ANALISIS RANTAI NILAI PADA USAHA ABON LELE

DI KABUPATEN BOYOLALI

(STUDI EMPIRIS UNTUK PERUMUSAN

PENGEMBANGAN EKONOMI BERBASIS POTENSI LOKAL)

Ari Budi Kristanto

Hans Hananto Andreas

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

ABSTRACT

The SMEs development in Indonesia is currently growing rapidly, but a lot of managerial issues often faced by SMEs in their business. The research results stated that the lack of long-term planning and strategic thinking in business are the major contribution of their business’ slow growth. To help the SMEs become more competitive, value chain approach can be employed to make upgrading strategy. This study uses a case study in catfish floss industry in Boyolali. The industry is also facing the same problem as that faced by other SMEs. This makes it difficult to develop their business. The use of a value chain approach can explain the whole production activities, so that the optimal solution can be made. The upgrading strategy also performed by SWOT analysis. The research result showed that the increase in business competitiveness Abon Lele Boyolali can be done through product innovation, product image promotion, strengthening of the entrepreneurial spirit and market extension. These are expected to improve the welfare of businesses in the industry.

Keywords: value chain, SME, upgrading strategy, SWOT


PENDAHULUAN

Daerah Kampung Lele Kabupaten Boyolali, merupakan suatu wilayah yang memiliki potensi lokal di bidang perikanan lele. Kampung Lele merupakan kampung penghasil lele terbesar di Boyolali. Hampir seluruh warga membudidayakan lele. Kampung lele relatif potensial untuk dikembangkan, sebab kualitas panenan lele dari daerah ini lebih disukai oleh pasar dibandingkan hasil daerah lain. Potensi pengembangan potensi ekonomi ini antara lain dapat diupayakan melalui optimalisasi hulu-hilir perikanan lele. Salah satu implementasinya adalah usaha masyarakat dalam bentuk abon lele.

Usaha abon lele di tempat ini bermula dari permasalahan yang dihadapi oleh para peternak, yaitu hasil panenan yang melimpah. Selain panenan melimpah, terdapat panenan lele dengan ukuran melebihi ukuran lele konsumsi, yang tidak disukai pasar. Dengan demikian para warga Kampung lele mencari alternatif pemasaran dengan membuat olahan berbahan dasar lele yang bisa digunakan sebagai tambahan penghasilan dan nilai tambah bagi lele itu sendiri. Bentuk yang dipilih untuk dikembangkan adalah abon, karena Boyolali sudah terkenal dengan khas abon. Bumbu dasar dan cara pengolahan sama dengan abon umumnya hanya bahan dasar diganti dari daging sapi menjadi daging lele. Karena Kampung Lele sendiri memiliki potensi ikan lele, maka bahan baku abon lele diperoleh dari para peternak lokal. Namun karena pertimbangan faktor ekonomis, dimana produksi abon lele lebih memilih meggunakan lele berukuran besar, maka tidak jarang para pengusaha lele perlu mencari lele dengan kriteria tersebut dari pedagang pengumpul. Dari pedagang pengumpul ini, bahan baku lele dipasok untuk kemudian diolah. Dari hasil olahan lele ini diperoleh varian: abon lele rasa manis dan pedas, kripik daging lele, kripik sirip, kripik kulit dan krupuk lele.

Fenomena yang menarik dari industri kecil di atas adalah sinergi keluarga dalam mengembangkan usaha mereka. Antara suami dan istri ini saling bekerjasama di dalam pengelolaan industri ini sampai industri ini berkembang cukup baik, karena mereka berhasil memasarkan produk kerupuk mereka sampai berbagai kota. Dalam situasi industri abon lele Boyolali, wanita tidak hanya berperan sebagai pelengkap, namun merupakan motor penggerak, karena suami biasanya memiliki usaha ternak lele, dan istri bergerak dalam usaha abon lele.

Potret kewirausahaan dengan adanya sinergi antar anggota keluarga ini merupakan hal yang menarik, karena tiap-tiap anggota keluarga memiliki peran yang berbeda dalam rantai nilai usaha. Marshack (1999), Timmons (1994) dan Garaven et al. (1997) kesuksesan sebuah bisnis yang didalamnya melibatkan sebuah tim kerja bisanya diperoleh karena tim ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi satu dengan yang lain

Berdasarkan hasil penelitian Mahastanti dan Nugrahanti (2010) dalam industri kerupuk di daerah Tuntang di atas didapatkan hasil bahwa wanita berperan sebagai women co-entrepreneur yang lebih sering dilibatkan produksi dan pembukuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Marshack (1993) jika seorang suami istri bekerjasama dalam menjalankan bisnisnya istri sering kali mengerjakan “pekerjaan perempuan” seperti bekerja di administrasi dan pengelolaan keuangan. Namun penelitian kali ini berbeda, dimana suami-istri sebagai anggota keluarga menjalankan usaha yang berbeda namun masih berkaitan.

Salah satu persoalan yang dihadapi adalah perkembangan usaha abon lele ini belum optimal, dimana competitive advantage yang dimiliki oleh para pengusaha di daerah tersebut masih sangat rendah. Padahal semakin ketatnya persaingan bisnis maka dibutuhkan inovasi produk untuk meningkatkan competitive advantage, profitabilitas dan menunjang kelangsungan usaha (Pimentel dan Campos,2008).

Untuk mengurai masalah di atas dalam industri abon lele Boyolali akan dilihat secara umum lingkungan industri abon lele, dengan keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir. Sektor hulu merupakan sektor yang terkait dengan penyediaan bahan baku dan teknologi abon lele. Bahan baku dan teknologi abon lele merupakan satu kesatuan dalam sistem produksi, tidak hanya dalam bentuk kebendaan (bahan baku) saja, tetapi lebih dari itu. Proses inovasi abon lele dapat berjalan dengan baik jika bahan baku lele yang dibutuhkan memiliki kualitas yang bagus.

Berdasarkan hal di atas maka dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana industri abon lele Boyolali ini dapat dikembangkan dengan pendekatan hulu hilir. Kemudian berdasarkan pendekatan hulu hilir ini akan dilihat dimana peluang dan hambatan, kelemahan dan ancaman dari setiap pelaku industri abon lele.

Penelitian ini akan membuat model starategi peningkatan ekonomi melalui pendekatan rantai nilai dan analisis SWOT yang tepat bagi para pengusaha. Berdasarkan penelitian Mahastanti & Nugrahanti (2010), yang menyimpulkan bahwa inovasi, bahan baku, dan pemasaran menjadi satu hambatan, maka penyususnan strategi daya saing yang tepat di industri tersebut penting untuk dilakukan. Maka penelitian persoalan ini (1) Bagaimana rantai nilai yang terbentuk dalam industri abon lele di daerah Kampung Lele Boyolali? (2) bagaimana analisis SWOT dari masing-masing pelaku rantai nilai?, (3) bagaimana strategi bisnis yang dibuat untuk meningkatkan daya saing? yang pada akhirnya nanti akan dijadikan sebuah model.

TINJAUAN PUSTAKA

Rantai Nilai

Rantai nilai sering digunakan untuk melakukan pendekatan dalam meyelesaikan masalah-masalh kemiskinan. Karena di dalam rantai nilai mendeskripsikan secara penuh seluruh aktivitas dari pembelian bahan baku sampai dengan cara memproses bahan baku tersebut untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah ketangan konsumen akhir (Kaplinsky and Morris 2001). Konsep tentang rantai nilai sendiri pertama kali diungkapkan oleh Porter (1985) di dalam rantai nilai terdapat hubungan antara suplier bahan baku sampai dengan konsumen akhir yang menjadi sebuah sistem yang mampu memberikan nilai tambah bagi perusahaan ketika melakukan proses produksi. Sedangkan Stock and Lambert (2001) mendefinisikan rantai nilai sebagai sebuah kesatuan proses bisnis yang dilakukan oleh perusahaan dari produksi sampi medistribusikan barang ke konsumen.

Analisis SWOT

Dalam menentukan sebuah strategi perusahaan harus mampu untuk menghubungkan antara kesempatan dan ancaman yang dihadapi dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dengan mengunakan analisis SWOT sebuah perusahaan dapat mengidentifikasi keunggulan kompetitif secara berkelanjutan dengan cara memelihara dan meningkatkan kapabilitas internal yang ada saat ini untuk mempertahankan posisi mereka di pasar ketika behadapan dengan pesaing (Marilyn and Judy, 2010).

Strategi Besaing Untuk Pengembangan Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian Porter (1985) tentang strategi bersaing terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi persaiangan dalam sebuah industri yaitu (1) masuknya kompetitor baru (2) ancaman produk subtitusi (3) kekuatan daya tawar dari pembeli (4) kekuatan daya tawar dari pemasok bahan baku (4) kompetisi antar kompetitor yang sudah ada saat ini. Berdasarkan analisis Porter (1985) struktur industri yang relatif stabil dapat berubah dengan masuknya lima faktor di atas. Daya saing juga perlu sejalan dengan strategi bersaing Porter (1990) tentang low cost leadership dan differenciation.

Bila hal ini diterapkan pada bisnis UKM sering kali strategi bersaing yang diharapakan masih lemah karena UKM memiliki beberapa hambatan seperti yang diungkapkan oleh Winarni (2006) dalam Situmorang (2008) beberapa permasalahn yang dihadapi oleh UKM adalah masalah modalan, pemasaran, kualitas manajemen, kualitas SDM, kualitas teknologi produksi, laporan keuangan serta struktur organisasi Selain itu masih banyak hambatan yang lain seperti legalitas dan peraturan dari pemerintah yang belum terlalu mendukung usaha kecil seperti akses modal yang susah peraturan pembayaran ketenagakerjaan yang kurang jelas De Soto (2000).

Untuk membuat strategi bersaing yang baik maka digunakaan analisis rantai nilai yang diikuti dengan analisis SWOT. Berdasarkan penelitian Tambunan (2002) dengan adanya strategi pengembangan yang terintegrasi diharapakan UKM memiliki keunggulan bersaing dengan (1) memiliki kualitas SDM yang baik (2) mampu melakukan efisiensi dan peningkatan produktifitas (3) meningkatkan kualitas produk (4) memiliki akses promosi yang luas (5) sumber daya modal yang memadai (6) jejaring bisnis yang luas (7) memiliki jiwa kewirausahaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian aksi yang outputnya adalah sebuah sistem penguatan UKM yang sinergis. Siklus penelitian tersebut terdiri dari perencanaan, membuat tindakan dari perencanaan, melakukan observasi, melakukan evaluasi (termasul Self evaluation) dan juga analisis kritis untuk kembali ke tahap awal kembali yaitu perencanaan (O’Brien, 2001; McNiff, 2002). Semua siklus tersebut diikuti dengan partisipasi langsung dari objek penelitian dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan praktis dari objek peneliti dan juga mampu memberdayakan kemampuan komunitas lokal (Dick, 2002).

Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Lele Boyolali, Propinsi Jawa Tengah dengan populasi pengusaha kecil yang bergerak dalam industri abon lele. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada kondisi sosial dan perekonomian pengusaha, dimana usaha lele sudah menjadi kearifan lokal di daerah tersebut.

Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Sampel

Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dilapangan dengan pedoman pada instrumen penelitian menggunakan kuisoner, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai laporan dan publikasi yang relevan dari penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah pengusaha kecil abon lele. Sampel yang akan digunakan sebagai unit analisis akan diambil dengan menggunakan tehnik purposive sampling yang bertipe judgement sampling.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Responden

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, kebanyakan responden dalam pembuatan abon lele ini adalah perempuan sebanyak 12 orang dan hanya 1 orang laki-laki. Hal ini dapat dimengerti karena proses produksi abon lele ini lebih dikuasai oleh perempuan dalam hal memasak dan memeberikan bumbu pada abon lele. Para perempuan ini bekerja bersama sama dalam sebuah Kelompok Usaha Bersama (KUB). Untuk mendanai operasional usaha semuanya menggunakan modal sendiri dan bantuan yang diberikan pemerintah (investor lokal).      Adanya KUB yang terdiri dari para perempuan ini memiliki peran yang besar dalam pengembangan perekonomian masyarakat ini. Para perempuan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam keluarga dalam memberikan tambahan penghasilan bagi suami mereka.

Kondisi penjulan abon lele ini dapat dilihat dari dua musim yaitu musim ramai dan sepi seperti yang terdapat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Kondisi Penjualan Pengusaha Abon Lele

Rata-Rata Penjualan Bulanan

Masa Sepi

Masa Ramai

Produk Utama

Rp. 19.000.000

Rp. 22.769.231

Produk Sampingan

Rp. 11.333.333

Rp. 17.333.333

Sumber: data primer (2014)

Dilihat dari nilai omset penjualan ini maka OVOP abon lele bisa memberikan tambahan penghasilan yang cukup besar bagi para perempuan yang melakukan usaha bersama di beberapa KUB di atas. Jika hal ini terus dikembangkan maka dimungkinkan peningkatan pendapatan akan terus semakin bertambah.

Rantai Nilai Abon Lele

Gambar di bawah ini akan dijelaskan analisis rantai nilai pada abon lele di Boyolali dengan melihat pelaku-pelaku dalam usaha abon lele ini dari pembelian input bahan baku sampai pada konsumsi beserta aktifitas yang dilakukan di masing-maisng peran mereka.

Gambar 1. Rantai Nilai Abon Lele Boyolali

Sumber: data primer diolah (2014)

Input

Input dari abon lele bisa di dapatkan dari peternak lele ataupun pengelup lele. Dalam melakukan kegiatan usahanya peternak lele dan pengepul lele ini biasanya menjadi satu.untuk membuka usaha peternakan lele ini mereka akan memebeli bibit lele. Biasanya peternak lele mengalami hambatan banyak lele yang mati karena mereka saling memakan dan juga penyakit. Keunggulan dari Kampung Lele Tegalrejo Boyolali ini adalah berapapun jumlah lele yang dihasilkan mampu untuk diserap pasar

Produksi

Berdasarkan gambar di atas selama ini produsen pengolahan abon lele memebeli bahan baku bisa dengan menggnakan dua cara yaitu membeli langsung kepada peternak lele. Dalam produksi abon lele ini hampir semua bagain lele dapat dimanfaatkan untuk dimasak. Daging lele dijadikan abon sedangakan kulit dan sirip lele dijadikan keripik lele. Sedangkan kepala lele akan dibeli oleh orang lain untuk dijadikan tepung lele. Sedangkan limbah yang tersisa yaitu duri lele biasanya dibuang dijurang dekat tempat produksi. Selama ini tidak menimbulkan masalah bagi warga sekitarnya.

Perdagangan

Penjualan abon lele dan keripik lele biasanya dijual ke pedagang (kios, toko oleh-oleh, distributor) di daerah Jogja, Boyolali, Semarang, Jakarta. Untuk beberapa daerah seperti Jakarta kendala yang dihadapi adalah mereka tidak dapat menjual barang mereka secara kontinyu. Semua penjualan dibayar dengan tunai.

Kendala dalam melakukan pemasaran selama ini belum bisa memiliki akses pasar luas masih terbatas Boyolali dan sekitarnya padahal potensi penjualan abon lele ini cukup besar mengingat nilai kandungan gizi protein yang ada di lele cukup tinggi. Selama ini promosi dilakukan secara mulut ke mulut ataupun liputan televisi.

Lembaga Penunjang

Beberapa lembaga penunjang sudah melakukan pendampingan di OVOP Abon lele ini Dinas Koperasi dan UMKM pernah mengadakan pelatihan manajemen usaha, Deperindag memebrikan bantuan peralatan, Dinas Perikanan untuk peyuluhan pembibitan lele. Bantuan yang diberikan ini dirasa sangat bermanfaat. Juga pernah mendaptkan bantuan dari Universitas terkait dengan alat pencacah dan pengiling daging) dengan tujuan untuk membuat nugget lele tapi sampai saat ini masih jarang digunakan. Fasilitas saranan dan prasarana jalan masih bagus.

Terkait dengan pembibitan lele para petenak lele mengharapkan ada bantuan bibit lele yang bagus agar peternakan lele tidak banyak lele yang mati. Kolam penampungan lele jika stok lele banyak. Sedangkan untuk produsen abon lele diharapakan dibantu dalam proses pemasaran dengan sering diiukutkan pameran untuk menambah jariangan dan pelanggan baru.

Analisis SWOT

Berdasarkan data yang diperoleh dalam OVOP abon lele ini memiliki kekuatan (strength) terkait dengan akses bahan baku yang murah karena hampir semua penduduk di sekitar daerah produksi (masih dalam satu desa yang sama) memiliki peternakan lele. Sehingga berapapun volume permintaan dari produsen abon lele ini dapat dipenuhi. Selain itu dalam melakukan proses produksihampir semua bagian tubuh lele dapat diolah menjadi makanan seperti dagingnya dibuat abon lele,kulit dan siripnya dibuat keripik, sedangkan kepala lele diambil oleh pengepul untuk dijadikan tepung ikan. Sedangkan untuk Opportunity yang dimiliki adalah harga bahan baku yang realif murah karena lokasi produksi dengan peternakan lele ada pada satu desa yang sama, selain itu usaha di bidang abon lele ini masih sedikit sehingga peluang untuk dikembangkan masih cukup besar. Keunikan dari abon lele dibandingkan dengan abon yang lain adalah kandungan nilai protein abon lele yang cukup tinggi, dan juga variasi produk lele yang masih banyak merupakan, selain itu adanya KUB sebagai wadah para produsen abon lele dapat meningkatkan kemampuam modal social diatara anggota kelompok.

Selain memiliki strength dan opportunity ada juga weakness dari abon lele ini yaitu akses pasar yang masih terbatas hal ini bisa jadi diakibatkan dari perintisan abon lele yang masih relatif muda sekitar 3 tahunan, masih sangat tergantung pada ketua kelompok usaha dalam melakukan pemasaran dan order produksi, selain itu lokasi showroom yang lokasinya jauh dari jalan raya dan juga lokasi yang sulit dijangkau membuat showroom yang ada tidak dapat berjalan dengan optimal. Sedangkan Threat yang akan dihadapi adalah harga abon lele ini masih realtif lebih mahal dibandingkan dengan abon ayam, selain itu persepsi masyarakat perkotaan yang menganggap abon lele merupakan produk yang memiliki image “jorok” bisa menjadi ancaman kedepan jika tidak dilakukan sosialisasi mengenai peternakan lele yang sudah modern di desa tersebut.Selain ini jika kolam penampungan lele tidak diperluas maka banyak lele yang mati karena penyakit dan adanya predator sesama lele.

Arahan Strategi Pengembangan Rantai Nilai

Dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan pada usaha abon lele Boyolali, maka dirumuskan arahan strategi pengembangan rantai nilai adalah menyiapkan kemampuan wirausaha potensial untuk berani melakukan terobosan akses pasar dari inovasi produk lele yang dilakukan. Adapun strategi yang dirumuskan adalah:

1. Meningkatkan kemapuan kewirausahaan dalam hal memperluas pangsa pasar

2. Mengembangkan kemampuan untuk mengadopsi dan inovasi teknologi tepat guna.

3. Mengembangkan ketrampilan teknis teknologi untuk mendiferensiasi produk.

Arahan strategi yang dirumuskan dengan mempertimbangkan kekuatan dan peluang adalah memanfaatkan modal sosial dan lembaga pendukung untuk meningkatkan ketrampilan SDM agar dapat mengisi peluang pasar, dengan strategi memperlengkapi lembaga klaster dengan kemampuan manajemen klaster yang berperan sebagai:

1. Pusat pengembangan SDM,

2. Pusat pengembangan teknologi produksi,

3. Pusat inovasi produk,

4. Pusat informasi dan jejaring pasar

Dengan mempertimbangkan kekuatan dan tantangan, maka arahan strategi yang dirumuskan adalah menyiapkan wirausaha potensial agar membuka peluang pasar, dengan strategi:

1. Melakukan pameran ataupun sosialisasi tentang kandungan gizi lele yang memiliki kadar protein yang tinggi di beberapa kota besar

2. Membuat sosialisasi tentang proses peternakan lele yang higienis

3. Peningkatan kemampuan peternak lele

Arahan strategi dengan mengatasi kelemahan melalui pemanfaatan peluang adalah mengatasi kelemahan internal perusahaan dengan memanfaatkan modal sosial pada lembaga klaster dan lembaga pendukung untuk memperluas pemasaran, dengan strategi:

1. Mengembangkan kewirausahaan, kemampuan manajerial dan ketrampilan SDM dengan pendekatan penelitian aksi melalui lembaga klaster untuk meningkatkan keberanian dan kemampuan mengadopsi teknologi pengeringan yang tepat guna secara kolektif

2. Meningkatkan keberanian investasi dan kemampuan teknis teknologis untuk memanfaatkan limbah (padat dan cair) menjadi produk sampingan.

3. Meningkatkan akses modal secara kolektif melalui lembaga klaster

Adapun untuk mengatasi kelemahan dengan memenuhi tantangan, dilakukan dengan arahan strategi mengatasi kelemahan internal perusahaan untuk menghadapi tantangan dari pemasok, mitra usaha dan pesaing. Adapun strategi dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengembangkan kewirausahaan, kemampuan manajerial dan ketrampilan SDM untuk meningkatkan startegi pemasaran dan peningkatan inovasi produkkan

2. Meningkatkan akses permodalan pada kelompok UMKM penawar secara kolektif untuk investasi alat pengolahan abon lele

3. Meningkatkan kemampuan pemasok dalam hal beternak lele

Dengan memanfaat peluang untuk mengubah tantangan, strategi diarahkanuntuk memanfaatkan modal sosial lembaga KUB dan lembaga lembaga pendukung untuk menghadapi tantangan dari pemasok, mitra usaha dan pesaing, dengan strategi:

1. Pusat Informasi untuk menentukan bahanbaku lele yang baik

2. Pusat informasi dan jejaring pasar untuk menghadapi pesaing dari daerah lain.

3. Pusat informasi untuk melakukan kampanye produk abon lele yang higienis

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis SWOT di atas maka strategi pengembangan yang bisa dilakukan di OVOP abon lele ini adalah:

1. Memperluas pangsa pasar dari abon lele terutama untuk bisa menjual secara kontinyu kepada pemasok-pemasok di kota besar.

2. Membuat sosialisi program tentang perubahan image abon lele yang tadinya merupakan produk yang jorok menjadi produk yang bernilai tinggi

3. Bekerjasama dengan SMK jurusan tata boga untuk pengembangan produk abon lele

DAFTAR PUSTAKA

Dick, B. 2002. Action research: Action and research. http://www.aral.com.au/resources/aandr.html, diakses 6 Mei, 2015

De Soto H. 2000. The Mystery of Capital: Why capitalism triumph in the west and fail everywhere else, Basic Book.

Garavan, T.,Ocinneide,B., and Fleming, P. 1997. Entrepreneurship and Business Start-ups in Ireland, Oak Tree Press

Mahastanti. L dan Nugrahanti, Yeterina. 2010. Peranan Women Co-Entrepreneur dalam pengambangan bisnis (studi kasus pengusaha kerupuk daerah Tuntang Kabupaten Semarang). Jurnal Siasat Bisnis Vol 14:1-100.

Mahastanti. L dan Nugrahanti, Yeterina. 2011.. Myths and realities of Women Entrepreneur Access to Bank Loan. Procceding Internatioal Conference Atmaja Jakarta

Marilyn M. Helms, Judy Nixon, 2010. “Exploring SWOT analysis – where are we now?: A review of academic research from the last decade”, Journal of Strategy and Management, Vol. 3 Iss: 3, pp.215 – 251

Marshack, K.J. 1993.”copreneur Couples literature review on Boundaries and transition among copreneurFamily Business Review, 6 (4),pp.355-359.

Marshall, K. 1999. Working Together – Self employed couples, statistics Canada Perspectives, pp. 9-13.

McNiff,.2002. Action research for professional development. Accessed online Feb 2, 2007

O’Brien, R. 2001. An overview of the methodological approach of action research In Roberto Richardson (Ed.), Theory and Practice of Action Research. João Pessoa, Brazil: Universidade Federal da Paraíba. (English version) Accessed online on Feb. 2, 2007

Porter, M. dan S., Millar. VE. 1985. How Information Gives You Competitive Advantage, Harvard Business Review vol July – August.

Porter, M. 1990. Competitive Advantage of Nations. Free Press. New York.

Situmorang.,J. 2008. Strategi UKM dalam menghadapai kondisi Usaha yang tidak Kondusif, Infokop vol 16, hal 88-101.

 

Tambunan,.T. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting, Salemba Jakarta