ASPEK HUKUM PENANGANAN ANAK JALANAN DI KOTA MALANG

 

Maximinus Adrianus Sarto Dumbaris

Universitas Nusa Nipa Maumere

 

ABSTRAK

Keberadaan anak jalanan di kota besar saat ini semakin memperihatinkan. Anak jalanan dipaksa hidup dari suatu keadaan yang mereka sendiri tidak menghendakinya. Kerasnya kehidupan di jalanan yang mereka alami menimbulkan kesan dari sebagian masyarakat bahwa anak jalanan identik dengan pelaku kriminal yang kerap melanggar nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Hak asasi anak jalanan sebagai manusia pun sering kali diabaikan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Mulai dari eksploitasi secara ekonomi, seksual hingga perdagangan anak kerap terjadi kepada mereka. Kurangnya pengetahuan terhadap hak asasi anak menyebabkan banyak orang tua dari keluarga miskin yang menelantarkan dan membiarkan anak mereka hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi di jalanan.Berbagai peraturan yang dibuat oleh Pemerintah ternyata belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak jalanan di negeri ini. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ternyata belum sepenuhnya memberikan pengaruh positif bagi anak jalanan di kota Malang. Seringkali anak jalanan dihadapkan pada situasi dimana mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga namun disisi lain anak jalanan harus berhadapan dengan petugas yang hendak merazia keberadaan mereka tanpa memperhitungkan keselamatan anak jalanan tersebut. Pemerintah Kota Malang diharapkan dapat membentuk kebijakan-kebijakan hukum yang lebih relevan agar dapat mengatur, melindungi hak-hak asasi anak jalanan serta mengendalikan keberadaan anak jalanan sebab penanganan anak jalanan merupakan bagian dari pembangunan kesejahteraan sosial yang merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa. Dibutuhkan kerjasama yang serius dari semua pihak, baik pemerintah, orang tua dan masyarakat guna menangani persoalan anak jalanan ini. Pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat miskin harus lebih diutamakan selain pembangunan ekonomi.

Kata kunci: Pemerintah, anak jalanan, penanganan

 

Pendahuluan

Anak merupakan amanah sekaligus anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat serta hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi, sebab anak juga merupakan salah satu sumber daya manusia sebagai potensi dan penerus masa depan bangsa. Oleh karena itu harus ada jaminan pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental maupun sosial agar anak-anak dapat diselamatkan dari penelantaran.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa untuk menjamin pemenuhan hak anak, negara, baik pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah, berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dibidang penyelenggaraan perlindungan anak, sebab anak merupakan harta yang tak ternilai harganya baik dilihat dari aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum maupun aspek keberlanjutan sebuah generasi keluarga, suku dan bangsa. Dilihat dari aspek sosial, anak sebagai kehormatan harkat martabat keluarga tergantung pada sikap dan perilaku anak untuk berprestasi, dari aspek budaya anak merupakan harta dan kekayaan yang harus dijaga dan sekaligus merupakan lambang kesuburan sebuah keluarga, dari aspek politik, anak merupakan penerus suku dan bangsa, dari ekonomi ada anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki, dan dari aspek hukum, anak mempunyai posisi dan kedudukan strategis di depan hukum, tidak saja sebagai penerus dan ahli waris keluarga tetapi juga sebagai bagian dari subyek hukum dengan segala hak dan kewajiban yang mendapat jaminan hukum.

Penanganan fakir miskin merupakan sesuatu yang kompleks dan dinamis, karena menyangkut keberfungsian sosial manusia dalam kehidupan masyarakatnya. Tujuan penanganan fakir miskin yang terintegrasi, sesungguhnya adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta berjalannya sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar kemanusiaan.

Keberadaan anak jalanan ini dari waktu ke waktu akan terus bertambah dan memperihatinkan. Anak jalanan dipaksa untuk hidup dari suatu keadaan yang mereka sendiri tidak menghendakinya. Mereka tidak memiliki lingkungan akrab yang melindungi dan mendidik dengan semestinya, bahkan ada orang tua yang sengaja mengeksploitasi anaknya dengan menjadi pengemis demi keuntungan diri sendiri bahkan telah menjadi bisnis baru untuk orang tua atau orang lain yang menguasai mereka. Belum lagi permasalahan yang mengancam anak jalanan antara lain adalah kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan lainnya, komunitas dewasa, di razia oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP), bahkan kekerasan seksual, alkohol dan rokok dan penyakit-penyakit menular seperti HIV/ AIDS. Banyak dari mereka juga tidak memiliki rumah, tidak memiliki norma, dan akhirnya mungkin juga kehilangan perasaan sebagai manusia. Anak jalanan juga sering diidentikan dengan anak nakal, yang hidup dalam dunia gelap dipenuhi pelanggaran norma ketertiban umum. Mereka terkesan merupakan kelompok pada subcultrure dan berbeda dengan norma masyarakat umum, sehingga sulit dipahami masyarakat luas.

Melihat dari kenyataan tersebut, hukum formil di negara kita yang dibentuk guna melindungi hak-hak anak antara lain, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights of The Child) yang disahkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana Indonesia juga telah meratifikasinya dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan, bahkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, sepertinya belum memberikan solusi terbaik terhadap hak-hak anak jalanan dalam pengimplementasiannya.

Perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap hak anak oleh pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan dan perlindungan atas hak anak.

Kota Malang sebagai kota besar kedua di provinsi Jawa Timur, ternyata hingga saat ini masih banyak ditemukan anak jalanan, seperti di perempatan Lapangan Rampal, jembatan-jembatan penyeberangan, Alun-Alun Kota, dan di beberapa perempatan lampu merah yang ada di jalanan kota Malang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rembu, pada tahun 2014 terdapat 89 anak jalanan yang terjaring razia Dinas Sosial Kota Malang, sedangkan di tahun 2015, terjaring 86 anak jalanan. Data ini merupakan data anak jalanan yang terjaring razia,belum termasuk mereka yang lolos dari razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Malang. Diperkirakan masih ada ratusan anak jalanan yang masih berada di jalanan kota Malang.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan tugas dan wewenang kepada Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dalam rangka mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat juga sebagai sarana penghubung kebijakan nasional dalam pengiplementasiannya di daerah, maka Pemerintah Kota Malang diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan hukum yang lebih relevan agar dapat mengatur, melindungi hak-hak asasi anak jalanan serta mengendalikan keberadaan anak jalanan sebab penanganan anak jalanan merupakan bagian dari pembangunan kesejahteraan sosial yang merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Th.1945

Aspek Hukum Penanganan anak jalanan di kota malang

Pengaturan Anak Jalanan Oleh Pemerintah Kota Malang

Kota Malang merupakan salah satu daerah otonom dengan jumlah penduduk hingga bulan april 2016 sebesar 887.443 jiwa. Sebagai kota besar, Malang tidak terlepas dari permasalahan sosial yang samakin hari semakin kompleks. Salah satu masalah sosial yang lazim dialami di kota-kota besar adalah fenomena anak jalanan.

Fenomena anak jalanan merupakan suatu persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Banyak persoalan yang dialami oleh anak jalanan, mulai dari kekerasan, eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, perdagangan anak, dirazia oleh Polisi Pamong Praja, juga masalah legalitas. Tidak jelasnya asal usul mereka mengakibatkan mereka sulit mendapatkan legalitas secara hukum. Anak jalanan sulit memiliki akta kelahiran, sulit mendapatkan pendidikan formal seperti anak-anak lainya, juga sulit mendapatkan Kartu Identitas atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta permasalahan lainnya. Akibatnya anak jalanan lebih nyaman hidup di jalananan secara turun-temurun.

Dalam menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat teristimewah persoalan keberadaan anak jalanan di kota Malang, Pemerintah Kota Malang berdasarkan wewenang dan tanggung jawab yang diberi dan diterimanya, maka sebagai suatu daerah otonomi, Pemerintah Kota Malang berkewajiban mengatur keberadaan dan kehidupan anak jalanan, agar keberadaan anak jalalan lebih mudah mendapatkan pengawasan oleh Pemerintah Kota Malang yakni dengan membentuk suatu produk hukum daerah berupa peraturan daerah kota yang dapat mengatur, mengayomi dan memberikan keadilan bagi anak jalanan sebagai bagian warga negara yang memiliki hak yang sama dengan anak-anak Indonesia lainnya. Dengan kata lain hukum (termasuk peraturan daerah) merupakan alat atau sarana perubahan sosial (a tool of social engeneering) dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah guna mencapai tujuan pembangunan daerah.

Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin, menyatakan bahwa hukum itu adalah instrumen untuk mengontrol kepentingan berdasarkan tatanan sosial (an instument which controls interest according to the requirements of the social order). Pandangan Roscoe Pound ini didasarkan atas kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat berbagai social interest yang berupa tuntutan dan keinginan-keinginan masyarakat yang terdiri dari individual interest, publik interest dan interest of state.

Dalam membentuk suatu peraturan daerah tentang anak jalanan di kota Malang, tentunya perlu memperhatikan semangat dan konstruksi yang ada dalam UUD NRI Th.1945 dan penjabaranya dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Konstruksi penyelengaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah di Indonesia diatur dalam UUD NRI Th. 1945 Bab VI yang terdiri dari pasal 18, 18A, dan 18B hasil amandemen kedua tahun 2000, merupakan satu kesatuan pengaturan yang meliputi susunan pemerintahan, pengakuan terhadap keanekaragaman dan keistimewaan daerah, dan kerangka sistem otonomi.

Berdasarkan konstruksi dalam UUD NRI Th.1945 tersebut, maka untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan provinsi dibagi lagi menjadi daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota merupakan Pemerintah Daerah yang diberi kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang berdasarkan pada asas otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Dari konstruksi yang terdapat dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD NRI Th. 1945, maka hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat. Sebagai penjabaran Pasal 18, 18A dan 18B, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, menggariskan bahwa, maksud pemberian otonomi daerah adalah diarahkan untuk mempercepat terwujutnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan masyarakat juga diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia.

Sejalan dengan alinea keempat pembukaan UUD NRI Th.1945 tentang tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta negara ikut serta dalam menjaga ketertiban perdamaian dunia, yang kemudian diturunkan ke dalam pasal 34 ayat 1, Bab XA pasal 28B ayat 2 amandemen kedua UUD NRI Th.1945, Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam teori kewenangan yang diatur dalam lampiran pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ada terdapat pembagian urusan di bidang sosial, yang meliputi sub bidang, pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban kekerasan, rehabilitas sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana, taman makan pahlawan, dan sertifikasi dan akreditasi.

Urusan Sosial pada Sub Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial tersebut salah satunya berkaitan dengan pemeliharaan anak terlantar termasuk di dalamnya adalah anak jalanan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak anak jalanan mendapatkan perlindungan dari negara, khususnya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

Pemerintah Kota Malang bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang, telah menetapkan suatu Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis guna menata kota Malang menjadi kota yang bebas dari anak jalanan dan masalah sosial lainnya.

Ada konstruksi hukum yang terjadi saat itu dalam pembentukan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 yaitu, UUD NRI Th.1945, Konvensi Hak Anak, Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights of The Child, dimana Indonesia juga telah meratifikasinya dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang berhubungan dengan kewenangan Pemerintah Daerah.

Hal yang dapat ditegaskan dari konstruksi tersebut adalah bahwa secara tekstual prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Konvensi Hak Anak dalam penyelengaraan perlindungan anak jalanan di kota Malang yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak, prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, di tambah prinsip perlindungan aktif, harus menjadi landasan atau dasar bagi peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan perlindungan anak di kota Malang.

Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 ini merupakan perda pertama yang khusus mengatur tentang anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Sebelum Perda ini dibentuk, penanganan anak jalanan diatur dalam Perda Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan, dimana di dalam tersebut hanya terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur tentang anak jalanan, yaitu pasal 12 dan 13 yang mengatur tentang Tertib Sosial. Kelompok anak jalanan, gelandangan dan pengemis ini menurut Perda Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Wali Kota Malang Nomor 88 Tahun 2011, dikategorikan sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Tujuan dibentuknya Perda Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 ini adalah sebagai dasar hukum bagi Pemerintah Kota Malang guna mencegah dan mengantisipasi peningkatan komunitas anak jalanan di kota Malang, mencegah penyalahgunaan komunitas anak jalanan dari eksploitasi pihak-pihak tertentu yang ingin meraup keuntungan, mendidik komunitas anak jalanan agar hidup secara layak dan normal sebagaimana kehidupan masyarakat umumnya, memberdayakan para anak jalanan agar dapat hidup mandiri secara ekonomi dan sosial, juga bertujuan untuk meningkatkan peran serta dan kesadaran Pemerintah Kota Malang, dunia usaha dan elemen masyarakat lainnya guna berpartisipasi dalam penanganan anak jalanan.

Dinas Sosial Kota Malang berdasarkan Peraturan Wali Kota Malang Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Sosial, maka lembaga ini merupakan pelaksana otonomi daerah di bidang Sosial. Tugas pokok Dinas Sosial Kota Malang adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang sosial.

Untuk melaksanakan tugas pokok yang tersebut, menurut Peraturan Wali Kota Malang Nomor 71 Tahun 2015 pada pasal 3 maka fungsi dari Dinas Sosial Kota Malang adalah pemberdayaan Fakir Miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang antara lain meliputipelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, pelaksanaan pembinaan anak terlantar, para penyandang cacat, panti asuhan/ panti jompo, eks penyandang penyakit sosial, eks narapidana, Pekerja Seks Komersial (PSK), narkoba dan penyakit sosial lainnya, juga pelaksanaan pembinaan, pemberdayaan bagi gelandangan, pengemis, pemulung, anak jalanan, psikotik, pelaksanaan pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, dan beberapa fungsi lainnya.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Malang, anak jalanan yang terjaring dalam razia selama tahun 2015 lalu, sebanyak 72 anak jalanan yang berasal dari kota Malang, yaitu terdiri dari 45 anak laki-laki dan 27 anak perempuan. Sedangkan anak jalanan yang berasal dari luar kota Malang berjumlah 14 orang anak, meliputi 9 anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Data ini merupakan jumlah anak jalanan yang terjaring razia. Diperkirakan jumlah anak jalanan yang masih berada di jalanan jauh lebih banyak dari data Dinas Sosial Kota Malang.

Untuk mengatur anak jalanan di kota Malang, perlu adanya penanganan secara lintas sektoral agar tercapai hasil yang optimal yaitu dengan kebijakan, strategi dan tindakan yang terkoordinasi dan singkron antara pemerintah dan non pemerintah. Oleh karena itu, peraturan yang dibuat pun harus disertai kejelasan tentang bagaimana perda itu dijalankan.

Dalam konteks rencana penyusunan Peraturan Daerah tentang anak jalanan kiranya perlu juga mempertimbangkan pendekatan humanis. Landasan Yuridis pendekatan humanis yang Pertama, adalah UUD NRI Th.1945 Pasal 34 ayat 1, yaitu fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kata “dipelihara” mengandung makna, disatu pihak, bahwa fakir miskin dan anak terlantar itu harus diberikan fasilitas yang memungkinkan mereka mendapatkan hak-haknya secara wajar sebagai anak serta memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang secara sehat. Di pihak lain, kata “dipelihara” juga mengandung pengertian bahwa fakir miskin dan anak terlantar juga harus dilindungi dari segala bentuk tindak kekerasan, penindasan, eksploitasi, maupun perlakuan-perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan mereka. Dalam hal ini anak jalanan, khususnya anak jalanan yang merupakan produk kemiskinan, sekaligus merupakan fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Namun demikian, pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilakukan oleh anak sendiri, sehingga tanggung jawab tersebut menjadi tanggungan orangtua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Ketiga, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights Chil) PBB tahun 1989. Konvensi Hak Anak (KHA) menegaskan perlunya memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak agar mereka mendapatkan hak-haknya secara wajar sebagaimana layaknya anak. Hak-hak anak dimaksud meliputi hak sipil dan kemerdekaaan (civil right and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activities), dan perlindungan khusus (special protection). KHA PBB ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Kepres Nomor 36 Tahun 1990, yang berarti Indonesia terikat pada keharusan pelaksanaannya.

Kebijakan yang humanis dalam penanganan masalah anak jalanan adalah kebijakan yang isi (muatan) maupun implementasinya yang benar-benar memelihara dan melindungi anak jalanan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat, serta jauh dari segala jenis perlakuan kekerasan, penindasan, eksploitasi, maupun perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan mereka.

Sementara itu, landasan empiris perlunya membangun kebijakan yang humanis dalam penanganan masalah anak jalanan adalah fakta bahwa, atas nama kebijakan, pemerintah sering melanggar “hak identitas” anak jalanan, karena identitas mereka digeneralisasikan sebagai sesuatu yang buruk. Generalisasi semacan inilah yang melahirkan kebijakan-kebijakan razia atau garukan terhadap anak jalanan, yang kadang-kadang disertai dengan perlakuan kekerasan dari oknum aparat.

Berdasarkan analisis penulis, pengaturan anak jalanan oleh Pemerintah Kota Malang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dalam perumusan Bab V tentang Peran Serta Masyarakat yakni pasal 16 ayat 1 Perda Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, dimana disebutkan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis dengan cara tidak memberikan sesuatu berupa uang maupun barang di jalanan.

Pasal ini masih berupa himbauan tanpa sanksi yang tegas. Akibatnya, atas dasar ibah, masyarakat akan tetap memberikan sesuatu seperti yang dimaksudkan dalam pasal 16 ayat 1 tersebut. Sebab, satu faktor anak jalanan terus berkembang adalah faktor ekonomi. Jika semakin banyak orang yang memberikan anak jalan uang ataupun dalam bentuk lainnya, maka akan menjadikan jalanan sebagai lahan yang subur bagi anak jalanan untuk mengais rejeki.

Perda Kota Malang tentang anak jalanan juga belum mengatur tentang sanksi kepada orang tua yang dengan sengaja memerintahkan, ataupun membiarkan anaknya untuk bekerja di jalanan. sebab, apapun alasannya, tidak dibenarkan orang tua membiarkan anaknya mencari rejeki dengan menjadi anak jalanan yang setiap hari mengharapkan belaskasihan orang lain. Fakta empiris menemukan bahwa rata-rata orang tua mengetahui bahkan membiarkan anaknya melakukan kegiatan mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan kota Malang amupun kota-kota besar lainnya, dan sudah bisa dipastikan hal ini akan melahirkan anak-anak jalanan yang baru. Kemudahan untuk mendapatkan uang di jalanan menyebabkan banyak anak yang rela putus sekolah dan lebih memilih mencari rejeki di jalanan.

Pelaksanaan Peraturan Terhadap Anaak Jalanan Oleh Pemerintah Kota Malang

Berbicara mengenai pelaksanaan dari suatu peraturan berarti berhubungan dengan implementasi dari kebijakan hukum yang telah dibuat oleh Pemerintah. Kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi oleh Badan Legislatif, memungkinkan pemerintah untuk bertindak atau melaksanakan. Sebab jika kebijakan tidak diikuti oleh suatu tindakan maka kebijakan tersebut hanyalah merupakan sebuah dokumen politik belaka. Artinya pemerintah hanya akan bertindak jika kebijakan yang telah dilegitimasi. Birokrasi Pemerintah akan selalu mencari pijakan hukum dalam setiap tindakan. Ini dilakukan guna menghindari cacat hukum atau digugat karena tindakan pemerintah tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, tidaklah heran jika ada pendapat bahwa hukum tidak bisa lagi disebut hukum, manakala hukum itu tidak pernah dilaksanakan lagi. Pemerintah Daerah Kota Malang dalam melaksanakan peraturan tentang anak jalanan, diharapkan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Hak Anak antara lain prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak, prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, ditambah prinsip perlindungan aktif, harus menjadi landasan atau dasar bagi peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap anak jalanan.

Sebagai anak-anak, maka anak jalanan tetaplah aset bangsa yang harus dilindungi oleh negara, sebagaimana tercantum dalam pasal 34 UUD NRI Th. 1945, dengan demikian sudah jelas bahwa perlindungan terhadap warga negara harus dilakukan tanpa kecuali. Hal ini juga semakin diperjelas dengan sila kedua dan kelima dari Pancasila.

Dalam upaya mewujudkan sila-sila tersebut di atas, Indonesia yang telah menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA), dimana konvensi perjanjian internasional yang telah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang membahas mengenai hak-hak anak, selanjutnya diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

Untuk melaksanakan kebijakan pada tatanan Pusat, maka Kota Malang memiliki kebijakan hukum berupa Perda Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Anak jalanan, Gelandangan dan Pengemis (selanjutnya disingkat Perda Kota Malang No.9 Th. 2013), Keputusan Wali Kota Malang Nomor 88 Tahun 2011 Tentang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), juga beberapa kebijakan terkait lainnya yang berhubungan dengan penanganan anak jalanan.

Dinas Sosial Kota Malang sebagai unsur pelaksana di bidang sosial mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani anak jalanan. Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Sosial Kota Malang menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena pada kenyataan di lapangan LSM memang lebih dekat dengan anak jalanan dalam berinteraksi secara langsung sehingga tepat sekali jika dalam pelaksanaan perlindungan anak jalanan ini. Selain itu, Dinas Sosial Kota malang juga menggandeng unsur lainnya seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol. PP) Kota Malang serta Kepolisian Resort Malang Kota.

Dalam rangka menangani anak jalanan di kota Malang, Pemerintah secara terpadu dengan melibatkan dunia usaha, elemen masyarakat lainnya, dengan berperan aktif melakukan beberapa tindakan baik usaha preventif, usaha represif dan usaha rehabiltasi. Usaha Preventif yang dilakukan oleh Dinas Sosial yaitu secara terorganisir guna mencegah munculnya anak jalanan di dalam masyarakat. Usaha perventif tersebut antara lain, melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial, pembinaan sosial, bantuan sosial, perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan pendidikan, pemberian bantuan, dan pengawasan serta pembinaan lanjut kepada pihak-pihak yang ada hubungan dengan anak jalanan. Dinas Sosial Kota Malang, dalam melaksanakan usaha perventif, melakukan sosialisasi kepada anak jalanan melalui kerjasama dengan LSM ataupun pihak-pihak lain yang terkait. Proses sosialisai ini tidak serta merta berjalan maksimal.

Sedangkan bentuk usaha represif yang dilakukan oleh Dinas Sosial yaitu usaha-usaha secara terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan, dengan maksud menghilangkan anak jalanan serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Bentuk usaha represif yang dilakukan Dinas Sosial Kota Malang yaitu menggandeng Satpol.PP juga melibatkan Polisi Malang Kota untuk melakukan razia secara terpadu yang dikenal dengan istilah “Operasi Simpatik” melakukan terhadap anak jalanan yang ada di kota Malang, kemudian anak jalanan yang terjaring razia tersebut di titipkan dalam penampungan sementara guna diseleksi kemudian dilimpahkan ke Panti Sosial.

Usaha Rehabilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang adalah meliputi, usaha penampungan guna mengidentifikasi kelompok PMKS yang terjaring razia, usaha seleksi, penyantunan, usaha penyaluran, dan usaha tindak lanjut seperti meningkatkan kesadaran berswadaya, peningkatan kemampuan sosial ekonomi juga menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

Anak jalanan yang terjaring razia Operasi Simpatik kemudian didata dan ditampung di LIPONSOS (Lingkungan Pondok Sosial) yaitu tempat yang memang disediakan untuk membina anak-anak jalanan yang terjaring dalam razia. Materi pembinaan yang diberikan dalam upaya rehabilitasi di LIPONSOS antara lain adalah pembinaan mental, keagamaan, dan motivasi-motivasi. Setelah dari LIPONSOS, anak-anak jalanan ini akan dirujuk ke UPT-UPT (Unit Pelayanan Terpadu) yang berada di Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut.

Dalam fase ini Dinas Sosial Kota Malang bekerjasama dengan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Selain itu, Dinas Sosial juga bekerjasama dengan panti-panti asuhan untuk merujuk anak jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan sudah tidak memiliki keluarga ataupun orang tua.

Selain usaha Preventif, Represif dan Rehabilitasi, Dinas Sosial Kota Malang juga melaksanakan fungsi Pemberdayaan terhadap anak jalanan. Pemberdayaan ini dimaksudkan agar nantinya anak-anak jalanan tersebut dapat memiliki keterampilan tertentu yang nantinya dapat mereka jadikan bekal dalam bekerja, hal inilah yang diharapkan secara perlahan dapat membuat mereka berhenti menjadi anak jalanan. Pemberdayaan ini dimulai dari tahapan identifikasi atau pendataan anak jalanan, dengan skema by name by address. Setelah dilakukan pendataan/ identifikasi, data yang ada akan diseleksi. Proses seleksi ini dimaksudkan agar pelatihan yang diikuti oleh anak-anak jalanan ini sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Untuk memastikan bahwa data yang didapat dan telah terploting merupakan data yang benar, maka Dinas Sosial melakukan home-visite. Tidak hanya berhenti pada proses home-visite, selanjutnya dilakukan tahapan assessment untuk dapat mengetahui latar belakang anak jalanan secara lebih menyeluruh. Dalam proses ini, para relawan (seperti halnya pekerja sosial, ataupun relawan-relawan yang tergabung dalam LSM-LSM) melakukan pengidentifikasian terhadap anak jalanan untuk mendapatkan data yang selengkap-lengkapnya tentang mereka.

Setelah semua data terkumpul secara rinci, dibuatlah sebuah “rencana intervensi yaitu upaya yang dilakukan Dinas Sosial untuk memasukkan mereka dalam rangkaian pelatihan keterampilan yang disebut dengan “Program Bimbingan Sosial dan Keterampilan”, oleh Dinas Sosial Kota Malang adalah pelatihan fotografi, tataboga, otomotif dan kursus mengemudi. Ketika pelatihan ini selesai mereka akan mendapatkan bantuan stimulant sesuai dengan pelatihan keterampilan yang mereka ikuti, tapi seringkali pemberian stimulant ini dimanfaatkan tidak sebagaimana mestinya oleh mereka.

Fenomena ini menjadi wajar saja terjadi, terlebih jika melihat lingkungan anak-anak jalanan yang menyebabkan mereka cenderung berfikir pendek, apa yang dapat mereka lakukan untuk mendapatkan uang dengan cepat, itulah yang akan mereka pilih, tidak ada lagi pemikiran ke depan untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik, apalagi dengan berhenti menjadi anak jalanan, karena sebagian mereka merasa bekerja mengamen, meminta, dan berbagai macam pekerjaan di jalanan tersebut lebih mudah dan lebih cepat menghasilkan uang.

Dinas Sosial sudah berusaha mengantisipasi hal ini dengan melakukan evaluasi dan monitoring, tetapi karena tindakan evaluasi dan monitoring ini hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu saja, itupun tenggang waktunya relatif jarang, akhirnya praktik penyalahgunaan bantuan ini masih saja terjadi.

Fakta di lapangan berbanding terbalik dengan amanat UUD NRI Th.1945. Penulis melihat di berbagai media bahwa penertiban anak jalanan maupun kelompok PMKS tidak berlandaskan nilai kemanusiaan. pelaksanaan razia anak jalanan ini biasanya dilaksanakan secara bersamaan dengan razia gelandangan dan pengemis. Akibatnya anak-anak jalanan harus berlari dan kejar-kerjaan bersama SATPOL PP yang bertugas menjaring mereka. Anak jalanan harus berusaha untuk menyelamatkan diri dari penjaringan oleh aparat tanpa memperhatikan keselamatan mereka di jalanan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan hak-hak anak sebagai manusia yang harus dilindungi.

Anak jalanan yang terjaring razia dipaksa bahkan sampai mereka berasa sakit ketika digiring oleh petugas ke mobil penertiban, seperti menangkap ternak yang berkeliaran di jalanan, anak jalanan dibawa ke tempat rehabilitasi sosial untuk di data dan setelah itu dilepaskan kembali dan lagi-lagi mereka menghiasi jalanan, perempatan lampu merah, bus, tempat ibadah dan tempat keramaian lainnya. Sedikit sekali dari anak jalanan yang diberdayakan atau disekolahkan. Stigma di masyarakat terhadap anak jalanan akan menyebabkan mereka tidak gampang diterima di sekolah formal. Apalagi banyak anak jalanan yang tidak memiliki legalitas hukum yang jelas.

Jika kita merujuk pada asas dan tujuan terbentuknya Perda Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013, maka asas pengayoman, asas kemanusiaan, asas kekeluargaan, asas keadilan, asas ketertiban dan kepastian hukum, sepertinya masih jauh dari harapan serta hanya merupakan slogan dalam sebuah peraturan.

Anak jalanan juga merupakan manusia yang kurang beruntung. Akibat pemerintah tidak menjalankan amanat UUD NRI Th. 1945 dengan sungguh-sungguh, banyak sekali anak jalanan yang menjadi korban kejahatan, misalnya kasus mutilasi anak jalanan, dan lain sebagainya. Tragis memang tapi itulah yang terjadi, selain anak jalanan juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Andai saja pemerintah mau memperhatikan dan memberdayakan secara sungguh-sungguh mungkin hal yang buruk itu tidak terjadi bahkan angka kemiskinan akan berkurang. Anak jalanan tidak akan bertambah bahkan tidak akan ada jikalau di daerah pedesaan atau tempat mereka berasal memiliki lapangan pekerjaan dan tidak tersentralisasinya pembangunan di perkotaan saja.

Saat ini tidak sedikit anak-anak yang berkeliaran di jalan di sudut-sudut lampu merah seperti di perempatan Lapangan Rampal, perempatan bekas Terminal Gadang, dan lain sebagainya. Tidak sekadar berkeliaran, lebih dari itu, mereka menjadikan jalanan sebagai tempat hidup dan menghabiskan hari-hari mereka di jalanan. Mengemis adalah salah satu pilihan yang dilakukan oleh anak jalanan disamping penjual koran. Anak-anak jalanan ini tidak tahu dan tidak mau tahu apakah berdirinya bangunan-bangunan megah, mall, restoran, kafe, dapat merembes ikut mengubah nasib mereka. Anak-anak jalanan sebagai aktor yang menjalani sudut-sudut jalan, juga tidak pernah berpikir mengenai, misalnya, peraturan, rambu-rambu, atau kenyamanan pengguna jalan. Bagi mereka yang penting adalah bagaimana mereka bisa mengais rezeki di jalan.

Fakta membuktikan bahwa keberadaan anak-anak jalanan itu menjadi ruang eksploitatif bagi para preman. Bahkan, banyak kasus perdagangan anak yang menimpa anak jalanan. Selain itu, keberadaan mereka juga cenderung akrab dengan tindak kriminal, mereka juga rentan terkena virus narkoba, free sex, dan penyakit moral lainnya yang menghancurkan masa depan anak bangsa. Tentunya, kita mesti prihatin akan kondisi generasi penerus bangsa tersebut, di tengah sistem kehidupan yang semakin global ini, apa jadinya bila sebagian besar anak-anak Indonesia tidak sekolah dan terus-terusan hidup di jalan.

Kita semua tahu, anak, termasuk anak-anak jalanan ini adalah penerus cita-cita bangsa. Anak-anak ini bahkan gambaran masa depan suatu bangsa dan calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini nantinya. Kesejahteraan anak-anak ini, menurut penulis, perlu diperhatikan. Perhatian pada masa depan anak-anak ini tentunya bukan dengan bentuk seremonial, seperti peringatan hari anak nasional yang tiap tahunnya kita peringati. Anak-anak harus mendapat perhatian lebih dari sekadar seremonial ini.

Peran aktif pemerintah dalam hal ini dibutuhkan untuk menyatukan, mensinergikan, dan melipatgandakan seluruh kekuatan jika ingin memenangi perang melawan kemiskinan, pemiskinan dan menyelamatkan masa depan anak-anak bangsa ini. Peran pemerintah yang penulis maksudkan dibutuhkan untuk menyatukan dan menggerakkan seluruh elemen di setiap level, baik di tingkat pengambil kebijakan maupun pada level pelaksana, di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, di lembaga legislatif dan di level masyarakat. Di negeri ini, dukungan demikian merupakan sebuah urgensi yang tak boleh ditawar-tawar, bukan sekadar urusan pencitraan diri.

Sudah saatnya pemerintah melipat gandakan upaya untuk menanggulangi persoalan anak jalanan di negeri ini. Anak jalanan di sudut-sudut lampu merah hanyalah satu potret buram di antara ribuan bahkan jutaan kisah orang-orang miskin di negeri ini. Sementara yang perlu diingat bahwa keteraturan dalam sebuah bangsa bukan dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, tetapi dari ketiadaan bencana kelaparan di masyarakatnya.

 Memang, menyelesaikan masalah anak jalanan bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi, minimalnya untuk menyelesaikannya dibutuhkan itikad baik dan keseriusan pemerintah, untuk mempraktikkan apa yang sudah digariskan konstitusi dan mengoptimalkan peran lembaga yang ada. Anak-anak adalah potret masa depan Indonesia.

Kemiskinan di negeri ini tak pernah selesai penanganannya. Seiring perjalanan dari waktu ke waktu, nasib orang miskin masih tetap miskin, meski nasibnya selalu menjadi perbincangan di gedung-gedung mewah, mulai dari istana negara hingga hotel mewah. Tentunya kita patut perihatin dengan apa yang terjadi di negara ini, ketika negara memberlakukan tidak manusiawi kepada orang miskin.

Tidak heran jika orang miskin tetaplah orang miskin, yang selalu merasakan kesulitan untuk mengakses pekerjaan, mendapatkan layanan kesehatan, hingga pendidikan bagi anak-anak mereka, serta mendapatkan kemudahan jaminan sosial lainnya dari negara, justru semakin menderita.

Penjaringan atau razia terhadap anak jalanan oleh oleh Dinas Sosial Kota Malang yang dikutip dari Rembu, menyatakan bahwa Dinas Sosial Kota Malang hampir setiap bulan melakukan razia terhadap anak jalanan. Menurut pengamantan penulis, di Kota Malang, hampir tidak pernah ditemukan razia yang dilakukan oleh Pemerintah. Keberadaan anak jalanan di kota Malang terkesan dibiarkan. Artinya, jika ada razia oleh Dinas Sosial, itupun tidak dilakukan secara berkesinambungan. Tidak jarang juga penertiban anak jalanan ini juga bersifat sepihak yang terpaksa dilakukan dikarenakan akan datangnya seorang pejabat dari Jakarta ke kota Malang.

Minimnya pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ini membuat penegakan Perda Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 ini tidak maksimal dijalankan. Selain itu, minimnya komunikasi antara lembaga pelaksana dengan lembaga pendukung dapat menghambat penegakan Peraturan Daerah ini. Selain itu faktor budaya dari masyarakat yang lebih memilih untuk mendapatkan uang secara instan menyebabkan banyak anak jalanan lebih memilih untuk hidup di jalanan.

Adanya hukum itu untuk ditaati dan ditegakkan atau dilaksanakan. hukum hanya akan menjadi sebuah dokumen politik jika tidak diikuti oleh pelaksanaan. Dalam menegakkan hukum perlu adanya penegak hukum yang adil, jujur dan bertangung jawab agar hukum bisa dengan muda berjalan. Selain itu, peran serta seluruh masyarakat dalam melaksanakan aturan yang ditetapkan dan dilaksanakan.

 

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan hasil kesimpulan dan saran-saran.

1.       Secara konseptual anak jalanan merupakan kelompok masyarakat yang rentan mendapatkan perlakuan yang tidak adail, baik oleh masyarakat maupun oleh negara. Tidak terpenuhi hak-hak anak jalanan, mengakibatkan anak jalan lebih memilih untuk tetap berada di jalanan. Guna mencegah meningkatnya komunitas anak jalanan, Pemerintah Kota Malang membentuk suatu kebijakan hukum berupa Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penangan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis. Tidak adanya sanksi yang tegas kepada masyarakat baik itu masyarakat umum, maupun secara khusus kepada orang tua dari anak jalanan menyebabkan pertumbuhan anak jalanan di kota Malang akan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

2.       Pelaksanaan atau implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, ternyata masih jauh dari harapan. Dalam penjaringan atau razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial yang bekerja sama dengan beberapa instansi terkait, belum mengedepankan prinsip perlindungan anak. Razia yang anak jalanan dilakukan bersamaan dengan razia gelandangan dan pengemis. Akibatnya anak jalanan harus berlari dan berkejaran dengan SATPOL PP guna menyelamatkan diri mereka tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Konvensi Hak Anak maupun peraturan perundang-udangan yang berlaku di negara Indonesia. Anak jalanan yang terjaringpun di bawah ke mobil penertiban bagaikan penjahat atau pun seekor ayam yang ditangkap oleh si pemilik. Prinsip mengayomi, melindungi, serta memberikan keadilan serasa masih belum dirasakan oleh anak jalanan. Dalam kenyataan di lapangan razia terhadap anak jalanan maupun gelandangan dan pengemis, tidak dilaksanakan secara berkesinambungan akan tetapi hanya dilaksanakan jika ada pejabat negara yang hendak berkunjung ke kota Malang.

Saran

Berangkat dari pembahasan penelitian ini, maka penulis menyarankan sebagai berikut.

1.     Perlu adanya suatu konsep pemikiran bahwa hidup sebagai anak jalanan bukanlah merupakan sebuah keinginan dari anak-anak. Melainkan keadaanlah yang menyebabkan anak-anak hidup di jalanan. Dengan demikian kita harus menerima anak jalanan sebagai bagian dari anak-anak Indonesia, dan tidak memandang mereka sebagai anak-anak dengan perilaku yang melanggar norma atau nilai-nilai yang hidup di masyarakat, namun harus juga melihat mereka sebagai korban dari pembangunan ekonomi negara ini, serta kedepannya perlu dilakukan revisi terhadap Perturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 ini, karena sudah tidak relevan lagi diterapkan di masyarakat kota Malang, termasuk pemberian sanksi yang jelas dan tegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan daerah tersebut.

2.     Dalam rangka mengentas anak jalanan di kota Malang, hendaknya tidak lagi mengunakan pendekatan normatif pragmatis-koersif, yang selama ini menjadi cara yang sering digunakan pemerintah, melainkan perlu menggunakan pendekatan yang bersifat empati-partisipatif, serta sangat perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam memberdayakan anak jalanan secara langsung di masyarakat

Daftar Pustaka

Admasasmita, Romli, 1986, Kapita Selekta Kriminologi, Cipto Armiko, Bandung

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konpress, Jakarta

Bambang, BS, 1993, Meninos de Ruas dan Kemiskinan. Child Labour Corner Newsletter

Belllamy, Carol 1997, The Streets are They Workplace.UNICEF

Community, Green Mind, 2008, Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Total Media. Jogjakarta

Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cetakan Pertama, Bina Ilmu, Jakarta

Hadjon, Philipus M, 1997, Penataan Hukum Administrasi. Fakultas Hukum Unair. Surabaya.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Alumni. Bandung

H.R, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, UII Press. Jogjakarta

Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan. Jakarta

MD, Mahfud.2014. Politik Hukum di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Misdyanti dan Kartasapoetra. 1994, Fungsi Pemerintah Daerah dalam Pembuatan Peraturahan Daerah. Bumi Aksara. Jakarta

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung

Rahardjo, Satjipto, 1987, Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru. Bandung

Saifuddin, 2009, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. FH UII Press, Jogjakarta

Silva, Teresita.L. 1996. Community Mobilization for the Protection and Rehabilitation of Street Children.Childhope Asia Philippines

Siregar, Bismar.dkk. 1986, Hukum dan Hak-Hak Anak. Rajawali Press. Jakarta

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada. Jakarta

Soekanto, Soerjono,1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press) , Jakarta

Sri Pudyatmoko, Y, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta

Sumardi, Sandyawan, 1996, Child Protection. Institut Sosial Jakarta

Sumitro, Ronny H, 1982, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia. Jakarta

Syamsudin, M, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Tjandra, W. R, 2008, Hukum Adminstrasi Negara. Univeritas Atma Jaya, Jogjakarta

Tjandraningsih, Indrasari, 1995. Pemberdayaan Pekerja Anak. Akatiga, Bandung

UNICEF. 1996. Guide To The Convention On The Right of The Child (CRC). UNICEF. Jakarta

Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta

Wahidin, Samsul. 2013, Hukum Pemerintahan Daerah, Pendulum Otonomi Daerah Dari Masa ke Masa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Naskah Akademik Raperda Kota Pasuruan Tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Amin, Muryanto, 2011, Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Ke Waktu, Jurnal Politeia Vol.3 No.2 Juli 2011.Fisipol, Universitas Sumatera Utara

 

Matutu, M. DG.1972, Selayang Pandang (Tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modern, Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Hasanudin, Ujung Pandang

S.Wisni Septiarti, S. Wisni, 2002, Fenomena Pekerja Anak Usia Sekolah. Jurnal Penelitian Humaniora Vol.7 No.1, April. 2002

http://www.britannica.com/topic/welfare-state, diakses pada 13 Juni 2016

http://eprints.uny.ac.id/4989/1/fenomena-pekerja-anak.pdf.diakses pada 25 Juni 2016.Pukul: 09.00

suryamalang.tribunnews.com/2016/05/30/penduduk-kota-malang

Gosita, Arif. 1982, Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan anak, Makalah dalam Seminar Nasional Perlindungan Anak, Jakarta

Rembu, Yoakim, 2016. Penanganan Anak Jalanan Di Kota Malang Tesis MAP Unmer. Malang

Surbakti,dkk.Prosiding Lokakarya Persiapan Survey Anak Rawan. Study Rintisan di Kota Madya Bandung.Jakarta.Kerjasama BPS dan UNICEF

Joni, Muhammad. Implementasi Hak Anak, Sebuah Gerakan Mundial. Harian Analisa. Medan.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta