PROTES SOSIAL

TERHADAP KESENJANGAN GENDER

DALAM TEKS DRAMA INDONESIA

MH. Sri Rahayu,

Cucu Siti Sukonsih

FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan protes sosial terhadap kesenjangan gender dalam teks drama Opera Kecoa. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, dengan obyek utama teks drama. Penelitian ini berpusat pada tokoh-tokoh drama baik tokoh pria maupun wanita, karenanya aspek sosiologisnya dan psikologisnya berperan penting dalam penelitian ini. Penelitian ini disebut juga penelitian feminisme yang memfokuskan kesenjangan gender. Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah teks drama Opera Kecoa. Karya N. Riantiarno. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi yang meliputi triangulasi data dan triangulasi teoritis (Sutopo, 1992: 19). Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interaktif menggunakan model penafsiran (hermeneutik). Penafsiran dilakukan terhadap simbol-simbol dan tingkah laku manusia (Abdullah, 1997: 12). Proses analisis data secara interaktif dr. Miles & Hubermen (dalam Farida, 2010: 162). Dalam drama Opera Kecoa, menggambarkan masyarakat kumuh yang tinggal di pinggiran kota-kota besar di Indonesia. Penghuninya diperankan sebagai pejuang atau pahlawan yang melakukan tindakan-tindakan protes sosial yang bertemakan tuntutan keadilan, kemiskinan, pemerintahan yang tidak adil, kesenjangan gender, diskomunikasi serta penyalahgunaan kekuasaan. Tokoh-tokoh pria dan wanita berperan sebagai pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas teri, bromo corah, cabo, germo yang sering dikategorikan sebagai sampah dalam masyarakat. Sedangkan aksi atau perwujudan protes sosial nampak dalam tindakan-tindakan seperti: penggusuran, pembumihangusan perumahan kumuh, pembakaran lokalisasi pelacuran, pembubaran demon-strasi dengan penembakan oleh aparat keamanan. Pejabat tidak memiliki integritas yang terpuji yaitu sering datang ke lokaslisasi pelacuran, korupsi dan kolusi. Tuminah dan Julini menggam-barkan sosok dan kepribadian wanita yang diliputi perasaan halus, cinta kasih, cemburu, ketulusan hati, semangat berkorban serta ketabahan hidup. Himpitan kehidupan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari serta minimnya pengetahuan yang dia miliki akhirnya Tuminah menjadi penjaja seks komersial sebagai upaya mudah dan cepat untuk mendapatkan uang, demi kelangsungan hidupnya. Kesenjangan gender nampak jelas dalam drama Opera Kecoa yang digambarkan oleh Riantiarno dalam peran tokoh laki-laki dan perempuan.

Kata kunci: protes sosial, gender, Opera Kecoa

PENDAHULUAN

Drama Indonesia memiliki ciri khas yang berupa protes sosial terhadap kehidupan masyarakat modern atau masyarakat industri. Masyarakat industri dengan ciri kesenjangan hidup antara si kaya dan si miskin nampak sekali terlebih-lebih di kota besar seperti lazimnya latar drama-drama Indonesia (N. Riantiarno, Arifin C. Noer, dan Heru Kesowo Murti).

Drama Indonesia melukiskan protes sosial kaum papa yang lemah seperti halnya wanita yang menderita dan secara tidak sengaja menampilkan sisi lain dari protes sosial berupa kesenjangan gender. Kesenjangan gender adalah perlakuan yang tidak sepantasnya dilakukan pria terhadap wanita. Wanita sering dianggap sebagai pelindung dan pemberi nafkah, sementara tokoh-tokoh laki-laki menggantungkan kehidupannya kepada tokoh wanita. Di daerah-daerah kumuh wanita adalah komoditi yang menjadi tumpuan hidup lelaki di sekelilingnya (N. Riantiarno).

Pengarang-pengarang drama Indonesia biasanya berangkat dari observasi ke masyarakat kumuh untuk dapat menggambarkan secara nyata perilaku orang-orang tertindas tersebut. Dengan demikian, drama yang dikarangnya dapat lebih hidup dan berjiwa karena dilatari oleh kenyataan hidup yang sebenarnya, bicara yang direkam dari perilaku sehari-hari (Riantiarno dan Heru Kesowo Murti).

Protes sosial dalam drama Indonesia sebenarnya sudah dicetuskan sejak lama karena drama memang sangat tepat untuk menampilkan protes sosial (Haryenawan, 1988). Akan tetapi, kesenjangan gender dalam kritik sosial lebih nyata muncul dan dominan akhir-akhir ini. Ketika pencarian nafkah dengan cara halal sudah sangat sulit, wanita merupakan pertahanan terakhir bagi masyarakat miskin untuk dapat menyambung hidup. Karena itu, drama-drama Indonesia yang muncul pada akhir-akhir ini banyak menampilkan adegan-adegan protes sosial namun tidak ditanggapi karena dirasa sudah merupakan sesuatu hal yang biasa.

Kesenjangan gender (Mosse, 2002: 29) dalam penelitian mengkaji tentang bagaimana martabat wanita direndahkan, dan tenaga mereka diperas untuk kepentingan laki-laki. Wanita tidak berdaya melawan laki-laki karena lemah atau karena rasa belas kasihnya yang terlalu tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminism atau maskulin (Mosse, 2002: 3). Kesenjangan gender artinya tidak adanya kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan, wanita diperlakukan tidak sama dengan laki-laki, wanita dilecehkan, diperas atau diperalat untuk mencari nafkah (Muttalib, 1991: 18). Wanita diposisikan pada kondisi yang tidak memiliki keampuan untuk membela jati dirinya, wanita diperlakukan secara tidak adil.

Rendra (1988: 46) mengatakan bahwa protes sosial merupakan “jerit hewan yang terluka”, maksudnya protes sosial merupakan kritik atau ungkapan perasaan dari masyarakat lemah yaitu kaum wanita yang diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki.

Drama Indonesia adalah drama Indonesia yang bercirikan protes sosoal terhadap kehidupan masyarakat modern atau masyarakat industri. Masyarakat industri bercirikan kesenjangan kehidupan antara si kaya dengan si miskin yang nampak jelas dalam kehidupan di kota-kota besar. Contoh teks drama Indonesia Mutakhir “Mega-mega” karangan Arifin C. Noer, Opera Kecoa karangan N. Riantiarno, dan lain-lain.

Muttalib (1991: 21) mengatakan bahwa analisis gender diidentifikasikan beberapa hal yaitu: (1) kesenjangan gender, (2) kepentingan khusus wanita, (3) kepentingan pembangunan, dan (4) kesenjangan pembangunan kerja. Astuti dan Suhesi (1997: 16) menyatakan bahwa pada hakekatnya dalam analisis gender terdapat unsur analiss emansipasi wanita yang menunjukkan bahwa wanita memiliki aktivitas, manfaat, akses dan kontrol yang memberi dampak kemitrasejajaran dengan pria.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Strategi Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, dengan obyek utama teks drama. Dalam penelitian sastra dipentingkan penafsiran atau hermeneutik yang menjadi unsur utama dalam penelitian (Baker, 1989: 98). Penelitian ini berpusat pada tokoh-tokoh drama baik tokoh pria maupun wanita, karenanya aspek sosiologisnya dan psikologisnya berperan penting dalam penelitian ini. Sosiologi sastra seperti yang dicetuskan oleh Sapardi Djoko Darmono (1979: 35) dan Psikosastra yang dikemukakan oleh Guntur Tarigan (1991: 29) dapat dijadikan acuan penelitian ini. Penelitian ini disebut juga penelitian feminisme yang memfokuskan kesenjangan gender.

Objek Penelitian

Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah teks drama.

Teknik Sampling

Sampel dalam penelitian ini adalah teks drama yang dipilih secara purposive artinya disesuaikan dengan tujuan yaitu membatasi teks drama yang menunjukkan kesenjangan gender (Mosse. 2002: 19). Teks drama yang dipilih juga harus representatif artinya mewakili drama Indonesia yang bertemakan protes sosial.

Pengarang dan teks drama yang dijadikan sampel adalah: N. Riantiarno dalam karyanya Opera Kecoa.

Validitas Data

Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi yang mmeliputi triangulasi data dan triangulasi teoritis (Sutopo, 1992: 19).

Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interaktif menggunakan model penafsiran (hermeneutik). Penafsiran dilakukan terhadap simbol-simbol dan tingkah laku manusia (Abdullah, 1997: 12). Proses analisis data secara interaktif dr. Miles & Hubermen (dalam Farida, 2010: 162).

Data Collection

Data Display

Data Reduction

Conclusions Drawing/Verifying

Gambar 1. Analisis Data Interaktif

HASIL PENELITIAN

Dari hasil analisis data dapat disajikan dalam alur cerita dan simbol-simbol yang tersirat.

Alur Opera Kecoa

1) Eksposisi

Dalam eksposisi digambarkan secara visual suasana tentang peradaban kota yang gemerlap. Kehidupan para kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik kemegahan gedung-gedung tinggi. Di balik kota yang gemerlapan, banyak derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi kecoa dan yang lain menjadi garuda.

Roima: Dia hanya ingin hidup, dia tak mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan. Coba tunjukan cara lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukan, tunjukan. Tak pernah ada jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato saja, dia kami, bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian dia dapat uang.

2) Konflik

Di perumahan kumuh terjadi percekcokan antara Asnah dengan seorang rentenir dan Tukang Sulap yang menjual obat anti kecoa. Konflik berikutnya antara Tarsih dengan Julini. Tarsih yang sudah kaya dan memiliki komplek pelacuran yang maju, tidak menerima Julini sebagai sahabat lamanya. Kehadiran Julini dirasa akan menambah beban saja, karena Julini sudah dianggap tidak akan produktif.

3) Komplikasi

Dalam tahap ini, konflik menjadi berkembhang. Tarsih curiga pada Julini, Julini dan Roima kian berat tantangannya, dari masalah tempat tinggal hingga pekerjaan. Pajak pelacuran yang kian tinggi, Tarsih berjuang agar terhindar dari ancaman penggusuran dengan memanfaatkan Tuminah sebagai pelanggan tetap pejabat. Tukang sulap kian gencar mempromosikan obat kecoa, Julini bergabung pelacuran kelas bawah dan kelompok banci-banci, Dengan bantuan Tuminah, Roima mendapat pekerjaan bersama menggabungkan diri dengan komplotan bandit yang dipimpin Kumis dan Bleki. Pejabat semakin ketagihan bersenang-senang di pelacuran Tarsih dengan membawa tamu-tamu asing, sebagai servis proyek-proyek bantuan dengan mengatasnamakan pembangunan.

Hubungan Roima dengan Tuminah semakin dekat, Julini merasa cemburu dan kehilangan Roima. Roima jarang pulang, dia sibuk dengan dunia kerjanya dan menghabiskan waktu dengan Tuminah.

4) Klimaks

Permasalahan semakin kompleks. Julini dengan Roima bertengkar luar biasa setelah mengetahui bahwa Roima berselingkuh dengan Tuminah. Julini lari hingga Julini tertembak di tengah banci-banci yang sedang melawan petugas keamanan, karena banci-banci merasa terhina kemanusiaannya oleh isi pidato petugas yang sudah merendahkan harga dirinya. Julini tertembak satpam yang sedang mengamankan situasi. Begitupun Kumis dibunuh Tibal, kakaknya Tuminah. Tibal balas dendam, karena Kumis sudah menghacurkan masa depan Tuminah, hingga Tuminah manjadi bagian dunia gelap pelacuran. Adegan berikutnya adalah kebakarannya kompleks pelacuran milik Tarsih dan daerah kumuh terbakar ludes. Tarsih berusaha untuk menyelematkan sertifikat dan surat-surat penting, Tarsih memasuki rumahnya yang sedang dilahap api, dia mati terpanggang di dalam rumahnya.

Klimak dari Opera Kecoa adalah Julini mati tertembak, Komplek pelacuran dan perkampungan kumuh terbakar, dan kematian Tarsih.

5) Resolusi

Dalam resolusi tergambarkan tindakan Roima atas kematian Julini. Roima menuntut pejabat agar membuatkan monumen Julini untuk menghargai perjuangannya, dan pejabat mengabulkannya. Patung Julini dapat diterima oleh patung-patung monumen lainnya yang sudah lebih awal didirikan. Lain halnya ketika Roima mengadukan masalah kompleks yang kebakaran, Roima membawa masa yang beringas ingin meminta pertanggungjawaban pejabat atas petaka itu.

MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM DRAMA OPERA KECOA

Kecoa menggambarkan hidup liar malam hari di dalam got yang kotor, mencari makan, mencari penghidupan. Kecoa bila disandingkan dengan kata opera adalah nyanyian kaum pinggiran, suara-suara atau perjuangan kaum pinggiran, yakni kehidupan para pekerja seks, bromo corah, banci, gembel, orang gila, bandit kelas teri yang tinggal digubuk-gubuk reyot, perkampungan kumuh. Kaum urban miskin perkotaan menggambarkan kehidupan yang sulit di tengah kegaduhan dan kegemerlapan kota. Kaum urban miskin yang morat-marit hidupnya ditengah kekuasaan pejabat pemerintahan yang korup dan hidup mewah.

Julini dan Roima digambarkan sebagai kaum urban dari desa pergi ke kota untuk mencari penghidupan. Terdapat tafsir implisit, bahwa kota tetap merupakan daya tarik, sekalipun hidup di kota membutuhkan perjuangan yang keras. Kota adalah impian, dan harapan kehidupan yang lebih baik. Roima, dan teman-temannya menemui Pejabat untuk meminta pertanggung jawaban ketika petugas menembak Julini dan mempertanyakan tentang rumah Tarsih dan daerah kumuh yang kebakaran. Dapat ditafsirkan Roima dan kawan-kawannya mewakili orang pinggiran yang seringkali tidak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Sebagai warga negara dalam sistem pemerintahan demokrasi, semua orang berhak menyampaikan pendapatnya. Pelacur, gembel, bandit mempunyai hak-hak politik yang sama.

Pejabat ditampilkan dengan sering mengunjungi tempat pelacuran, bermain golf, berbagi prosentasi proyek-proyek pembangunan, membuat monumen, dilindungi oleh petugas anti huru hara dan menyuruh menembaki dengan bedil ketika Roima dan teman-temnannya berdemo. Dapat ditafsirkan, pejabat itu tidak memiliki integritas moral yang tinggi, hidup dalam kemewahan, kolusi dan korupsi.

Bahasa yang dipakai dalam pertunjukkan disampaikan tidak hanya dalam bentuk dialog tetapi juga dalam bentuk nyanyian dan gerak. Dapat ditafsirkan adalah pertunjukan Opera Kecoa diharapkan pembacanya dapat terhibur, dapat dipahami dengan mudah dan komunikatif. Sehingga persoalan-persoalan yang diangkat dalam naskah tersebut dapat dimengerti oleh berbagai kalangan. Pemilihan nama tokoh, kaum pinggiran diwakili oleh nama-nama yang jelas seperti Julini, Roima, Tarsih, Tuiminah, Kumis, Bleki, Asnah, Kasijah dipertentangkan dengan Pejabat, Petugas, Tukang Sulap, Satpam, sebuah nama dan identitas yang terbuka. Dapat ditafsirkan pengarang ingin menyamarkan identitas pejabat, biar longgar dan kabur.

KESIMPULAN

Dalam drama Opera Kecoa, menggambarkan masyarakat kumuh yang tinggal dipinggiran kota-kota besar di Indonesia. Penghuninya diperankan sebagai pejuang atau pahlawan yang melakukan tindakan-tindakan protes sosial yang bertemakan tuntuan keadilan, kemiskinan, pemerintahan yang tidak adil, kesenjangan gender, diskomunikasi serta penyalahgunaan kekua-saan. Tokoh-tokoh pria dan wanita berperan sebagai pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas teri, bromo corah, cabo, germo yang sering dikategorikan sebagai sampah dalam masyarakat. Sedangkan aksi atau perwujudan protes sosial nampak dalam tindakan-tindakan seperti: penggusuran, pembumihangusan perumahan kumuh, pembakaran lokalisasi pelacuran, pembu-baran demonstrasi dengan penembakan oleh aparat keamanan, pejabat tidak memiliki integritas yang terpuji yaitu sering datang ke lokaslisasi pelacuran, korupsi dan kolusi.

Tuminah dan Julini menggambarkan sosok wanita yang diliputi perasaan halus, cinta kasih, cemburu, ketulusan hati, semangat berkorban serta ketabahan hidup. Wanita yang hidup dilingkungan kumuh, tidak memiliki bekal ilmu dan keterampilan yang cukup sehingga mereka tidak bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik. Himpitan kehidupan serta minimnya pengetahuan yang dia miliki akhirnya Tuminah menjadi penjaja seks komersial untuk mendapatkan uang secara cepat demi kelangsungan hidupnya.

Kesenjangan gender nampak jelas dalam drama Opera Kecoa yang digambarkan oleh Riantiarno dalam peran tokoh laki-laki dan perempuan. Tokoh seperti Tuminah dan Julini, mereka bekerja keras tidak memperhitungkan harkat dan martabatnya, tenaga mereka diperas untuk kepentingan keluarga dan laki-laki yang dicintainya. Wanita melakukannya dengan ikhlas karena rasa belas kasihannya yang terlalu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2008. Buku Pedoman Akademik. Sukoharjo: Univet Bantara Sukoharjo.

Hadari Nawawi, Drs. 1985, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Sekolah. Jakarta: PT. Gunung Agung.

MKDK, Psychologi Pendidikan, Surakarta: FKIP UNS.

Mohammad Ali, 1984. Bimbingan Belajar (Penentuan Sukses di Perguruan Tinggi dengan Sistem SKS), Bandung: Penerbit Sinar Baru.

Ngalim Purwanto, 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nana Sudjana, 2002. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Pasaribu dan Simanjuntak, 2003. Psikologi Perkembangan, Bandung: Tarsito.

Sumardi Suryabrata, 1984. Pembimbing ke Psikodiagnostik, Yogyakarta: Penerbit Rahe Press.

Sutrisno Hadi, 1984. Statistik II, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Univet Bantara Sukoharjo, 2004. Pedoman Program Pendidikan Sistem Kredit Semester. Sukoharjo: Penerbit Mandiri.

Winarno Surachmad, 1972. Dasar dan Teknik Research, Pengantar Metode Ilmiah. Bandung: Penerbit Tarsito.

W.J.S. Purwodarminto, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka.

WS. Winkel, 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

 

__________, 2001. Psikologi Pengajaran, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.