Pengembangan Pertanian Organik: Respon Petani Di Luar Pilot Project
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK:
RESPON PETANI DI LUAR PILOT PROJECT/DIMPLOT
(Studi Tentang Kegiatan Pengembangan Pertanian Organik di Pedesaan
Oleh Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia –
SPTN HPS Yogyakarta)
Marianus Yufrinalis
SPTN HPS Yogyakarta
ABSTRAKSI
Dalam kegiatan pengembangan sektor pertanian dewasa ini, tentu tidak lepas dari kinerja lembaga swadaya masyarakat, perangkat pemerintahan desa dan pemerintah daerah, serta masyarakat (petani) itu sendiri sebagai sasaran kegiatan pengembangan. Pada satu sisi aktor – aktor yang berperan dalam kegiatan pengembangan pertanian memegang kendali utama, namun pada sisi lain peran LSM dilihat cukup penting untuk menangani kegiatan pengembangan pada sektor pertanian. Di sini, kinerja LSM dilihat sangat penting karena lembaga ini secara khusus memetakan kebutuhan pokok petani, memberi batasan masalah pertanian, dan mengagendakan rencana pengembangan di sektor pertanian pada waktu berikutnya. Adapun kegiatan pengembangan bagi para petani mengacu pada peran dan kinerja LSM untuk menghidupkan dan meningkatkan pemahaman kaum petani di desa tentang pentingnya mengelola lahan dengan menggunakan sistem pertanian tertentu yang bisa mendayagunakan kehidupan mereka, sekaligus membangun kebiasaan atau pola bertani yang lestari, dan bukan secara konvensional atau nonorganik. Pada penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis, LSM yang diteliti dan dianalisis kinerja di lapangan dalam rangka pengembangan sektor pertanian adalah Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan – Hari Pangan Sedunia (SPTN – HPS). SPTN – HPS menyelenggarakan kegiatan pengembangan sektor pertanian dan pendampingan bagi kaum petani di pedesaan dengan berlandaskan pada arah menuju kemandirian petani melalui pola produksi lestari, pola konsumsi lestari, dan pola distribusi lestari, dengan mengembangkan sistem pertanian secara organik yang sangat mudah diakses oleh para petani. Dalam hal ini, pelibatan peran atau partisipasi kaum petani sangat dibutuhkan sebagai respon awal masyarakat yang secara positif menerima pola atau kebiasaan bertani secara organik sebagai bentuk perlawanan terhadap pola pertanian konvensional atau nonorganik yang bertentangan dengan pola hidup masyarakat yang lestari. Oleh karena itu, dengan merintis kelompok tani percontohan (dimplot) sebagai media pengembangan prinsip – prinsip pertanian organik dan pendampingan kaum petani, SPTN – HPS mencoba membangkitkan minat dan kecintaan masyarakat umum terhadap pola hidup yang lestari melalui sistem pertanian organik.
Kata Kunci: pengembangan, kinerja LSM, pertanian organik, respon petani.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, banyak sekali peng–amat pembangunan dan peneliti pemba–ngunan menjadikan daerah pedesaan se–bagai kajian penelitian dan mensintesiskan kemiskinan di desa dengan arah, tujuan dan hasil pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah. Menurut Prof. Dr. Sunyoto Usman (2010: p. 29), ada dua alasan pokok mengapa wacana pemba–ngunan pedesaan masih menjadi obyek kajian menarik hingga dewasa ini, ter–utama dalam mengangkat tema keterbela–kangan dari kaca mata pembangunan nasional. Pertama, perkembangan masya–rakat perkotaan sudah sangat pesat belakangan ini, namun masih banyak juga wilayah Indonesia didominasi oleh daerah pedesaan. Ada pun fenomena belakangan ini yang muncul, di mana masyarakat desa sudah mulai ‘mengkota’ namun hal-hal paling mendasar dari ‘kedesaannya’ masih tetap dipertahankan. Kedua, sejak zaman Orde Baru pada awal tahun 1970-an, gerakan pembangunan perdesaan sudah mulai dicanangkan, akan tetapi hasil pembangunan masih saja tetap memprihatinkan, di mana masih ada kesenjangan sosial dan kemiskinan yang menggelayut dalam kehidupan masyarakat pedesaan.
Dua alasan di atas merupakan titik tolak untuk mengukur seberapa berhasil–nya pembangunan dalam mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan di daerah pedesaan di Indonesia. Pemerintah dinilai ‘belum berhasil’ menyukseskan kesejahte–rahan rakyat Indonesia, khususnya kesejahterahan masyarakat di desa. Pembangunan masih berorientasi pada wilayah perkotaan dan hasil-hasilnya pun dinikmati oleh warga perkotaan. Kondisi ini lalu menjadi masalah sosial dan masalah ekonomi, di mana masyarakat pedesaan tetap menjadi kelompok masyarakat yang perekonomiannya di bawah garis kemis–kinan dan susah untuk maju. Oleh sejum–lah praktisi sosial, kondisi keterpurukan ekonomi masyarakat pedesaan ini lalu disebut sebagai “keterbelakanganâ€, sisi gelap dari pembangunan nasional. Masya–rakat pedesaan menjadi kelompok sosial yang tersubordinasi (urbanized society) oleh sistem pembangunan nasional yang tidak adil dan tidak seimbang.
Dalam perjalanan waktu, kondisi ini mendorong banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bangkit dari tidurnya selama masa Orde Baru dan memperjuangkan pembangunan bagi masyarakat pedesaan. Kehadiran berbagai LSM ini merupakan upaya menyeim–bangkan pendekatan top down pemerintah dengan mengembangkan pendekatan bot–tom-up; suatu pendekatan yang menguta–makan partisipasi aktif masyarakat dengan mengupayakan teknik dan metodologi alternatif dari metode dan pendekatan-pendekatan proyek pemerintah (Fakih, 2008: p. 4). Peningkatan peran LSM ini hadir ketika konsep pembangunan dari aktor yang lebih mapan, agen-agen pembangunan yang resmi, menemui kegagalan dan program-program pemba–ngunannya tidak terwujud (Clark, 1995: p. 4). Artinya, kecenderungan peran pemerin–tah yang terlalu dominan dalam perencana–an pembangunan dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal hanya akan menimbulkan dampak negatif, yaitu tidak ada titik temu antara program pembangun–an dari pemerintah dengan kebutuhan aktual masyarakat sendiri (Hikmat, 2010: p. 131). Selain itu, di mata LSM masyarakat di pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan dan diarahkan dalam sebuah sistem pembangunan nasional. Sebenar–nya, masyarakat pedesaan adalah basis dasar dan orientasi kebijakan pokok pemerintah dalam programnya untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini dikarenakan kelompok miskin masih didominasi oleh masyarakat di pedesaan dan membutuhkan perhatian pemerintah.
Salah satu LSM yang bergerak di sektor pertanian pedesaan sebagaimana diangkat dalam tulisan ini adalah Sekretariat Pelayanan Tani – Nelayan Hari Pangan Sedunia yang berlokasi di Kotagede, Yogyakarta; untuk pembahasan selanjutnya organisasi ini disingkat menjadi SPTN – HPS. LSM ini bergerak di bidang pengembangan sistem pertanian organik untuk mendapatkan hasil pertanian yang optimal. Dalam mengemban visi dan misinya, SPTN – HPS peduli terhadap persoalan yang dihadapi petani dan nelayan yang merupakan kelompok masyarakat terbesar yang hidup dalam kemiskinan, melalui pendampingan dan sosialisasi terhadap petani dan nelayan dengan misi penyelamatan alam dan seisinya yaitu pembangunan pertanian pedesaan dan kenelayanan yang lestari, yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), layak secara ekonomis (economically feasible), berakar pada budaya setempat (culturally rooted), dan berkeadilan sosial (socially just) dalam konteks pembangunan manusia yang seutuhnya (SPTN – HPS, 2011: p. 3).
Penelitian terhadap SPTN – HPS dan kinerjanya dalam mengembangkan pola pertanian organik menjadi kajian menarik untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk pengembangan masyarakat (development of society), khususnya golongan masyarakat kelas bawah dan masyarakat marjinal. Selain itu, kegiatan pengembangan dan sosialisasi oleh SPTN – HPS bagi kaum petani dapat membawa perubahan kebiasaan pada masyarakat khususnya kaum petani untuk beralih dari pola pertanian konvensional ke pola pertanian lestari yakni pertanian organik atau alami.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu permasalahan yang sering muncul di lapangan mengacu pada peran LSM sebagai pendamping, fasilitator dan tentor dalam program pengembangan dan pendayagunaan masyarakat. Berbagai program pendampingan yang dijalankan pada umumnya belum memberdayakan dan mensejahterahkan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, ada beberapa kendala yang dihadapi, baik sebelum melakukan kegiatan pendampingan, selama proses pendampingan, maupun setelah proses itu berakhir, serta hasil yang diperoleh. Kendala ini bisa saja berasal dari lembaga swadaya itu sendiri atau dari obyek pendampingan, yakni masyarakat. Bisa dikatakan juga, masalah transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dan respon positif dari masyarakat terhadap kegiatan pendampingan belum mendapatkan makna yang sebenarnya; kondisi yang bertolak belakang dari tujuan pokok dari kegiatan yang digalakkan.
Kendala yang sama juga dialami oleh SPTN – HPS sebagai sebuah LSM yang bergerak di bidang pengembangan pertanian oganik. Dengan melihat pada sasaran kegiatan pengembangan lembaga ini, yakni pada dimplot atau kelompok tani percontohan (pilot project), bisa diidentifikasi sejauh mana respon masyarakat khususnya kaum petani terhadap kegiatan pengembaangan pertanian organik yang sudah dijalankan. Respon yang ditunjukkan kaum petani di dalam dimplot maupun di luar dimplot bisa dilihat melalui proses pembelajaran kaum petani dimaksud dan perubahan pola atau kebiasaan bertani dari pola konvensional ke pola pertanian organik atau alami.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui pemahaman SPTN – HPS sebagai LSM terhadap makna pengembangan pertanian organik terhadap para petani di pedesaan. Dari tujuan umum ini, dijabarkan tujuan khusus sebagai berikut: 1) mengetahui pemahaman SPTN-HPS sebagai LSM tentang konsep pengembangan masyara–kat di bidang pertanian organik terhadap para petani di pedesaan dan implementa-sinya, 2) mengetahui proses implementasi kegiatan pengembangan pertanian organik oleh SPTN-HPS dalam kapasitasnya sebagai LSM dan membangun jaringan kerja dengan lembaga lokal, dan 3) mengetahui respon petani di pedesaan sebagai sasaran kegiatan pengembangan SPTN-HPS baik yang terlibat dalam pilot project maupun di luar pilot project terhadap kegiatan pengembangan pertanian organik yang dijalankan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian secara kualitatif (qualita–tive research). Menurut Bogdan dan Taylor (Mulyana, 2004: p. 145), metode merupakan proses, prinsip, dan prosedur yang dipakai untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan kata lain, metode adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Sedangkan penelitian kualitatif bertumpu pada peran peneliti sebagai instrumen penelitian dengan mengikuti asumsi – asumsi kultural sekaligus mengikuti data. Hal ini menuntut peneliti bersikap fleksibel dan reflektif serta tetap menjaga jarak dengan responden dalam upaya mencapai wawasan-wawasan imajinatif pada dunia sosial responden (Brannen, 2004: p. 11). Selain itu, dalam penelitian kualitatif konsep dan kategori bukan merupakan kejadian atau frekuensi dalam penelitian yang dipersoalkan. Justru penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi menggalinya lebih dalam. Di sinilah letak dimensi kritis dari metode kualitatif dalam sebuah penelitian (G. Mc. Cracken dalam Brannen, 2004: p. 13).
Sesuai dengan tema penelitian yang diangkat, pendekatan kualitatif lebih bertumpu pada analisis deskriptif terhadap berbagai data yang dikumpulkan selama penelitian di lapangan. Data deskriptif yang ditemukan itu berupa kata-kata lisan maupun tertulis serta tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Emi Susanti Hendrarso dalam Suyanto dan Sutinah, Eds., 2005: p. 166). Menurut Mohammad Nazir sebagaimana dikutip oleh Purba (2008), analisis deskriptif memiliki pengertian sebagai berikut:
“…suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu subyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambar–an atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.â€
Dalam analisis deskriptif – kritis, digunakan pendekatan fenomenologi[1] sebagai landasan pokok dalam mengkaji berbagai gejala yang muncul selama proses penelitian berlangsung. Perspektif fenomenologi mengacu pada upaya mempelajari bagaimana kehidupan sosial masyarakat bisa berlangsung dan melihat tingkah laku manusia, yang meliputi apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat sebagai hasil dari bagaimana manusia mengartikan dunia kehidupannya. Dalam hal ini untuk mengerti sepenuhnya bagaimana kehidupan sosial tersebut berlangsung maka harus memahaminya dari sudut pandang pelaku itu sendiri.
Setidaknya ada dua hal yang mendasari pendekatan ini. Pertama, mengetahui apa yang dialami orang dan bagaimana ia menafsirkan dunia. Kedua, untuk mengetahui pengalaman orang dan apa yang dirasakannya, maka penting bagi peneliti untuk langsung mengalaminya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan observasi partisipatif yang menuntut peneliti untuk terlibat secara langsung dan mengalami kehidupan orang lain sebagai obyek penelitiannya (Dèdè Oetomo dalam Suyanto dan Sutinah, Eds., 2005: 178).
Pada penelitian yang sudah dilaku–kan, penulis menyoroti sebuah fenomena yang berkembang saat ini yang berkaitan dengan kinerja NGO atau LSM di Indone–sia. Bahwasanya, sudah banyak LSM yang melakukan berbagai program pemberdaya–an masyarakat namun belum ditemukan hasil pemberdayaan yang memuaskan dan berdampak positif bagi kesejahterahan masyarakat. Justru banyak kegiatan pem–berdayaan dan pengembangan masyarakat oleh LSM hanya mengatasnamakan kemis–kinan dan keterbelakangan masyarakat; setidaknya dengan istilah yang lebih populer LSM banyak mengkomodifikasi atau menjual kemiskinan masyarakat kepada lembaga donor untuk mendapatkan kucuran dana bagi program pemberdayaan masyarakat yang diusung.
Dengan mengacu pada realitas seperti ini, penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengetahu kinerja LSM atau NGO; yang mana kinerja LSM dilihat dari cara mengelola lembaga dan program yang diusung oleh aktivis LSM itu sendiri. Di sini untuk mengetahui kinerja suatu LSM perlu melihat pada pemahaman dan interpretasi para aktivis LSM terhadap sebuah konsep pemberdayaan masyarakat, cara atau implementasi program dimaksud kepada masyarakat, serta mengkaji respon masyarakat terhadap program pemberda–yaan yang digalakkan oleh LSM. Oleh karena itu, sangat perlu bagi peneliti untuk melakukan observasi partisipatoris atau pengamatan terlibat guna mengetahui secara langsung kinerja LSM dan respon atau pandangan masyarakat (petani di pedesaan) terhadap program pengembangan masyarakat dari LSM yang bersangkutan.
Penelitian terhadap SPTN – HPS dan kinerjanya di lapangan dimulai pada bulan Agustus – September 2012 dengan mengambil lokasi di Kotagede, Yogyakarta, di mana SPTN – HPS berada. Selain itu, sebagai tempat observasi bagi penulis selama proses penelitian, penulis memilih Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, di mana penulis akan mengamati secara langsung kehidupan para petani desa yang menjadi salah satu wilayah sasaran kegiatan pendampingan oleh SPTN – HPS.
Adapun alasan penulis memilih lokasi observasi di Desa Banjararum karena desa ini juga menjadi salah satu wilayah kerja SPTN-HPS untuk melaksanakan kegiatan pengembangan pertanian organik. Selain itu, sebagian besar penduduk Banja–rarum rata- rata bekerja sebagai petani sawah dan ladang sehingga membuka kemungkinan bagi SPTN – HPS mengembangkan kegiatan pendampingan bagi masyarakat. Dengan memperhatikan potensi pertanian sebagai sektor pokok bagi kehidupan masyarakat Desa Banjararum, berkembang pula banyak kelompok tani yang bisa bekerja sama dan bergotong – royong dalam kegiatan bertani sehari – hari. Oleh karena itu, berdasarkan sasaran pendampingan SPTN – HPS yakni kelompok – kelompok tani, maka penulis tertarik untuk melakukan observasi terhadap kelompok – kelompok tani dimaksud dan melihat sejauh mana kegiatan pendampingan serta pengem–bangan pertanian organik melalui kelompok tani bisa memberi dampak positif bagi kemandirian para petani di Desa Banjararum.
Teknik pengumpulan data dilaku-kan melalui dua cara, yaitu 1) data primer berupa hasil wawancara terhadap pihak SPTN-HPS dan para petani di Desa Banjararum serta hasil observasi lapangan, dan 2) data sekunder atau data pendukung berupa literatur tentang pengembangan pertanian di pedesaaan dan statistik pemerintah kabupaten dan desa setempat. Analisis data kualitatif dari data yang dikumpulkan dilakukan melalui cara 1) klasifikasi data primer dan sekunder, 2) menganalisis data, dan 3) menarik kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAS-AN
Dari proses penelitian yang dilakukan, ditemukan tiga hal berikut:
1) SPTN – HPS menekankan kemandirian sebagai tujuan utama pengembangan kelompok tani.
Dalam Renstra SPTN – HPS dinyatakan bahwa hubungan pertemanan atau relasi menjadi hal terpenting dalam membangun kerja sama menuju kemandirian kaum petani (SPTN – HPS, 2011: p. 4). Perubahan paradigma ini menuntut untuk mendiskusikan kembali pola relasi bagi LSM; apakah kehadirannya dapat memberikan manfaat yang terbaik bagi masyarakat maupun pemakai jasa LSM. Perubahan pola relasi ini sekaligus menuntut SPTN – HPS untuk lebih profesional dalam menjalankan kerja sama sehingga bisa mendapatkan pengakuan dari mitra kerjanya. Kemunculan paradigma atau konsep baru SPTN – HPS ini lalu menjadi langkah sistematis bagi LSM tersebut untuk memikirkan agenda kerjanya pada waktu – waktu mendatang. Dengan demikian, tujuan pengembangan pertanian organik yang diusung oleh SPTN – HPS sangat berkaitan erat dengan konsep kemandirian sebagaimana tersirat pada pernyataan berikut ini:
“…SPTN – HPS merumuskan langkah – langkah sistematis melalui rencana strategi baru dalam sistem manajemen yang akuntabel menjadi lembaga yang mandiri bersama komunitas petani (dan nelayan) yang terorganisir melakukan perubahan sosial – ekonomi dalam bidang pangan, pertanian, upaya modifikasi dampak perubahan iklim dan antisipasi kerawanan bencana untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang bermartabat dan lestari.â€[2]
Dengan berlandaskan pada kemandirian organisasi, SPTN – HPS mencoba menerapkan prinsip – prinsip kemandirian yang sama pada kegiatan pengembangan pertanian organik bagi para petani di pedesaan. SPTN – HPS sebagai pelaku LSM harus memiliki intervensi penuh dalam menerapkan prinsip – prinsip kemandirian petani agar kegiatan pengembangan pertanian organik bisa dipahami sebagai salah satu bentuk swadaya yang harus dipertahankan oleh masyarakat (petani) secara berkesinambungan. Apabila arah kemandirian kaum petani sudah mulai terwujud melalui adanya upaya untuk mengembangkan sendiri metode bertani organik, maka SPTN – HPS bisa dikatakan berhasil menanamkan prinsip – prinsip kemandirian kepada mereka sebagai petani lestari. Pada sisi lain, kemandirian petani menjadi kurang terwujud ketika masih banyak petani yang menggunakan bahan – bahan kimia sebagai stimulan bagi kesuburan petani; metode nonorganik yang sebenarnya bertentangan dengan gerakan pertanian organik yang dikembangkan oleh SPTN – HPS.
SPTN – HPS sebagai organisasi yang bergerak di bidang pengembangan pertanian organik dan pendampingan petani adalah partner kerja yang baik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan khususnya para petani itu sendiri. Melalui program – program pelatihan dan pendampingan bagi kelompok – kelompok tani serta menanamkan kemandirian bertani melalui prinsip – prinsip pertanian organik, SPTN – HPS mencoba mengembangkan suatu alternatif bertani yang menekankan daya dan kemampuan para petani terutama dalam memanfaatkan potensi – potensi alam yang mereka miliki. Dengan mengarahkan para petani kepada suatu pola hidup yang sehat dan lestari melalui pertanian organik, SPTN – HPS telah membantu menyelamatkan keberlangsung–an ketahanan pangan bangsa Indonesia di zaman sekarang yang turut mengambil bagian pada kerusakan lingkungan dan lahan pertanian dewasa in. Untuk itu, visi menjadikan petani yang mandiri dan misi menyelamatkan dunia melalui pertanian organik sudah semestinya ditanamkan sejak dini tidak hanya bagi para petani, melainkan juga bagi generasi muda yang kebanyakan menganggap pekerjaan sebagai petani sebagai pekerjaan kotor.
Pada pengamatan di lapangan ditemukan fakta bahwa sejauh ini sistem pilot project yang dikembangkan oleh SPTN – HPS secara umum sudah meningkatkan kemandirian masyarakat, terutama para petani yang tergabung dalam kelompok petani percontohan atau dimplot. Adapun bentuk kemandirian petani yang sudah terwujud nyata dalam kehidupan sehari hari, di antaranya melepaskan ketergan–tungan terhadap subsidi pemerintah berupa bantuan pupuk organik dengan cara menghasilkan sendiri pupuk organik dari sisa – sisa kompos dan kotoran hewan ternak peliharaan. Selain itu, para petani juga sudah menghasilkan sendiri pestisida alami dan organik sehingga tidak perlu mengharapkan bantuan pemerintah terkait pengadaan pestisida bagi tanaman pangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan pengembangan pertanian organik yang dikembangkan SPTN – HPS sudah meningkatkan kemandirian para petani dampingan yang tergabung dalam pilot project, dengan indikatornya terletak pada pengurangan ketergantungan terhadap lembaga pemerintah dan swasta serta meningkatkan keswadayaan atau kemandi–rian para petani.
2) Implementasi pengembangan pertani-an organik membutuhkan dukungan dari berbagai pihak (stakeholder)
Proses pengembangan pertanian organik dan pendampingan petani dilakukan oleh SPTN – HPS melalui kerja sama dengan kelompok petani setempat yang ditetapkan sebagai model atau percontohan sehingga pengembangan metode bertani organik bisa berjalan seefisien dan seefektif mungkin. Pendam–pingan petani melalui sistem percontohan seperti ini akan sangat membantu efektivi–tas dan efisiensi berjalannya kegiatan, di mana kader SPTN – HPS pemberdaya bisa mengetahui dengan saksama seluk – beluk dan permasalahan yang dihadapi oleh anggota kelompok yang didampingi. Selain itu, proyek percontohan bisa meningkatkan keterlibatan dam peran partisipatif anggota kelompok yang bersangkutan.
Penerapan prinsip tani organik yang dilakukan oleh SPTN – HPS terjadi melalui kegiatan penyebaran informasi dan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, dan penyuluhan bagi anggota kelompok tani yang tergabung dalam dimplot. Dalam hal ini, kader SPTN – HPS perlu mempelajari tingkat pengetahuan para petani, tingkat kepercayaan mereka terhadap kegiatan yang ditawarkan, bagaimana mereka memutuskan untuk ikut bergabung atau tidak, proses penerapan program yang berlangsung di tengah mereka, dan mengkaji respon kaum petani; apakah mereka menerima program atau menolaknya karena tidak berpengaruh positif bagi mereka?
Berdasarkan tingkat penerimaan dan respon kaum petani dimplot dalam kegiatan pengembangan pertanian organik, bisa diterima hasil – hasilnya berupa peningkatan produktivitas lahan, pola pemasaran yang menguntungkan dan lebih luas, serta tingkat pengetahuan para petani menjadi bertambah. Selain itu, dampak positifnya juga berpengaruh pada terbentuknya dimplot baru dan kelompok tani muda sebagai pengembangan dari dimplot yang didampingi oleh SPTN – HPS. Semua proses yang dilewati selama proses pendampingan petani dan pengembangan kegiatan pertanian organik akan bermuara pada terciptanya kemandirian petani dan meningkatnya kesejahterahan petani.
Sementara aktivitas pengelolaan dan pendampingan dimplot memberi sedikit dampak positif bagi masyarakat luas namun tidak menjadi tolok ukur keberhasilan pengembangan program pertanian organik oleh SPTN – HPS dalam memandirikan masyarakat dan kaum petani secara keseluruhan pada suatu wilayah pedesaan. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya inisiatif para petani di pedesaan untuk bergabung ke dalam dimplot, lamanya proses imitasi para petani di luar dimplot, dan tidak cukupnya luas lahan yang dimiliki oleh para petani yang turut mempengaruhi terjadinya penyelenggaraan kegiatan bertani organik. Akibatnya, para petani di luar dimplot masih terbelenggu dalam kebiasaan bertani secara konvensional sekalipun tingkat kemandirian dan kesejahterahannya bisa disetarakan dengan kelompok petani di dalam dimplot.
Dengan demikian, penting bagi SPTN – HPS untuk terus memajukan dan melakukan pengembangan pada program kerjanya sehingga makin banyak petani yang dilibatkan dan bergabung dalam kegiatan bertani organik. Hal ini sangat perlu dengan memperhatikan bahwa kegiatan pertanian organik merupakan pola atau kebiasaan bertani yang lestari dan dapat mempertahankan kelangsungan hidup umat manusia dan lingkungan. Pada sisi lain, SPTN – HPS perlu melakukan sosialisasi lebih luas tentang bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan bahan – bahan kimia dalam pengolahan lahan pertanian sehingga para petani bisa disadarkan untuk meninggalkan pola bertani demikian dan mengubah kebiasaannya ke pola bertani secara organik dengan memanfaatkan unsur – unsur alam yang tersedia di lingkungan di sekitar sebagai penunjang kesuburan lahan pertaniannya.
3) Respon para petani di luar dimplot/pilot project cukup baik namun belum menyeluruh.
Pada ranah pengembangan perta-nian organik, partisipasi dapat dikatakan menguntungkan karena secara internal dalam kelompok percontohan, para petani bisa terlibat secara aktif dalam mengikuti rangkaian kegiatan pendampingan, mulai dari penyampaian informasi, perencanaan bersama, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi kegiatan. Melalui pendekatan Community Based Training (Pelatihan Berbasis Komunitas) yang diterapkan pada dimplot, para petani tidak terkecuali terlibat dalam proses pendampingan. Selain itu para petani organik juga dapat saling bekerja sama untuk meningkatkan keswadayaan atau kemandiriannya dalam partisipasinya menghasilkan sendiri pupuk dan pestisida organik, tanpa harus lebih banyak tergantung pada bantuan SPTN – HPS atau lembaga pemerintah.
Pada pengamatan terhadap situasi riil kegiatan pengembangan pertanian organik oleh SPTN – HPS di pedesaan, dapat dikatakan bahwa peran partisipatif masyarakat masih terbatas pada anggota kelompok tani percontohan (dimplot) sebagai komunitas khusus yang perlu diberdayakan dan menjadi model atau contoh bagi masyarakat desa secara keseluruhan. Peran partisipatif masyarakat yang belum maksimal tersebut disebabkan oleh minimnya akses informasi dan komunikasi serta relasi yang kurang antara SPTN – HPS dengan kelompok masyarakat lain. Akibatnya mobilisasi peran masyarakat dalam kegiatan pendampingan menjadi tidak seimbang dan hanya terjadi pada lingkup dimplot saja. Apabila dijumpai anggota masyarakat lainnya yang mengembangkan cara bertani organik, dapat dikatakan gejala tersebut muncul sebagai bentuk kesadaran awal masyarakat untuk meniru apa yang sudah dirintis pada dimplot, yakni belajar bertani secara organik. Dengan demikian, peran partisipatif masyarakat dalam kegiatan pengembangan pertanian organik masih bersifat parsial dan berlangsung pada lingkup dimplot saja.
Pada sisi lain partisipasi yang ditunjukkan oleh para petani organik pada dimplot belum sepenuhnya memberi keuntungan bagi masyarakat desa secara keseluruhan. Walaupun pada dimplot para petani organik sudah terlibat secara penuh selama proses pendampingan berlangsung dan memberi contoh yang baik bagi anggota masyarakat yang lain, tetapi hingga saat ini masih ada juga petani lain yang tidak mau menerapkan cara bertani organik dengan alasan tertentu. Selain itu, rendahnya akses informasi dan komunikasi masyarakat terhadap kehadiran kegiatan pengembangan pertanian organik di desa menjadi penyebab kurangnya keterlibatan masyarakat secara keseluruhan dalam program ini.
Dengan demikian, persoalan parti-sipasi dan respon para petani di pedesaan yang menjadi sasaran kegiatan pengembangan pertanian organik masih terjadi hanya sebatas pada dimplot atau kelompok tani yang terlibat dalam pilot project. Sedangkan para petani di luar dimplot belum dilibatkan secara keseluruhan, di mana peran partisipatifnya hanya sebatas proses meniru apa yang sudah dirintis oleh SPTN – HPS melalui dimplot. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang bertahan dengan pola atau kebiasaan bertani secara konvensional karena menurut mereka dengan melibatkan peran bahan – bahan kimia, hasil pangan bisa dipanen lebih cepat dan produksinya meningkat. Mereka tidak peduli pada bahaya dan dampak negatif dari pola pertanian yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip ekologi lingkungan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kelompok tani yang terlibat dalam pilot project adalah kelompok petani yang menerima kegiatan inovatif yang dikembangkan oleh SPTN – HPS yakni pertanian organik. Artinya, para petani dimplot sudah memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya mengupayakan pola pertanian yang lestari dan mengadopsi pola pertanian organik sebagai basis kegiatan bertani sehari – hari. Sementara para petani di luar dimplot bisa dikatakan sebagai kelompok yang bertahan dengan pola pertanian konvensional dan menolak (rejection) kegiatan inovatif yang dikembangkan oleh SPTN – HPS. Demikian pun partisipasi mereka sangat sedikit dan hanya sebatas proses inisiatif dan imitasi yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Selain itu, menurut mereka keterlibatan mereka dalam kegiatan pengembangan bertani organik hanya akan menambah proses produksi panen dalam waktu yang lama karena metode bertani organik tidak mempercepat proses panen tanaman pangan. Hal ini disebabkan karena pola pertanian organik sepenuhnya menyerahkan proses pertumbuhan tanam-an hingga masa panen pada peran alam sehingga membutuhkan waktu yang lam. Mereka beranggapan bahwa dengan memakai pupuk kimia dan bahan – bahan stimulan lainnya akan mempercepat proses pematangan tanaman dan bisa dipanen dalam waktu yang singkat (Sugiman, wawancara pada hari Senin, 8 Oktober 2012, Pkl. 15.30 WIB).
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Dalam menerapkan program pendam–pingan, SPTN – HPS bertolak dari visi dan misinya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar (AD) Bab III Pasal 5 dan Pasal 6. Adapun makna konsep pengembangan pertanian organik yang diselenggarakan oleh SPTN – HPS adalah terwujudnya kemandirian petani atau menjadi petani yang berdikari melalui pola atau kebiasaan bertani organik sebagai sebuah kebiasaan yang lestari dan mampu meningkatkan kesejahteraan para petani.
2) Pada penerapan program pertanian organik di lapangan, SPTN – HPS melakukan kegiatan pendampingan pada kelompok petani percontohan. Sistem ini biasa disebut sebagai pilot project (proyek percontohan) yang menetapkan salah satu kelompok tani sebagai model atau contoh untuk menerapkan program pendampingan secara intensif melalui pelatihan – pelatihan, penyuluhan, dan pembela–jaran keterampilan bertani organik bagi kaum petani. Pada pengamatan di lapangan ditemukan fakta bahwa kegiatan pengembangan pertanian organik yang diselenggarakan oleh SPTN – HPS terjadi hanya pada masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani percontohan (dimplot) dan belum berdampak luas pada masyarakat luas secara signifikan.
3) Berhubungan dengan partisipasi masyarakat (petani), dapat dikatakan bahwa respon dan peran partisipatif anggota dimplot sangat menguntung–kan bagi keberhasilan program SPTN – HPS. Namun, pada sisi lain respon dan peran partisipatif yang terlihat dalam kegiatan ini hanya bersifat parsial di mana belum memberi pengaruh yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Dalam pengamatan, keterbatasan akses informasi masyarakat dan minim–nya perluasan program kerja SPTN – HPS untuk kelompok masyarakat yang lain menyebabkan peran partisipatif masyarakat belum dirasakan. Partisipasi dan respon petani di luar dimplot sangat kurang menguntungkan atau merugikan bagi SPTN – HPS karena kegiatan inovatif yang dikembangkan tidak membawa dampak positif bagi kaum petani di luar dimplot yang didampingi. Dengan demikian, untuk mencapai tingkat partisipasi masyarakat secara total dan menyeluruh pada suatu wilayah, diperlukan perluasan wilayah kerja SPTN – HPS dan melibatkan seluruh masyarakat pada suatu wilayah sehingga kemandirian masyarakat bisa tercipta sekalipun hanya melalui pengembangan sistem pertanian organik.
Untuk keperluan pengembangan pertanian organik pada waktu yang akan datang, ada beberapa usul yang berkaitan dengan kinerja SPTN – HPS selama ini. Beberapa saran berikut dapat membantu proses evaluatif kegiatan pengembangan pertanian organik dan pendampingan petani yang sudah dikembangkan oleh SPTN – HPS sehingga bisa memberikan konstribusi bagi masyarakat pada umumnya dan para petani pada khususnya.
1) Menciptakan strategi baru dalam kegiatan pendampingan petani dengan melibatkan peran partisipatif seluruh lapisan masyarakat sehingga kemandirian yang dicita – citakan bisa merata di segala sektor kehidupan masyarakat terutama dalam sektor pertanian.
2) Membentuk dimplot – dimplot baru sebagai perluasan pengembangan ge–rakan pertanian organik di pedesaan, termasuk di dalamnya merintis gerakan tani muda organik yang bisa memobilisasi para petani muda.
3) Melakukan pendekatan secara khusus dengan kaum muda agar mereka tertarik untuk menjalani profesi sebagai petani yang mapan dan mandiri melalui sistem pertanian organik. Dalam hal ini SPTN – HPS perlu bekerja sama dengan Karang Taruna Desa, salah satu organisasi kaum muda yang bisa memobilisasi kaum muda dalam gerakan bertani organik.
4) Melakukan pendampingan dan pelatihan yang rutin kepada kaum petani agar wawasan pengetahuan mereka bisa lebih luas dan mampu mengembangkan kebiasaan bertani dalam kelompoknya masing – masing.
5) Mengadakan pelatihan bagi kaum petani terkait manajemen produksi dan distribusi pangan secara sehat dan menguntungkan sehingga mereka tidak terjebak dalam bisnis pemasaran hasil pangan yang merugikan mereka.
6) Membina hubungan kerjasama yang saling mendukung dengan pemerintah setempat dalam kaitan dengan kegiatan pengembangan masyarakat desa dari sektor pertanian.
7) Menyelenggarakan kegiatan sarasehan dan sosialisasi tentang pertanian organik untuk seluruh masyarakat sehingga masyarakat bisa mengenal, mengetahui, dan merealisasikan prinsip – prinsip pertanian organik dalam kehidupan sehari – hari. Upaya ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan peran partisipatif masyarakat secara luas yang mendukung gerakan pertanian organik.
8) SPTN – HPS perlu melakukan sosialisasi tentang pola hidup lestari melalui kebiasaan bertani secara organik bagi anak – anak sejak dini sehingga mereka mulai belajar untuk mengkonsumsi hasil – hasil pangan organik.
DAFTAR PUSTAKA
Brannen, J, 2004, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dan Pustaka Pelajar.
Clark, J, 1995, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Tiara Wacana.
Fakih, M, 2008, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial – Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, Pustaka Pelajar.
Hikmat, H, 2010, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press.
Mulyana, D, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif – Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya.
SPTN – HPS, 2011, Fisibilitas SPTN – HPS Menuju Tahun 2016, SPTN – HPS.
Suyanto, B, dan Sutinah (Eds.), 2005, Metode Penelitian Sosial – Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana Prenada Media Group.
Usman, S, 2010, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar.
Fikri, A, M, et.al., 2010, Studi Fenomenologi Akuntabilitas Non Governmental Organization, http://blog.umy.ac.id/ervin/files/2012/05/ASP_16_Q.pdf, diakses pada tanggal 17 Agustus 2012.
Purba, J. N, 2008, Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun: Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K), tesis tidak dipublikasikan, Pascasarjana Jurusan Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, diakses melalui repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7143/1/08E00758.pdf, pada tanggal 06 Juni 2012.
[1] Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris phenomenon yang berasal dari kata Yunani “phainein†yang berarti memerlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Kata itu juga memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantasy yang berarti imajinasi. Diakses dari Fikri, et,al, 2010, Studi Fenomenologi Akuntabilitas Non Governmental Organization, http://blog.umy.ac.id/ervin/files/2012/05/ASP_16_Q.pdf, pada tanggal 17 Agustus 2012.
[2] SPTN – HPS, Fisibilitas SPTN – HPS Menuju Tahun 2016, p. 4.