Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon
TRADISI KENDURI PUNDEN BULAN SURO
DI DUSUN SENGON DESA PETUNG KECAMATAN JATIYOSO KABUPATEN KARANGANYAR
Ira Pramudawardhani
Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Univet Sukoharjo
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan, Sejarah Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar, Proses berlangsungnya Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon, Alasan Masyarakat Dusun Sengon masih mempertahankan Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro tersebut. Bentuk penelitian ini deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini digunakan strategi studi kasus terpancang tunggal. Sumber data yang digunakan adalah informan, dokumen, tempat, dan peristiwa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Sampel yang digunakan bersifat purposive sampling. Untuk menguji kebenaran data digunakan tehnik triangulasi. Tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif, yaitu proses analisis yang terdiri dari tiga komponen yang meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi/penarikan kesimpulan, yang berlangsung secara siklus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro Di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar sudah berlangsung turun-temurun dari nenek moyang sejak dahulu sampai sekarang ini. Tradisi Kenduri Punden ini ada karena tujuan pertamanya adalah penyebaran agama islam, karena dahulu yang dikenal adalah agama hindu di jawa. Karena belum ada masjid, maka warga masyarakat dibawalah ke bawah pohon beringin yang besar. Persiapan untuk tradisi ini yaitu menyiapkan sesaji-sesaji yang dibutuhkan dalam Tradisi Kenduri Punden. Sesaji tersebut dimasak dan dibawa ke punden secara bersama-sama. Sesampai di punden, prosesi acara bisa dimulai dan dipimpin oleh sesepuh atau kepala dusun.Alasan masyarakat masih mempertahankan Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro yaitu bahwa tradisi tersebut dipercaya masyarakat bisa sebagai penolak bala.
Kata Kunci: Bersih Desa, Bulan Suro, Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, banyak suku bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman kebudayaan di Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai, dimana kekayaan itu perlu dilestarikan dan dikembangkan sehingga sifat kebineka tunggalikaan yang ada di Indonesia itu dapat dipahami terus dari generasi ke generasi.
Istilah kebudayaan secara etimologis berasal dari kata Buddhayah, (Bahasa Sansekerta) bentuk jamak dari kata Buddhi (budi) dan Dhaya, yang mengandung arti segala sesuatu yang bertautan dengan akal dan pikiran (buddhi) dan kemampuan mengadakan atau mencipta (dhaya). Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa.
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dari penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:1331). Menurut Taylor sebagaimana dikutip oleh Soelaeman (1987:10), kebudayaan adalah “pemahaman mengenai perasaan suatu bangsa yang komplek, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat”.
Upacara tradisional sangat penting untuk orang jawa yang masih melestarikan tradisi leluhur. Upacara yang merupakan warisan leluhur yang telah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih terjaga secara utuh, setiap masyarakat memiliki tradisi dimana tradisi itu ada yang masih berlangsung hingga sekarang, ada juga yang hampir hilang bahkan ada yang telah hilang.
Upacara tradisi merupakan upaya penyampaian pesan budaya yang telah lama digunakan jauh sebelum manusia mengenal tulisan, bahkan sebagian besar masyarakat tetap mempertahankan atau melestarikan upacara tradisi sebagai upaya berbagai kepentingan termasuk mempertahankan atau melestarikan budaya yang ada di masyarakat sesuai perkembangan globalisasi. Banyak desa di Jawa yang masih setia melaksanakan upacara bersih desa, tetapi beberapa desa mempunyai waktu yang tetap untuk melakukan bersih desa tersebut berdasarkan bulan jawa, misalnya diadakan pada setiap bulan Suro atau Sapar. Oleh karena itu penting untuk mengetahui kalender Jawa, karena semua upacara tradisional dilaksanakan atas dasar perhitungan kalender Jawa.
Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan nama dan cara yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa, karena didalam acara tersebut diadakan sedekah masal. Ada pula yang menyebutnya rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamat rasulan (sega gurih dan lauk ingkung ayam). Ada lagi yang menyebutnya memerti desa atau merti desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup.
Jatiyoso yang terletak dilereng lawu mempunyai beragam budaya tradisi yang masih diselenggarakan secara turun temurun di tengah-tengah masyarakat, serta ditengah berkembangnya budaya manca negara yang bisa membuat lupa akan adat ketimuran, namun di wilayah Kecamatan Jatiyoso ini di tiap desa mempunyai upacara tradisi yang tetap dilestarikan dan diselenggarakan secara rutin sampai sekarang. Seperti di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar, yang mempunyai tradisi bersih desa dan sedekah bumi yang dinamakan Kenduri Punden. Kenduri Punden adalah upacara yang pelaksanaannya hanya dilaksanakan di punden, tempat yang diyakini warga sebagai tempat makamnya leluhur yang banyak membantu warga. Sebelum tradisi tersebut dilaksanakan,warga membersihkan lokasi punden. Untuk keesokan harinya warga membawa masakan yang telah dimasak ke punden yang digunakan sebagai tempat diadakannya tradisi Kenduri dan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa atau kepala dusun.
Tradisi bersih desa Kenduri Punden tersebut mengandung unsur-unsur simbolik yaitu sesaji yang memiliki makna akan suatu keberkahan dan keselamatan. Diantaranya adalah tumpeng (kerucut). Tumpeng yang menyerupai gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Tumpeng selalu disajikan dari nasi putih dan dikelilingi sayuran (urab) dan lauk pauk dibawahnya.
Di dalamnya termuat pesan-pesan tertentu yang ditujukan kepada individu atau kelompok. Simbol-simbol tersebut secara tidak langsung menghubungkan manusia dengan kekuatan yang ada di sekitarnya dan dengan Tuhan. Upacara ritual bersih desa merupakan pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan, sebelum pelaksanaan upacara bersih desa penduduk desa mengadakan persiapan yang cermat yang dipimpin olek kepala dusun dan dibantu oleh warga masyarakat. Penduduk desa bersama-sama membersihkan desanya secara fisik antara lain memperbaiki jalan desa, saluran irigrasi, membersihkan makam desa, dan juga membersihkan Punden yang akan di jadikan sebagai tempat untuk melaksanakan Kenduri. Sebagai suatu tradisi, Kenduri Punden juga memiliki nilai yang cukup berpengaruh dalam masyarakat dusun Sengon salah satunya adalah nilai sosial. Nilai-nilai tersebut sampai saat ini masih dianggap penting dan sakral oleh masyarakat Dusun Sengon.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik mengkaji dalam skripsi yang berjudul: TRADISI KENDURI PUNDEN BULAN SURO DI DUSUN SENGON DESA PETUNG KECAMATAN JATIYOSO KABUPATEN KARANGANYAR.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimanakah Sejarah Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar?
- Bagaimana proses berlangsungnya Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon?
- Mengapa Masyarakat Dusun Sengon masih mempertahankan Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro tersebut?
Tujuan penelitian
- Untuk mendiskripsikan Sejarah Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar.
- Untuk mendiskripsikan proses berlangsungnya Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro di Dusun Sengon.
- Untuk mendiskripsikan alasan Masyarakat Dusun Sengon masih mempertahankan Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro tersebut.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
- Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi sebagai perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya, maupun bagi masyarakat pada umumnya.
- Dapat menambah ilmu pengetahuan untuk penulis khususnya dan bagi para pembaca skripsi pada umumnya tentang Tradisi Bersih Desa Kenduri Punden di Dusun Sengon Kecamatan Jatiyoso.
- Memberikan sumbangan pemikiran bagi kebudayaan masyarakat Jawa Khususnya melalui Tradisi bersih desa Kenduri Punden.
Manfaat Praktis
Manfaat bagi peneliti
- Untuk menerapkan imu yang diperoleh di bangku kuliah dalam mempelajari kebudayaan masyarakat
- Sebagai calon pendidik, pengetahuan selama mengadakan penelitian ini dapat di transformasikan pada peserta didik khususnya, maupun masyarakat pada umumnya
Pengertian Masyarakat
penduduknya bermata pencaharian Masyarakat di Dusun Sengon merupakan masyarakat yang sebagian besar di sektor pertanian. Masyarakat lain bekerja sebagai buruh industri dan berdagang guna memperbaiki perekonomian yang kurang bisa diandalkan dari bertani. Mayoritas masyarakat di Dusun Sengon beragama islam dan untuk sistem pendidikan sudah sedikit maju, ini dibuktikan dengan sudah mampunya masyarakat untuk bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Masyarakat adalah “orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan” (Soekanto, 2005: 171). Menurut pandangan yang populer masyarakat sebagai kekuatan impersonal yang mempengaruhi, mengekang dan juga menentukan tingkah laku anggota-anggotanya. Pandangan ini mirip dengan wawasan sosiolog yang dipelopori oleh seorang ahli sosiologi klasik dari Perancis yang bernama Emil Durheim dalam Darsono Wisadirana (2004: 23) yang menyebutkan bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya..
Masyarakat adalah kesatuan-kesatuan hidup manusia baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan”, istilah masyarakat sendiri berasal dari bahasa Arab, syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat itu sendiri harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Misalnya saja sekumpulan orang yang mengerumuni seorang tukang penjual jamu di pinggir jalan, meskipun kadang-kadang mereka juga berinteraksi secara terbatas, mereka tidak bisa disebut masyarakat, karena mereka tidak mempunyai suatu ikatan yang lain.
Masyarakat Jawa memiliki berbagai macam kebudayaan yang sampai saat ini masih dilaksanakan sehingga menjadi warisan budaya. Kebudayaan tersebut melahirkan berbagai macam tradisi yang dianut oleh masyarakat jawa secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang dianut secara turun temurun adalah tradisi Kenduri (Kenduren). Di Jawa sendiri mulai diperkenalkan dengan kenduri yaitu pada masa Sunan Ampel dan kemudian diteruskan oleh Sunan Bonang, berbeda dengan bangsa – bangsa Timur Tengah yang menggunakan kambing sebagai al walimah, memperhatikan perekonomian warga setempat pada saat itu, maka sembelih yang digunakan adalah ayam atau ikan.
Kenduri merupakan acara yang dilakukan sebuah keluarga yang akan memiliki hajat. Acara tersebut dilakukan dengan memberikan beberapa makanan yang telah didoakan bersama – sama untuk meminta keselamatan dan kelancaran atas hajatnya. Makanan yang dibagikan berupa nasi gurih, nasi putih, nasi golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, bubur merah, dan bubur putih. Makanan khas kenduri tersebut didoakan bersama kemudian dibagikan kepada para tetangga dan warga setempat.
Tradisi Kenduri Punden Bulan Suro Di Dusun Sengon Desa Petung Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar sudah berlangsung turun-temurun dari nenek moyang sejak dahulu sampai sekarang ini. Untuk sejarah awal tradisi Kenduri Punden Bulan Suro ini, memang sangat kurang jelas. Hal ini atas dasar kurangnya sumber-sumber yang terpercaya, catatan-catatan yang jelas itu tidak ada. Kata sesepuh terdahulu, Tradisi Kenduri Punden ini ada karena tujuan pertamanya adalah penyebaran agama islam, karena dahulu yang dikenal adalah agama hindu di jawa. Karena belum ada masjid, maka warga masyarakat dibawa lah ke bawah pohon beringin yang besar. Karena tempat tersebut juga dianggap nyaman, maka penyebaran agama islam dapat berjalan dengan lancar.
Untuk hari-hari berikutnya pun juga seperti demikian, setiap akan datang bulan suro, punden tersebut dibersihkan, dan masyarakat melakukan suatu kenduri di punden yang digunakan untuk penyebaran agama islam. Mulai dari situlah setiap hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon diadakan Kenduri yang tempatnya atau lokasinya di Punden, karena tempat tersebut dianggap keramat oleh warga masyarakat dusun Sengon. Akhirnya Kenduri tersebut dijadikan tradisi rutinan tiap tahun, yaitu Kenduri Punden Bulan Suro. Dengan tujuan lain adalah slametan dan bersih dusun. (Wawancara, Sutarno, 13 Juli 2019)
Tradisi Kenduri ini bisa diartikan atau disebut juga dengan bersih dusun, salah satunya adalah Kenduri punden. Tradisi Kenduri Punden ini berlangsung pada bulan Jum’at Kliwon di bulan Suro, tetapi jika dibulan Suro tersebut tidak ada hari Jum’at Kliwon maka hari penggantinya yaitu hari Selasa Kliwon. Jum’at Kliwon memiliki makna hari yang di keramatkan, sedangkan hari Selasa Kliwon disebut juga hari Anggoro Kasih yang artinya adalah hari yang penuh kasih sayang.Selasa Kliwon dalam kalender jawa juga merupakan hari yang di keramatkan.
Alasan mengapa Tradisi Kenduri Punden dilaksanakan di bulan Suro yaitu bagi orang jawa kuno bulan Suro dianggap kramat dan penuh berkah, apalagi para sesepuh-sesepuh terdahulu banyak yang mengadakan ritual dibulan Suro. Contohnya mengurangi tidur (orang jawa menyebutnya lek-lekan) dan berjalan-jalan ke tempat-tempat yang keramat. Berjalan-jalan ke tempat keramat yang dimaksutkan disini yaitu masyarakat khususnya yang sudah tua atau sepuh menyusuri jalan-jalan kecil mengelilingi dusun sambil membaca doa kepada Tuhan Yang Maha Esa meminta untuk diberi keselamatan untuk dusun.
Penutupan acara tradisi kenduri punden ditandai dengan kegiatan salam-salaman masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut. Kemudian, masyarakat meninggalkan lokasi secara bersama-sama. (Wawancara, Dartowiyono, 14 Juli 2019)
Puncak kesuksesan acara dapat dilihat dari banyaknya pengunjung yang dengan antusias mengikuti acara tradisi kenduri punden bulan suro. Selama rangkaian kegiatan tradisi kenduri punden bulan suro berlangsung, tidak ada halangan sehingga acara dapat berjalan dengan lancar dan tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
- Dibawalah ke bawah pohon beringin yang besar. Karena tempat tersebut juga dianggap nyaman, maka penyebaran agama islam dapat berjalan dengan lancar.
2.Persiapan yang dilakukan dalam tradisi kenduri punden yaitu dengan Sejarah awal tradisi Kenduri Punden Bulan Suro ini, memang sangat kurang jelas. Hal ini atas dasar kurangnya sumber-sumber yang terpercaya, catatan-catatan yang jelas itu tidak ada. Kata sesepuh terdahulu, Tradisi Kenduri Punden ini ada karena tujuan pertamanya adalah penyebaran agama islam, karena dahulu yang dikenal adalah agama hindu di jawa. Karena belum ada masjid, maka warga masyarakat menyiapkan sesaji-sesaji yang dibutuhkan dalam Tradisi. Sesaji-sesaji tersebut antara lain nasi tumpeng, ingkung ayam, pisang raja, sayuran dan urab-uraban (kangkung, bayam,taoge, kacang panjang, bawang merah, cabe merah, kluwih, bumbu urab). Sesaji-sesaji tersebut dimasak dan dibawa ke punden secara bersama-sama. Sesampai di punden, prosesi acara bisa dimulai dan dipimpin oleh sesepuh atau kepala dusun.
- Alasan masyarakat masih mempertahankan tradisi kenduri punden yaitu Karena tradisi tersebut dipercaya bisa sebagai penolak bala dan selain itu masyarakat mencari berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Alasan masyarakat masih mepertahankan tradisi kenduri punden ini yaitu pada zaman dahulu, tradisi ini pernah akan dihilangkan, dengan cara masyarakat tidak melaksanakan tradisi rutinan tiap tahun (tradisi kenduri punden). Saat hal itu, musibah datang silih berganti, orang jawa menyebutnya pagebluk. Contohnya banyak sekali orang meninggal tanpa sakit, banyak orang yang keluar masuk rumah sakit, dan ada juga paginya sakit kemudian sorenya sudah meninggal. Karena alasan itulah masyarakat Dusun Sengon masih mempertahankan tradisi tersebut sampai sekarang ini.
- Saran Dengan melihat realitas dalam masyarakat yang masih memegang kuat terhadap tradisinya, maka sebagai seorang muslim, penulis menyarankan hendaknya bersifat bijaksana, karena islam mengajarkan suatu kebijaksanaan yang harus dimiliki oleh pemeluknya dan islam sendiri adalah agama yang universal serta bersifat komprehensif, sehingga tidak menentang adanya pluralitas terhadap pemeluknya.
- Masyarakat hendaknya turut mempertahankan dan melestarikan tradisi kenduri punden, karena tradisi tersebut sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Tradisi ini juga merupakan aset budaya daerah. Dengan demikian, diharapkan tradisi kenduri punden bukan hanya sebagai acara ritual saja, melainkan dapat dijadikan tuntunan yang menarik bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Andyani, Natalia Tri. 2013.Eksistensi Tradisi Saparan Pada Masyarakat Desa Universitas Negeri Semarang Sumberejo Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.Skripsi. Semarang:
Anies, Madchan.2009. Tahlil dan Kenduri (tradisi santri dan kiai).Yogyakarta:Pustaka Pesantren
Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993
Brawijaya, Thomas Wiyasa, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Darini,Ririn.2013. Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Kejawen.2006. Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi