BUDAYA PELA GANDONG DI NEGERI HARIA

SEBAGAI ALAT PEMERSATU DAN PERDAMAIAN

ORANG MALUKU TENGAH

Rianty Manuhutu

Wahyu Purwiyastuti

Tri Widiarto

Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRACT

Pela gandong is culture of the Moluccas, often be defined content brother of one father and one mother. Pela can be defined as a bond while Gandong unity are defined as the brother of one the womb, usually occurring between two or more country or village which binds the land which one with another country because of the agreement and oath that should not be violated. The establishment of Pela Gandong between the land which one with another country because of the relationship brother or the event not be forgotten their lifetime of generations. Values and norms Pela Gandong very beneficial for the country Haria, which symbolize unity and peace to unite differences create conflicts. The purpose of this research is to know the history and benefits of culture Pela Gandong Haria in the land as a unifying and peace the middle of the Moluccas. This research using qualitative descriptive is trying to describe all activities, the object, the process, and humans. Data collection techniques conducted with the technique of the study of literature that is the author of collected data based on literature in accordance with the problem of the study, interview techniques is the integration between writers and informants. The results of this research can be inferred that culture Pela Gandong Haria in the land as a unifying and peace the Moluccas central upholds the values of togetherness please help each other in fraternity and love will the peace which unites the difference that strengthen the unity and peace of the community to the Moluccas.

Key word: Pela Gandong, unifying and peace, Land Haria.


PENDAHULUAN

Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata kebudayaan itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembanagn dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (Koentjaraningrat, 1982:9). Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjaraningrat, 1982:9). Adapun istilah dalam inggrisnya berasal dari kata latin colere, yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama meng-olah tanah atau bertani. Dari arti itu berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam.

E. B. Taylor (Tri Widiarto, 2009:3-4) berpendapat bahwa kebudayaan diarti-kan sebagai keseluruhan yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebia-saan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (1974:2) men-deskripsikan tujuh unsur kebudayaan anta-ra lain: Sistem religi, sistem organisasi, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup, teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan tadi memang mencangkup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun juga, dan dengan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.

Ditinjau dari dimensi wujudnya, Koentjaraningrat (1974: 5-7) berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah: Yang pertama wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketiga wujud dari kebudayaan yang sudah terurai di atas bahwa wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat dirubah atau difoto. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat. Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain. Wujud ketiga disebut kebudayaan fisik, dan tidak perlu banyak keterangan karena berupa seluruh total dari hasil fisik manusia dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain.

Herskovitas memandang bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang super organis, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Tri Widiarto, 2005:36-37). Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah di dalam bertindak dan berpikir, sehubung-an dengan pengalaman-pengalaman yang fundamental, dari sebab itulah kebudayaan itu tidak dapat dilepaskan dengan individu dan masyarakat (Joko Tri Prasetya,dkk, 2004:35-37).

Pela-Gandong adalah ikatan antara dua atau lebih negeri (desa) yang disertai sumpah dan janji yang tidak boleh dilanggar oleh warga Negeri yang mempu-nyai ikatan tersendiri. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata Pela dan Gandong. Kata Pela berasal dari kata “Pila” yang artinya buatlah sesuatu untuk kita bersama. “Pila” dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan kata “tu” menjadi “Pilatu”. Pilatu artinya menguatkan, mengamankan, dan mengusahakan agar sesuatu tidak mudah rusak dan pecah. (Jhon F. Lokollo. 1996).

Gandong (Kandung) adalah satu istilah kekerabatan yang digunakan untuk menyatakan hubungan persaudaraan antar anak-anak yang lahir dan berasal dari satu kandungan (rahim Ibu). Gandong merupa-kan bentuk kekerabatan antara dua atau lebih Negeri yang mulanya hidup bersama sebagai saudara sekandung tetapi karena sesuatu hal, mereka berpisah satu dengan yang lain dan terpisah ke pulau-pulau lainnya dengan waktu yang cukup lama. Kemudian pada akhirnya terungkap lagi garis keturunannya. Pela Gandong merupa-kan suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu Negeri (Desa) dengan Negeri lainnya yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku, biasanya satu Negeri memiliki satu atau dua Pela. Budaya Pela Gandong merupakan alat pemersatu dan perdamaian bagi orang Maluku terkhususnya Maluku Tengah yang melambangkan persekutuan, kekeluargaan, saling menghargai dan cinta akan damai yang menjadi jati diri orang Maluku yang melekat nilai-nilai budaya yang telah membentuk cara pandang dan perilaku, tentu nilai ini menjadi kekuatan atau daya dorong bagi orang Maluku. Pela Gandong dianggap sebagai suatu ikatan persaudara-an antara semua penduduk antara Negeri (baik dua negeri atau pun banyak negeri) yang bersangkutan dan dianggap suci. Pela Gandong memiliki arti sakral bagi masyara-kat Maluku Tengah. Pela mempunyai tiga jenis yang berbeda namun memiliki makna yang sama, yaitu sebagai alat pemersatu dalam hubungan-hubungan kemasyarakat-an antara satu Negeri dengan Negeri yang lain di daerah Maluku. Jenis-jenis Pela yang dimaksud adalah Pela Karas (Keras), Pela Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu) dan Pela Tampa Siri (Tempat Sirih), yang pada dasarnya memiliki perbedaan dalam ritualisasinya namun mempunyai makna yang sama.

Berbagai gagasan sehubungan de-ngan masalah persatuan dan kesatuan selalu dilontarkan oleh Soekarno pada berbagai kesempatan. Gagasan-gagasan-nya antara lain Samen vorming van die alle revolusinaire krachten, yang artinya padukanlah atau persatukanlah semua te-naga revolusioner. Gagasan tersebut dike-mukakan untuk membangkitkan semangat juang bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang bertujuan untuk merongrong dan menghancurkan kemerdekaan Republik Indonesia. Gagas-annya yang terkenal lainnya yaitu “Ras verbetering” ini adalah suatu gagasan dimana Soekarno sebagai Presiden menginginkan adanya persatuan dan kesatuan diantara semua warga Negara Republik Indonesia tanpa membedakan asal Ethnisnya ataupun Rasnya. Presiden Soekarno pernah berkata “kalau kita mau mencari bentuk persatuan dan kesatuan bangsa carilah di Maluku dan belajarlah dari orang Maluku”. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa sebagai pranata sosial orang Maluku memang diakui arti dan manfaatnya dalam upaya menggalang persatuan dan kesatuan (T.J.A. Uneputty. 1996:7).

Johan Galtung mendefinisikan per-damaian yakni pertama perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan, kedua perdamaian adalah transformasi konflik kreatif nonkekerasan. Menurutnya, untuk definisi pertama, memi-liki konsekuensi adalah pada kerja perda-maian, yaitu kerja untuk mengurangi keke-rasan dengan cara damai, sedangkan untuk definisi kedua, konsekuensi adalah pada studi perdamaian, yaitu studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian yang sangat mirip dengan studi kesehatan, sehingga segitiga diagnosis-prognosis-terapi dapat diterapkan (Semuel Waileruny, 2010:37).

Penulisan Yusak B. Setyawan dengan judul “Makna Damai dalam Alkitab” dalam buku bacaan pendidikan perdamaian mengemukakan bahwa dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) memaknai damai sebagai keadaan tanpa permusuhan yang antara lain adalah keadaan tanpa perang (arti pertama dan kedua), hubungan antar pihak-pihak yang pernah bermusuhan menjadi baik kembali (arti ketiga) dan suasana tentram dan aman dalam suatu masyarakat (arti keempat). Menurut salah satu Kamus Bahasa Inggris yang dipakai secara luas terutama si Australia, yakni The Macquarie Dictionary, mendefinisikan kata damai (peace) dengan menitik beratkan pada pengertian “Free-dom” (bebas dari perang, permusuhan, ketidaktertiban, dan gangguan mental), dan “state” (keadaan nyaman, tenang dan sentosa) (Theofransus Litaay: 2011-29).

Perdamaian sebagai struktur per-kembangan historis kultural tidak lepas di angkasa tetapi sangat terikat dalam struktur-struktur, adat-adat atau cara berpikir dan merasa terhadap sesuatu. Damai jelas tidak hanya dapat diberi definisi negatif, yaitu tidak adanya bahaya perang, tetapi dapat juga bersifat mutlak, yaitu adanya harmoni yang dinamis pada berbagai peringkat sistem hayat pada manusia. Jikalau keadaan ini harus dicapai, yaitu adanya perdamaian dari peringkat supranasional sampai ke peringkat sel secara merata, maka kita akan kedahuluan oleh usaha-usaha peperangan yang tidak begitu memperhatikan soal definisi perang dan damai (Denny JA, dkk: 1985-202).

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Negeri (Desa) Haria, Kecamatan Saparua, Kabupa-ten Maluku Tengah.

Jenis Penelitian

Dalam penelitian penulis menggu-nakan metode deskriptif kualitatif yaitu mencoba mendeskripsikan semua aktivitas, objek, proses, dan manusia, dengan mak-sud mendeskripsikan Budaya Pela Gandong di Negeri Haria sebagai alat Pemersatu dan Perdamian Orang Maluku Tengah sebagai-mana adanya.

Subjek Penelitian

Sasaran penelitian adalah masyara-kat Negeri Haria, terutama:

a.   Perangkat Negeri untuk mendapatkan informasi tentang sejarah Pela Gandong di Negeri Haria.

b.   Masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan Pela dan Gandong di Negeri Haria.

c.    Beberapa tokoh adat untuk mendapatkan informasi tentang adat yang digunakan dalam bentuk Pela dan Gandong.

Tehnik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa metode yaitu:

a.   Studi Kepustakaan

Penulis mengumpulkan data berda-sarkan literatur yang sesuai dengan masalah yang dikaji. Penemuan sumber tersebut dilakukan di Perpustakaan UKSW, Perpustakaan Daerah Salatiga dan Perpus-takan Daerah Maluku.

b.   Wawancara

Teknik wawancara dilakukan de-ngan tanya jawab kepada pihak-pihak yang sudah mengalami dan mengetahui Pela dan Gandong tersebut, dari perangkat Negeri, tokoh-tokoh adat dan masyarakat.

Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan teknik deskritif kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan Budaya Pela dan Gandong atau diceritakan kembali oleh nara sumber sehingga semua data disusun sedemikian rupa yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Metode yang digunakan pendekatan sosiohistoris dan budaya.

PEMBAHASAN

Negeri Haria secara administratife termasuk dalam wilayah Kecamatan Sapa-rua, Kabupaten Maluku Tengah. Terletak di sebelah barat Kecamatan Saparua dengan jarak 5 km dari ibu kota kecamatan dan waktu tempuh dari ibu kota kurang lebih 15 menit. Negeri Haria terdiri dari 12 lingkungan. Luas wilayah Negeri Haria 1900 Ha batas wilayah pada: Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Porto, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Timur dengan Negeri Tiow, Paperu, Booi, dan sebelah Barat dengan Selat Haruku.

Menurut kisahnya, para leluhur berlayar dengan Gosepa (rakit) dari pulau Seram, menyusur pantai ke pelabuhan Porto-Haria, kemudian mendaki bukit dan mendiami sebuah tempat dekat dengan Negeri Paperu dan Booi. Mereka membangun sebuah Negeri (Desa) yang bernama Amano artinya tempat yang aman. Negeri lama digunung ini disebut dengan nama Teo (nama adat) yaitu Leiwaka Amapati. Leiwaka artinya datang jaga; Ama/aman artinya Negeri (desa); Pati artinya Raja atau pemimpin. Jadi Leiwaka Amapati artinya Negeri yang dijaga dan diperintah oleh seorang Pati (Raja).

Sejak kedatangan orang-orang Portugis pada abad ke-16 pelabuhan Porto-Haria makin ramai, dan orang-orang dari Leiwaka mulai turun dan bergaul dengan orang-orang Portugis. kemudian pada zaman Belanda, semua penduduk Leiwaka diturunkan ke pantai dan mendirikan pemukiman baru. Negeri baru pantai ini diberi nama Aria (Haria) yang artinya turun atau ke pantai. Pendapat lain mengatakan, mungkin nama Haria berasal dari orang Portugis yang menyebut tempat ini sesusai dengan nama tempat di Portugal yaitu Haria keturunan raja atau pemimpin yang memerintah di Haria adalah marga (mata rumah) Manuhutu. (Pengisah Jacob Michel Manuhutu, Raja Negeri Haria).

Sejarah Pala antara masyarakat Negeri yang satu dengan yang lain sebenarnya dimulai pada masa lampau yaitu sebelum Islam ataupun Kolonial, dan dilakukan oleh masyarakat lokal yang umumnya di Maluku menyebut mereka Alifuru. Peristiwa ini muncul dari akibat pada suatu peperangan yang dilakukan antara satu suku dengan suku yang lain, dan untuk tidak mengulanginya mereka kemudian sumpah yang disebut Pela. Pela dan Gandong yang terjadi antara Negeri-negeri di Maluku Tengah seperti yang ada pada hasil penelitian ini terjadi akibat adanya peperangan atau peristiwa untuk melawan penjajah yang menjajah orang Maluku terkhususnya di Pulau Saparua, ada juga terjadi akibat percintaan seperti yang dialami oleh masyarakat Negeri Haria dengan Negeri Siri Sori Islam. Nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pela Gandong dilakukan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari untuk terciptanya kerukunan dan perdamaian yang terus terpelihara dan dilakukan terun temurun.

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa Pela yang terjalin antara Negeri Haria dengan Negeri Siri-Sori Islam disebut dengan Pela Karas (Keras), bermula antara Kapitan Said Perintah (Siri-Sori Islam) dan Kapitan Thomas Matulessy (Haria) saling tolong menolong. Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negeri atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tidak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu Negeri kepada Negeri lain. Pela Karas yang terjalin antara Negeri Haria dengan Negeri Siri-Sori Islam merupakan ikatan hubungan Pela antar sesama Pela yang ditetapkan secara ketat melalui sumpah para leluhur dengan cara mengangkat sumpah, meminum darah sebagai bentuk sumpah Pela selamanya. Hukum Pela yang berlaku di antara Negeri Haria dan Negeri Siri-Sori Islam meliputi kesepakatan untuk menghadiri acara pelantikan Raja di masing-masing Negeri, tidak diperkenankan untuk saling mengawini, aturan mengenai hak milik bersama, saling menjaga termasuk di dalamnya aturan untuk saling membantu dalam suka dan duka.

Selain terjadi hubungan Pela Karas antara Negeri Haria dengan Negeri Siri-Sori Islam, kedua Negeri ini terjalin hubungan Gandong atau Pela Gandong. Menurut sejarah terbentuknya hubungan Gandong antara Negeri Haria dan Negeri Siri-Sori Islam dikisahkan Desa Haria dan Siri-Sori, antara Datuk Silaloi dari Siri-Sori dan Datuk Manuhutu dari Haria. Pela Gandong yang terjalin antara kedua Negeri ini dikarenakan cinta kasih persaudaraan.

Budaya Pela Gandong masih tetap dilestarikan dan dimanfaat bagi masyarakat Negeri Haria untuk tetap saling mengasihi, saling menyapansatu dengan yang lain, tidak boleh ada yang membuat sesama saudara Pela menjadi tersinggung, tidak boleh menaruh curiga, dendam, marah, saling mempersalahkan satu dengan yang lain, apalagi sampai mengawini sesamanya. Nilai-nilair asa persatuan, kerukunan, prinsip tolong menolong, menghargai perbedaan agama, keharmonisan dan damai yang melambangkan jati diri masyarakat Negeri Haria.

DAFTAR PUSTAKA

Denny JA. et al. 1985. Agama Dan Kekerasan. Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi

Joko Tri Prasetya, dkk. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, mentalitas Dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia

______________. 1982. Kebudayaan. Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

______________. 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Lokollo J, E. 1996. Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon, cet. ke-1 Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku

Semuel Waileruny. 2010. Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Theofransus. et el. 2011. Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian. Salatiga: Satya Wacana Peace Center

Tri Widiarto. 2005. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press

Tri Widiarto. 2009. Psikologi Lintas Budaya, Widya Sari, Salatiga

 

Uneputty. T.J.A. 1996. Perwujudan Pela Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Maluku. Ambon: Star Offset