EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN POSING

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SD GMIH PACA

 

Paltiman Lumban Gaol

Dosen PGSD, FKIP Universitas Halmahera

 

ABSTRAK

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektivitas Model Pembelajaran Posing Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas V SD GMIH Paca Semester Genap 2017/2018. Metode Penelitian menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan analisis statistik deskriptif dan statistik infrensial dengan pendekatan paired sample test. Sampel dalam penelitian ini merupakan sampel jenuh berjumlah 45 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan Tes dengan jumlah 10 bitur. Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas, uji homogenitas. Uji Hipotesis menggunakan paired sample t test. Hasil penelitian: 1) mean pretest sebesar 59,80 dengan standar deviasi sebesar 1,052 kategori rendah; 2) mean Posttest> mean Pretest dengan peningkatan 10,52 poin: 3) mean nilai Posttest telah mencapai KKM; 4) terdapat peningkatan jumlah siswa yang mencapai KKM dari 4 siswa pada pretest menjadi 25 siswa pada Posttest; 5) pada uji hipotesis t hitung(9,277) > ttabel(5%;88) = 1,664 sehingga menerima H1 bahwa mean Posttest lebih besar dari mean pretest dengan signifikan hitung (0,000) <p.0,05) dan Model Pembelajaran Posing berpengaruh positif terhadap Hasil Belajar Siswa sebesar 41,2%.

Kata kunci: Model Pembelajaran Posing, Hasil Belajar, Paired Sample Test.

 

PENDAHULUAN

Tugas dan peranan guru menurut Brow (Sadirman, 1990: 142) antara lain “merencanakan dan mempersiapkan pelajaran, mengontrol dan mengevaluasi siswa”. Hal tersebut tidak berarti bahwa pola pengajaran menekankan pada peranan tenaga pengajar (teacher centered education), tapi sebaliknya pola pengajaran harus bertumpuh pada peranan siswa (student centered education). Pola student centered education “memandang pendidikan dari arah siswa” (Sumadi, 1993: 2). Siswa dipandang sebagai titik pusat terjadinya proses belajar. Siswa sebagai subyek yang berkembang melalui pengalaman belajar. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator belajar bagi siswa. Guru membantu memberikan kemudahan agar siswa mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, serta merangsang atau memberikan dorongan sewaktu-waktu diperlukan. Pandangan ini sesuai dengan karakteristik pendidikan seumur hidup yang mengatakan, bahwa “secara paedagogis guru tidak mungkin lagi mengajar segala sesuatu di dalam kelas, karena itu tugas guru adalah memotivasi siswa untuk terus belajar” (Idris, 1991: 61).

Banyak cara bagi seorang guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang akan membuat peserta didik merasa senang, diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan yang tepat dan dibantu dengan adanya media yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivistik, belajar bukanlah suatu proses “pengepakan” pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir aktifitas, dimana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktifitas dan berfikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb dalam (Herman, 2003: 76) bahwa belajar merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan. Para ahli konstruktifis setuju bahwa belajar melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Berdasarkan pandangan ahli konstruktivistik di atas, maka dewasa ini banyak ahli pendidikan yang menciptakan model-model pembelajaran terbaru yang berdasarkan pada pendekatan konstruktivisme.

Dengan model-model pembelajaran yang baru ini, diharapkan dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan, salah satunya hasil belajar yang tinggi. Dari sekian banyaknya model-model pembelajaran yang berdasarkan pada pendekatan konstruktivisme, salah satunya adalah model pembelajaran Posing. Dalam pembelajaran Posing, siswa diharapkan mampu untuk membuat soal sendiri dan memecahkannya. Selain itu, siswa mampu untuk menguasai materi secara konseptual maupun procedural. Menurut (Ipung, 2001:35). Pemahaman konseptual mengacu pada pemahaman konsep, dan kemampuan memecahkan masalah. Sedangkan pemahaman procedural mengacu pada ketrampilan melakukan pengajaran prosedural. Model pembelajaran Posing memiliki banyak kelebihan, antara lain sebagai berikut:

1.     Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-konsep dasar.

2.     Diharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar.

3.     Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Pendekatan pengajuan masalah dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan, sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performannya dalam pemecahan masalah.

Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Elin Nurhidayati dan Angel Rorimpandey terbukti bahwa penerapan model pembelajaran Posing dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Dalam penelitian mereka, baik Elin maupun Angel memperoleh hasil bahwa mean nilai post test kelas eksperimen lebih tinggi dari pada mean nilai post test kelas control.

Dalam pola belajar seperti digambarkan di atas, bagi siswa maupun guru, kedua-duanya sama-sama aktif. Dalam interaksi yang demikian itu terjadi proses belajar pada siswa dan kegiatan mengajar pada tenaga pengajar yang disebut proses belajar mengajar. Dengan demikian agarproses belajar mengajar membuahkan hasil sebagaimana diharapkan, maka siswa dan guru perlu memiliki sikap, kemampuan dan keterampilan yang mendukung proses belajar mengajar. Untuk maksud itu, seorang guru perlu memiliki kemampuan dalam mengelola proses belajar mengajar, agar proses tersebut dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa mengajar pada hakekatnya adalah melakukan kegiatan belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

Pembelajaran Matematika adalah merupakan pembelajaran dalam bidang ilmu pengetahun yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan pada pelajaran Matematika di sekolah dasar perlu adanya penekanan penggunaan strategi dan media pembelajaran dengan berbagai sumber belajar. Strategi dan media ini mendukung upaya pencapaian tujuan utama dalam pembelajaran matematika di sekolah. Selain itu keberhasilan pendidikan matematika akan meningkatkan dan menyumbangkan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan maksud menghasilkan manusia-manusia yang memiliki wawasan keIndonesiaan yang luas.

Kenyataan di lapangan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dasar saat ini masih banyak keterbatasannya yaitu antara lain:

1)    Daya serap siswa terhadap materi yang rendah;

2)    Keterbatasan model pembelajaran;

3)    Kurangnya motivasi belajar dari siswa.

Menurut pengamatan dilapangan dan informasi dari guru kelas banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar, terlihat dari adanya siswa-siswi yang enggan belajar dan tidak bersemangat dalam menerima pelajaran di kelas, siswa pun yang belum aktif dalam mengerjakan soal latihan yang diberikan, sehingga hasil belajarnya pun menjadi kurang memuaskan karena masih banyak nilai di bawah standar kelulusan.

Mengacu paparan di atas, dapat dipahami bahwa model pembelajaran mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan belajar siswa di Sekolah. Kondisi obyektif inilah yang menggugah penulis untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui Efektivitas Model Pembelajaran Posing Terhadap Hasil Belajar matematika Siswa Kelas V SD GMIH Paca dengan hipotesis yaitu “terdapat efektivitas penggunaan model pembelajaran Posing terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD GMIH Paca”.

KAJIAN LITERATUR

Dalam pembelajaran matematika, sebenarnya pengajuan masalah (Posing) menempati posisi yang strategis. Dalam hal ini siswa harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetail. Hal tersebut akan tercapai jika siswa memperkaya khazanah pengetahuannya tidak hanya dari guru, melainkan perlu belajar mandiri (Ummu, 2010:55). Guru matematika dalam rangka mengembangkan model pembelajaran Posing (pengajuan soal) yang berkualitas dan terstruktur dalam pembelajaran matematika dapat menerapkan prinsip prinsip dasar berikut: 1) Pengajuan soal harus berhubungan dengan apa yang dimunculkan dari aktifitas siswa di kelas, 2) Pengajuan soal harus berhubungan dengan proses pemecahan masalah siswa, 3) Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada dalam buku teks, dengan memodifikasikan dan membentuk ulang karakteristik bahasa dan tugas.

Menggunakan model pembelajaran Posing dalam pembelajaran matematika dibutuhkan keterampilan sebagai berikut: 1) menggunakan strategi pengajuan soal untuk menginvestigasi dan memecahkan masalah yang diajukan, 2) memecahkan masalah dari situasi matematika dan kehidupan sehari-hari, 3) menggunakan sebuah pendekatan yang tepat untuk mengemukakan masalah pada situasi matematika, 4) mengenali hubungan anatara materi-materi yang berbeda dalam matematika, 5) mempersiapkan solusi dan strategi terhadap situasi masalah baru, 6) mengajukan masalah yang kompleks sebaik mungkin, begitu juga masalah yang sederhana, 7) menggunakan penerapan subjek yang berbeda dalam mengajukan masalah matematika, 8) kemampuan untuk menghasilkan pertanyaan untuk mengembangkan strategi mengajukan masalah.

Dari uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan siswa untuk turut belajar dengan cara menerapkan model pembelajaran Posing merupakan salah satu indikator keefektifan belajar. Siswa tidak hanya menerima materi saja dari guru, melainkan siswa juga berusaha menggali dan mengembangkan sendiri. Hasil belajar tidak hanya menghasilkan peningkatan pengetahuan tetapi juga meningkatkan kemampuan berfikir. Dengan penerapan model pembelajaran Posing dapat melatih siswa belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berfikir siswa.

Menurut Purwanto, 2009:44), hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktifitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input fungsional. Sedangkan pengertian belajar adalah aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perubahan itu diperoleh melalui usaha (bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman. Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1996:51). Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel, 1996:244).

a. Taksonomi hasil belajar kognitif.

Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi. Bloom membagi dan menyusun secara hirarkis tingkat hasil belajar kognitif menjadi enam tingkat, yaitu hafalan (C1), pemahaman(C2), penerapan(C3), analisis(C4), sintesis(C5), dan evaluasi(C6).

b. Taksonomi hasil belajar afektif.

Taksonomi hasil belajar afektif dikemukakan oleh Krathwohl. Krathwohl membagi hasil belajar afektif menjadi lima tingkat, yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi dan internalisasi.

c. Taksonomi hasil belajar psikomotorik.

Menurut Harrow hasil belajar psikomotorik dapat diklasifikasikan menjadi enam: gerakan refleks, gerakan fundamental dasar, kemampuan perseptual, kemampuan fisis, gerakan ketrampilan, dan komunikasi tanpa kata. Sedangkan menurut Simpson hasil belajar psikomotorik diklasifikasikan menjadi enam, yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks dan kreatifitas. Sementara itu, Robert M. Gagne mengelompokkan kondisi-kondisi belajar (sistem lingkungan belajar) sesuai dengan tujuan-tujaun belajar yang ingin dicapai. Gagne mengemukakan delapan macam, yang kemudian disederhanakan menjadi lima macam kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar sehingga, pada gilirannya, membutuhkan sekian macam kondisi belajar (atau sistem lingkungan belajar) untuk pencapaiannya.

Menurut Hasibuan, 2009: 5, Kelima macam kemampuan hasil belajar tersebut adalah:

a.     Keterampilan intelektual (yang merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingkungan skolastik).

b.     Strategi kognitif, mengatur “cara belajar” dan berfikir seseorang di dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkan masalah.

c.     Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.

d.     Keterampilan motorik yang diperoleh di sekolah, antara lain keterampilan menulis, mengetik, menggunakan jangka, dan sebagainya.

e.     Sikap dan nilai, berhubungan dengan arah serta intensitas emosional yang dimiliki seseorang, sebagaimana dapat disimpulkan dari kecenderungannya bertingkah laku terhadap orang, barang atau kejadian.

2. Indikator Hasil Belajar.

Sebagian besar kalangan guru sulit menjelaskan apakah pembelajaran yang telah dilakukan berhasil atau tidak. Untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran seorang guru harus mengetahui kriteria hasil belajar, setelah itu guru bisa menetapkan suatu alat untuk menaikkan keberhasilan dari pembelajarannya tersebut. keberhasilan pembelajaran dapat dilihat dari segi hasil. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan keberhasilan pembelajaran ditinjau dari segi hasil yang dicapai siswa:

a.     Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh?

b.     Apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pembelajaran dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa?

c.     Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya, serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya?

d.     Apakah yakin bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pembelajaran.

3. Evaluasi hasil belajar

Hasil belajar perlu dievaluasi. Menurut (Purwanto, 2009:47) Evaluasi dimaksudkan sebagai cermin untuk melihat kembali apakah tujuan yang ditetapkan telah tercapai dan apakah proses belajar mengajar telah berlangsung efektif untuk memperoleh hasil belajar. Evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga prinsip dasar berikut ini: 1) Prinsip keseluruhan, 2) prinsip kesinambungan, dan 3) prinsip obyektivitas (Anas, 2003:31).

Evaluasi hasil belajar mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:

a.     Evaluasi dilaksanakan dalam rangka mengukur keberhasilan peserta didik, yang pengukurannya dilakukan secara tidak langsung.

b.     Pengukuran dalam rangka menilai keberhasilan belajar peserta didik pada umumnya menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif.

c.     Pada kegiatan evaluasi hasil belajar pada umumnya digunakan unit-unit atau satuan-satuan yang tetap.

d.     Prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik dari waktu ke waktu adalah bersifat relatif.

e.     Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar, sulit untuk dihindari terjadinya kekeliruan pengukuran.

Menurut (Nana, 2007:261) Dalam menilai hasil belajar khususnya dalam bidang kognitif, alat penilaian yang paling banyak digunakan adalah tes tertulis. Dilihat dari bentuknya, soal-soal tes tertulis dikelompokkan atas soal-soal bentuk uraian (essay) dan soal-soal bentuk objektif.

a. Soal-soal bentuk uraian (essay) adalah tes tulis yang meminta siswa siswi memberikan jawaban berupa uraian. Bentuk-bentuknya berupa: esai bebas dan esai terbatas.

b. Soal-soal objektif adalah tes tulis yang menuntut siswa siswi memilih jawaban yang telah disediakan atau memberikan jawaban singkat terbatas.

Bentuk-bentuknya berupa: tes benar salah, tes pilihan ganda, tes menjodohkan, tes melengkapi, dan tes jawaban singkat.

METODE PENELITIAN

Menurut (Gempur, 2005:7) Ciri-ciri penelitian ilmiah adalah sistematis, logis, dan empiris. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, penelitian dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni: pendekatan rasional-empiris (deduktif/ kuantitatif) dan pendekatan empiris-rasional (induktif/ kualitatif).

Dalam penelitian ini pendekatan yang dipakai adalah pendekatan rasional-empiris (deduktif/ kuantitatif). Penelitian kuantitatif adalah suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya, kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahan-pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh pembenaran(verifikasi) atau penolakan dalam bentuk dukungan data empiris di lapangan.

Desain penelitian adalah bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian.Dengan demikian,penelitian ini didesain sebagai berikut (1) mengadakan pra penelitian melalui pengamatan subyek, (2) mengidentifikasi masalah yang akan diteliti, (3) menentukan jenis penelitian yang akan dilakukan, (4) menyusun proposal untuk diseminarkan guna penentuan dosen pembimbing,(5) membuat instrument penelitian, (6) memvalidasi instrument penelitian, (7) melakukan pengambilan data, (8) melaporkan hasil penelitian dalam bentuk artikel ilmial.

Populasi dari penelitian ini termasuk ke dalam jenis populasi terbatas, karena dapat dihitung jumlahnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas V SD GMIH Paca berjumlah 45 siswa dan sampel merupakan sampel jenuh sehingga sampel dalam penelitian ini sama dengan jumlah populasi sebanyak 45 siswa

Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data yang sifatnya mengevaluasi hasil proses. Instrumennya dapat berupa soal-soal ujian atau soal-soal tes. Soal-soal tes yang dipakai dalam penelitian ini berbentuk soal essay.

Validitas merupakan syarat yang terpenting dalam suatu alat evaluasi. Suatu tehnik evaluasi dikatakan mempunyai validitas yang tinggi (disebut valid) jika tehnik evaluasi atau tes itu dapat mengukur apa yang sebenarnya akan diukur. Pengujian validitas tes dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama penganalisisan yang dilakukan dengan jalan berpikir secara rasional atau penganalisisan dengan menggunakan logika (logical analysis). Dalam hal ini, peneliti meminta validasi kepada 3 orang teman sejawat. Menurut ketiga dosen, tes yang telah peneliti persiapkan sudah layak untuk digunakan. Kedua, penganalisisan yang dilakukan dengan mendasarkan diri kepada kenyataan empiris, dimana penganalisisan dilaksanakan dengan menggunakan empirical analysis. Uji validitas isi dilaksanakan melalui telaah oleh pakar. Validitas isi dihitung menggunakan rumus V Index, dimana rumus V Index pertama kali dikemukakan oleh Aiken dengan rumus (3.1) sebagai berikut:

                                                                                (3.1)

Dimana:

V        = validitas isi oleh pakar

        = angka yang diberikan seorang penilai

      = skala terendah

        = skala tertinggi

       = jumlah penilai

Untuk mengecek apakah butir valid atau tidak adalah dengan mengkonsultasikan V yang didapat dengan melihat kriteria yang ditentukan biasanya 0,3 (Azwar, 2013).

Tabel 3.1 Hasil Validasi Isi Instrumen Angket dan Tes

No.Butir

Ahli 1

Ahli 2

Ahli 3

V Index

R kritis

Ket

1

5

5

5

1,000

0,3

Valid

2

5

4

4

0,833

0,3

Valid

3

5

5

4

0,917

0,3

Valid

4

4

4

4

0,750

0,3

Valid

5

5

5

5

1,000

0,3

Valid

6

5

5

5

1,000

0,3

Valid

7

4

4

4

0,750

0,3

Valid

8

4

4

4

0,750

0,3

Valid

9

5

4

4

0,833

0,3

Valid

10

4

5

5

0,917

0,3

Valid

 

Mean

0,851

 

Valid

(Sumber: Data Peneliti)

 

Berdasarkan tabel 3.1 di atas keseluruhan butir yang berjumlah 35 memiliki rhitung >r kritis 0,3.

Setelah mengetahui hasil validasi isi dari para ahli, langkah berikut menghitung tingkat kesepakatan (reliabilitas) antar ke-3 tiga validator dengan menggunakan analisis One Way Anova dan ICC dengan SPSS16.0. Adapun hasil perhitungan dengan program SPSS ditunjukkan pada tabel 4.3;

Tabel 3.2 Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Menurut Para Ahli

Instrumen

ANOVA

ICC

F

Sig.

Tes

0,391

0,678

0,848

 

 

 

 

Berdasarkan hasil data pada tabel 3.3 dari perhitungan reliabilitas yang didapat dengan menggunakan SPSS 16.0, menunjukkan bahwa hasil analisis kesepakatan antar-rater analisis One Way Anova untuk instrumen Angket dan Tes yaitu Sig. = 0, 392; 0,678; dan F = 0,969; 0,391. Berdasarkan kriteria pengujian dari perhitungan One Way Anova bahwa, memenuhi kriteria nilai signifikansi/P-Value ≥ α=0,05 dan F<3,0 Hal ini menunjukkan bahwa data pada tabel 3.3 Ho diterima dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara ke-tiga ahli dalam menilai instrumen Angket dan Tes.

Berdasarkan perhitungan ICC reliabilitas  = 0,846; 0,848 bahwa, Instrumen dikatakan reliabel jika >0,6; (Suharsimi A, 2008:75). Dengan demikian, instrumen reliabel dan siap untuk digunakan dalam penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis deskriptif variabel dilakukan untuk mengetahui ukuran kategori variabel yang diteliti, uji asumsi dan uji normalitas sebaran data.

Analisis Deskriptif Pretest-Posttest

Hasil analisis deskriptif dirangkum dan disajikan dalam Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Hasil Analisis Deskriptif Pretest

 

Statistics

Pretest

N

Valid

45

Missing

0

Mean

59.8000

Median

59.0000

Std. Deviation

1.05238E1

Minimum

43.00

Maximum

86.00

 

 

 

 

 

Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif Posttest

Statistics

Posttest

 

N

Valid

25

Missing

0

Mean

70.3200

Median

70.0000

Std. Deviation

6.34245

Minimum

60.00

Maximum

84.00

 

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa mean skor pretest sebesar 59,80 dengan standar deviasi sebesar 1,052. Berarti tingkat hasil belajar matematika siswa kelas V SD GMIH Paca termasuk kategori rendah. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mean skor posttest adalah 70,32 dengan standar deviasi sebesar 6,342. Berarti Hasil Belajar matematika kelas V SD GMIH Paca termasuk kategori lebih dari cukup. Berdasarkan uji normalitas menunjukkan bahwa pretest memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov.sig (2-tailed)=0,621> p.0,05 berarti data prestest tersebar secara normal. Posttest memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov.sig (2-tailed)=0,756> p.0,05 berarti data posttest tersebar secara normal. Pada uji homogenitas terdapat hubungan secara linier antara pretest dengan posttest, hal ini dapat dilihat dari nilai Fhitung > Ftabel(5%;V1:V2);(5%;1:88) yaitu 4,685> 3,948.

Analisis uji paired sample t test untuk mengetahui penerimaan hipotesis:

H0: µ2 < µ1         tidak ada peningkatan hasil belajar Pretest terhadap Posttest

Ha: µ2 > µ1         ada peningkatan hasil belajar Pretest terhadap Posttest

Hasil uji paired sample t test seperti tabel 4.2

Tabel 4.3 Hasil Uji Paired Sample Test

Paired Samples Test

 

 

Paired Differences

t

df

Sig. (2-tailed)

 

 

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

 

 

Lower

Upper

Pair 1

Nilai_Matematika – perlakuan

4.96538E1

27.29241

5.35248

38.63021

60.67749

9.277

90

.000

 

Berdasarkan Tabel 4.3 diperoleh t hitung(9,277) > ttabel(5%;88) = 1,680 sehingga menerima H1 bahwa rata-rata Posttest lebih besar dari rata-rata Pretest dengan signifikan hitung(0,000) <p.0,05) dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai matematika siswa kelas V SD GMIH Paca yang signifikan pada Posttest.

Untuk menjawab rumusan masalah “Apakah ada Pengaruh Model Pembelajaran posing terhadap Hasil Belajar matematika kelas V SD GMIH Paca Kabupaten Halmahera Utara? sebagai berikut:

 

Tabel 4.4 Model Summary

Model Summary

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1

.170a

.412

.213

6.38450

a. Predictors: (Constant), Model_Pembelajaran_Posing

 

Berdasarkan output komputer di atas dapat dijelaskan bahwa diperoleh nilai R square sebesar 0,412. Hal ini berarti bahwa variabel Model Pembelajaran posingberpengaruh terhadap Hasil Belajar matematika sebesar 41,2%, dan sisanya sebesar 58,8% disebabkan oleh faktor lain diluar faktor Model Pembelajaran posing.

Hasil analisis deskriptif Pretest dan Posttest sebagai berikut: 1) Tabel 4.1 menunjukkan bahwa mean atau rata-rata skor Pretest adalah 41,53 dengan standar deviasi sebesar 3,158. Berarti Hasil Belajar Matematika siswa kelas V SD GMIH Paca termasuk kategori rendah; 2) tabel 4.2 mean atau rata-rata skor Posttest adalah 60,77 dengan standar deviasi sebesar 1,934. Berarti Hasil Belajar Matematika siswa kelas V SD GMIH Paca termasuk kategori cukup; 3) Rata-rata siswa telah mencapai KKM 60. 4) Berdasarkan tabel 4.3 pada Posttest: a) terdapat peningkatan nilai rata-rata matematika siswa sebesar 70,32 – 59,80 = 10,52 poin; b) terdapat peningkatan jumlah siswa yang mencapai KKM dari 4 siswa pada Pretest menjadi 25 siswa pada Posttest; c) terdapat peningkatan rata-rata nilai Posttest telah mencapai KKM.

Analisis uji paired sample t test untuk mengetahui penerimaan hipotesis. Berdasarkan Tabel 4.3 diperoleh t hitung(9,277) > ttabel(5%;88) = 1,664 sehingga menerima H1 bahwa rata-rata Posttest lebih besar dari rata-rata Pretest dengan signifikan hitung(0,000) <p.0,05) dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai matematika siswa kelas V SD GMIH Paca yang signifikan pada Posttest.

Berdasarkan output komputer di atas dapat dijelaskan bahwa diperoleh nilai R square sebesar 0,412. Hal ini berarti bahwa Model Pembelajaran posing berpengaruh positif terhadap Hasil Belajar matematika sebesar 41,2%, dan sisanya sebesar 58,8% disebabkan oleh faktor lain diluar faktor Model Pembelajaran posing.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh peneliti efektivitas model pembelajaran posing, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat 1) peningkatan rata-rata hasil belajar pada posttest sebesar 10,52 poin; 2) rara-rata nilai posttest sudah mencapai KKM. Kemudian pada pembuktian hipotesis t hitung(9,277) > ttabel(5%;88) = 1,664 sehingga menerima H1 bahwa rata-rata posttes lebih besar dari rata-rata pretest dengan signifikan hitung(0,000) <p.0,05) dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai matematika siswa kelas V SD GIMIH Paca yang signifikan pada posttest; 3) Model Pembelajaran posing berpengaruh positif terhadap Hasil Belajar matematika sebesar 41,2%, dan sisanya sebesar 58,8% disebabkan oleh faktor lain diluar faktor Model Pembelajaran posing.

 

 

REFRENSI

Anas Sudijono. 2003. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Azwar, Saifuddin. 2013. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Sigma Alpha.

Gempur, S. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang Press, 2005).

Nana, Sudjana. 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Purwanto. 2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sardiman. A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Winkel W.S. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.