Pengaruh Model Pembelajaran Peta Konsep, Sinektik, Dan Group Investigation Terhadap Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi (Eksperimen Di Sma Negeri Daerah Surakarta)
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PETA KONSEP, SINEKTIK,
DAN GROUP INVESTIGATION TERHADAP KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK
DITINJAU DARI MOTIVASI BERPRESTASI
(Eksperimen di SMA Negeri Daerah Surakarta)
Edy Ngatmanto
Dosen Universitas Terbuka UPBJJ Surakarta
ABSTRACT
Differences in achievement motivation dan the choice of learning style model can be influenced quality of learning, and their last step can be ditermine the student’s ability to appreciate the short story. The purpose of these research are: (1) to find out the difference of the ability to appreciate the short story between the students who learn with mind mapping learning style, synectics, and group investigation; (2) to find out the difference of the ability to appreciate the short story between the students who have high achievement motivation and the students who have low achievement motivation; (3) to find out the interaction between the using of learning style and achievement motivation in the influence of the ability to appreciate the short story. This research used quasi experiment method with factorial research design 3 X 2. The technique of data collection used questionnaire in order to measure the students’ learning motivation, and test to measure the ability to appreciate the short story. The validity tests are content validity, surface validity, and empirical test. The purposes of empirical test are to know about the instrument validity and reliability. Normality test used Bartlette method and homogenates test used Lilliefors method. The data analysis used Anava two factors with SPSS program. From the inferential analysis, it can be concluded that: (1) there are some differences of the ability to appreciate the short story between the students who learn with mind mapping learning style, synectics, and group investigation; (2) there are some differences of the ability to appreciate the short story between the students who have high achievement motivation and the students who have low achievement motivation; (3) there are some interactions between the using of learning style and achievement motivation in the influence of the ability to appreciate the short story. There are some differences betwen sel A3-B1 with A3-B2, A1-B2 with A3-B2, A2-B2 with A3-B2. There are no differences betwen sel A1-B1 with A1-B2, A2-B1 with A2-B2, A1-B1 with A2-B1, A1-B1 with A3-B1, A2-B1 with A3-B1, A1-B2 with A2-B2.
Keywords: Differences, Mind Mapping, Synectics, Group Investigation, Achie-vement Motivation, and the Ability to Appreciate the Short Story
PENDAHULUAN
Sastra mencerminkan kehidupan manusia. Cinta, emosi, simpati, pemikiran, kebencian, kekerasan, pemberontakan, kemunafikan, semuanya diangkat dalam karya sastra untuk dihayati, direnungi, dinikmati, dan diapresiasi oleh pembaca. Sesuai manfaatnya tersebut sastra harus diajarkan dengan baik. Ada empat sasaran pengajaran sastra, yaitu: membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa yang meliputi indra, penalaran, perasaan, kesadaran sosial, rasa religius; dan menunjang pembentukan watak (Moody, 1979: 16). Dengan mempelajari sastra siswa akan memiliki rasa keindahan, nilai moral dan akhlak mulia. Tidak saja cerdas, namun memiliki budi pekerti yang luhur. Kecuali hal itu, pengajaran sastra akan membantu siswa berlatih keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, membaca, menyimak, wicara, dan menulis. Secara integratif, pada gilirannya kemampuan berbahasa yang tinggi akan menjadi petunjuk bahwa siswa juga tinggi kemampuan apresiasi sastranya (Nurgiyantoro, 2001: 319-320).
Guru sangat menentukan tinggi rendahnya kaulitas pengajaran sastra di sekolah. Karena itu, guru tidak cukup hanya menguasai materi, tetapi harus mampu menerapkan metode-metode yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pasal 40 ayat 2 UU No 20 tahun 2003 menegaskan bahwa tenaga pendidik berkewajiban menciptakan pembelajaran bermakna, menyenangkan, dialogis, kreatif, dan dinamis. Hal ini mengharuskan guru kreatif membuat pembelajaran nyaman dan menyenangkan, sehingga pembelajaran bermakna yang ditunggu-tunggu siswa segera terwujud.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, pembelajaran cerita pendek perlu mendapat perhatian yang optimal. Namun demikian, kenyataannya belum terwujud. Yulianto (2009: 1) menemukan kenyataan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian besar guru saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan penghafalan bukan pada pemahaman. Dalam pencapaian materi, guru ceramah, siswa duduk, mencatat, dan mendengarkan dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya (Umaedi, 2003: 45). Dengan demikian, pembelajaran tidak kondusif dan membosankan sehingga siswa menjadi pasif. Karena itu penerapan model pembelajaran yang efektif, efisien, dan inovatif perlu dilakukan, sehingga proses pembelajaran akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan.
Guna mewujudkan perbaikan pengajaran dibutuhkan pembenahan semua komponen yang terlibat di dalamnya. Dari faktor guru, maka segera dibutuhkan guru kreatif sehingga pembelajaran lebih menarik, menantang, dan bermakna. Pembelajaran perlu dibangun dengan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu dengan yang lain, sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal. Ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan, di antara ialah (1) mind mapping (MM), (2) sinektik, dan (3) group investigation (GI).
Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian ini adalah: (1) menemukan perbedaan kemampuan mengapresiasi cerita pendek antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran peta konsep (mind mapping), sinektik, dan group investigation; (2) menemukan perbedaan kemampuan mengapresiasi cerita pendek antara siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan siswa yang memilki motivasi berprestasi rendah; (3) menemukan interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi berprestasi dalam mempengaruhi kemampuan mengaapresiasi cerita pendek.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri seluruh daerah Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2014. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan penelitian eksperimen semu (quasi-experimental research). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 3 x 2.
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA negeri yang ada di daerah Surakarta pada tahun pelajaran 2011/2012. Kota besar diwakili oleh kota Surakarta, kabupaten diwakili oleh Sragen dan Boyolali. Dua kabupaten tersebut dapat memiliki karakteristik siswa seluruh kabupaten (non kota) yang ada. Dari kota/kabupaten yang terpilih, diambil 3 (tiga) sekolah yang homogen (menurut danem input siswa) untuk sampel penelitian. Teknik sampling yang digunakan adalah multy-stage purposive random sampling, dengan langkah-langkah pengambilan sebagai berikut.
Data motivasi berprestasi siswa dikumpulkan dengan teknik angket. Bentuk angket yang digunakan tertutup, yakni siswa memilih jawaban yang telah disediakan (c.f. Nurgiantoro, 2001: 54). Sesui dengan definisi operasionalnya, angket meliputi aspek durasi kegiatan, frekuensinya, ketabahan, persistensinya, devosi, tingkatan mengapresiasi, tingkatan kualifikasi. Jumlah butir angket sebanyak 40 butir.
Data kemampuan mengapresiasi cerita pendek dikumpulkan menggunakan teknik tes mengapresiasi cerita pendek. Tes dikembangkan dengan menggunakan teori evaluasi menurut Moody (1979: 89-96) yang mengukur kemampuan informasi, konsep, perspektif, dan apresiatif. Bentuk soal yang dipilih ialah tes objektif dengan lima alternatif jawaban. Soal dibuat 5 (lima) paket mengikuti materi pembelajaran sesuai standar kompetensi dan kompetensi dasar (silabus) yang digunakan pada penelitian. Setiap paket soal terdiri dari 10 nomor sehingga keseluruhan soal berjumlah 50 butir soal.
Setelah terkumpul dan memenuhi uji persuaratan analisis, data dianalisis mengunakan statistik deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif dilengkapi distribusi frekuensi, histogram, dan polygon. Analisis inferensial menggunakan statistic Anova dua jalan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek pada Tiga Model Pembelajaran
Berdasarkan rangkuman hasil pengujian hipotesis, didapatkan nilai F hitung sebesar 17,267. Setelah dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, dengan pembilang 2 dan penyebut 445 ditemukan nilai F tabel sebesar 3,00. Hal ini berarti F hitung lebih besar daripada F tabel (17,267 > 3,00). Berdasarkan analisis Scheffe, diperoleh kenyataan bahwa: (1) perbandingan model pembelajaran peta konsep dengan sinektik menunjukkan nilai F hitung 7,18 lebih besar dibanding F tabel 3,00; (2) perbandingan model pembelajaran peta konsep dengan group investigation menunjukkan nilai F hitung 36,13 lebih besar dibanding F tabel 3,00; (3) perbandingan model pembelajaran sinektik dengan group investigation menunjukkan nilai F hitung 11,09 lebih besar dibanding F tabel 3,00. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa ada perbedaan efek antara model pembelajaran peta konsep (mind mapping), sinektik, dan group investigation terhadap kemampuan Mengapresiasi cerita pendek.
Perbedaan Kemampuan Megapresiasi Cerita Pendek pada Tingkatan Motivasi Berprestasi
Berdasarkan rangkuman hasil pengujian hipotesis,, didapatkan nilai F hitung sebesar 13,964. Setelah dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, dengan pembilang 1 dan penyebut 445 ditemukan nilai F tabel sebesar 3,84. Hal ini berarti F hitung lebih besar daripada F tabel (13,964 > 3,84). Analisis Scheffe menunjukkan nilai F hitung 11,97 lebih besar dibanding F tabel 3,84. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan efek antara motivasi berprestasi tinggi dan rendah terhadap kemampuan Mengapresiasi cerita pendek.
Interaksi Model Pembelajaran dengan Tingkatan Motivasi Berprestasi
Dari analisis interaksi, didapatkan nilai F hitung sebesar 4,011. Setelah dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, dengan pembilang 2 dan penyebut 445 ditemukan nilai F tabel sebesar 3,00. Hal ini berarti F hitung lebih besar daripada F tabel (4,011 > 3,00).
Perbandingan antara sel A1B1 dengan A2B1 diperoleh nilai F hitung 6,06 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A1B1 dengan A3B1 diperoleh nilai F hitung 9,32 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A2B1 dengan A3B1 diperoleh nilai F hitung 0,35 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A1B2 dengan A2B2 diperoleh nilai F hitung 4,19 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A1B2 dengan A3B2 diperoleh nilai F hitung 25,11 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A2B2 dengan A3B2 diperoleh nilai F hitung 25,11 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A1B1 dengan A1B2 diperoleh nilai F hitung 6,06 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A2B1 dengan A2 B2 diperoleh nilai F hitung 1,04 lebih besar dibanding F tabel 2,60; A3B1 dengan A3B2 diperoleh nilai F hitung 29,57 lebih besar dibanding F tabel 2,60. Berdasarkan data ini, disimpulkan “ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksiâ€.
Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek pada Tiga Model Pembelajaran
Simpulan penelitian ini dapat diterima secara konseptual. Hal ini karena berdasarkan karakteristiknya yang melibatkan skemata, kebebasan berpikir, perasaan senang tanpa tekanan, kreativitas tinggi, siswa sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuan. Pada sinektik, dalam melakukan proses metaforis dan analogi diperlukan keterlibatan emosional, daya emaji, dan daya abstraksi (kebiasaan berpikir) yang tinggi guna membangun kreativitas konstruktif (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Dalam peta konsep (Smith, 1996: 3) siswa mengingat pengalaman konkrit (skemata), bebas berpikir kreatif melakukan refleksi terhadap hasil observasi dan membangun konsep abstrak serta hipotesis (personal theory and idea), dan mencobakan pada setting lain. Selaras dengan dua pernyataan itu, Suparno (1997: 11) sesuai hal itu menyatakan bahwa dalam konstruktivisme siswa sendirilah yang membangun pengetahuan melalui keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga memperoleh pengetahuan.
Siswa menyukai langkah model pembelajaran peta konsep. Kesukaan ini dalam kerangka kajian tentang gaya belajar dijelaskan oleh Muijs dan Reynolds (2008: 305) bahwa “teori-teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya belajar ini sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajarâ€. Berbeda pada model pembelajaran sinektik, pada model pembelajaran sinektik siswa dipaksa melibatkan elemen emosional, irasional, daya imaji dan abstraksi yang tinggi untuk membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Pelibatan aspek-aspek tersebut hanya dapat diikuti oleh siswa yang pandai saja.
Pembelajaran dengan model group investigation mengandalkan pemberian input eksternal dan tranfer pengetahuan dengan penjejalan materi (input stimulus). Proses belajar merupakan aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis (Aunurrahman, 2009: 21). Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat membelanggu siswa (Aunurrahman, 2009: 19). Group investigation ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1).
Kondisi belajar pada model pembelajaran Group investigation tersebut, sungguh berbeda dibanding pada model-model pembelajaran di bawah pendekatan konstruktivisme. Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar untuk mengerti, bukan merupakan kumpulan fakta yang harus diberikan kepada siswa (Suparno, 1997: 18; Aunurrahman, 2009: 15). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke otak siswa. Siswa sendirilah yang mengartikan apa yang telah diajarkan sesuai pengalaman mereka. Kedudukan siswa dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori tentang dunia dan kehidupan.
Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek pada Tingkatan Motivasi Berprestasi
Dalam mengapresiasi karya sastra, siswa diharapkan langsung menghadapi objek karya sastra yang merupakan karya imagination, fictionality, invention, creative literature. Pembaca diharapkan mengerti bahwa yang dihadapi adalah bahasa khusus yang harus ditanggapi dengan pengertian khusus. Ada makna ganda, ada deretan ciri-ciri lain: kategoris, arbriter, irasional, asosiatif, ekspresif, sugestif, dan simbolik. (Nurgiantoro, 2010: 2-5).
Karya sastra yang memiliki corak seperti ini ingin mengajak pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masalah yang diketengahkan (Waluyo, 2002: 1; 14). Pembaca sebagai penghayat lalu mengedepankan faktor afektif, yaitu merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca (Waluyo, 2002: 61). Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran mengapresiasi sastra yang tidak dapat dilepaskan dari kekuatan emosional anak. Banyak penelitian menguatkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar/mengapresiasi sastra (Goleman, 2005: 14; DePorter, 2000: 22). Emosi dapat membantu mengingat memori jangka panjang dan memungkinkan informasi diterima melalui memory buffer untuk dipersepsi (Muijs dan Reynolds terjemahan Soetjipto, 2008: 38,203-205). Pengelolaan sejumput saja emosi-emosi inti (takut, gembira, cinta, jijik, malu, dan lain sebagainya) akan mendorong dan mengontrol pemrosesan mental dan kognitif yang efisien (Brown terjemahan Cholis, 2008: 117).
Perasaan positif (gembira, senang, simpatik) dapat mengontol pemrosesan mental dan kognitif secara optimal yang pada gilirannya akan memicu munculnya motivasi yang tinggi dalam mengerjakan tugas atau meraih prestasi. McClelland (1987: 88) menjelaskan bahwa motivasi berprestasi merupakan virus mental, yaitu suatu pikiran yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan baik, lebih cepat lebih efisien dibanding dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya. Virus mental tersebut berakibat seseorang bertingkah laku secara giat.
Perkembangan kepribadian di atas secara universal melibatkan pertumbuhan konsep diri, keberterimaan diri, pencerminan diri. Tingkat motivasi berprestasi tiap siswa akan berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena harkat kepribadian manusia berkorelasi positif dengan kualitas belajar, tinggi rendahnya harkat mempengaruhi keberhasilan pembelajaranâ€. Demikian juga kelayakan diri dan keyakinan diri, keduanya juga mempengaruhi keberhasilan. Orang yang yakin bisa dan layak mengerjakan, cenderung akan berhasil dalam tugas itu. (Brown terjemahan Cholis, 2008: 167-168)
Setiap individu memiliki emosi baik dalam bentuk negatif maupun positif, setiap individu memiliki kompetensi emosional yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan bahwa motivasi berprestasi sangat berperan dalam kegiatan belajar, maka perbedaan kompetensi emosional yang mempengaruhi motivasi internal dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam melakukan kegiatan mengapresiasi sastra. Sesuai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan tingkat motivasi berprestasi akan berpengaruh pada proses keikutsertaan siswa dalam belajar maupun keberhasilan belajar.
Interaksi Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi dalam Mempengaruhi Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
Hasil penelitian menyimpulkan adanya interaksi digunakannya model pembelajaran dan motivasi berprestasi dalam mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Hal ini dapat dibenarkan sebab ditinjau dari faktor model pembelajaran, ketiga model pembelajaran dapat menimbulkan efek mudah atau sulitnya pelajaran diikuti siswa karena karakteristik masing-masing yang berbeda. Pada sinektik, dalam melakukan proses metaforis dan analogi diperlukan aspek emosional, daya emaji, dan daya abstraksi (kebiasaan berpikir) yang tinggi guna membangun kreativitas (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Dalam peta konsep (Smith, 1996: 3) siswa mengingat pengalaman konkrit, bebas berpikir kreatif melakukan refleksi terhadap hasil observasi dan membangun konsep abstrak serta hipotesis, dan mencobakan pada setting lain. Siswa lebih menyukai langkah model pembelajaran peta konsep karena lebih konkrit dan alami otak (Muijs dan Reynolds, 2008: 305). Berbeda pada model pembelajaran sinektik, pada model pembelajaran sinektik siswa dipaksa melibatkan elemen emosional, irasional, daya imaji dan abstraksi yang tinggi untuk membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Pelibatan aspek-aspek tersebut hanya dapat diikuti oleh siswa yang pandai saja.
Berbeda lagi dengan group investigation (GI), GI mengandalkan pemberian input eksternal dan tranfer pengetahuan dengan penjejalan materi (input stimulus). Proses belajar merupakan aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis (Aunurrahman, 2009: 21). Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat membelanggu siswa (Aunurrahman, 2009: 19). Cara transfer pengetahuan ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1).
Dari uraian tentang tiga model pembelajaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga model pembelajaran baik model pembelajaran peta konsep, sinektik, maupun Group investigation, dalam proses pelaksanaannya membimbing belajar siswa tidak dapat dilepaskan dari peran serta keterlibatan faktor emosional. Hal itu berarti ada interaksi antara ketiga model pembelajaran dengan motivasi berprestasi siswa. Berhasil atau tidaknya siswa belajar dipengaruhi secara interaktif antara penggunaan model dengan motivasi berprestasi siswa.
Faktor kepribadian termasuk didalamnya adalah kepemilikan motivasi berprestasi mendorong kesuksesan pembelajaran (Brown terjemahan Cholis, 2008: 165; Brown, 2000: 142). Kepribadian ini masuk dalam ranah afektif, yaitu sisi emosional perilaku manusia. Michael (2006: 5) menjelaskan bahwa EQ adalah prasyarat untuk kepiawaian IQ.
Perkembangan kepribadian (EQ) secara universal melibatkan pertumbuhan konsep diri, keberterimaan diri, pencerminan diri (Brown terjemahan Cholis, 2008: 167). Tingkat motivasi berprestasi tiap siswa akan berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan ungkapan Brown (terjemahan Cholis, 2008: 168) yang menyimpulkan harkat, misalnya, menyatakan “ketiga tingkatan harkat berkorelasi positif dengan tingkat produksi lisan dalam belajar bahasa, tinggi rendahnya harkat mempengaruhi keberhasilan pembelajaranâ€.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bawa penggunaan model pembelajaran yang memiliki perbedaan karakteristik yang membawa efek sulit dan mudahnya siswa mengikuti pelajaran berinteraksi dengan tinggi rendahnya tingkat motivasi berprestasi yang berdampak pada semangat dan tidaknya siswa dalam belajar. Keduanya akan berpengaruh pada proses dan keberhasilan belajar.
SIMPULAN
Simpulan hasil penelitian sebagai berikut.
1. Ada perbedaan efek antara model pembelajaran peta konsep (mind mapping), sinektik, dan group investigation terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
2. Ada perbedaan efek antara motivasi berprestasi tinggi dan rendah terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
3. Ada interaksi antara motivasi berprestasi dan model pembelajaran terhadap kemampuan apresiasi cerita pendek.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Terjemahan Noor Cholis. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2004. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka.
Goleman, Daniel. 2001. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Emosi. (Terjemahan T. Hermaya). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Joyce, Bruce, Marsha Weil, & Emily Calhoun. 2000. Models of Teaching. USA: Library of Congress Cataloging-in- Publication Data
Mc.Clelland .1987. Human Motivation. Cambridge: Cambridge Univercity Press
Moody, H.L.B. 1979. The Teaching of Literature. London: Longman
Muijs, Daniel & Reynolds, David. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE
________ . 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Smith, Mark K. 1996. David A. Kolb 0n Experiential Lerning (dalam http://www.infed.org/biblio/b-explrn.htm. Diunduh tanggal 31 Oktober 2008)
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Â