Bimbingan Konseling Client-Centered Dalam Mengatasi Kecenderungan Perilaku Negatif
STRATEGI BIMBINGAN KONSELING CLIENT-CENTERED
DALAM MENGATASI KECENDERUNGAN PERILAKU NEGATIF
M.M. Puji Nitis Kusumawati
Dosen Universitas Halmahera
ABSTRAK
Manusia seringkali merasakan bahwa masalah dirinya merupakan masalah yang sulit dipecahkan dan menolak setiap jalan keluar yang ditawarkan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Pandangan client centered tentang sifat manusia hanya menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Beberapa pendekatan lain beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, kecuali jika kita telah menjalani sosialisasi. Pendekatan client centered menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang bahwa manusia tersosialisasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk secara optimal, serta memiliki kebaikan yang positif pada pada dirinya. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya dapat dipercayai dan memperbaiki. Manusia dapat bersifat konstruktif, maka tidak perlu diadakan pengendalian tehadap dorongan-dorongan agresifnya. Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi konseling client-centered. Setiap individu memiliki keinginan untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses kehidupan. Model client centered menolak konsep yang memandang manusia sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik. Oleh karena itu konseling client centered diarahkan agar manusia sadar dan dapat membuat keputusan-keputusan.
Kata kunci: client centered, perilaku negatif
Latar Belakang
Pandangan tentang manusia yang positif memiliki implikasi-implikasi dalam kehidupan yang dijalaninya, yang dapat membawa dampak dalam proses perjalanan hidup manusia. Client-centered dalam pandangan filosofis menjelaskan bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, dan meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses penyembuhan seseorang. Model client centered menolak konsep yang memandang seseorang sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang individu sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah orang lain. Oleh karena itu, pendekatan client centered berakar pada kesanggupan seseorang sadar dan membuat keputusan-keputusan sendiri.
Pendekatan client-centered adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Dr. Carl Rogers. Pada awal perkembangannya, Carl Rogers menamai pendekatan ini sebagai nondirective counseling sebelum pada akhirnya diganti menjadi client centered. Pendekatan ini lahir sebagai reaksi kontra terhadap pendekatan psikoanalisis yang bersifat direktif dan tradisional. Pendekatan client centered merupakan cabang dari terapi humanistik yang memiliki perspektif eksistensial. Pendekatan ini berasumsi bahwa manusia yang mencari bantuan psikologis diperlakukan sebagai konseli yang bertanggung jawab dan memiliki kekuatan untuk mengarahkan dirinya.
Rogers percaya bahwa manusia pada dasarnya dapat dipercaya dan memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri dan mengatasi masalahnya tanpa intervensi langsung dari orang lain. Selain itu, manusia juga memiliki potensi untuk berkembang. Pembimbing/konselor terutama berfungsi sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Terapis terutama berfungsi sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
Tujuan Konseling
Secara umum tujuan dari konseling ini adalah untuk memfokuskan diri pada klien pada pertanggungjawaban dan kapasitasnya dalam rangka menemukan cara yang tepat untuk menghadapi realitas yang dihadapi klien atau dengan kata lain membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga mampu menjadi manusia yang berguna. Sedangkan secara terinci tujuannya adalah (1) Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya, (2) Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangklaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain, (3) Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain, dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, (4) Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas, walaupun demikian ia tetap masih memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri, (4) Menumbuhkan suatu keyakinan kepada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang (Process of becoming).
Teknik-teknik Konseling
Dalam kerangka client centered, teknik yang digunakan adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian serta berbagai upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi. Dalam hal ini, teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari konselor dan tidak bisa digunakan secara sadar diri sebab jika itu terjadi, konselor tidak akan menjadi sejati. Sehubungan dengan hal tersebut, Corey (dalam Komalasari, dkk, 2011) menyatakan bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan tersebut adalah: (1) Mendengar aktif (active listening), yaitu memperhatikan perkataan konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucapkan, intonasi, dan bahasa tubuh konseli, (2) Mengulang kembali (restating/paraphrasing), yaitu mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda, (3) Memperjelas (clarifying), yaitu merespon pernyataan atau pesan klien yang membingungkan dan tidak jelas dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas perasaan-perasaannya yang bertolak belakang, (4) Menyimpulkan (summarizing), yaitu keterampilan konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling, (5) Bertanya (questioning), bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. Dalam bertanya terdapat dua jenis pertanyaan, yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup, (6) Menginterpretasi (interpreting), yaitu kemampuan konselor dalam menginterpretasikan pikiran, perasaan, atau tingkah laku klien yang bertujuan untuk memberikan perspektif alternatif dan baru, (7) Mengkonfrontasi (confronting), merupakan cara yang kuat untuk menantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur, (8) Merefleksikan perasaan (reflecting feelings), adalah kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli, (9) Memberikan dukungan (supporting), yaitu upaya memberikan penguatan kepada klien, terutama ketika ia berhasil membuka informasi-informasi personal, (10) Berempati (empathizing), yaitu kemampuan konselor untuk sensitif terhadap hal-hal subjektif klien, (11) Menfasilitasi (facilitating), bertujuan memberdayakan klien untuk mencapai tujuan-tujuannya, (12) Memulai (initiating), merupakan keterampilan konselor untuk memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan, mencari alternatif solusi, dan sebagainya, (13) Menentukan tujuan (setting goals), yaitu keterampilan konselor untuk menentukan tujuan konseling, (14) Mengevaluasi (evaluating), yaitu keterampilan konselor untuk mengevaluasi keseluruhan proses konseling, (15) Memberikan umpan balik (giving feedback), merupakan keterampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif, dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku klien, (16) Menjaga (protecting), yaitu upaya konselor untuk menjaga klien dari kemungkinan-kemungkinan resiko-resiko psikologis dan fisik yang tidak perlu, (17) Mendekatkan diri (disclosing self), adalah kemampuan konselor membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat klien menjadi lebih terbuka, (18) Mencontoh model (modeling), merupakan upaya konselor dalam menampilkan nilai-nilai kejujuran, penghargaan, keterbukaan, mau mengambil resiko, dan asertif yang nantinya dapat mejadi contoh bagi klien, (19)Mengakhiri (terminating), yaitu keterampilan konselor untuk menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan konseling.
Pengalaman Klien Dalam Konseling
Perubahan yang terjadi dalam proses terapeutik bergantung pada persepsi klien, baik pada pengalamannya sendiri dalam kegiatan terapi maupun sikap dasar terapis. Apabila terapis menciptakan iklim yang kondusif untuk eksplorasi diri, maka klien berkesempatan untuk mengalami dan mengeksplorasi perasaannya secara keseluruhan. Alasan dasar klien menginginkan terapi adalah rasa ketidakberdayaan yang mendasar, tidak memiliki kekuasaan dan ketidakmampuan untuk mengambil keputusan secara efektif serta kesulitan klien dalam mengarahkan hidupnya. Mereka berharap bisa menemukan jalan setelah mendapatkan pengajaran dari terapis. Namun pada konseling client-centered, mereka akan mengerti bahwa dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut sebenarnya klien bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka bisa belajar untuk dapat lebih merdeka dengan menggunakan hubungan konseling ini. Klien bisa lebih baik dalam memahami dirinya sendiri.
Klien akan dapat mengaktualisasikan dirinya dalam peoses terapeutik ini karena mereka dilengkapi dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka untuk tumbuh. Mereka akan menggali kesulitan-kesulitan mereka dan kompetensi natural dalam lingkungannya yang produktif, di mana mereka akan berperan penting terhadap potret diri mereka sendiri dan melihat potensinya secara jelas. Mereka akan berbuat lebih akurat, lebih baik, dan kongruen. Mereka akan lebih percaya diri, lebih memahami dirinya sendiri, dan dapat menentukan keputusan yang terbaik bagi dirinya.
Dalam hubungan konseling, diharapkan konselor dapat memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien adalah sebagai individu yang memiliki keunikan tersendiri, disamping mempunyai kesamaan. Proses ini sebagai suatu bentuk pendekatan yang memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada klien yang memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang, serta memiliki kemampuan untuk mengungkapkan permasalahannya secara terus terang, bebas, dan lancar. (Sukardi, 1984)
Peran dan Tugas Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Pada dasarnya, peran konselor client centered berakar pada cara-cara keberadaannya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien “berbuat sesuatu”. Dengan demikian, konselor menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Oleh karena itu, “peran” konselor pada dasarnya adalah tanpa peran (Corey, 2009). Adapun fungsi konselor adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien. Dalam hal ini, konselor membangun hubungan yang membantu di mana klien memperoleh kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidup yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Dengan demikian, klien diharapkan dapat menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun di lingkungan sekitarnya.
Konselor dalam menghadapi klien berlandaskan pada pengalamannya dari waktu ke waktu dan membantu klien dengan jalan memasuki dunianya, bukannya berdasarkan kategori-kategori diagnostik yang telah dipersiapkan. Klien diharapkan dapat menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang lebih tinggi melalui perhatian yangg tulus, respek, penerimaan, dan pengertian dari konselor. Dalam memenuhi peran dan fungsinya tersebut, ada tiga ciri atau sikap yang harus dimiliki oleh konselor client centered, yaitu sebagai berikut (Komalasari, dkk, 2011).
Menunjukkan sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness)
Kongruen mengandung arti bahwa konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi, dan otentik. Dalam hal ini, konselor harus dapat menampilkan kekongruenan antara perasaan dan pikiran yang ada di dalam dirinya (inner) dengan perasaan, pandangan, dan tingkah laku yang diekspresikan (outer). Konselor yang otentik menampilkan diri yang spontan dan terbuka baik perasaan maupun sikap yang ada dalam dirinya serta dapat berkomunikasi secara jujur dengan konseli. Konselor juga diharapkan dapat melakukan self-disclosure yang sesuai dengan kondisi konseli dan substansi topik yang dibicarakan dalam konseling. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendengarkan konseli secara sungguh-sungguh dan memahami permasalahannya. Adapun keaslian konselor dapat terlihat melalui respons-respons konselor yang muncul secara alamiah, asli, dan tidak dibuat-buat, sehingga tidak berlebihan.
Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance)
Unconditional positive regard berarti bahwa konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara mendalam dan jujur sebagai pribadi. Dalam hal ini, konselor tidak diperkenankan melakukan penilaian dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran, dan tingkah laku klien berdasarkan standar norma tertentu. Acceptance berarti bahwa konselor menunjukkan penghargaan yang spontan terhadap klien dan menerimanya sebagai individu yang berbeda dengan konselor. Perbedaan ini meliputi perbedaan nilai-nilai, persepsi diri, ataupun pengalaman-pengalaman hidupnya. Adapun penerimaan ini bertujuan untuk membangun hubungan terapeutik menjadi lebih konstruktif.
Pemahaman empati yang tepat (accurate empathic understanding)
Empathy atau deep understanding merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan klien, melihat melalui sudut pandang klien, dan peka terhadap perasaan-perasaan klien sehingga konselor dapat mengetahui perasaan klien. Oleh karena itu, konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli tidak hanya pada permukaannya saja, tetapi lebih mendalam pada kondisi psikologis klien. Apabila ketiga kondisi tersebut dapat dimunculkan oleh konselor, maka dapat diprediksi bahwa aktivitas konselor dalam konseling adalah menjajagi perasaan dan sikap klien secara lebih mendalam. Klien kemungkinan akan menemukan beberapa aspek dalam dirinya yang sebelumnya tidak disadarinya. Selain itu, klien akan lebih mampu mendengarkan dirinya sendiri, mendengarkan apa yang sedang terjadi di dalam pengalamannya sendiri, dan mendengarkan perasaan-perasaan yangg sebelumnya tidak sanggup ia pahami.
Karakteristik Konseling Client Centered
Rogers tidak mengemukakan bahwa teori client centered merupakan suatu pendekatan terapi yang tetap dan tuntas. Ia mengharapkan orang lain akan memandang teorinya sebagai sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses terapi, dan bukan sebagai suatu dogma. Rogers (dalam Corey, 2009) menguraikan Karakteristik yang membedakan pendekatan client centered dengan pendekatan-pendekatan lain, yaitu (1) Pendekatan client centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Klien sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya, (2) Pendekatan client centered menekankan dunia fenomenal klien. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha memahami klien, terapis memberikan perhatian terutama pada persepsi diri klien dan persepsinya terhadap dunia, (3) Pada pendekatan client centered, prinsip-prinsip psikoterapi yang sama diterapkan pada semua orang, baik yang “normal” yang “neurotik” maupun yang “psikotik”. Berdasarkan konsep bahwa hasrat untuk bergerak menuju kematangan psikologis berakar dalam manusia, prinsip-prinsip terapi cliet centered diterapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relatif normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar. (4) Menurut pendekatan client centered, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan psikoterapeutik di dalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien, (5) Fungsi terapis pada terapi client centered adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini dan sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis. Pendekatan client centered berlandaskan filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan pada aktualisasi diri dan memandang manusia secara fenomenologis. Pendekatan client centered menempatkan tanggungjawab utama arah terapi pada klien. Bertujuan membantu klien untuk menjadi pribadi yang bermanfaat.
Penerapan Pendekatan Client Centered dalam Menghadapi Perilaku Negatif
Deskripsi Kasus
Bagas adalah seorang mahasiswa yang melihat dirinya sebagai Arsitektur profesional di masa yang akan datang, tetapi nilainya yang dikeluarkan dari sekolahnya ternyata dibawah rata-rata. Perbedaan antara Bagas yang melihat dirinya (konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk terapi. Bagas harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk perubahan.
Diagnosis
Dari deskripsi kasus diatas dapat dapat disimpulkan bahwa gejala yang nampak. Bagas merasa cemas terhadap gambaran diri sendiri karena adanya konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self).
Proses Konseling
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi Bagas pendekatan Client Centered cocok digunakan. Selain itu tujuan dari pendekatan ini adalah membantu individu menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, di mana konselor mendudukan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard). Dalam hubungan konseling, diharapkan konselor dapat memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien adalah sebagai individu yang memiliki keunikan tersendiri, di samping mempunyai kesamaan.
Proses konseling diarahkan agar Bagas merasa aman dan terbuka dalam mengemukakan masalahnya, merasa tenteram dan bebas dalam mengekspresikan keinginan-keinginannya, dan rencana-rencananya yang berkaitan dengan terbantunya dia dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Sehingga Bagas meyakini bahwa pilihannya benar, dan ia berusaha untuk mengambil semua resiko yang berkaitan dengan keyakinannya dan akhirnya mantap dengan keputusan yang diambilnya, termasuk konsekuensi atas keputusannya.
Dalam proses konseling konselor membantu Bagas agar dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan. Bagas dapat mengekspresikan ketakutannya, rasa bersalah kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. Emosi atau perilaku negatif telah dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri mereka. Dengan terapi, orang pindah ke penerimaan yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah disimpan tersembunyi. Sebagai klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami dan menerima orang lain.
Kesimpulan Konseling
Pendekatan ini membuat Bagas dapat menghargai diri lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Individu-individu mengarahkan hidup mereka sendiri dan bukan mencari di luar diri mereka sendiri untuk mencari jawaban. Mereka bergerak ke arah yang lebih berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri. Sehingga Bagas dapat memilih dan klien dapat menyembuhkan dirinya sendiri, dan membuat pertumbuhan diri, serta mengambil keputusan yang tepat dalam dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Fiest J dan Gregory J. Fiest. 2008. Theories of Personality. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Gerald Corey, 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung Refika Aditama. Terjemahan. Edisi Kelima.
Komalasari, G. dkk, 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta. Indeks.
Larsen R. J dan David M. Buss. 2002. Personality Psychology. International Edition
Materi Kuliah. 2013. Mata kuliah Teori Pendekatan Konseling.
Palmer, S (ed). 2011. Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Terjemahan dari judul asli; Introduction to Counseling and Psychoterapy.
Perry, W. 2010. Dasar-Dasar Teknik Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari judul asli: Basic Counseling Techniques; A Beginning Therapist’s Toolkit (2nd Edition).
Richard Nelson Jones. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
W.S Winkel & MM. Sri Hastuti. 2012. Bimbingan dan Konseling Di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi