Pencalonan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
PENCALONAN KEPALA DAERAH MELALUI JALUR PERSEORANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2008
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Micael Josviranto
ABSTRAKSI
Demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini sudah sangat maju. Salah satu indikator yang menjadi tolok ukurnya adalah munculnya calon perseorangan dalam bursa pencalonan pemilukada. Keresahan rakyat terhadap partai politik yang belum optimal menampung aspirasi rakyat menjadi alasan utama dibuat Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbicara tentang calon perseorangan (independen) dalam Pemilukada. Partai Politik harus bekerja keras untuk membenah diri karena berdasarkan data di lapangan ada kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan (independen).
PENDAHULUAN
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 56 tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menyatakan bahwa yang menjadi bakal calon adalah peserta utusan dari partai politik atau gabungan partai politik dangan persyaratan tertentu yang tertera dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang ini sedikit menimbulkan masalah yaitu berbenturan dengan Hak Azasi Manusia (HAM) yaitu setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk menjadi pemimpin walaupun tidak masuk dalam kader partai politik. Selain itu berbenturan juga dengan yang dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 28D ayat 3 yaitu: “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah-anâ€. Maksud dari penggalan kalimat ini adalah setiap manusia Indonesia dapat ikut berpartisipasi dalam dunia pemerintahan yaitu menjadi Kepala Pemerintahan.
Perubahan ke 2 Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu perangkat normatif yang mengakomodir alasan-alasan substansial yang dijelaskan di atas. Di dalam Pasal 56 yang berbicara tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditambah lagi dengan calon perseorangan (independen) yang sebelum-nya hanya berisi tentang calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari partai politik dan gabungan partai politik. Munculnya calon perseorangan dalam percaturan politik di Indonesia merupakan reaksi atas kinerja partai politik yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Menurut J. Kristiadi dengan berlakunya calon perseorangan dalam demokrasi di Indonesia mau menunjukkan bahwa kredibilitas partai politik sudah berkurang. Kemunculan calon yang proses rekruitmennya hanya berasal dari partai politik sering tidak mewakili aspirasi arus bawah, bahkan juga merupakan titipan atau perpanjangan tangan dari elit partai yang bukan dari masyarakat.
Secara ideal harus terbuka kesempatan bagi calon Kepala Daerah melalui jalur perseorangan untuk mempresentasikan keinginan rakyat arus bawah. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk menjadi pemilih ataupun dipilih. Dengan demikian bahwa setiap warga negara baik dari partai politik ataupun dari jalur perseorangan dapat saja mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah dengan ketetapan-ketetapan atau aturan-aturan yang ditentukan oleh KPUD.
Dengan adanya calon perseorang-an ini memberi pelajaran penting bagi partai politik untuk membenah kinerja internal partainya. Calon perseorangan merupakan tantangan tersendiri bagi partai politik dalam percaturan politik di tanah air. Apakah ada yang keliru dengan kinerja partai politik sehingga menyebabkan munculnya calon perseorangan dalam demokrasi lokal di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dimulai bulan Maret sampai Juli 2014. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian hukum normatif dengan menggunakan ba-han utamanya berupa peraturan perun-dang-undangan yang relevan. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbi-cara tentang pencalonan Kepala Daerah melalui jalur Perseorangan (independen) dan membandingkannya dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbicara tentang pencalonan Kepala Daerah melalui jalur Partai Politik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran dan Dampak dari Partai Politik yang Belum Maksimal
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan mengapa partai politik belum optimal dalam meningkatkan partisi-pasi politik masyarakat dalam setiap Pemilukada dilaksanakan:
1. Egosentris dan arogansi partai politik.
Partai politik selalu mengatakan bahwa partainya merupakan partai yang memiliki tingkat kepercayaan paling tinggi di masyarakat, indikatornya selalu mengandalkan hasil survei lembaga-lembaga penelitian yang ada tentang elektalibilitas partai. Disadari atau tidak arogansi dan keegoan partai muncul, seharusnya seluruh partai yang ada kembali kepada peran dan tujuan partai itu sendiri sebagaimana yang diatur oleh undang-undang, bukan merasa dirinya besar karena hasil survey yang diwakili oleh sebagian kecil masyarakat dan mampu menempatkan jumlah relatif banyak di kursi lembaga perwakilan rakyat. Data-data yang ada menunjukkan persentase pemilih lebih kecil dibanding dengan yang tidak memilih, artinya masih banyak masyarakat yang tidak perduli dengan keberadaan partai dan kehadiran partai dan itu menandakan lembaga perwakilan rakyat yang diisi oleh orang-orang partai tidak mencerminkan seutuhnya lembaga perwakilan rakyat itu sendiri.
2. Pendidikan politik yang tidak memadai.
Kesadaran sebagian besar masya-rakat untuk tidak menggunakan haknya dalam pemilu atau memilih golput mem-buktikan bahwa pendidikan politik yang dilakukan oleh parpol sama sekali tidak optimal. Hampir tidak pernah ada parpol yang secara sistematis dan terstruktur memberikan pendidikan dan pencerahan politik bagi masyarakat. Masyarakat hanya disuguhkan pada pertikaian-pertikaian antarparpol yang akhirnya tidak membawa kemajuan melainkan menimbulkan apatisme dan pesimisme yang berakhir pada ketidakpedulian masyarakat itu sendiri terhadap parpol.
3. Rekruitmen politik yang tidak tepat.
Rekruitmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat banyak untuk menyejahte-rakan, menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa rekruitmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara berpikir, bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap hak dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan bertanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun bila dikaji secara sekilas sampai dengan saat inipun proses rekruitmen politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak sistematik dan tidak berkesinambungan. Partai politik dalam melakukan pembinaan terhadap kadernya lebih intens hanya pada saat menjelang adanya event-event politik.
Partai politik sebagian besar tidak mampu menempatkan kader-kader politiknya yang terbaik untuk ikut dalam Pemilu baik Legislatif maupun Kepala Daerah. Penempatan kader selalu didasarkan pada pertimbangan-pertim-bangan subyektif tertentu tanpa melihat kemampuan dan pendedikasian kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi merasa bingung siapa yang harus dipilihnya dalam pemilu tersebut. Pada posisi seperti ini, money politic menjadi sangat rentan, keterlibatan sebagian masyarakat untuk berpatisipaasi politik dalam Pemilu bukannya didasarkan atas kesadaran politik melainkan karena uang.
4. Kepentingan sesaat partai politik.
Selama ini parpol hanya mengejar kekuasaan bukannya kepercayaan pada masyarakat. Aktivitas parpol baru terlihat ketika menjelang Pemilu di mana selebaran-selebaran, pamflet dan baleho-baleho muncul disana-sini. Anehnya dari seluruh alat peraga tersebut tidak ada satupun yang memberikan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu dan semuanya selalu mengatakan “pilihlah saya†.
Peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai dan/atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah terjadinya ketidaksta-bilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, partai politik tidak berfungsi dan aspirasi rakyat tidak tersalurkan, rasa keadilan terusik dan ketidakpuasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tetapi tidak disertai dengan upaya mem-berdayakan pendidikan politik rakyat. Partai politik yang diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadi kebijakan publik yang populis tidak terwujud.
5. Partai politik belum bisa mengolah komunikasi politik.
Warisan kebijakan massa mengambang (floating mass) dan praktik korporatisme negara pada era Orde Baru menyebabkan belum maksimalnya komunikasi politik antara partai politik dan masyarakat akar rumput. Pada masa itu, pilihan rakyat didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui otoritas kekuasaan single majority, maupun dengan praktek mobilisasi massa dengan jargon-jargon verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek, serta upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara jangka panjang dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu sulit untuk menunggu realisasi sebagai pembuktiannya.
Korporatisme dan masa mengam-bang menggambarkan kontrol negara pada seluruh sektor kehidupan masyarakat, yang menjauhkan rakyat dari kehidupan politik. Partai-partai dikebiri dan di potong jalinannya dengan rakyat, dan aspirasi (kepentingan) disalurkan secara “terken-dali†dengan organisasi-organisasi bentu-kan negara. Bahkan ada beberapa gejala yang dihasilkan oleh korporatisme dan massa mengambang itu: (1) lemahnya interaksi sosial yang menjembatani massa dengan elite politik (penguasa) karena peran institusi dan organisasi masyarakat terkendala oleh hubungan elite dengan rakyat secara massal dengan mengguna-kan perangkat media massa; (2) terkenda-linya peran hubungan sosial primer ke dalam politik karena melemahnya peran keluarga sebagai jembatan di antara individu dengan kelompok dan institusi sosial; (3) tersentralisasinya hubungan sosial pada tataran nasional sebab terjadi pemusatan kekuasaan dan peran pada organisasi atau lembaga masyarakat dari kekuatan kelompok primer (keluarga) dan organisasi masyarakat; (4) partai-partai politik dijinakkan dan disubordinasi oleh korporatisme negara sehingga tidak bisa memainkan peran fungsinya sebagai jembatan antara masyarakat dan negara.
Era reformasi yang penuh eforia ini memang sangat menjanjikan untuk struktur massa mengambang yang didesain oleh orde baru. Persoalannya yang lebih serius adalah bagaimana membuat parta-partai berakar pada masyarakat atau bagaimana membangun hubungan yang organik antara partai politik dengan masyarakat. Upaya ini memang sudah dimulai dengan meluasnya jaringan organisasi partai sampai di level akar rumput. Tetapi perluasan jaringan organisasi partai yang terjadi belakangan ini hanyalah untuk mobilisasi dukungan massa dalam rangka meraih kekuasaan, bukan untuk mengejahwantahkan fungsi-fungsi partai yang lebih komprehensif pada masyarakat. Di dalam kehidupan sehari-hari partai politik tetap tidak populer di mata masyarakat sebagai basis artikulasi, partisipasi dan kontrol publik terhadap negara.
Memaksimalkan Peran Partai Politik.
Berdasarkan penjelasan di atas partai belum menjalankan fungsinya dengan baik dalam proses demokrasi lokal. Jika ditelisik lebih jauh peran partai sangat urgen dalam proses demokrasi karena partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Dari segi idealitas partai politik memainkan peran yang sangat penting dalam proses demokrasi tetapi kalah diproses manifestasi di lapangan. Ketika proses manifestasi di lapangan partai politik tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dan ini merupakan tugas berat bagi partai dan karenanya harus dibenahi.
1. Rekruitmen Politik
Salah satu fungsi partai politik yang paling urgen di antara fungsi lainnya adalah rekruitmen politik. Rekruitmen politik merupakan salah satu proses untuk menyeleksi dan memilih individu-individu untuk masuk dalam anggota partai politik. Menurut Undang Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 11 ayat (1), rekruitmen politik adalah proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Di dalam Undang Undang tersebut dikatakan bahwa proses rekruitmen politik melalui mekanisme demokratis. Mekanisme demokratis dalam hal ini dimaksudkan bahwa rekruitmen tersebut harus bersifat transparan, terbuka, adil dan tidak adanya praktik nepotisme. Salah satu kelemahan dari partai politik yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik adalah partai politik tidak memiliki anggota partai yang berkualitas atau anggota partai yang baru belajar berpolitik.
Di dalam proses penyeleksian anggota partai yang harus diperhatikan adalah anggota partai tersebut memiliki modal-modal tertentu. Menurut Piere Bourdieu yang mencetuskan teori modal terdapat beberapa jenis modal. Jenis modal yang pertama adalah modal ekonomi yakni sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan sarana finansial. Modal ekonomi ini merupakan jenis modal yang mudah dikonversikan ke dalam bentuk modal lainnya. Modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Semua jenis modal ini mudah digunakan untuk segala tujuan dan mudah diwariskan dari generasi ke generasi. Kaum yang memiliki modal ekonomi dapat dikategorikan seperti para pengusaha-pengusaha lokal yang memiliki alat-alat produksi.
Jenis modal yang kedua adalah modal budaya, yaitu keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, seperti kemampuan menampilkan diri di depan publik, kepemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu hasil pendidikan formal, sertifikat (gelar kesarjanahan). Contoh lain modal budaya adalah kemampuan menulis, cara pembawaan, dan cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Dengan demikian modal budaya merupakan representasi kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek logika, etika maupun estetika. Mereka yang direpresentasikan sebagai modal kultural seperti kaum intelektual, ulama, kaum cerdik pandai, seniman, budayawan dan ilmuwan di daerah.
Jenis modal ketiga adalah modal sosial, yaitu jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Jenis modal sosial tercermin dari banyaknya aktivis, pekerja NGO, pekerja organisasi sosial. Modal sosial mempunyai jaringan dengan kutub-kutub kekuasaan baik di level nasional maupun global. Berkaitan dengan aktivis dapat ditelusuri sejak calon tersebut berada di bangku kuliah apakah ketika di kampus calon anggota tersebut adalah aktivis kampus atau tidak? Aktivis kampus dalam hal ini si calon aktif dalam organisasi intra kampus atau pun aktif dalam organisasi ektra kampus (PMKRI, GMNI, HMI, GMKI dan lain-lain). Biasanya aktivis kampus terlebih OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstrakampus) cenderung lebih berani dan militan dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak terjun dalam dunia aktivis. Aktivis-aktivis kampus biasanya memiliki pengalaman berorganisasi dan juga berpolitik dalam dunia kampus. Perihal ini harus menjadi kriteria utama dalam proses perekrutan.
Jenis modal yang keempat adalah modal simbolik, yaitu modal yang menghasilkan kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik sering membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan, mobil mewah, prestise, gelar, status tinggi dan keluarga ternama. Jadi, modal simbolik adalah semua bentuk pengakuan oleh sekelompok baik secara institusional atau non-institusional. Simbol ini sendiri memiliki kekuatan dalam mengkontruksi realitas, yang mampu menggiring orang untuk mempercayai, mengakui dan mengubah pandangan mereka tentang realitas seseorang, sekelompok orang, sebuah partai politik, atau sebuah bangsa.
Di samping itu, elite parpol juga masih membutuhkan modal-modal lain yang lebih efektif, salah satunya adalah modal sosial berbasis budaya dan agama. Para elite agama dan masyarakat, di daerah dan di pusat, mempunyai modal simbolik dan kultural, berupa pengetahuan dan kharisma. Jika agama menjadi faktor determinan di daerah maka elite agama mempunyai peluang besar meraih kekuasaan.
Setiap calon-calon anggota parpol harus memiliki modal-modal di atas dan yang paling utama adalah modal sosial dan budaya di samping modal-modal lainnya. Selain itu, proses perekrutan juga harus memperhatikan modal sosial lain yaitu apakah calon anggota partai tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat setempat. Anggota partai tersebut familiar di kalangan masyarakat setempat adalah karena dia sering bergaul dalam kehidupan masyarakat, mencoba memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat setempat dan dia tersebut ada dalam masyarakat serta tidak ada jurang pemisah antara dia dan masyarakat tersebut.
Ketika berlangsungnya pemilihan Kepala Daerah maka partai politik harus memasukkan kadernya yang cukup familiar di kalangan masyarakat bukan berdasarkan penilaian subjektif karena calon Kepala Daerah tersebut memiliki modal finansial yang cukup. Di samping itu juga partai politik di tingkat pusat hendaknya jangan mengintervensi dalam penetapan calon di daerah ketika hendak mengikuti Pemilukada berilah kepercayaan kepada pimpinan partai di daerah karena partai di daerah lebih mengetahui suhu politik di daerahnya bersama karakter para pemilih di daerahnya.
2. Pendidikan Politik terhadap masyarakat
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat lebih memilih menjadi golput dari pada memilih calon pemimpin entah itu dalam Pemilihan Legislatif ataupun dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah atau bahkan Pemilhan Presiden. Kenyataan ini merupakan sebuah pekerjaan berat bagi partai politik yaitu meyakinkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi. Pekerjaan yang akan dilakukan oleh partai politik ini adalah pendidikan politik bagi masyarakat sekitar.
Menurut Undang Undang Partai politik No 2 Tahun 2008 pasal 11 ayat (1) salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu pendidikan politik adalah mempengaruhi warga masyarakat daerah untuk meningkatkan partisipasi politiknya. Ini merupakan salah satu tugas prinsipil terlebih dalam kaitannya dengan proses demokrasi di daerah. Terkait dengan partisipasi politik, Charles Andrian dan James Smith mengelompokkan bentuk partisipasi menjadi tiga macam. Pertama, partisipasi pasif. Tipe ini ditandai dengan antusiasme seseorang terhadap politik. Antusiasme tersebut terlihat ketika mendiskusikan hal-hal politik. Kedua, partisipasi agak aktif. Tipe ini ditandai dan diukur dengan sejauh mana keterlibatan seseorang dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Ketiga, partisipasi kritis, yaitu keterlibatan seseorang dalam melakukan gugatan-gugatan dan perlawanan terhadap isu-isu politik seperti melakukan demostrasi, memberikan kritik, melakukan aksi boikot.
Di dalam kategori semacam ini, menurut Kacung Marijan, partisipasi politik tidak masuk ke dalam salah satu kategori. Partisipasi politik acap kali ditekankan pada proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik, seperti terlibat dalam pertemuan-pertemuan publik, melakukan inisiatif, dan referendum. Kalaupun dimasukkan ke dalam salah satu dari ketiga kategori, partisipasi politik lebih dekat dengan kategori kedua.
Namun apapun bentuk kategori yang menjadi penanda atas partisipasi politik masyarakat, hal paling pokok bagi elit politik adalah melakukan usaha-usaha rasional dan persuasif untuk mendorong masyarakat supaya lebih aktif dalam partisipasi politik. Masyarakat harus diyakinkan tentang arti penting dan nilai vital politik, sehingga dengan pemahaman seperti itu, masyarakat turut berpartisipasi dalam aktivitas politik, termasuk warga masyarakat di daerah. Partisipasi politik yang dimaksud tentu saja dalam makna yang substansial.
Selama ini, partisipasi politik seringkali direduksi hanya pada tataran prosedural, yakni turut berpartisipasi dalam Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah. Padahal, partisipasi dalam Pemilu atau Pilkada hanya bagian kecil dari partisipasi politik. Partisipasi yang sesungguhnya adalah partisipasi dalam konteks yang substansial, yakni berperan aktif di setiap jenis aktivitas politik, khususnya politik kerakyatan dan kebangsaan.
Partisipasi politik yang substansial bertaut dengan misi politik jangka panjang dan mencakup aspek yang lebih makro. Di dalam politik kebangsaan, misalnya partisipasi politik warga masyarakat daerah diharapkan turut memperkukuh eksistensi keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Dengan semangat dan partisipasi warga daerah, kesatuan dan keutuhan NKRI dapat semakin kuat. Bukan sebaliknya, di mana semangat politik warga masyarakat daerah justru cenderung menciptakan disintegrasi bangsa. Elite politik non-parlemen bertanggungjawab untuk mendidik publik pendukungnya agar tercerahkan dalam aktivitas politik yang mendukung kesatuan NKRI.
Salah satu strategi yang harus dijalankan oleh partai politik yaitu kader-kadernya harus senantiasa berada dalam lingkungan masyarakat, berdialog dengan masyarakat, mencari tahu apa yang menjadi keinginan masyarakat setelah itu berusaha mewujudkan apa yang diinginkan oleh masyaraka sesuai dengan adat yang berlaku di lingkungan setempat. Partai politik harus melihat masyarakat sebagai partner dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan melihat masyarakat sebagai massa untuk mendulang suara dalam pemilihan nanti.
Selain itu juga, partai politik juga harus berusaha meminimalisir konflik internal partai. Partai politik juga harus membersihkan diri dari kader-kader partai politik yang tidak berkulitas seperti kader partai yang korupsi, bermasalah secara moral (skandal cinta, nonton film bokep saat sidang). Masalah-masalah ini dapat merasahkan masyarakat dan mengkibatkan kekurangpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Perihal di atas juga merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi masyarakat karena masyarakat dapat melihat bahwa partai politik dapat menyelesaikan persoalan internal partainya maka dengan demikian masyarakat memiliki keyakinan bahwa partai politik juga dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini.
3. Partai Politik harus memahami tujuannya.
Menurut Undang Undang Partai Politik No 2 Tahun 2008 salah satu tujuan dari partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian cita-cita nasional bangsa Indonesia menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, beraulat, adil dan makmur. Dengan demikian maka partai politik bukan merupakan sebuah organisasi perusahaan yang mengharapkan keuntungan laba dalam proses kinerjanya. Tetapi partai politik merupakan sebuah organisasi yang kinerjanya mengabdi kepada masyarakat demi cita-cita nasional tadi.
Berkaitan dengan kinerja partai yang bekerja tanpa pamrih ini maka kader-kader partai yang pragmatis dan oportunis harus dibersihkan dari partai politik. Jika partai politik memiliki kader partai yang pragmatis dan oportunis maka kader partai akan melihat partai seperti sebuah perusahaan yang lebih memfokuskan kepada persoalan laba rugi. Dengan demikian partai politik tidak akan bertahan tetapi akan hancur dan akan ditinggalkan masyarakat. Oleh karena itu partai politik harus memfokuskan pada pembinaan kader-kader yang ingin bekerja total untuk bangsa Indonesia.
SIMPULAN
Berlakunya Undang Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga disebabkan karena titik kejenuhan masyarakat terhadap partai politik meningkat. Kader-kader partai politik tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Para kader partai politik lebih memfokuskan kepada bagaimana mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dalam Pemilihan Umum. Masyarakat dilihat dapat berpartisipasi dalam politik ketika melakukan Pemilihan Umum. Dengan demikian demokrasi dianggap sudah berjalan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-Perundangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang perubahan kedua Undang Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Buku
J. Kaloh. Demokrasi dan Kearifan Lokal pada Pilkada Langsung. 2008. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
Abd. Halim. Politik Lokal Pola, Aktor dan Alur Dramatikalnya (Perspektif Teori Powercube, Modal dan Panggung). 2014. Yogyakarta: LP2B (Lembaga Pengkajian Pembangunan Bangsa).
Tesis dan Jurnal
Etin Nurhaetin, Analisis Penurunan Suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pada Pemilu Legislatif 2004 di Provinsi DKI Jakarta, Tesis Magister, Jakarta: FISIP Universitas Indonesia, 2005.
Parpol Tak Optimal Berikan Pendidikan Politik. Annual Report 2003/2004 menuju Pemilihan Umum Transformatif. Institute for Research and Empowermwnt (IRE) Yogyakarta.