PANGKALAN BUN KEMBALI KE TANGAN

KERAJAAN KOTAWARINGIN PADA TAHUN 1945

Diah Wijayanti

Wahyu Purwiyastuti

Emy Wuryani

Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang pentingnya Pangkalan Bun bagi Kerajaan Kotawaringin dan mendeskripsikan tentang kembalinya Pangkalan Bun ke tangan Kerajaan Kotawaringin pada tahun 1945. Metode penelitian yang digunakan ialah metode sejarah dalam bentuk deskriptif naratif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Jepang Pangkalan Bun menjadi pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah. Peristiwa penyerahan Jepang di Pangkalan Bun diakhiri dengan bunuh diri Keibitaicho Takabe.

Kata Kunci: pusat pemerintahan, bunuh diri Keibitaicho Takabe


LATAR BELAKANG

Kerajaan Kotawaringin yang bera-da di Kotawaringin didirikan pada tahun 1679 oleh Pangeran Adipati Antakasuma. Pangeran Adipati Antakasuma dibantu oleh Demang atau kepala suku Dayak Arut dalam pencarian tempat untuk mendirikan Kerajaan Kotawaringin. Selama dalam perjalanan, mereka melihat ada sebuah pohon beringin yang berjejer rapi di pinggir sungai. Mereka pun memutuskan untuk berhenti dan masuk ke sebuah kampung Kotawaringin atau kampung Kaharingan dan memutuskan untuk mendirikan Kerajaan Kotawaringin di Kampung Kotawaringin.

Pada tahun 1809, Kerajaan Kota-waringin pindah ke Pangkalan Bun. Pindah-nya Kerajaan Kotawaringin ke Pangkalan Bun disebabkan karena Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin ingin memperluaas wilayah Kerajaan Kotawaringin. Posisi Kerajaan Kotawaringin sendiri berada diatas Bukit Indra Kencana. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Seruyan, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukamara dan Kabupaten Lamandau.

Pemerintah Jepang datang di Pangkalan Bun pada tahun 1942. Keda-tangan mereka membuat aset-aset yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda beralih ke tangan Jepang. Setelah adanya peralihan kekuasaan, pemerintah Jepang meminta bantuan kepada orang pribumi Kotawaringin untuk mengelola pemerintah-an. Keadaan rakyat pada masa penduduk Jepang yaitu rakyat disuruh bertani dan mengumpulkan padi, hewan ternak (kambing, babi), dan lain-lain untuk dijual kepada pemerintah.

Saat Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan Agustus 1945, sebagian besar penguasa Jepang dipanggil oleh Tenno Heika (Kaisar Kerajaan Jepang) agar semuanya berkumpul di Kumai untuk menunggu jemputan dari Tentara Sekutu dan pemerintahan diserahkan kepada Kerajaan Kotawaringin. Salah satu kapten Jepang bernama Keibitaicho Takabe, tidak ingin meninggalkan Indonesia terutama Pangkalan Bun.

Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang pentingnya Pangkalan Bun bagi pemerintah dan bagaimana proses kemba-linya ke tangan Kerajaan Kotawaringin pada tahun 1945.

TINJAUAN PUSTAKA

a. Peran

Peranan atau peran dalam Soerjo-no Soekanto (1982: 30) merupakan pola perikelakuan yang berkaitan dengan status atau kedudukan. Peranan mencangkup juga peranan ideal, peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang dilaksanakan.

Peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Anggota masyarakat dapat dikatakan berperan jika ia melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya di masyarakat (Dimas Anggoro, dkk., 2014: 11).

b. Diplomasi

Diplomasi merupakan cara dengan peraturan dan tata krama tertentu yang digunakan suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau masya-rakat internasional. Dengan demikian, diplomasi tidak bisa dipisahkan dan bertalian sangat erat dengan politik luar negeri atau politik internasional (Tulus Warsito, dkk., 2007: X).

Sir Ernest Satow mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi intelijen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintahan yang berdaulat dan kadangkala diperluas dengan hubungan negara-negara jajahan. Selain itu, Satow Barston mendefinisikan diplomasi sebagai manajemen hubungan negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara melalui perwakilan resmi berusaha untuk menyampaikan, mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus atau yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan dan aktivitas-aktivitas lainnya (Sukawarsini Djelantik, 2008: 4). Tujuan diplomasi yaitu diplomat melakukan diplomasi untuk mengejar kepentingan nasionalnya dengan cara saling tukar menukar informasi secara terus menerus dengan negara lain atau rakyat negara lain (Sukawarsini Djelantik, 2008: 14).

c. Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Dari sini muncul definisi kerja nasionalisme yaitu suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan memperta-hankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu “bangsa” yang aktual atau “bangsa” yang potensial (Anthony D. Smith, 2003: 11). Menurut Ernest Renan, dasar suatu faham kebangsaan dan bekal berdirinya suatu bangsa adalah suatu kejayaan bersama pada masa lampau. Penderitaan atau kesengsaraan lebih berpengaruh dan berharga daripada kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan ini menimbulkan kewajiban-kewajiban yang selanjutnya mendorong ke arah adanya usaha bersama (Dimas Anggoro, dkk., 2014: 7).

Nasionalisme ialah konsep kesadar-an nasional suatu bangsa atas kondisi ketertindasannya yang dilakukan oleh bangsa lain. Nasionalisme terkait dengan kolonialisme sebagai suatu praktek penjajahan yang melahirkan kesadaran rakyat koloni atau daerah yang dijajah untuk bangkit dari ketertindasannya. Kebebasan adalah spirit utama rakyat koloni dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Jadi, nasionalisme bukan semata keyakinan one hundred percent seperti di Amerika, melainkan suatu kekuatan yang bisa menggerakkan sekumpulan orang melakukan perbuatan sekaligus menganut suatu keyakinan seperti pada kasus gerakan reformasi di Jerman. (Abd. Rahman Hamid, dkk., 2011: 65).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Penelitian diawali dengan mengumpulkan data yaitu menemukan subjek yang akan diteliti terlebih dahulu. Setelah itu, dikum-pulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan tema penulisan. Sumber-sumber penulisan yang terkait dengan permasa-lahan yang penulis dapatkan adalah sumber primer dan sumber sekunder. Data primer diperoleh dari arsip dan dokumen yang ada serta hasil wawancara dari para saksi sejarah. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui serangkaian wawancara tokoh, kerabat atau keluarga saksi-saksi sejarah dengan daftar pertanyaan dan wawancara terbuka dengan menggunakan pedoman wawancara.

Tahapan kedua adalah tahap kritik sejarah yang terdiri dari kritik intern dan kritik ekstern. Dalam kritik intern, penulis membandingkan sumber yang satu dengan yang lainnya untuk melihat relevansi sumber dengan tema penulisan.

Tahapan ketiga adalah interpretasi, yaitu memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah ditemukan. Penelitian subjektif sedapat mungkin penulis hindari dan diusahakan untuk bersikap objektif. Dalam langkah interpretasi data pada penelitian ini digunakan metode pendekatan sosial-politik. Tahap terakhir dalam metode penelitian sejarah adalah historiografi (penulisan sejarah).

HASIL PENELITIAN

Pangkalan Bun memiliki kerajaan yang masih keturunan dengan Kerajaan Banjar yaitu Kerajaan Kotawaringin. Kerajaan ini didirikan di Kotawaringin pada tahun 1679 oleh Pangeran Adipati Antakasuma. Pada tahun 1809 Kerajaan Kotawaringin dipindahkan oleh Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin ke Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Keraton Kuning atau Indra Kencana.

Pada tahun 1841 Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin jabatan sebagai Sultan diserahkan kepada Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah. Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah menjabat dari tahun 1841 sampai tahun 1867. Kedudukan Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah diserahkan kepada Pangeran Anum Kasuma Judha. Pada tahun 1939 Kerajaan Kotawaringin yang menjabat sebagai sultan yaitu Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah.

Pada hari Selasa tanggal 31 Maret 1942 sebanyak 20 orang tentara Jepang tiba di Pelabuhan Kumai dengan kapal. Sore harinya tentara Jepang datang ke Pangkalan Bun dengan menggunakan mobil truk menuju kantor pemerintahan. Tentara Jepang mengatakan kepada semua pegawai negeri bahwa semua yang berhubungan dengan Belanda disita.

Di bidang politik, Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah ditetapkan seba-gai sultan atau Kantokukan Kotawaringin, Pangeran Bendahara ditetapkan menjadi menteri kerajaan, serta Pangeran Arianingrat, M. Oemarhan dan G.A Hamidhan sebagai kepala distrik dan kepala onderdistrik. Pegawai negeri sebelum kerja harus tanda tangan daftar hadir, upacara bendera, menghormati Tenno Heika dengan menundukkan badan arah ke tokio dan senam pagi.

Di bidang sosial, para murid diajarkan bahasa dan tulisan Jepang dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang. Pemerintah Jepang juga memperhatikan agama yang dianut rakyat dengan mendatangkan ulama agama Islam dan agama Kristen. Rakyat pun untuk menyambung hidup sehari-hari dengan cara bertani, berternak dan menangkap ikan. Selain itu rakyat mengobati penyakit dengan obat-obatan tradisional, contohnya dengan akar-akaran penawar gantung dapat mengobati demam dan malaria.

Di bidang ekonomi, rakyat banyak melakukan penyeludupan barang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi apabila ketahuan oleh tentara Jepang maka rakyat akan dikenakan sanksi. Jepang untuk meningkatkan ekonomi dengan mendirikan pabrik untuk mengolah kulit bakau, pabrik kapal dan perusahaan ekspedisi.

Ketika kekuasaan tentara Jepang akan berakhir, rakyat mengalami keresahan diantaranya Jepang menjadi kejam terhadap rakyat khususnya kepada wanita. Banyak orang tua yang memiliki anak gadis memutuskan untuk segera dinikahi karena takut diambil oleh tentara Jepang yang menginginkan wanita.

Pada bulan-bulan terakhir, tentara Jepang mendapat serangan dari pihak Sekutu di Lapangan Terbang Sabah Uyah. Hal ini mengakibatkan tentara Jepang meminta bantuan angkatan darat dan mengadakan pos penjagaan di sekitar sungai Lamandau dan sungai Kumai. Pada akhir Agustus 1945 sampai awal September 1945 penyerangan terhadap Lapangan Terbang Sabah Uyah dihentikan karena Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Sehubung dengan penyerahan Jepang tersebut, Jepang sempat menutupi kekalahannya dengan cara memerintahkan kepada anggota Seinendan untuk me-ngumpulkan semua surat sebaran Sekutu yang didapat penduduk. Akan tetapi usaha mereka dihentikan karena setiap hari surat tersebut disebar. Berita kekalahan Jepang terungkap ketika Ken Kanrikan Irie Tosiyasu mengadakan jamuan makan malam bersama para pegawai negeri dan tokoh masyarakat di Gedung Nasional. Pada tanggal 29 Agustus 1945 diadakan upacara penyerahan kekuasaan pemerin-tahan Kotawaringin Ken dari Ken Kanrikan Irie Tosiyasu kepada Sultan Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah dilanjutkan dengan acara pengibaran bendera merah putih bertempat di Lapangan Tugu.

Pada minggu ke tiga bulan September 1945 tentara Jepang Sipil dan Militer sudah ada di Kumai untuk diberang-katkan ke Banjarmasin oleh Sekutu. Namun Ken Kanrikan Irie Tosiyasu dan Keibitaicho Takabe serta beberapa tentara Jepang masih berada di Pangkalan Bun karena ingin mengadakan perpisahan dengan penduduk Pangkalan Bun. Setelah meng-adakan perpisahan, Tuan Seri Baginda Maharaja Tenno Heika meminta tolong ke-pada Jotoheiho Matabo untuk memberikan sebungkus rokok putih kepada sultan.

Kurang lebih lima menit setelah Jotoheiho Matabo kembali, tiba-tiba terdengar letupan pistol dari rumah Keibi-taicho Takabe dan tiga menit kemudian terdengar suara ledakan yang diperkirakan ledakan granat atau dinamit. Jotoheiho Matabo yang pada waktu itu berada di Asrama Keibitai langsung berlari-lari menuju rumah Keibitaicho Takabe. Setelah masuk rumah Keibitaicho Takabe, Jotoheiho Matabo langsung kembali ke asrama untuk memberitahu kepada rekannya Sekicho Yamamoto dan mengatakan bahwa Keibitaicho Takabe telah melakukan bunuh diri. Menurut surat wasiat yang ada di dalam saku baju seragam perwira yang dipakainya bahwa beliau pindah agama Islam karena sangat cinta kepada orang Indonesia. Beliau meminta supaya jenazahnya dikuburkan secara Islam dan meminta dikuburkan di sisi tempat penjagaan bahaya udara di bawah pohon kedaung di atas Bukit Indera Kencana.

Pada tanggal 25 September 1945, kapal perang Sekutu bendera Australia tiba di Pelabuhan Kumai. Tanpa membuang waktu, mereka segera mengangkut tentara Jepang. Keesokan harinya pada tanggal 26 September 1945 semua orang Jepang sipil dan militer berangkat ke Banjarmasin untuk dipulangkan ke Jepang. Tentara Jepang di daerah Kotawaringin selama tiga tahun dan lima bulan yaitu dari tanggal 1 April 1942 sampai tanggal 26 September 1945.

Peran Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah dalam proses pembentuk-an pemerintahan Jepang, Pangeran Ratu Anum Alamsyah menumbuhkan kembali kesenian tradisional (seperti jepen, tirik, mamanda, ludruk, ketoprak, ronggeng dan lain-lain) kemudian sultan mendirikan Keimin Bunka Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan). Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Kesenian tradisional diterima baik oleh pemerintah penduduk Jepang karena kesenian tradisional ini dapat menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati kerinduan kepada keluarga mereka di Jepang.

Kedudukan Pangeran Ratu Anum Alamsyah tidak mengalami perubahan. Pangeran Ratu Anum Alamsyah tetap menjadi sultan hanya saja dibelakang nama sultan ditambah dengan kata Kantokukan sehingga menjadi Kantokukan Kotawaringin. Sultan menjabat sampai pemerintah Jepang menyerahkan Pangkalan Bun kepada Sultan untuk memimpin pemerintahan di Pangkalan Bun. Namun Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah sebagai kepala pemerintahan memperlihatkan sikap pasif dalam tugas sehari-hari setelah NICA berkunjung ke Pangkalan Bun. Semenjak itu Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah memberi tugasnya kepada Pangeran Arianingrat sebagai kepala distrik di Pangkalan Bun.

Diplomasi pemerintahan Jepang dan Kerajaan Kotawaringin, Pemerintah Jepang mengatakan kepada semua pegawai negeri termasuk Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah bahwa kepala pemerintahan di Pangkalan Bun untuk sementara dipimpin oleh Pangeran Bendahara sampai ada ketentuan dari pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang memberi peringatan kepada para pegawai lainnya supaya tetap bekerja sesuai dengan kedudukan dan jabatan sampai ada ketentuan lebih lanjut.

Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah ditetapkan kembali sebagai sultan, hanya saja dibelakang kata sultan ditambahkan dengan kata Kantokukan sehingga menjadi Kantokukan Kotawaringin. Kedudukan Pangeran Arianingrat, M. Oemarhan dan G.A. Hamidhan tetap dalam jabatan masing-masing, hanya saja nama jabatan mereka diubah menjadi Gunco (Kepala Distrik) dan Fuku Guncho (Kepala Onderdistrik). Selain itu, pemerintah Jepang meminta untuk merubah nama pemerintah, sekolah, pangkat, jabatan, dinas, nama bulan dan bulan ke dalam bahasa Jepang. Lonceng di gardu jagapun dipukul menurut cara Angakatan Laut Jepang.

Pemerintah Jepang juga meminta kepada guru-guru pribumi untuk tetap mengajar di sekolah-sekolah swasta. Pelajaran bahasa Jepang diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa pentingnya Pangkalan Bun bagi Kerajaaan Kotawaringin yaitu Pangkalan Bun dijadikan sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Keraton Kuning atau Indra Kencana. Letak Kerajaan Kotawaringin jika dilihat dari sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Seruyan, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukamara dan Kabupaten Lamandau. Hal ini membuktikan bahwa letak yang strategis membawa keuntungan bagi daerah-daerah sekitar Kerajaan Kotawaringin dalam bidang pemerintahan dan bidang ekonomi.

Pada tahun 1942 Pangkalan Bun jatuh ke tangan pemerintah Jepang yaitu diawali dengan tibanya tentara Jepang di Pelabuhan Kumai dengan kapal. Sore harinya tentara Jepang datang ke Pangkalan Bun dengan menggunakan truk menuju kantor pemerintahan. Tentara Jepang mengatakan kepada semua pegawai negeri bahwa semua yang berhubungan dengan Belanda disita. Tentara Jepang memperingatkan kepada para pegawai negeri lainnya supaya tetap bekerja dalam kedudukan dan jabatan. Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah ditetapkan sebagai sultan atau Kantokukan Kotawaringin, Pangeran Bendahara ditetapkan menjadi menteri kerajaan, serta Pangeran Arianingrat, M. Oemarhan dan G.A Hamidhan sebagai kepala distrik dan kepala onderdistrik.

Tentang kembalinya Pangkalan Bun ke tangan Kerajaan Kotawaringin pada tahun 1945 yaitu diawali dengan adanya serangan dari pihak Sekutu kepada tentara Jepang di Lapangan Terbang Sabah Uyah. Setiap hari banyak bom-bom yang berjatuhan di Lapangan Terbang Sabah Uyah, namun tentara Jepang tidak pernah melakukan perlawanan. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sehubungan dengan penyerahan Jepang tersebut, Tenno Heika (Kaisar Kerajaan Jepang) memerintahkan kepada semua tentara Jepang untuk segera meletakkan senjata dan menghentikan perlawanan serta menyerah kepada pihak sekutu. Berita kekalahan Jepang terungkap ketika Ken Kanrikan Irie Tosiyasu mengadakan jamuan makan malam bersama para pegawai dan tokoh masyarakat di Gedung Nasional. Dalam perjamuan tersebut Ken Kanrikan mengatakan bahwa pemerintahan di daerah Pangkalan Bun diserahkan kepada Sultan Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah dan berharap agar semua pegawai negeri dapat bekerja sama dengan baik dan rajin, selain itu semua orang-orang Nippon akan kembali ke negara asal.

DAFTAR PUSTAKA

Abd Rahman Hamid, Muhammad Saleh Madjid. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Anthony D. Smith. 2003. Nasionalisme: teori, ideologi, sejarah. Jakarta: Erlangga.

Dimas Anggoro,dkk. 2014. Peran Masyarakat Tengaran Kabupaten Semarang Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia 1947-1949. Salatiga: Widya Sari Press.

Helius Sjamsuddin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

J.U. Lontaan, G.M. Sanusi. 1976. Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat. Pemdati II Kotawaringin Barat

Kekerabatan Besar Kesultanan Kutaringin. 2012. Sejarah Singkat Kesultanan Kutaringin Dan Silsilah Raja-Raja Kutaringin. Pangkalan Bun.

Soerjono Soekanto. 1982. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.

Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi Antara Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tulus Warsito, Wahyuni K. 2007. Diplomasi Kebudayaan: Konsep Dan Relevansi. Yogyakarta: Ombak.

Yusuf. GM, Kassu W Helemen. 1989. Memori Hari Pahlawan Ke-43, 10 November 1988 Di Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat. Pangkalan Bun: Pemda Kotawaringin Barat.

___________. 1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: PN Balai Pustaka.

___________. 1983. Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________. 2004. Sejarah Kotawaringin Barat. Pangkalan Bun: BAPPEDA.