SEKITAR MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Afifatul Muarifah

Mahasiswa Progdi BK-FKIP-UKSW

 

ABSTRAK

Pendidikan merupakan entry point bagi pembangunan suatu bangsa. Andaian ini telah dibuktikan oleh Jepang sejak jaman Tokugawa (1600) dan berhasil menyejajarkan Jepang dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris (Cummings,1984). Sebaliknya andaian tersebut di Indonesia kurang dapat diterima akibat pembenaran egositas keilmuan yang bernuansa politik. Pendidikan, ekonomi dan stabilitas ditempatkan pada sumbu lingkaran yang sama, dalam arti; pembangunan bidang pendidikan tidak akan berhasil jika pembangunan ekonomi kurang berhasil. Demikian pula pembangunan ekonomi tidak berhasil jika stabilitas keamanan sebagai prasyarat kurang mantab. Sebaliknya pembangunan ekonomi tidak berhasil jika tidak ditopang dengan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas. Demikian pula stabilitas keamanan tidak dapat dicapai jika kondisi ekonomi bangsa terpuruk dan kualitas sumber daya manusianya rendah(Tilaar,1995).    Dalam kerangka pikir seperti itulah ketiga komponen di atas berjalan seiring dalam praktek pembangunan selama ORBA. Namun karena jargon politik ORBA berkiblat pada pembangunan ekonomi maka selama ORBA pembangunan ekonomi menjadi entry point dalam pembangunan nasional. Kondisi obyektif ini akhirnya menghadirkan masalah yang sangat serius setelah munculnya UU.NO.22 Tahun 1999 Jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah khususnya otonomi daerah. Salah satu persoalan utama otonomi daerah adalah sumber daya manusia baik dalam jumlah maupun dalam kualitas (Umbu Tagela,2000). Dalam tautan makna yang sama, Paul Suparno (2003) mengatakan tantangan besar yang bakal dihadapi bangsa Indonesia di masa depan adalah: (1). Tantangan yang bersumber dari kehendak kita untuk mencapai keunggulan dalam pembangunan nasional, peningkatan terus menerus pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional, sehingga mampu memasuki persaingan global,(2). tantangan yang bersumber dari transformasi budaya, yaitu dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, (3). Tantangan yang ditimbulkan oleh gejala globalisasi, gejala di mana batas-batas politik dan ekonomi antar bangsa menjadi samar (borderless world) dan hubungan antar bangsa menjadi lebih transparan, (4).tantangan akibat munculnya kolonialisme baru dalam bentuk kolonialisme ilmu pengetahuan dan tehnologi. Untuk mewujudkan ideal-ideal tersebut di atas, kita butuh manpower planning yang baik. Kita butuh tenaga-tenaga pendidikan yang profesional. Untuk menduduki jabatan Hakim Agung saja dilakukan fit and proper test, mengapa untuk menduduki jabatan professional dalam bidang pendidikan tidak dilakukan fit and proper test? Pendidikan merupakan entry point bagi keberhasilan pembangunan, seperti ditunjukkan oleh Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan Cina. Mestinya posisi strategis pendidikan ini menjadikan masukan bagi pemerintah untuk memanage pendidikan secara professional. Jika tidak, maka cita-cita Kihajar Dewantara hanya akan menjadi kenangan manis yang sulit untuk diwujudkan.

Kata kunci: masalah, pendidikan Indonesia

 

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan entry point bagi pembangunan suatu bangsa. Andaian ini telah dibuktikan oleh Jepang sejak jaman Tokugawa (1600) dan berhasil menyejajarkan Jepang dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris (Cummings,1984). Sebaliknya andaian tersebut di Indonesia kurang dapat diterima akibat pembenaran egositas keilmuan yang bernuansa politik. Pendidikan, ekonomi dan stabilitas ditempatkan pada sumbu lingkaran yang sama, dalam arti; pembangunan bidang pendidikan tidak akan berhasil jika pembangunan ekonomi kurang berhasil. Demikian pula pembangunan ekonomi tidak berhasil jika stabilitas keamanan sebagai prasyarat kurang mantab. Sebaliknya pembangunan ekonomi tidak berhasil jika tidak ditopang dengan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas. Demikian pula stabilitas keamanan tidak dapat dicapai jika kondisi ekonomi bangsa terpuruk dan kualitas sumber daya manusianya rendah (Tilaar,1995).

Dalam kerangka pikir seperti itulah ketiga komponen di atas berjalan seiring dalam praktek pembangunan selama ORBA. Namun karena jargon politik ORBA berkiblat pada pembangunan ekonomi maka selama ORBA pembangunan ekonomi menjadi entry point dalam pembangunan nasional. Kondisi obyektif ini akhirnya menghadirkan masalah yang sangat serius setelah munculnya UU.NO.22 Tahun 1999 Jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah khususnya otonomi daerah. Salah satu persoalan utama otonomi daerah adalah sumber daya manusia baik dalam jumlah maupun dalam kualitas (Umbu Tagela,2000). Dalam tautan makna yang sama, Paul Suparno (2003) mengatakan tantangan besar yang bakal dihadapi bangsa Indonesia di masa depan adalah: (1). Tantangan yang bersumber dari kehendak kita untuk mencapai keunggulan dalam pembangunan nasional, peningkatan terus menerus pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional, sehingga mampu memasuki persaingan global,(2). tantangan yang bersumber dari transformasi budaya, yaitu dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, (3). Tantangan yang ditimbulkan oleh gejala globalisasi, gejala di mana batas-batas politik dan ekonomi antar bangsa menjadi samar (borderless world) dan hubungan antar bangsa menjadi lebih transparan, (4).tantangan akibat munculnya kolonialisme baru dalam bentuk kolonialisme ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Keempat tantangan tersebut di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan dunia pendidikan, karena bermuara pada tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas.

MUTU PENDIDIKAN

Kalau kita bicara soal mutu pendidikan, minimal ada empat pandangan yang berkembang untuk memaknainya: (1) mutu pendidikan dipandang berdasarkan kemampuan peserta didik setelah mempelajari suatu materi pelajaran. (2) mutu pendidikan dipandang dari produktivitas keluarannya, yakni pekerjaan yang diperoleh, tingkat gaji dan status, (3) mutu pendidikan dipandang berdasarkan kriteria sosial yang lebih luas (4) mutu pendidikan ditinjau dari komponen pendidikan yang bermutu seperti keadaan guru, sarana prasarana pembelajaran dan manajemen pendidikan (Sudarman Danim, 2007). Persoalannya sekarang adalah kita sepakat dulu. Mutu yang kita maksudkan yang mana? Apadulu yang ditata, bagaimana menatanya? dan seterusnya.

Mutu pendidikan merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk atau out put, jasa/pelayanan, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.

Mutu pendidikan perlu ditingkatkan dengan maksud:

1.     Untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat/pelanggan. Artinya segala aktivitas atau proses pendidikan harus dikoordinasikan untuk memberi kepuasan kepada masyarakat/pelanggan. Dalam TQM, konsep mengenai kualitas dan masyarakat/pelanggan diperluas. Kualitas tidak lagi hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu, tetapi kualitas tersebut ditentukan oleh masyarakat/pelanggan. Masyarakat atau Pelanggan itu sendiri meliputi pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kebutuhan masyarakat/pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, termasuk didalamnya biaya, keamanan, dan ketepatan waktu. Oleh karena itu segala aktivitas sekolah harus dikoordinasi untuk memuaskan para masyarakat/pelanggan.Mutu yang dihasilkan suatu sekolah sama dengan nilai (value) yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat/pelanggan. Semakin tinggi nilai yang diberikan maka semakin besar pula kepuasan masyarakat/pelanggan.

2.     Setiap orang dalam organisasi sekolah mendapat respek dan dianggap sebagai asset organisasi sekolah yang paling bernilai. Dalam sekolah yang kualitasnya favorit, setiap staf dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas tersendiri yang unik. Dengan demikian karyawan merupakan sumber daya organisasi sekolah yang paling bernilai. Oleh Karena itu setiap orang dalam organisasi sekolah diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pengambil keputusan.

3.     Untuk lebih meningkatkan manajemen yang berdasarkan fakta. Sekolah favorit berorientasi pada fakta. Maksudnya bahwa setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan (feeling). Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, prioritisasi (prioritization) yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan,mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu dalam menggunakan data maka dalam manajemen dan tim dalam organisasi sekolah dapat memumpunkan pelayanannya pada situasi tertentu yang vital.     Konsep kedua, variasi (variation) atau variabilitas yang menggunakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi sekolah. Dengan demikian manajemen dapat memprediksi hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.

4.     Melakukan perbaikan secara berkesinambungan.

Agar dapat sukses, setiap sekolah perlu melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku disini adalah siklus yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan rencana, dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh.

Beberapa faktor yang berpengaruh dan perlu dicermati (Mulyasa, 2007) yaitu:

1.     Faktor kepemimpinan

Inisiatif upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan sepatutnya dimulai dari pihak pimpinan dimana mereka harus terlibat secara langsung dalam pelaksanaannya. Bila tanggung jawab tersebut didelegasikan kepada pihak lain (misalnya kepada pakar yang digaji) maka peluang terjadinya kegagalan sangat besar.

 

2.     Faktor team

Organisasi perlu membentuk beberapa tim yang melibatkan semua karyawan. Untuk menunjang dan menumbuhkan kerja sama dalam tim, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, baik supervisor maupun karyawan harus memiliki pemahaman yang baik terhadap perannya masing-masing. Supervisor perlu mempelajari cara menjadi pelatih yang efektif, sedangkan karyawan perlu mempelajari cara menjadi anggota tim yang baik. Kedua, organisasi sekolah harus melakukan perubahan budaya supaya kerja sama tim tersebut dapat berhasil. Apabila kedua hal tersebut tidak dilakukan sebelum pembentukan tim, maka hanya akan timbul masalah, bukannya pemecahan masalah.

3.     Faktor deployment

Ada organisasi sekolah yang mengembangkan kualitas tanpa secara berbarengan mengembangkan rencana untuk menyatukannya kedalam seluruh elemen organisasi sekolah (misalnya operasi promosi, dan lain-lain). Seharusnya pengembangan inisiatif tersebut juga melibatkan para guru, karyawan, masyarakat orang tua murid, karena usaha itu meliputi pemikiran mengenai struktur, penghargaan, pengembangan keterampilan, dan kesadaran.

4.     Faktor harapan yang tidak realistis

Bila hanya mengirim guru/karyawan untuk mengikuti suatu pelatihan selama beberapa hari, bukan berarti telah membentuk keterampilan mereka. Masih dibutuhkan waktu untuk mendidik, mengilhami dan membuat para guru/karyawan sadar akan pentingnya kualitas. Selain itu dibutuhkan waktu yang cukup lama pula untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan proses baru, bahkan seringkali perubahan tersebut memakan waktu yang sangat lama untuk sampai terasa pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas dengan kebutuhan mereka masing-masing (Richey,1968).

5.     Faktor empowerment

Banyak sekolah yang kurang memahami makna dari pemberian empowerment kepada para guru/karyawan. Mereka mengira bahwa bila guru/karyawan telah dilatih dan diberi wewenang baru dalam mengambil suatu tindakan, maka para guru/karyawan tersebut akan menjadi self-directed dan memberikan hasil-hasil positif. Seringkali dalam praktik, guru/karyawan tidak tahu apa yang harus dikerjakan setelah suatu pekerjaan diselesaikan. Oleh karena itu mereka sebenarnya membutuhkan sasaran dan tujuan yang jelas sehingga tidak salah dalam melakukan sesuatu.

PEMERATAAN PENDIDIKAN

Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati pendidikan di Indonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat Sekolah Dasar, Indeks partisipasi kasar di Indonesia telah mencapai 100% (Paul Suparno,2003). Tetapi deskripsi yang diperoleh akan berbeda, lantaran equality of access belum diikuti oleh equality of survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi. Demikian pula equality of output masih pada tataran keinginan daripada kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih menyikapi tugas-tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring peserta didik yang semakin heterogen akibat masalisasi kesempatan, daripada memberikan layanan ahli yang profesional..

 Salah satu masalah yang tak kunjung selesai dalam pendidikan adalah pemerataan (equality) dan keadilan (equity). Secara khusus dapat dipertanyakan: pemerataan yang bagaimana yang adil bagi semua pihak? Pemerataan pendidikan merupakan topik yang senantiasa menjadi pumpunan (focus) dalam setiap tahapan pembangunan di negara kita. Dengan alasan, demi pertanggungjawaban kepada rakyat (sesuai pasal 31 UUD’45), mungkin juga demi prestise penguasa. Secara sangat mencolok kita melihat dan mendengar statemen pemerataan pendidikan. Seperti yang telah kita alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan pemenuhan fisik pendidikan, seperti pemenuhan daya tampung, ratio siswa dengan ruang, ratio siswa guru, ratio siswa perjenjang, ratin siswa dengan anak usia sekolah dan sebagainya. Akibatnya laju pembangunan gedung sekolah cukup tinggi, sementara tuntutan kualitas agak terabaikan. Kondisi obyektif ini menurut Barnadib (1988) hanya merupakan solusi jangka pendek dari equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih jauh dari harapan.

Konsep dan takrif pemerataan dan keadilan yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pendapat Bronfenbrenner (1973), yakni, “ equality to mean social justice, or fairness, it refers to as subjective and ethical judgement. Equality refers to the pattern of distribution of something, such as income or education, for example. Equality is a more objective, descriptive term”. Selanjutnya dikemukakan tiga konsep pemerataan sebagai berikut: Pertama. Perlakukan yang sama kepada mereka yang menurut kriteria tertentu termasuk kategori yang sama, Kedua. Upaya mengurangi ketidakmerataan penghasilan (outcome), yang diukur berdasarkan pendapatan (income), kesejahteraan, dan harga diri, Ketiga. Pemerataan kesempatan. Ide ini merupakan indikator masyarakat yang adil, karena memberikan kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing memperoleh keuntungan sosial.

Jikalau Konsep pemerataan pendidikan diterjemahkan ke dalam kegiatan operasional, akan menghasilkan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk jelasnya diuraikan sebagai berikut: Pertama. Pemerataan memperoleh pendidikan dasar yang universal. Diasumsikan setiap anak berhak memperoleh pelayanan pendidikan universal. Andaian (asumsi) ini didasarkan pada pandangan: humanistik yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya persiapan yang ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu diberi pendidikan dasar yang universal agar kelak dapat meningkatkan kemampuhasilan (produktivitas). Kedua. Pemerataan penyajian mutu pendidikan. Adalah wajar jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya menyamakan mutu lewat Ujian Nasional, sementara kualitas pelayanan sangat berbeda. Ketiga. Pemerataan pendidikan melalui pendidikan bebas. Yang dimaksudkan adalah siswa tidak memiliki keharusan untuk membayar uang sekolah. Kesempatan memperoleh pendidikan jangan dihalang oleh kemiskinan atau ketiadaan uang (Paulo Freire,1999). Keempat. Perlakuan sama bagi siswa. Yang dimaksud adalah terciptanya suasana demokratis dan tidak diskriminatif dalam proses pendidikan.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Kalau saja kita mau jujur, Persoalan pendidikan di Indonesia pada saat ini antara lain adalah ; (1) rendahnya kualitas output ; (2) rendahnya kualitas kepenadan (relevansi) pendidikan; (3) kekurangan guru baik dalam jumlah maupun kualifikasi (4) rendahnya kualitas dan disiplin guru; (5) lemahnya manajemen pendidikan; (5) kurangnya sarana prasarana pembelajaran, (6) rendahnya daya bayar masyarakat dan ke (7) minimnya dana yang tersedia dalam APBD.(8) lemahnya manajemen pendidikan Untuk mengatasi persoalan seperti dipaparkan di atas, Pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia umumnya mesti memiliki kiat khusus. Jika kita tidak memiliki komitmen untuk mengatasinya, maka otonomi daerah yang saat ini sedang dilaksanakan hanya menjadi beban bagi masyarakat Indonesia.

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Untuk menentukan program pendidikan di Indonesia, kita perlu memiliki arah kebijakan yang jelas, antara lain; (1) mengupayakan perluasan pemerataan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu; (2) meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (3) melakukan modifikasi terhadap kurikulum, agar adaptif terhadap keberagaman peserta didik dan kebutuhan masyarakat setempat; (4) memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat kebudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat; (5) membenahi manajemen pendidikan yang berbasis sekolah; (6) mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan sinambung; (7) meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan tehnologi termasuk tehnologi lokal (Umbu Tagela,2007).

Atas pijakan demikian, diusulkan program pembangunan pendidikan sebagai berikut:

1.     Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah

Tujuan dari program ini antara lain adalah; (1) memperluas daya tampung TK, SD, MI, MTs, SMP, SMA, SMK; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung (masyarakat di desa terpencil, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan); (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar, menengah dan prasekolah; (4) terselenggaranya manajemen pendidikan dasar, menengah dan prasekolah yang berbasis pada sekolah dan masyarakat.

Sasaran yang akan dicapai adalah (1) meningkatkan angka partisipasi kasar SD,MI, SMP, SMA, SMK; (2) terwujudnya organisasi sekolah disetiap Kecamatan yang lebih demokratis, transparan, efisien dan efektif; (3) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat; (4) terwujudnya Komite Sekolah disetiap Sekolah.

Adapun kegiatannya antara lain ; (1) Meningkatkan sarana prasarana pembelajaran;(2) Memberikan subsidi pada sekolah swasta; (3) melaksanakan revitalisasi serta regrouping SD agar lebih efisien dan efektif; (4) memberikan bea siswa bagi siswa berprestasi; (5) membangun TK (6) meningkatkan kualitas, profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (7) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai kebutuhan daerah; (8) meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (9) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja institusi pendidikan; (10) melaksanakan desentralisasi pendidikan secara bertahap; (11) melaksanakan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat; (12) menggalang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (13) meninjau kembali berbagai produk hukum di daerah tentang pendidikan yang tidak sesuai dengan arah kebijakan dan tuntutan pembangunan pendidikan.

 

2.     Pendidikan Luar Sekolah

Tujuan program pembinaan pendidikan luar sekolah adalah menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sasaran program ini adalah warga belajar yang tidak atau belum memperoleh pendidikan formal termasuk warga belajar yang belum menyelesaikan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Adapun kegiatannya adalah sebagai berikut; (1) mempercepat penuntasan buta aksara; (2) meningkatkan sosialisasi dan jangkauan pelayanan pendidikan; (3) mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan ketrampilan dan kemampuan kewirausahaan.

Selain program pendidikan yang telah dipaparkan di atas, maka program pembangunan pendidikan yang sangat mendesak adalah meningkatkan kualitas tenaga kependidikan termasuk guru-guru SD, SMP dan SMA/K.

KEBIJAKAN UMUM

Target pembangunan pendidikan yang hendak dicapai oleh Pemerintah kita dalam bidang pendidikan, pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lewat bangku sekolah, kedua, peningkatan mutu pendidikan pada semua jenjang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Bagi peserta didik yang bernasib baik menamatkan pelajarannya equality of outputnya lebih menyerupai keinginan daripada kenyataan. Pendidikan formal kita kelihatannya baru sampai pada tahap memenuhi keinginan subyektif masyarakat Hal ini disebabkan oleh peran guru dan dosen dalam menyikapi tugas-tugas kependidikannya lebih ke arah berfungsi sebagai menyaring peserta didik yang heterogen akibat masalisasi kesempatan daripada memberikan layanan profesional sesuai kebutuhan peserta didik. Persoalan substansial yang sedang kita hadapi adalah bagaimana memberikan pemerataan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didik di seluruh pelosok tanah air. Target kedua, kelihatannya belum dicapai. Persoalan peningkatan mutu pendidikan sebenarnya telah menjadi kepedulian semua pihak termasuk pemerintah. Gaungnya semakin kelihatan menggema sejak PELITA V, lantaran kerisauan Pemerintah kita mengantisipasi ketersediaan SDM yang berkualitas untuk menopang pembangunan dalam rangka lepas landas. Salah satu contoh, direncanakannya wajib belajar 12 tahun. Kelihatannya semua komponen dalam pendidikan telah committed pada peningkatan mutu, tetapi cara meraih target belum terartikulasi secara relevan dan akurat untuk dijadikan rujukan dalam menagih pertanggungjawaban keberhasilan peserta didik (Rakajoni,1991).

Kalau kita mau jujur, selama ini, Hasil Ujian Nasional untuk pendidikan Dasar/Menengah dan IPK untuk Perguruan Tinggi, dijadikan indikator tunggal dari mutu pendidikan. Bagaimana dengan daya kritis, penalaran, kemahirwacanaan, argumentasi dan kreativitas peserta didik? (Umbu Tagela,2001) Alat ukurnya apa? Dimana letak kelemahan dari sistem pendidikan kita selama ini? Sebaik apapun undang-undang pendidikan, kalau tidak didukung oleh political will pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah yang tercermin pada APBN/APBD dan pengisian jabatan strategis pada jajaran Depdiknas dan Kepala Sekolah serta Pengawas semua itu bagai mengurai benang kusut.

PENUTUP

Untuk mewujudkan ideal-ideal tersebut di atas, kita butuh manpower planning yang baik. Kita butuh tenaga-tenaga pendidikan yang profesional. Untuk menduduki jabatan Hakim Agung saja dilakukan fit and proper test, mengapa untuk menduduki jabatan professional dalam bidang pendidikan tidak dilakukan fit and proper test?

Pendidikan merupakan entry point bagi keberhasilan pembangunan, seperti ditunjukkan oleh Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan Cina. Mestinya posisi strategis pendidikan ini menjadikan masukan bagi pemerintah untuk memanage pendidikan secara professional. Jika tidak, maka cita-cita Kihajar Dewantara hanya akan menjadi kenangan manis yang sulit untuk diwujudkan.

KEPUSTAKAAN

 Cummings, William. K,1980, Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja Pada

Beberapa Industri Besar di Indonesia, Jakarta, Puslit BP3K Depdikbud.

Dimyati M, 1988, Landasan Kependidikan, Jakarta, Depdikbud

Edgar Morin, 2005, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Yoyakarta, Kanisius

Houston.W.R.Freiber, and Warner, 1988, Touch the future:Teach.St Paul, West Publishing Co.

Mulyasa, E, 2007, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung, Remaja Rosdakarya

Paul Suparno, dkk, 2003, Reformasi Pendidikan sebuah Rekomendasi, Yogyakarta, Kanisius

Paulo Freire, dkk, 1999, Menggugat Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Rakajoni,T, 1991, Potret Pendidikan Masa Kini Dan Prospek Masa Mendatang, (Makalah pada Hardiknas, FKIP-UKSW 1991)

         Supandi, 1988, Kebijakan dan Keputusan Pendidikan, Jakarta, Depdikbud

Sudarman Danim, 2007, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi keLembaga Akademik, Jakarta, Bina Aksara

Suyanto, dkk, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yogyakarta, Adi Cita

Tilaar, H.A.R, 1995, Pembangunan Pendidikan Nasional, suatu Analisis Kebijakan, Jakarta, Crasindo

         Umbu Tagela, 2000a. Mengantisipasi Otonomi Daerah, (Dalam Majalah Kritis)Volume XII NO.3. Maret.

         ——————-, 2000, Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Model Rate of Return, (Dalam Majalah Dian Ekonomi) Volume VI.NO.1. Maret.

         ——————-, 2007, Kebijakan dan Keputusan Dalam Pendidikan, Kupang News, 24 Maret