DIMENSI COOPERATIVE LEARNING DALAM BUDAYA HIBUA LAMO

 

J.W Batawi

Puji Nitis Kusumawati

Universitas Halmahera

 

ABSTRAK

Setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya juga sangat penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sekaligus mendalami dimensi cooperative learning dalam budaya Hibua Lamo yang kemudian dapat menjadi acuan pembelajaran kontekstual. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara, studi dokumenter sehingga didapatkan gambaran profil budaya Hibua lamo yang menjadi pijakan cooperative learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Dimensi Cooperative Learning memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kearifan lokal budaya Hibua Lamo. 2) Penerapan model pembelajaran cooperative learning dalam dunia pendidikan dalam budaya masyarakat yang menjunjung kearifan lokal Hibua Lamo kurang dipahami peserta didik. Implikasi cooperative learning adalah 1) Rumusan model cooperative learning bermuatan kearifan lokal budaya Hibualamo harus ditawarkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar dijadikan rujukan kebijakan di tingkat Dinas, 2) Coopeatif learning harus diterapkan karena miliki peluang lestarikan kearifan lokal budaya Hibualamo, 3) Cooperatif learning berbasis budaya hibualamo memberi peluang adanya kerjasama (learningtogether) sehingga siswa belajar membentuk jaringan kerja sama dengan mendasarkan diri pada nilai kerja sama, 4) Cara belajar dengan menggunakan cooperative learning perlu ditekankan bahwa kerjasama itu adalah sesuatu yang indah dan menciptakan solidaritas sosial yang baik.

Kata Kunci: Cooperative learning, Budaya Hibua Lamo

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

 Manusia berkembang terus menerus sepanjang kehidupannya. Proses kehidupan yang berjalan dilalui dan dialami seseorang dengan berbagai cara dan pengalaman yang berbeda. Untuk mencapai perkembangan kedewasaan dalam diri seseorang salah satunya dicirikan dengan kemampuan berelasi dengan orang lain. Pendidikan merupakan sebuah proses yang bersifat dinamis dan berkelanjutan yang bertugas memenuhi kebutuhan siswa. Proses pendidikan yang dilaksanakan diharapkan akan mampu mengembangkan dan merancang kegiatan pembelajannya agar terjadi perubahan positif pada siswa. Hal ini sejalan dengan Visi Kemendiknas 2025 (Renstra 2010-2014, 2010:17) adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Cerdas yang dimaksud adalah berdimensi jamak, yaitu cerdas komprehensif, cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.

Sebagaimana dikemukakan Badan UNESCO PBB yang menyebutkan bahwa pembelajaran yang efektif menyarankan penyusunan kurikulum yang mengarahkan lulusan agar mempunyai kemampuan belajar sepanjang hayat (long life learning). Kemampuan ini dapat dicapai apabila didukung oleh empat pilar kemampuan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Hal yang menarik diperhatikan adalah bahwa ketiga pilar yang disebutkan awal, pada prinsipnya sama dengan tiga ranah perubahan dari hasil pembelajaran peserta didik, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan pilar keempat, yaitu learning to live together dapat diparalelkan atau lebih tepatnya ditingkatkan arasnya menjadi ranah keempat yaitu cooperative learning.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pilar learning to live together merupakan konversi paralel langsung (atau mungkin lebih tepat merupakan turunan/diferensiasi) dari ranah cooperative learning. Hal ini hampir sejalan dengan pendapat Huda (2012:15) yang mengatakan bahwa sifat learning to live together yang menekankan pada proses kerjasama yang saling membantu, learning together (belajar bersama) juga dikenal dengan pembelajaran kooperatif.

Slavin (2005:146) menyebutkan mengenai pentingnya cooperative learning dengan merekomendasikan agar guru memasukkan cooperative learning sebagai transfer pembelajaran yang sangat besar manfaatnya dan apabila terjadi interaksi akan dapat memberikan dukungan dalam kelompok. Proses pembelajaran dengan adanya sistem dukungan dari kelompok akan memberikan pengalaman dan makna yang besar bagi siswa. Selain itu penanaman nilai-nilai budaya perlu ditanamkan, sehingga siswa saling menghargai satu dengan yang lain.

Terkait dengan pembelajaran cooperative kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan. Hurlock (2009:257) menyatakan bahwa perkembangan setiap individu dipengaruhi oleh budaya. Nilai budaya digunakan untuk menyampaikan sistem perilaku yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai dalam budaya dapat menjadi sarana untuk melaksanakan pendidikan dalam konteks kerjasama dan peningkatan mutu pendidikan.

Tumanggor (2010:123) mengidentifikasi enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu atau masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas. Konsep etika dalam nilai budaya mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Sehingga perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, keseimbangan.

Dalam filosofi Hibua Lamo terdapat unsur utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Ada lima nilai dalam budaya Hibua Lamo yang “merupakan benang kesamaan” yang disebut oleh Pithein Thomas sebagai “mutiara” pemberian Tuhan bagi kelanggengan hidup bermasyarakat dalam masyarakat adat. Kelima unsur dimaksud adalah (1) O dora, dapat diartikan dengan kasih, yakni kasih terhadap sesama manusia maupun antar individu dengan masyarakat. Kata O dora memiliki makna yang mendalam sebagai dasar hubungan saling mengasihi antar sesama, juga diri sendiri. Nilai ini tercermin dalam prektek hidup keseharian dimana kebiasan membagi habis rejeki atau hasil tangkapan ikan misalnya kepada semua orang yang ada disekelilingnya ini merupakan suatu kewajiban moral yang tidak dipaksakan tetapi selalu dipraktekan sekalipun keonsekuensinya mencari kembali. (2) O hayangi, maknanya sama dengan kata sayang, artinya masih dekat dengan kata O dora, tetapi O hayangi lebih dekat pada masalah tolong menolong, serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti apalagi membunuh. O hayangi pada prinsipnya adalah bentuk empati diantara sesama warga untuk meringankan beban. (3) O baliara, dapat diartikan dengan “pelihara” yang mengandung pengertian saling peduli, saling menopang, saling menunjang, dan saling melayani, dalam rangka menciptakan suasana kehidupan bersama yang makmur, aman dan damai. Hal-hal negatif mengganggu kehidupan bersama harus dihindari bersama sebagai wujud tanggungjawab bersama tanpa ada keterpaksaan ataupun dipaksakan untuk memelihara suasana yang baik. (3) O adili, artinya keadilan yang mengandung makna kesetaraan derajat, harkat dan martabat, kesetaraan hak dan kewajiban di depan aturan-aturan normative yang diakui dan diterima sebagai hukum adat yang sangat dijunjung. Segala aktifitas dalam kehidupan bersama dilaksanakan secara bijaksana dan penuh kehati-hatian sehingga berbagai bentuk kesetaraan tidak diganggu dan setiap anggota harus menjaga serta memelihara kesetaraan dan keseimbangan untuk mnciptakan suasana keadilan dalam masyarakat. (4) O adiai, dapat diartikan dengan kebenaran yang erat kaitannya dengan O adili (keadilan). Norma yang diterima, disepakati dan dihargai sebagai “yang benar” merupakan kriteria menata kehidupan masyarakat. Artinya kalau salah ya salah dan kalau benar ya benar, bukan yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Karena itu masyarakat setempat sangat tegas untuk menyatakan sikap baik atas hal-hal yang salah ataupun tentang kebenaran.

Lima nilai-nilai tersebut diatas merupakan suatu bentuk ekspresi masyaraat adat terhadap realita hidup yang dirasa harus diatur dalam keteraturan-keteraturan yang sistematis sehingga tidak terjadi benturan dalam kehidpan bersama. Lima butir nilai dimaksud merupakan tatanan kehidupan yang telah dirintis dan dipraktekan oleh para leluhur Hibua Lamo semenjak dahulu dan harus diangkat kembali dalam konteks saat ini.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui:

1.       Dimensi cooperative learning dalam budaya Hibua Lamo

2.       Peluang atau penerapan model pembelajaran cooperative learning dalam dunia pendidikan

3.       Implikasi rumusan model cooperative learning bermuatan kearifan lokal budaya Hibua Lamo.

KAJIAN PUSTAKA

Cooperative Learning

Hakikat Cooperative Learning

Pembelajaran kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerja sama yang terdiri dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih, keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok. Pembelajaran merupakan salah satu bentuk spesifik dari pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran gotong-royong yang menggunakan kelompok-kelompok kecil dimana peserta didik bekerjasama untuk mengoptimalkan kegiatan belajar mereka masing-masing maupun kegiatan belajar peserta didik lain. Dalam pembelajaran kooperatif terjadi hubungan sosial di mana setiap peserta didik bertanggung jawab untuk belajar sendiri dan memotivasi orang lain. Pertukaran informasi memungkinkan suasana interaktif antar teman. Johnson & Johnson (2010:5) mendefinisikan cooperative learning merupakan proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik untuk bekerja secara bersama-sama guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran dalam berinteraksi.

Salah satu teori psikologi yang berpengaruh dan terkait dengan cooperative learning adalah karya Vygotsky. Keberhasilan kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok. Dengan bekerja secara berkelompok peserta didik mendapat kesempatan untuk secara bebas berpartisipasi dan bersikap pada situasi sosial. Model cooperative learning berarti juga belajar bersama-sama, saling membantu antara yang satu dengan yang lain dan memastikan setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan ataupun tugas. Peran guru tidak lagi mendominasi, sehingga peserta didik dituntut berbagi informasi dengan peserta didik yang lainnya dan saling belajar. Dalam pembelajaran kooperatif ada kerjasama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, dan mereka saling memotivasi. Menurut Slavin dalam Isjoni (2011:23-24) pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang telah dikenal lama, dimana guru mendorong peserta didik untuk melakukan kerjasama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi pengajaran oleh teman sebaya.

Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan mendapat penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang disyaratkan. Setiap kelompok akan mempunyai ketergantungan positif, selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan konstribusi demi keberhasilan kelompok. Pembelajaran kooperatif membantu peserta didik untuk belajar dan menerima perbedaan, serta menghargai bahwa tiap orang memiliki kelebihannya sendiri yang bisa menjadi konstribusi kepada kelompok. Slavin (1984) dalam Solihatin (2011:4) menyebutkan hal senada mengenai pembelajaran kooperatif. Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen yang di dalamnya peserta didik ditumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman.

Secara umum tanpa interaksi sosial tidak akan ada pengetahuan yang disebut Piaget sebagai pengetahuan sosial. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas diorganisir. Struktur tujuan dan reward mengacu pada derajat kerjasama atau kompetisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Interaksi kelompok merupakan interaksi interpersonal (interaksi antar anggota). Menurut Suprijono (2012:56) menyebutkan pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran berbasis sosial sehingga terjadi dialog interaktif (interaksi sosial) yang menjadi kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi kehidupan bersama, dimana kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting. Suasana kebersamaan akan memungkinkan kerjasama antar peserta didik. Menurut Solihatin & Raharjo (2011:4) pembelajaran kooperatif juga diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Struktur tugas di dalam pembelajaran kooperatif akan memungkinkan tumbuhnya rasa kebersamaan antar peserta didik.

Budaya Hibuo Lamo

Nilai luhur adalah pencerminan dan ekspresi yang menjadi kebiasaan seseorang atau umumnya sesuatu yang terpancar dari dalam hati sebagai kristalisasi nilai yang secara patut diimplementasikan dan diwariskan. Nilai luhur tersebut menjadi pancaran hati, jiwa, rasa dan perilaku yang mengkristal dan menambah dekap dalam setiap kaum Hibuo Lamo. Budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal–hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan–tujuan pembuatan yang tersedia. Nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Budaya merupakan perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Sistem budaya merupakan tingkatan yang paling tinggi dan abstrak dalam adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai–nilai budaya itu merupakan konsep mengenai apa yang hidup di alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.

Nilai–nilai budaya ini bersifat umum, luas dan tak konkret, maka nilai–nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat. Dalam masyarakat ada sejumlah nilai budaya yang satu dan yang lain berkaitan satu sama lain sehingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep–konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai–nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari–hari, misalnya budaya gotong royong. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

Berbicara tentang nilai-nilai yang terkandung dalam budaya suatu suku bangsa yang ada di bumi, maka hal yang mendasar yang harus kita ingat dan tidak bisa kita tinggalkan yaitu nilai-nilai dimaksud terkandung standar normatif untuk berperilaku baik dalam hubungan dengan kehidupan pribadi masing-masing anggota masyarakat maupun dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Dalam filosofi Hibua Lamo jika dicermati dengan baik secara seksama maka di dalamnya terdapat lima unsur utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Papilaya (2012:29) mengidentifikasi nilai-nilai luhur yaitu:

1.         O dora, dapat diartikan dengan kasih, yakni kasih terhadap sesama manusia maupun antar individu dengan masyarakat. Kata O dora memiliki makna yang mendalam sebagai dasar hubungan saling mengasihi antar sesama, juga diri sendiri. Nilai ini tercermin dalam prektek hidup keseharian dimana kebiasan membagi habis rejeki atau hasil tangkapan ikan misalnya kepada semua orang yang ada disekelilingnya.

2.         O hayangi, maknanya sama dengan kata sayang, artinya masih dekat dengan kata O dora, tetapi O hayangi lebih dekat pada masalah tolong menolong, serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti apalagi membunuh. O hayangi pada prinsipnya adalah bentuk empati diantara sesama warga untuk meringankan beban.

3.         O baliara, dapat diartikan dengan “pelihara” yang mengandung pengertian saling peduli, saling menopang, saling menunjang, dan saling melayani, dalam rangka menciptakan suasana kehidupan bersama yang makmur, aman dan damai. Hal-hal negatif mengganggu kehidupan bersama harus dihindari bersama sebagai wujud tanggungjawab bersama tanpa ada keterpaksaan ataupun dipaksakan untuk memelihara suasana yang baik.

4.         O adili, artinya keadilan yang mengandung makna kesetaraan derajat, harkat dan martabat, kesetaraan hak dan kewajiban di depan aturan-aturan normatif yang diakui dan diterima sebagai hukum adat yang sangat dijunjung. Segala aktifitas dalam kehidupan bersama dilaksanakan secara bijaksana dan penuh kehati-hatian sehingga berbagai bentuk kesetaraan tidak diganggu dan setiap anggota harus menjaga serta memelihara kesetaraan dan keseimbangan untuk mnciptakan suasana keadilan dalam masyarakat.

5.         O adiai, dapat diartikan dengan kebenaran yang erat kaitannya dengan O adili (keadilan). Norma yang diterima, disepakati dan dihargai sebagai “yang benar” merupakan kriteria menata kehidupan masyarakat. Artinya kalau salah ya salah dan kalau benar ya benar, bukan yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Karena itu masyarakat setempat sangat tegas untuk menyatakan sikap baik atas hal-hal yang salah ataupun tentang kebenaran.

Kelima nilai-nilai tersebut diatas merupakan suatu bentuk ekspresi masyaraat adat terhadap realita hidup yang dirasa harus diatur dalam keteraturan-keteraturan yang sistematis sehingga tidak terjadi benturan dalam kehidupan bersama.

 

 

 

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kegiatan yang dirancang akan dilaksanakan secara terrencana, terstruktur sistematis serta terorganisir. Afifuddin dan Saebani (2009:32) menjelaskan bahwa penelitian ilmiah dari dua kata penting. Pertama, penelitian, artinya aktivitas pengamatan, pencarian data dan bukti-bukti di lapangan atau penelusuran informasi, baik informasi literer/dokumenter maupun informasi kasuistik. Kedua, ilmiah, yaitu berdasarkan teori atau berpatokan pada kaidah-kaidah keilmuan dengan menguji validitas data yang telah ditemukan dan yang sedang diamati. Jika hasil pengujian menunjukkan adanya konsistensi antara teori dan kenyataan, maka penemuan hasil penelitian itu dinyatakan ilmiah. Untuk mendapatkan data yang maksimal dan komplitt, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif; sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan wawancara, observasi, dan dokumen.

 Data dan Sumber Data Penelitian

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data yang sesuai dengan karakteristik penelitian ini yaitu dimensi cooperative learning dalam budaya Hibuo Lamo. Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti berasal dari sumber-sumber berkompeten yang memahami berbagai dimensi budaya Hibua Lamo, khususnya aspek-aspek berdimensikan cooperative learning dalam budaya Hibuo Lamo. Hal ini tentunya diupayakan perolehannya dan penguatannya dari para informan kunci yang memahami budaya Hibua Lamo tersebut.

Teknik Pengumpulan Data

Observasi Partisipatoris

Dalam observasi partisipasif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Dengan melakukan observasi partisipatoris ini, harapannya adalah dikenalinya dimensi coopetive learning dalam budaya Hibua Lamo.

Wawancara

Tiga bentuk wawancara adalah sebagai berikut: a) wawancara informal; b) pendekatan menggunakan petunjuk wawancara umum; dan c) wawancara terbuka. Wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh adat yang mengerti dan memahami budaya Hibua Lamo yang dilakukan secara tertutup, semi terbuka maupun secara terbuka. Penggunaan non probability sampling Snowball digunakan untuk mendapatkan sebanyak mingkin informan.

Teknik Analisa Data

Analisis deskriptif dilaksanakan melalui tiga alur kegiatan yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Tiga alur kegiatan itu adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah beberapa tokoh adat dan anggota masyarakat adat yang berada di Kota Tobelo dan tokoh adat di Pulau Kakara dekat Kota Tobelo. Adapun waktu yang direncanakan untuk melaksanakan penelitian adalah pada bulan Juni tahun 2016 hingga Juni 2017. Artinya, penelitian ini membutuhkan durasi waktu satu tahun yaitu, Semester I dan Semester II Tahun Ajaran 2016/2017

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil dan Pembahasan

Dimensi Cooperative Learning

Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal–hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara–cara, alat–alat, dan tujuan–tujuan pembuatan yang tersedia. Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Sumaatmadja mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.

Sistem budaya merupakan tingkatan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dalam adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai–nilai budaya itu merupakan konsep–konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai , berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri. Nilai–nilai budaya ini bersifat umum, luas dan tak konkret maka nilai–nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat. Dalam masyarakat ada sejumlah nilai budaya yang satu dan yang lain berkaitan satu sama lain sehingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep–konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan masyarakat.

Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat”. J. W. Ajawaila mengemukanan bahwa “Sistem nilai budaya yang dikenal sebagai adat merupakan otoritas tradisional yang berfungsi mempersatukan masyarakat adat, relatif masih dipatuhi di wilayah pedesaan, akan tetapi di wilayah perkotaan, otoritas tradisional tersebut cenderung tidak lagi dipatuhi.

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai–nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai–nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

Nilai Budaya Hibua Lamo

Berbicara tentang nilai-nilai yang terkandung dalam budaya suatu suku bangsa yang ada di bumi, maka hal yang mendasar yang harus kita ingat dan tidak bisa kita tinggalkan yaitu nilai-nilai dimaksud terkandung standar normatif untuk berperilaku baik dalam hubungan dengan kehidupan pribadi masing-masing anggota masyarakat maupun dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Dalam filosofi Hibua Lamo jika dicermati dengan baik secara seksama maka didalamnya terdapat lima anasir utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkansatu dengan yan lain. Lima nilai tersebut dalam adat atau budaya Hibua Lamo “merupakan benang kesamaan” yang disebut oleh Pithein Thomas sebagai “mutiara” pemberian Tuhan bagi kelanggengan hidup bermasyarakat dalam masyarakat adat. Kelima unsur dimaksud adalah:

O dora, dapat diartikan dengan kasih, yakni kasih terhadap sesama manusia maupun antar individu dengan masyarakat. Kata O dora memiliki makna yang mendalam sebagai dasar hubungan saling mengasihi antar sesama, juga diri sendiri. Nilai ini tercermin dalam praktik hidup keseharian dimana kebiasan membagi habis rejeki atau hasil tangkapan ikan misalnya kepada semua orang yang ada disekelilingnya ini merupakan suatu kewajiban moral yang tidak dipaksakan tetapi selalu dipraktekan sekalipun keonsekuensinya mencari kembali.

O hayangi, maknanya sama dengan kata sayang, artinya masih dekat dengan kata O dora, tetapi O hayangi lebih dekat pada masalah tolong menolong, serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti apalagi membunuh. O hayangi pada prinsipnya adalah bentuk empati diantara sesama warga untuk meringankan beban.

O baliara, dapat diartikan dengan “pelihara” yang mengandung pengertian saling peduli, saling menopang, saling menunjang, dan saling melayani, dalam rangka menciptakan suasana kehidupan bersama yang makmur, aman dan damai. Hal-hal negatif mengganggu kehidupan bersama harus dihindari bersama sebagai wujud tanggungjawab bersama tanpa ada keterpaksaan ataupun dipaksakan untuk memelihara suasana yang baik.

O adili, artinya keadilan yang mengandung makna kesetaraan derajat, harkat dan martabat, kesetaraan hak dan kewajiban di depan aturan-aturan normative yang diakui dan diterima sebagai hukum adat yang sangat dijunjung. Segala aktifitas dalam kehidupan bersama dilaksanakan secara bijaksana dan penuh kehati-hatian sehingga berbagai bentuk kesetaraan tidak diganggu dan setiap anggota harus menjaga serta memelihara kesetaraan dan keseimbangan untuk mnciptakan suasana keadilan dalam masyarakat.

O adiai, dapat diartikan dengan kebenaran yang erat kaitannya dengan O adili (keadilan). Norma yang diterima, disepakati dan dihargai sebagai “yang benar” merupakan kriteria menata kehidupan masyarakat. Artinya kalau salah ya salah dan kalau benar ya benar, bukan yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Karena itu masyarakat setempat sangat tegas untuk menyatakan sikap baik atas hal-hal yang salah ataupun tentang kebenaran.

Lima nilai-nilai tersebut diatas merupakan suatu bentuk ekspresi masyaraat adat terhadap realita hidup yang dirasa harus diatur dalam keteraturan-keteraturan yang sistematis sehingga tidak terjadi benturan dalam kehidpan bersama. Lima butir nilai dimaksud merupakan tatanan kehidupan yang telah dirintis dan dipraktekan oleh para leluhur Hibua Lamo semenjak dahulu dan harus diangkat kembali dalam konteks saat ini.         

Penerapan Pembelajaran Cooperative Learning dalam Pendidikan

Dalam bidang pendidikan, layanan bimbingan dan konseling, khususnya bimbingan kelompok di SMA Kristen Tobelo belum dilaksanakan secara terprogram.. Selain itu guru menyadari kurangnya referensi yang ada mengenai pembelajaran cooperative learning dan cara penerapan. Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning yang dilakukan hanya sekitar 40 menit membuat guru menggunakan waktu yang ada untuk melaksanakan pembelajaran, sehingga layanan pembelajaran cooperative learning seringkali tidak selesai, dan belum mencapai tujuan yang diinginkan. Guru menyadari kurangnya menguasai tehnik-tehnik atau tahapan-tahapan pembelajaran cooperative learning.

Pelaksanaan program sekolah di SMA Kristen Tobelo dilaksanakan oleh guru bidang studi dan wali kelas. Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning menggunakan kerjasama, dan belum tercipta dinamika kelompok, karena banyak anggota kelompok kurang berperan aktif dalam kelompok. Selain itu, saat diskusi berlangsung peserta didik banyak yang kurang berperan aktif dalam diskusi, dan hanya satu atau dua peserta didik yang ikut berdiskusi. Peserta didik dalam kelompok kurang ada interaksi dan kerjasama. Peserta didik dalam kelompok belum dapat melakukan sosialisasi dan berinteraksi dengan anggota yang lain. Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning kurang lebih beranggotakan 5 orang dalam satu kelompok.

Dalam mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran cooperative learning dilakukan tanya jawab, dan peserta didik memberikan evaluasi kepada teman yang lain melalui pertanyaan-pertanyaan atau tes tertulis terkait dengan materi. Namun karena jam pembelajaran perjam hanya 40 menit, sehingga evaluasi pembelajaran cooperative learning jarang dilakukan.

Pada kenyataannya ada beberapa indikator dari cooperative learning yang sudah dilakukan di SMA Kristen Tobelo, seperti membantu kerja kelompok, menjadi sebagai anggota kelompok, saling mengingatkan antar teman dalam kelompok, dan adanya kepercayaan dengan teman kelompok. Namun indikator yang dilaksanakan dalam cooperative learning hanya semata-mata untuk pencapaian aspek kognitif saja, karena guru menerapkan kerjasama dalam memecahkan masalah-masalah bidang studi di sekolah. Pembelajaran cooperative learning yang dilaksanakan di SMA Kristen Tobelo hanya melaksanakan fungsi pengentasan saja yaitu membantu peserta didik yang dianggap bermasalah seperti prestasi belajar yang menurun atau rendah, sering tidak masuk sekolah, sering melanggar tata tertib dan peserta didik yang melanggar disiplin sekolah.

Pada kenyataannya guru memberikan tambahan waktu pelajaran di siang hari atau les tambahan yang dilaksanakan di sekolah. Waktu yang digunakan dalam memberi les di sekolah lebih lama sehingga kadangkala peserta didik mengalami kelelahan. Sedangkan yang dilakukan orangtua adalah meminta guru untuk memberikan les privat pada anaknya untuk berbagai mata pelajaran. Setelah sampai di rumah, peserta didik bersiap-siap untuk menuju tempat bimbingan belajar untuk mengejar ketinggalan pelajaran. Peserta didik sering kehilangan waktu istirahat dan jarang bersosialisasi dengan orang lain.

Pembahasan Hasil Analisis Studi Pendahuluan

Hasil kajian empirik pada studi pendahuluan mengenai pelaksanaan pembelajaran cooperative learning di SMA Kristen Tobelo telah diketahui bahwa Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning di SMA Kristen Tobelo belum dilaksanakan secara terprogram dan hanya bersifat insidental yang belum sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal itu disebabkan karena: (1) Guru tidak menyadari pentingnya pembelajaran cooperative learning bagi peserta didik sekolah menengah atas karena pelaksanaan pembelajaran cooperative learning belum dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap. (2) Kurangnya motivasi guru dalam melaksanakan pembelajaran cooperative learning karena jam pembelajaran yang kurang. (3) Guru tidak menguasai teknik dan tahapan-tahapan pelaksanaan pembelajaran cooperative learning, karena guru merasa bahwa pelaksanaan yang tanpa menggunakan tahap dan tehnik pembelajaran cooperative learning sudah dapat berjalan dengan menggunakan waktu yang ada. (4) Kurangnya referensi tentang pembelajaran cooperative learning

Pembelajaran cooperative learning dalam budaya hibualamo yang dilaksanakan di SMA Kristen Tobelo hanya membantu peserta didik yang dianggap bermasalah seperti prestasi belajar yang menurun atau rendah, sering tidak masuk sekolah, sering melanggar tata tertib dan peserta didik yang melanggar disiplin sekolah. Sedangkan adanya masalah kecerdasan sosial peserta didik kurang mendapat perhatian dari guru.

Pada kenyataannya guru hanya memberikan tambahan waktu pelajaran di siang hari atau les tambahan yang dilaksanakan di sekolah. Waktu yang digunakan dalam memberi les di sekolah lebih lama sehingga kadangkala peserta didik mengalami kelelahan. Sedangkan yang dilakukan orangtua adalah meminta guru untuk memberikan les privat pada anaknya untuk berbagai mata pelajaran. Setelah sampai di rumah, peserta didik bersiap-siap untuk menuju tempat bimbingan belajar untuk mengejar ketinggalan pelajaran. Peserta didik sering kehilangan waktu istirahat dan jarang bersosialisasi dengan orang lain. Guru membantu peserta didik dengan membentuk kelompok-kelompok cooperative untuk mengejar nilai-nilai mata pelajaran yang rendah.

Selain itu pelaksanaan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo terkait dengan identifikasi unsur-unsur Cooperative Learning. Pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan cooperative learning dilaksanakan hanya

sekedar kerjasama. Tingkat kualitas interaksi dan kerjasama diantara peserta didik dalam pembelajaran tersebut, pada umumnya kurang mendapat perhatian. sehingga cooperative learning belum memperoleh perhatian sebagaimana mestinya.

Secara umum pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo memiliki tujuan berkembangnya sosialisasi peserta didik, khususnya kemampuan berkomunikasi antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Pada kenyataannya ada beberapa indikator dari cooperative learning yang sudah dilakukan di SMA Kristen Tobelo, seperti membantu kerja kelompok, menjadi sebagai anggota kelompok, saling mengingatkan antar teman dalam kelompok, dan adanya kepercayaan dengan teman kelompok. Namun indikator yang dilaksanakan dalam cooperative learning hanya semata-mata untuk pencapaian aspek kognitif saja, karena guru menerapkan kerjasama dalam memecahkan masalah-masalah bidang studi di sekolah.

Implikasi cooperative laarning dalam budaya Hibualamo adalah sebagai berikut:

1)      Rumusan model cooperative learning bermuatan kearifan lokal budaya Hibualamo harus ditawarkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar dijadikan rujukan kebijakan di tingkat Dinas.

2)      Cooperatif learning harus diterapkan karena miliki peluang lestarikan kearifan lokal budaya Hibualamo.

3)      Cooperatif learning berbasis budaya hibualamo beri peluang adanya kerjasama (learningtogether) sehingga siswa belajar membentuk jaringan kerja sama dengan mendasarkan diri pada nilai kerja sama.

4)      Cara belajar dengan menggunakan cooperative learning perlu ditekankan bahwa kerjasama itu adalah sesuatu yang indah dan menciptakan solidaritas sosial yang baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian ini telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu mendalami dimensi pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo. Masukan-masukan yang diperoleh dijadikan sebagai dasar untuk merevisi model hipotetik pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo yang disusun. Dalam uji lapangan, ini pembelajaran cooperative learning dapat diterapkan untuk meningkatkan hubungan sosial peserta didik SMA. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:

1.      Dimensi Cooperative Learning memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kearifan lokal budaya Hibua Lamo. Hal ini menuntut waktu yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran menggunakan Cooperative Learning dalam dunia pendidikan di Halmahera Utara dalam mana nilai-nilai Hibualamo menjadi kerangka utamanya. Secara operasionalisasi pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo belum dilaksanakan secara terprogram. Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo hanya bersifat insidental dan hanya menggunakan waktu yang ada, sehingga pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo seringkali tidak selesai, dan belum mencapai tujuan yang diinginkan. Peluang atau penerapan model pembelajaran cooperative learning dalam dunia pendidikan. Selain itu guru juga menyadari kurangnya menguasai tehnik-tehnik atau tahapan-tahapan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo. Pelaksanaan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo menggunakan kerjasama, dan belum tercipta dinamika kelompok, dan saat diskusi berlangsung peserta didik banyak yang kurang berperan aktif dalam diskusi, dan hanya satu atau dua peserta didik yang ikut berdiskusi. Namun berikutnya mereka dapat perlahan-lahan bekerjasama dengan yang lain.

2.      Penerapan model pembelajaran cooperative learning dalam dunia pendidikan dalam budaya masyarakat yang menjunjung kearifan lokal Hibua Lamo kurang dipahami peserta didik sebagai usaha mengembangkan pribadi dalam berinteraksi. Peserta didik dalam kelompok kurang ada interaksi dan kerjasama. Peserta didik dalam kelompok belum dapat melakukan sosialisasi dan berinteraksi dengan anggota yang lain. Sehingga pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo yang diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan sosial peserta didik harus terus dikembangkan. Implikasi rumusan model cooperative learning bermuatan kearifan lokal budaya Hibua Lamo, kurang dipahami peserta didik sebagai usaha mengembangkan pribadi dalam berinteraksi. Peserta didik dalam kelompok kurang ada interaksi dan kerjasama. Peserta didik dalam kelompok belum dapat melakukan sosialisasi dan berinteraksi dengan anggota yang lain. Sehingga pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo ini diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan sosial peserta didik. Model pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo dapat diterapkan di SMA. Guru merasa tidak mengalami kesulitan dalam menerapkan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo, model ini sangat menyenangkan. Peserta didik dapat mengikuti pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo dengan baik.

3.      Implikasi cooperative laarning dalam budaya Hibualamo adalah sebagai berikut: 1) Rumusan model cooperative learning bermuatan kearifan lokal budaya Hibualamo harus ditawarkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar dijadikan rujukan kebijakan di tingkat Dinas, 2) Coopeatif learning harus diterapkan karena miliki peluang lestarikan kearifan lokal budaya Hibualamo, 3) Cooperatif learning berbasis budaya hibualamo beri peluang adanya kerjasama (learningtogether) sehingga siswa belajar membentuk jaringan kerja sama dengan mendasarkan diri pada nilai kerja sama, 4) Cara belajar dengan menggunakan cooperative learning perlu ditekankan bahwa kerjasama itu adalah sesuatu yang indah dan menciptakan solidaritas sosial yang baik.

Saran

Pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo perlu diberikan pada peserta didik SMA, agar melalui pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo ini peserta didik dapat meningkatkan hubungan sosial dan dapat melatih berinteraksi dengan teman yang lain agar terjalin keakraban dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik ke arah perkembangan yang optimal. Selain itu guru hendaknya menggunakan hasil pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo sebagai salah satu model yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Selain itu sekolah perlu membantu guru dalam merancang program (program harian, mingguan, dan tahunan) termasuk didalamnya Kepala Sekolah tidak hanya terbatas dilaksanakan secara insidental, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam upaya mengembangkan dan memandirikan peserta didik dalam interaksi sosial. Selain penelitian PDP ini perlu ada penelitian lebih lanjut tentang pengembangan pembelajaran cooperative learning dalam budaya Hibualamo di tingkat sekolah dasar.

DAFTAR PUSTAKA

Djibu, Rusdin. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Paket B (Suatu Penelitian di PKBM Kota Gorontalo). Disertasi. Bandung: UPI.

Hurlock, E.B. 2009. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

 Huda, Miftahul. Cooperative Learning (Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan). 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johnson D.W., Johnson R.T. 2010. Colaborative Learning: Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama. Bandung: Penerbit Nusa Media. Diterjemahkan dari karya David W. Johnson dan Edythe Johnson Holubec, The Ne Circle of Learning (Alexandra, Virginia, 2004).

 Mendiknas. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Melayani Semua dengan Amanah.

Papilaya, E.J. 2012. Kharisma Hibuo Lamo: Tutur Kearifan Kepemimpinan Budaya. Tobelo: Disparbud.

Papilaya, E.J. at.all. 2010. Memahami Adat Budaya Hibuo Lamo: Suatu Pengantar Pembelajaran di Sekolah. Tidak Diterbitkan.

Slavin, Robert E., 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Alih Bahasa Narulita Yusron

 

Solihatin, Etin. 2001: Penggunaan Cooperative Learning dapat Meningkatkan Kemampuan Belajar Mandiri. Jakarta: Bumi Akasara.

Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tumanggor, R., dkk., 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana