendidikan itu telah benar-benar secara lengkap merangkum ciri-ciri individu-warganegara yang di kehendaki-bahkan ada yang secara bergurau mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang di cantumkan dalam UUSPN sebenarnya melukiskan malaikat, bukan manusia yang hidup di dalam fana ini-akan tetapi penerje-mahannya ke dalam program pengajaran yang operasional cenderung di sertai oleh pengebirian-pengeberian. Di samping faktor-faktor lain yang saling berhubungan secara rumit, pendekatan Pengembangan Program Sistem Instruksional, yang sangat kuat dipengaruhi oleh penekanan berlebihan kepada tujuan berbentuk perilaku yang di cetuskan oleh Robert Mager (Mager 1975) agaknya ikut tanggungjawab terhadap terjadinya pengebirian-pengebirian pesan kependidikan yang utuh menjadi serentetan pemberian informasi miskin makna, termasuk bagi mata pelajaran yang kehadirannya bertolak dari niat pembentuk-an afektik.

Akan tetapi faktor lebih mendasar yang “mengizinkan” pengebirian tujuan utuh pendidikan, adalah ketiadaan acuan konseptional yang mantap bagi pendidikan umumnya, sistem persekolahan khususnya, yang dapat di gunakan sebagai panduan di dalam menjabarkan progra-program pendidikan mau-pun sebagai batu ujian bagi sistem tagihannya. Sebaliknya, setelah 68 tahun merdeka, sistem persekolahan kita masih mengacu kepada warisan zaman penjajahan yang menyeleng-garakan pendidikan melalui sistem persekolahan untuk memilih atau memilah calon pegawai, dan bukan untuk mencerdaskan segenap putra-putri republik. Dan sementara itu masing-masing pihak yang berkepentingan atau terkait, mulai dari orang tua dan pemuka masyarakat sampai dengan para ahli dan pengelola serta pejabat, menggunakan visi masing-masing untuk mengambarkan harapannya terhadap pendidikan melalui sistem persekolahan (tenaga kerja siap pakai, perebut ilmu dan teknologi, pembawa nilai tambah, dan sebagainya) sehingga terciptalah kehiruk-pikukan konseptual yang tidak membantu kita menata prioritas serta memuaskan perhatian kepada upaya yang di perlukan untuk meningkatkan ,utu pendidikan (menyongsong era tinggal landas!). Akibatnya adalah kesimpangsiuran harapan, penerje-mahan program yang kurang setia kepada rumusan formal tujuan utuh pendidikan serta sistem tagihan yang di dominasi oleh tuntunan kemampuan menghafal informasi. Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan sebelum kita ada pada posisi untuk menambahkan dan mengurangi mata pelajaran dalam rangka penyempurnaan kurikulum sekolah, terlebih dahulu di sepakati karakteristik lulusan yang di kehendaki berdasarkan kesepakatan tentang harapan yang di tumpukan kepada sistem persekolahan, dengan tekanan pada unsur-unsur yang di harapkan akan terbentuk, secara langsung dan tidak langsung, sebagai dampak berbagai kegiatan pendidikan yang di programkan di sekolah .

Pemetaan taxanomi sasaran pembentukan pendidikan yang komperensif yang di pelopori oleh Benyamin Bloom (Bloom dkk., 1956; dan Kranthwohl dkk,. 1964) nampaknya tidak banyak membantu di dalam upaya ini terutama karena pemetaan sasaran pembentukan ini tidak secara taut di kaitkan dengan proses serta pertanggungjawaban keterbentukannya. Dengan perkataan lain, peta taksonomis yang di ajukan oleh Bloom dkk itu bermanfaat untuk memahami sasaran pembentukan, akan tetapi tidak eksplisit kaitannya dengan pemrograman berbagai kegiatan belajar bagi keterbentukannya. Oleh karena itu dengan memanfaatkan, akan tetapi tidak sepenuhnya mengikuti, taksonomi pencapaian pendidikan yang di harapkan terjadi melalui sistem persekolahan yang di kemukakan oleh Bloom dan kawan-kawannya sekitar 4 dekade yang lalu itu, salah satu cara memetakkan sasaran pembentukan pendidikan yang mengaitkan ranah sasaran dengan proses keterbentukannya adalah dengan memilahkannya menjadi pengetahuan-pemahaman yang terbentuknya melalui berbagai modus pengkajian, ketrampilan (kognitif dan personal-sosial di samping psikomotorik) yang mempersyaratkan latihan, serta sikap-nilai yang hanya mungkin ditumbuhkan melalui penghayatan berbagai kegiatan dan peristiwa sarat-nilai (Raka Joni, 1983).

Pembentukan pengetahuan-pemahaman merupakan sendi utama gejala belajar. Dari segi kognitif proses belajar di lihat bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh pemelajar kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dari akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya (Ausubel dkk, 1978), sehingga lebih merupakan proses “…..constructing and retructuring of know ledge and skills (schemata) within the individual in complex network of increasing conceptual consistency……, “katimbang proses perolehan fakta serta pembentukan ketrampilan yang terlepas-lepas yang terwujud melalui pangaturan pemberian ganjaran dari luar (Mashall, 1988). Oleh karena itu, pengelolaan proses belajar-mengajar pertama-tama terus berarti pengelolaan pemrosesan gagasan di dalam interkasi belajar-mengajar yang terjadi dalam jaringan sosial yang unik yang terbentuk di dalam budaya kelas (“classroom culture”) di sekolah (Collins dan Gren, 1990). Dan bukan semata-mata pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya (Shulman, 1987; Conny Semiawan dkk. 1985). Dengan perkataan lain, perhatian utama harus di tujukan kepada pemrosesan gagasan (“inner process”) tersebut yang di lakukan oleh pemelajar sendiri yang mengantarai (“mediate”) terjadinya gejala belajar yang bermuara pada pengembangan diri-suatu ciri khas latar pendidikan, dan bukan kepada unjuk kerja atau prestasi belajar yang kemudian di kaitkan dengan sistem penghargaan dari luar (“external reward”) seperti misalnya indeks prestasi, yudisium, ijasah dan yang sebangsanya-yang lebih merupakan ciri latar kerja (Marshall, 1988; 1990).

Dari segi pembentukan ketrampilan, proses belajar harus merupakan kesempatan untuk melakukan langsung berbagai kegiatan yang menuntut penggunaan berbagai ketampilan tersebut (“direct performance”), termasuk kesempatan untuk memperoleh serta mencerna balikan-balikannya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses berlatih, dengan atau tanpa bantuan guru atau sejawat, sebagai persyaratan mutlak dari pembentukan ketrampilan, baik ketrampilan psikomotorik maupun ketrampilan intelektualdan personal-sosial. Sedangkan bagi pembentukan sikap dan nilai, persyaratan yang di perlukan adalah penghayatan berbagai peristiwa dan kegiatan yang sarat-nilai, baik dalm arti pasif menyaksikan serta mendiskusikan berbagai peristiwa dan kejadian sarat-nilai maupun secara aktif berbentuk keterlibatan langsung dalam berbagai kegiatan sarat-nilai-memperlakukan dan di perlakukan orang lain secara santun dan demokratis didalam interaksi di dalam maupun di luar kelas, atau mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sikap dan nilai terbentuk sebagai dampak akumulasi penghayatan terhadap pengalaman, bukan hasil pengalaman yang eplisit terpisah-pisah. Terlebih-lebih dari pada itu, pembentukan sikap dan nilai juga memerlukan penguatan di lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga di perlukan kesejajaran acauan nilai di antara 3 pusat pendidikan: sekolah, keluarga dan masyarakat.

Dari uraian di atas, jelas kiranya bahwa di dalam proses interaksi belajar-mengajar yang merupakan perwujudan program belajar-mengajar yang di rencanakan untuk mengupayakan pencapaian tujuan-tujuan instruksional yang telah di tetapkan, perlu secara sadar di antisipasi peluang-peluang untuk menyampaikan atau menekankan kembali, secara langsung atau tidak langsung, pesan-pesan kependidikan penting lainnya dalam rangka pencapaian tujuan utuh pendidikan, mulai dari kebiasaan bekerja secara cermat dan tepat waktu sampai dengan rasa kebanggaan bernegara bangsa indonesia. Terwujudnya sasaran pendidikan yang diantarai oleh tindakan langsung guru di namakan dampak pengiring (“nurturant effects”, Joyce dan Weil 1980). Sebaliknya pengamatan terhadap praktek yang umum berlaku, perhatian nampaknya hanya di tujukan terhadap upaya penyampaian pesan kependidikan melalui tindakan langsung guru, itupun di dalam bentuk yang paling sederhana yaitu pemberian informasi. Pandangan yang melihat pelaksanaan setiap kegiatan belajar-mengajar setiap keputusan dan dan tindakan seorang guru di dalam kegiatan belajar-mengajar, itu sebagai bahagian tidak terpisahkan dari upaya pencapaian tujuan utuh pendidikan inilah yang di namakan “Wawasan Kependidik-an”, yang dasar-dasarnya secara mantap sudah harus di letakkan di dalam pendidikan pra-jabatan profesional tenaga kependidikan (Raka Joni,1983).

Pembentukan Kemahirwacanaan di sekolah

Sebagai kemampuan yang dapat mempribadi menjadi kebiasaan, kemahirwacanaan yang mencerminkan penyatu ragaan kegiatan berpikir, membaca dan menulis hanya dapat di tumbuhsuburkan di dalam di dalam latar sosial yang kondusif. Artinya, selain pemrograman secara teknis-edukatif, pembentuk-an kemahirwacanaan mempersyaratkan 2 kondisi penting. Kondisi pertama yaitu adanya pesan yang ingin di sampaikan melalui tulisan atau adanya kebutuhan untuk memperoleh informasi melalui bacaan. Sedangkan kondisi kedua adalah berdapatnya kesempatan untuk menulis dan kemudahan untuk membaca sebagaimana diisyaratkan di awal bagian ini, kedua kondisi yang sepintas kedengarannya sangat sederhana itu pada dasarnya mengandung makna latariah yang sangat dalam, sehingga perwujudannya memerlukan komitmen nasional yang tidak setengah-setengah. Keinginan menyampaikan pesan melalui tulisan-mulai dari pengalaman darmawisata sangat berkesan seorang siswa SD kelas III sampai dengan pendedahan temuan seorang pakar ilmu dan teknologi serta pencetusan para hati nurani seorang pengarang-menunjuk kepada kebermaknaan tulisan itu bagi si penulis yang merupakan persyaratan bagi perlibatan diri secara total di dalam penggarapannya (saya jadi teringat tugas”mengarang bebas” yang saya terima di sekolah rakyat yang hasilnya di kumpulkan dan kemudian kami terima kembali setelah di nilai guru). Sementara kebutuhan untuk memperoleh informasi bacaan menunjuk kepada intensitas keterlibatan pelaku baca di dalam kegiatannya yang dapat dipicu oleh berbagai keperluan yang bermakna-mulai pelacakan informasi berkenaan dengan suatu pokok yang di diskusikan di kelas sampai dengan penelaahan hasil-hasil penelitian yang relevan dalam rangka penulisan disertasi serta penjelajahan kedalam dunia gagasan yang di ciptakan seorang pengarang. Selanjutnya, kesempatan menulis berarti kebebasan menyatakan diri melalui tulisan sedangkan kesempatan membaca berarti terjangkaunya (“accessibility”) berbagai bacaan baik terbitan dosmetik maupun keluaran mancanegara bagi segenap pelaku baca.

Apabila kedua kriteria tersebut di atas di kenakan, pelajaran mengarang dan membaca di kebanyakan sekolah kita akan nampak kedodoran sementara budaya baca tulis lingkungan masyarakat luas masih lebih merupakan angan-angan daripada kenyataan. Dengan perkataan lain, kesempatan untuk menulis dan membaca yang bermuara kepada pembentukan kemahirwacanaan di sekolah masih nyaris belum terjamah sehingga mengisyaratkan pentingnya pembenahan penyelengga-raan program pelajaran membaca dan menulis dalam bidang studi yang khas yaitu bahasa indonesia maupun dalam penskenarioan kebutuhan, kesempatan dan pembinaan kemam-puan dan kegemaran membaca dan menulis yang menuju kepada pembentukan kemahirwacanaan bagi semua mata pelajaran, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Dan sebagaimana di kemukakan sebelumnya, kemampuan dan kegemaran berpikir sebagai unsur penting kemahirwacanaan harus di bentuk dalam arti menemukan dan memecahkan masalah maupun yang berkenaan dengan kemampuan berpikir epistimologis yang bukan saja kritis terhadap pikiran orang lain, akan tetapi kritis terhadap pendapat diri sendiri-mempertanyakan kesahihan pengetahuan yang di peroleh dengan menilai bukti-bukti (“evidence”) beserta proses pembuktian dan penarikan kesimpulan yang di gunakan (White, 1987). Secara lebih lugas, bahkan ada yang menamakan kemampuan berpikir kritis ini sebagai “…..built-in, shock-proof crap detector” (Postman dan Weingartner, 1969).

Sebagaimana dikemukakan di depan, dengan mengait-kannya dengan modus membaca dan menulis yang merupakan salah satu ciri khas abad informasi, Wells menamakan kemampuan berpikir kritis ini kemampuan “literate thinking” yang, pada gilirannya, merupakan urutan potensial penting pendidikan melalui sistem persekolahan (lihat kembali Wells, 1990). Dengan perkataan lain sistem persekolahan dapat berperan strategis di dalam membentuk kemampuan berpikir mandiri melalui pembentukan kemahirwacanaan yang, seperti telah di kemukakan sebelumnya, Merupakan salah satu sendi utama kemerdekaan serta merupakan persyaratan mutlak bagi berfungsinya masyarakat yang demokratis. Kemumgkinan urunan sistem persekolahan untuk meletakkan dasar bagi perubahan-perubahan berdampak jangka panjang seperti pembentukan kemahirwacanaan inilah yang seyogyanya tidak boleh di desak keluar kawasan misi layanan ahli kependidikan (Cf. Cole, 1990) oleh kesibukan mengurus ketercapain hasil jangka pendek dalam bentuk tingkah laku yang dapat di amati pada akhir setiap pertemuan tatap muka seperti yang antara lain di galakkan melalui pendekatan pengembangan Program Sistem Instrusional atau sebagai peningkatan daya serap yang di cerminkan dalam bentuk skor-skor berbagai ujian.

Sebagai karakteristik yang kompleks, kemampuan dan kebiasaan yang mencerminkan kemahirwacanaan tentu saja tidak mungkin di tagih keterbentukannya pada setiap akhir sesuatu perangkat sesi pengajaran sesuai strategi “pretest, post-test” Sebaliknya meskipun pengajaran yang eksplisit tentang teknik membaca dan menulis lanjut itu memang perlu, pembentukan kemahirwacanaan pada dasarnya lebih tepat apabila di lihat sebagai dampak pengiring (“nurturant effects”, lihat kembali Joyce dan Weil, 1980) yang terwujud secara setapak-demi setapak sebagai akumulasi pengalaman yang di rancabg secara sistematis ke dalam semua mata pelajaran, ya bahkan melalui semua pengalaman belajar yang di programkan sekolah termasuk yang bersifat kurikuler dan ekstra-kulikuler, bukan hanya semata-mata tergantung pada pelajaran bahasa indonesia. Oleh karena itu, di samping peningkatan mutu pelajaran menulis adan membaca yang menjadi tanggung jawab mata pelajaran bahasa indonesia sehingga mengarah kepada pembentukan kemahirwa-canaan, tidak kalah pentingnya adalah penskenarioan kegiatan belajar-mengajar semua mata pelajaran lainnya yang juga harus mempersyaratkan kegiatan menulis dan membaca dengan sistem tagihan yang sejalan. Tidak perlu rasanya secara lebih eksplisit di kemukakan bahwa buku-buku perpustakaan tidak di baca oleh para siswa karena sistem penyampaian tidak mempersyaratkan-nya dan sistem tagihan tidak menggubrisnya..

Sebagaimana disinyalir Prof. Samsuri, di kalangan masyarakat luas keadaan budaya baca-tulis tidak lebih baik, kalau tidak mau di katakan sangat memprihatinkan. Dari segi kebiasaan membaca, baik kebutuhan maupun kemudahannya masih memerlukan sangat banyak peningkatan apalagi kalau di kaitkam demgan ciri khas serta tuntunan abad informasi. Prakarsa untuk mencari informasi melalui bacaan sangat rendah, yang di tambah pula oleh kecenderungan untuk menggunakan sistem penyampai-an pesan secara lisan, syukur-syukur kalau bisa secara tatap muka, oleh kebanyakan sumber informasi (dalam bentuk penjelasan, pengarahan dan petunjuk!). Sementara berkenaan dengan kebiasaan menulis, di samping kekuatan dari segi teknis, “budata bisu” juga sangat mewarnai keadaan –isi hati cebderung dipendam di hati saja. Kalau toh dorongan untuk mengemu-kakannya telah mendesak lebih kuat, tulisan sering di sampaikan dengan “nama dan alamat pada redaksi” atau cara-cara lain serupa, akibat rasa kureang aman-yang di tumbuhkan oleh budaya bisu itu! Oleh karena itulah di muka di tandaskan bahwa pembentukan kemahirwacanaan yang merupakan salah satu bentuk pencerdasan kehidupan bangsa memerlukan komitmen nasional yang tidak setengah-setengah. Peningkatan mutu pendidikan yang mengacu pada pencerdasan kehidupan bangsa tidak dapat di lakukan secara terlepas dari tatanilai yang di anut masyarakat, apalagi kalau hanya di lakukan dengan kemampuan para guru dan menyediakan lebih banyak fasilitas belajar saja. Sebab apabila di buat pengandaian, kelengkapan piranti penyelenggaraan pendidikan adalah ibarat kendaraan, sedangkan “penumpang” yang harus di angkutnya adalah pesan dasar kependidikan yang di tuangkan ke dalam suatu acuan konseptual yang di angkat dari pendapat ahli dan hasil kajian di samping pilihan nilai .

PENUTUP

Kesimpangsiuran harapan yang di tumpukan kepada sistem persekolahan umumnya, sekolah dasar khususnya, mengisyaratkan sangat jelas ketiadaan acuan konseptual yang di perlukan ke dalam mengupayakn penerjemahan secara setia tujuan utuh pendidikan yang telah di rumuskan secara formal menjadi berbagai program pengajaran yang mendidik. Setelah 68 tahun merdeka, sistem persekolahan kita masih menggunakan acuan pegawai yang di wariskan pemerintah penjajahan, dan bukan yang telah menjadi teramat banyak jumlah dan sangat heterogen latar belakangnya. Oleh karena itu, pembenahan kurikulum pendidikan dasar yang sekarang ini tengah di garap oleh instansi yang berkewenangan akan menghasilkan pengulangan kisah bongkar-pasang mata pelajaran apabila tidak didahului oleh perumusan mantap karateristik lulusan persekolahan umumnya, sekolah dasar khususnya, yang bertolak dari kesepakatan tentang peranan yang di harapkan di mainkan oleh sistem persekolahan.

Sementara dari segi pengungkapan berbagai masalah yang dapat menghasilkan bahan-bahan dasar termasuk penyelenggaraan pengajaran membaca dan menulis permulaan yang merupakan titik-titik berangkat menentukan bagi pembentukan kemahirwacanaan, peletakan program pendidikan pra-jabatan guru SD di LPTK sekaligus juga mengamanatkan secara lugas perlunya di lakukan berbagai penelitian yang relevan di kawasan pendidikan dasar. Pendidikan di tanah air, termasuk pendidikan dasar, telah terlalu lama di selenggarakan berdasarkan temuan-temuan yang di hasilkan oleh para pakar-pakar asing yang relevansinya dengan latar serta hakekat permasalahan Indonesia masih perlu di uji.

DAFTAR PUSTAKA

D. A. Ausubel, J. D. Novak dan H. Hanesian (1978). Educational Psychology: a cognitive view. N.Y. : Holt, Rinehart and Wisnton.

B. S. Bloom dkk. (1956). Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I:Cognitive Development. N. Y. : David Mckay.

E. C. Collins dan J. L. Green. (1990). “Metaphors: the Contruction of a Perspective”. Theory Into Practice. Spring, XXIX: 71-77

N. L. Cole (1990). “Conceptions of Educational Achievement”. Educational Researcher. April, XIX: 2-7.

Conny R. Semiawan dkk. (1985). Pendekatan Ketrampilan Proses: bagaimana mengaktifkan siswa dalam belajar. Jakarta : Gramedia.

W.R. Houtson, R. T. Clift, H. J. Freiber, dan A.R. Warner. (1988). Touch the Future: teach! St. Paul: West Publishing Co.

B. Joyce dan M. Weil. (1980). Models of Teaching. New York: Prentice-Hall.

D.R. Kranthwohl dkk. (1964). Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II: Affective Domain. N. Y.: David Mckay.

R. Mager. (1975) Preparing Intructional Objectives. Edisi II. San Francisco: Fearon.

H.H Marshall. (1988). “Work or learning: implicationa for calssroom metaphor”. Educational Researcher. December, XXIX: 9-16

————– (1990). “Beyong the work place Metaphor: the classroom as a learning setting”. Theory Into Practice Spring, XXIX:94-101.

Naisbbit, J. Dan P. Aburdene. (1990). Megatrends 2000. New York: Avon Books.

N. Postman dan C. Weingarther. (1969). Teaching as a Subversive Activity. New York: Dell Pulishing Co.

N. Postman. (1979). Teaching as a Conserving Activity. New York: Dell Publishing Co.

Samsuri. (1990). Out of Daily Humdrum, Naskah Tidak Diterbitkan.

L.S. Shulman. (1987). “Knowledge and Teaching: foundations of the reform”. HarwardEducational Review. LVII: 1-12.

G. Wells. (1990). “Creating the Conditions to Encourage Literate Thinking”. Educational Leadership. XLVII: 13-17

 

M. A. White (ed.) (1987).Curriculum for the information Age. Hillsdale, N. J. : Erlbaum.