CORAK BATIK DAN MAKNANYA DALAM BUDAYA MASYARAKAT BLORA
CORAK BATIK DAN MAKNANYA
DALAM BUDAYA MASYARAKAT BLORA
Chandra Rizka Hardiwana
Sunardi
Wahyu Purwiyastuti
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pendidikan Sejarah
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
Blora’s Batik is a kind of batik clothes that becomes a cultural ancestor legacy of Indonesia. Blora’s Batik is producted in rural district around, Blora Regency, Blora City, and Central Java Province. The special motive of this batik is on their motivesuch as barongan motive, tayub motive, Daun jati motive, sate motive and sumur angguk motive. Therefore, it is interested to research because its different with Batik motive other place. The researcher used qualitative descriptive method through data collection that are literature study, observation, interview, and documentation. The result of the research shows that the batik motive and the meaning toward the culture of Blora Society. The influences can be seen in the motive that have special characters of art. It proves that Blora’s Batik has motive sources which can support culture development in Blora city.
Keywords: Batik Motive, meaning, society culture
LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan negara dengan suku-suku yang beragam dan memiliki kebudayaan yang beragam di setiap daerahnya. Kebudayaan tersebut selain menimbulkan kekayaan yang cantik, juga memiliki permasalahan masing-masing. Mulai dari perebutan hak paten kebudayaan sampai lunturnya nilai-nilai kebudayan tersebut. Masalah budaya di Indonesia, bila tidak segera ditangani maka akan berakibat pada punahnya budaya Indonesia sehingga dikhawatirkan akan terjadi krisis budaya di jaman generasi selanjutnya. Penyebab permasalahan budaya di Indonesia antara lain kurangnya regenerasi, kurangnya rasa memiliki, kurangnya penghargaan dari pemerintah, konsep pelestarian budaya yang kurang tepat, dan masyarakat yang terlalu mudah menyerap budaya luar (Anindito, 2010: 1)
Budaya atau kebudayaan itu sendiri dari bahasa sanskerta yaitu buddayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah dan mengerjakan. Kebudayaan menurut C. Kluckhohn terdapat 7 unsur kebudayaan yang universal diantaranya yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan (Koentjaraningrat, 1989: 78).
Batik merupakan salah satu produk budaya bangsa Indonesia. Di Indonesia batik dipercaya sudah ada sejak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar 1920-an. Batik mengalami perkembangan corak, teknik, proses, dan fungsi akibat perjalanan masa dan sentuhan berbagai budaya lain. Batik dibangun dengan pandangan dasar seni gambar yang berkembang sesuai dengan tuntunan zaman. Batik adalah salah satu citra budaya bangsa Indonesia. Batik Indonesia memiliki kekhasan pada kerajinan, kerumitan, dan keluasaan ragam hias akibat tapak cantingnya. Potensi pembatik cukup besar dan menyebar luas. Mereka menanti uluran tangan dari para perancang dan seniman untuk secara bergandengan menyongsong masa depan yang lebih cerah (Anindito, 2010: 2).
Pengakuan batik sebagai warisan budaya asli bangsa Indonesia ini kemudian membawa gairah baru bagi kondisi dunia perbatikan di Indonesia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tersebut mendorong permintaan kain batik pasar lokal maupun luar daerah atau dalam negeri yang terus mengalir. Pemerintah berusaha memajukan kembali batik dan menghidupkan industri-industri batik terutama batik tulis yang sempat lesu. Langkah ini diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, dengan menerapkan penggunaan batik sebagai salah satu seragam kerja. Beberapa pemerintah daerah yang memiliki sentra batik bahkan berupaya merevitalisasi sentra-sentra kerajianan batik yang ada agar mampu meningkatkan produksinya kembali. Harapannya, pengakuan batik oleh dunia ini dapat menghidupkan kembali industri batik dalam negeri serta mampu mendongkrak produksi dan penjualan batik. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan batik di dalam negeri. Pada akhirnya semua pihak berharap agar berbagai upaya yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan pengakuan dunia terhadap batik Indonesia dapat dipertanggung jawabkan (Hempri, dkk, 2010: 16-17)
Berawal dari 3 September 2008, terjadi pengakuan negara lain yang kemudian batik Indonesia diterima secara resmi oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 9 Januari 2009. Tahap selanjutnya adalah pengujian tertutup oleh UNESCO di Paris pada tanggal 11-14 Mei 2009. Delegasi Malaysia sendiri menjadi saksi diantara 114 negara itu. Dalam prosesnya, batik Indonesia bersaing dengan kain yang bermotif dari Malaysia, Jepang, Tiongkok, India, Afrika, Jerman, dan Belanda. Setelah melalui beberapa persyaratan dan pengamatan UNESCO, akhirnya UNESCO dengan kewenangan yang dimilikinya menetapkan batik sebagai salah satu warisan umat manusia yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi turun temurun sehingga kadangkala suatu motifpun dapat dikenali berasal dari keluarga tertentu. Sejak batik diakui UNESCO 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan budaya, pada beberapa daerah terdapat banyak potensi batik yang menunjukkan ciri khas masing-masing daerah.
Di Kabupaten Blora dikembangkan corak batik khas Blora, seperti corak daun jati dan mustika yang mengandung filosof hidup dan etos kerja. Corak baru tersebut, diperkenalkan pada tahun 2008 sebagai simbol potensi Blora yang 40% luas wilayahnya merupakan hutan jati. Selanjutnya, pada tahun 2009 pemerintah daerah setempat mendisain batik mustika yang mengandung kekhasan Blora seperti, kilang minyak, barongan, tayub, sate, sedulut sikep (samin), dan pohon jati. Blora memang dikenal dengan hasil buminya, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan barongan merupakan kesenian lokal yang masih dilestarikan, sedangkan sate merupakan makanan yang dianggap khas dan cukup populer di Kota Blora, demikian halnya sedulur sikep artinya sekumpulan masyarakat samin.
Pada tahun 2000 kondisi kebuda-yaan Blora masih kurang berkembang. Namun, sejak bertumbuhnya pengrajin batik di Blora maka berkembang pula kebudayaan kota Blora yang dituangkan ke dalam corak batik Blora. Hal yang menarik untuk diteliti adalah faktor-faktor apa yang mendorong masyarakat membuat corak batik dan maknanya dalam budaya masyarakat Blora.
Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ragam corak batik Blora ?
2. Apa makna batik Blora dalam budaya masyarakat Blora ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui identifikasi beragam corak batik Blora.
2. Mengetahui makna corak batik dalam budaya masyarakat Blora.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis:
1. Secara teoritis atau akademis, hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan pendidikan terutama dalam mata kuliah sejarah, antropologi, dan kebudayaan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang corak batik Blora dan maknanya untuk memperkenalkan budaya masyarakat Blora: Mengenalkan beragam corak batik Blora; Rasa cinta dan bangga terhadap budaya masyarakat Blora.
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Corak
Corak adalah hasil ungkapan artistik seseorang dalam mewujudkan bentuk-bentuk alami disesuaikan dengan cita rasa keindahan dalam peniruannya (Kamus Bahasa Indonesia, 1998: 513).
Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan dari Tionghoa yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat pada batik dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisional tetap mempertahankan corak-nya dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambang masing-masing (Anindito, 2010: 5-6)
Unsur terpenting yang terdapat pada suatu batik, baik tradisional maupun kontemporer adalah corak yang ada. Menurut seorang ahli dibidang batik, corak yang terdapat pada batik merupakan suatu pola. Pola merupakan gambar yang dipakai untuk contoh batik. Penyusunan pola terdiri atas ornamen-ornamen yang disebut ragam hias. Umumnya, suatu ragam hias sangat dipengaruhi erat hubungannya dengan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan.
2. Sifat dan tata kehidupan daerah yang bersangkutan.
3. Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan.
4. Keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna.
5. Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.
Berdasarkan faktor-faktor di atas dapat menyebabkan adanya persamaan dan perbedaan ragam hias batik antar daerah. Selain itu, sangatlah sulit untuk menarik garis yang tegas mengenai ciri-ciri khas batik dari berbagai daerah. Hal ini disebabkan adanya pengaruh timbal balik antar daerah, misalnya kekhasan suatu daerah kemudian ditiru oleh daerah lain. Hal lain yang juga dapat dipakai sebagai penunjang untuk mengetahui daerah asal batik adalah antara lain tata warna, isen-isen yang khas dari daerah tersebut, jenis batik (kain panjang, kain sarung, dodot, dan sebagainya), dan ukuran ( misalnya ukuran selendang batik yang lebih besar dipakai di Sumatera). (Afrilliyana Purba, 2009: 57-58)
Berdasarkan perkembangan batik di Pulau Jawa, corak batik dapat dirinci menjadi 3 (tiga) unsur pokok, yakni ragam hias utama (klowongan), isen-isen, dan ragam hias pengisi. Ragam hias utama (klowongan) adalah bentuk hiasan menjadi unsur penyusun utama corak batik. Isen-isen adalah hiasan yang mengisi bagian-bagian ragam hias utama (klowongan) disebut isen corak misalnya cecek, sawut, cecek sawut, dan sisik melik. Ragam hias pengisi adalah hiasan yang ditempatkan pada latar corak sebagai penyeimbang bidang agar corak secara keseluruhan tampak serasi misalnya ukel, galar, dan grinsing (Afrilliyana Purba, 2009: 58-59).
Batik
Batik berasal dari bahasa jawa yaitu amba yang artinya menulis, sedangkan tik artinya titik atau tetes. Jadi batik adalah gambaran atau lukisan yang dibuat pada kain dengan lilin atau malam dan pewarna, menggunakan alat canting dan kuas serta teknik tutup celup. Kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang diaplikasikan kertas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Batik dapat berupa gambar pola ragam hias atau lukisan ekspresif. Menggambar atau melukis dengan bahan lilin atau malam yang dipanaskan dan menggunakan alat canting atau kuas disebut membatik. Batik memiliki fungsi ganda yaitu fungsi praktis dan estetis.
a. Secara praktis, kain batik dapat digunakan memenuhi kebutuhan akan pakaian, penutup tempat tidur, taplak meja, sarung bantal, dan sebagainya.
b. Secara estetis, batik lukis bisa dibingkai dan dijadikan perhiasan ruangan atau hiasan dinding.
Ada beberapa jenis batik yakni batik tulis, batik cap, dan batik lukis. Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih. Batik Blora merupakan seni batik tulis gaya filosofi hidup dan etos kerja yang kaya warna. Batik merupakan salah satu pusaka budaya dan benda peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia berkembang sejak kerajaan Majapahit (Eni, 2009: 38).
Corak batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Batik Blora merupakan seni batik tulis gaya filosofi hidup dan etos kerja yang kaya warna. Batik Blora dikenali dengan adanya warna alam dari alam sekitarnya. Misalnya, corak makan khas Blora atau sate, corak fauna khas Blora kepompong ulat jati atau ungker dan daun jati, dan corak kesenian khas Blora seperti barongan dan tayub. Corak batik Blora memiliki pengaruh yang sangat kuat pada batik Lasem, Tuban, bahkan Pekalongan, Solo, dan Jogja, sebagaimana halnya pengaruh corak batik dari berbagai daerah tersebut dalam perkembangan dinamika corak dalam batik Blora (Anindito, 2010: 5)
Apabila dilihat dari sifatnya jenis-jenis batik diantaranya:
1. Batik klasik atau tradisional
Batik klasik atau tradisional adalah batik yang bersifat universal dan memiliki sejarah berlatarbelakang budaya keraton dan pemakainya adalah warga keraton serta batik klasik ini mempunyai makan atau perlambang
2. Batik Primitif
Batik Primitif adalah batik mempunyai pola hias yang masih sangat sederhana dan simpel. Contoh dari batik primitif antara lain motif manusia pada tenun ikat Sumba.
3. Batik Modern
Batik modern adalah batik yang bersifat lebih individual dan dalam pembuatannya mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjara-ningrat,1986: 12).
Kerajinan Batik Blora
Kerajinan batik Blora muncul pada tahun 2009. Batik Blora diperkenalkan sebagai simbol potensi Blora yang 40 persen luasan wilayahnya merupakan hutan jati. Blora juga dikenal dengan hasil bumi, kesenian, dan makanan khas daerahnya. Motif batik Blora sangat kental dengan budaya lokal sehingga batik Blora berbeda dengan motif daerah lainnya. Selanjutnya Pemda setempat mendesain batik Blora yang mengusung kekhasan Blora, seperti kilang minyak, barongan, sate, daun jati, dan tayub. Serta membina para ibu-ibu di pedesaan untuk menjadikan satu kelompok pengrajin batik (wawancara dengan Didik, 3 April 2015).
Perkembangan batik Blora sangat pesat sampai saat ini, yang semula memiliki 10 kelompok sekarang berkem-bang menjadi 46 kelompok pengrajin batik. Bahkan dalam pasarannya tidak pernah sepi dan batik Blora selalu diminati oleh daerah-daerah lain.
Batik khas Blora merupakan batik yang memiliki ciri khas Kabupaten Blora yaitu pohon jati, minyak bumi, kesenian barongan, kesenian tayub, sate ayam, dan lain-lain. Batik Blora memiliki ciri khas sesuai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Blora yang bergerak dilingkup minyak bumi, pohon jati, meubel berhiaskan motif cukit, makanan khas blora yaitu sate ayam dan lontong tahu, serta kesenian barongan dan tayub. Kesenian barongan merupakan kesenian khas Blora dimana menggambarkan kehidupan masyarakat Blora. Kesenian barongan sudah ada sejak zaman dahulu yang sudah turun temurun dan dilestarikan di Kabupaten Blora. Blora sebuah Kabupaten, Provinsi Jawa Tengah, yang terkenal dengan kesenian barongnya. Batik Blora mengembangkan corak yang khas sesuai dengan budaya masyarakat Blora (wawancara dengan Didik, 3 April 2015)
1. Corak Barongan
Barongan merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat popular di kalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Kesenian barong berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor singa raksasa. Peranan singo barong secara totalitas di dalam penyajian merupakan tokoh yang sangat doninan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu Bujangganong/ Pujonggo Anom Joko Lodro/ Gendruwo pasukan berkuda/ Reog Noyontoko Untub. Kesenian barong bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dengan iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmara Bangun / Pujanggo Anom dan Singo Barong. Di dalam kesenian barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran. Hal ini tercermin perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Blora. Seperti nilai spontanitas yang berarti dalam kehidupan sehari-hari harus tanggap terhadap suatu permasalahan. Sifat kekeluargaan mencerminkan kerukunan antar umat manusia. Sifat kesederhanaan mencerminkan tidak bergaya hidup mewah. Sifat kasar dan keras mencermin-kan ketegasan dalam mengambil keputus-an. Sifat kompak mencerminkan sifat yang tidak membedakan golongan, ras, agama. Sifat keberanian mencerminkan sifat berani dalam mengambil tindakan yang berlin-daskan kebenaran. Barongan dalam keseni-an barong adalah suatu perlengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan ber-hantu dan sangat buas. Adapun tokoh singo barong dalam cerita barongan terse-but disebut juga Gembong Amijoyo yang berarti harimau besar yang berkuasa. Maka dari itulah kesenian barongan dijadikan untuk motif dalam batik Blora. (wawancara dengan Didik, 3 April 2015).
2. Corak Tayub
Tayub merupakan salah satu seni kebudayaan yang ada di Blora. Berdasar-kan keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan, perkataan tayuban berasal dari Tayub, yang menurut keroto boso adalah ringkasan dari kata “ditoto guyub” (ditata supaya kompak). Bahwa di dalam penyajian seni tayuban gerak tari para penari serta gending iringannya diatur bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain (penari dan penabuh) dengan para penonton, sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persau-daraan. Seni tayuban menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan itu oleh para pemain wanita yang disebut joget dengan cara menyerahkan sampur (selendang yang dipakai penari wanita) atas petunjuk pengarih. Tamu yang menerima sampur atau istilah “ketiban sampur“ mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan berjoget. Di dalam kelompok seni pertunjukan, tayuban dapat digolongkan sebagai tari rakyat tradisional. Sifat kerakyatan yang menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat pedesaan yang umum dijumpai di wilayah Kabupaten Blora. Mereka memiliki sifat spontanitas, kekeluargaan, kesedehanaan, sedikit kasar, namun penuh rasa humor. Sebagaimana ciri khas tari ini, maka Tayuban semakin menyebar hampir seluruh Kabupaten Blora. Seni Tayuban pada umumnya dipentaskan pada upacara adat sedekah bumi, hajatan, memenuhi nadar, khitanan, perkawinan, dan sebagainya. Maka dari itulah kesenian tayub dijadikan untuk motif dalam batik Blora. Harapan designer terhadap motif tayub yaitu supaya kesenian tayub di Kabupaten Blora tetap dilestarikan dan dapat dikenal oleh masyarakat luas. (wawancara dengan Japung, 26 April 2015).
3. Corak Daun Jati
Motif Daun Jati merupakan ciri khas batik Blora yang terdapat pada garis-garis tulang daun yang membentuk guratan garis dinamis nan indah kelenturan dan lipatan daun terwujud pada batik Blora. Nuansa daun jatinya diperkuat oleh perpaduan warna yang lembut namun memberikan kesan sejuk karena warna oranye, hijau, ungu, dan merah sebagai pertanda spirit tumbuh sepanjang zaman. Hubungan dengan masyarakat Blora yaitu daun jati masih sangat kental dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari masyarakat Blora untuk pembungkus makanan, alas makan karena diyakini daun jati memiliki aroma yang khas. Harapan designer terhadap motif daun jati yaitu supaya masyarakat luar Kota Blora mengetahui potensi alam yang dimiliki Kota Blora yaitu pohon jati. (wawancara dengan Japung, 26 April 2015).
4. Corak Sate
Motif Sate merupakan motif khas batik Blora. Dimana sate merupakan salah satu menu makanan yang bisa kita jumpai dengan sangat mudah, mulai dari daerah pedesaan hingga kota-kota besar. Kalau pada umumnya kita jumpai para pedagang sate ayam khas Madura, tapi di daerah Blora memiliki sate ayam khas kota ini. Sate Ayam Blora memiliki keunikan tersendiri karena pada saat selesai makan tidak dihitung per porsi tetapi dihitung berapa banyak jumlah lidinya. Maka dari itulah makanan khas Blora yaitu sate ayam dijadikan untuk motif dalam batik Blora. Harapan dari motif sate supaya sate Blora dapat dikenal oleh masyarakat luar Kota Blora sebagai makanan khas Kota Blora. Batik Blora memiliki variasi harga jual. Batik cap dijual dengan harga 100.000 per potong sedangkan batik tulis dijual dengan harga 150.000-200.000 per potong. Komsumen batik Blora meliputi Dinas/ Instansi pemerintahan, wisatawan. Kurang-nya pemasaran dan promosi menjadi kendala dalam mengembangkan industri batik (wawancara dengan Japung, 26 April 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Afrilliyanna Purba. 2009. Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional. Bandung: P.T. Alumni.
Agus Salim. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Anindito. 2010. Batik Karya Agung Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Djam’an Satori dan Aan Komairah. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Eni P. 2009. Batik Salatiga:
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Hempri, Suyatna, dkk. 2010. Potret Kehidupan Pembatik di Lasem Rembang. Jakarta: IPI.
Ismunandar. 1985. Teknik dan Mutu Batik Tradisional/ Mancanegara. Semarang: Dahara Press.
Koentjaraningrat. 1989. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
__________ .1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Mochtar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Refrensi.
Mochtar Lubis. 1993.Budaya Masyarakat dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nian S. Djumena.1992. Batik dan Mitra. Jakarta: Djambatan.
Sewan Susanto. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: BBKP: Dept. Perindustrian RI.
Susanto, Fenny. 2013. Blora Dalam Angka. Blora: Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora.
Tri Widiarto. 2007. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press.