FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN BALEGANJUR

BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DUSUN CETO DESA GUMENG KECAMATAN JENAWI KABUPATEN KARANGANYAR

Meyka Triadi

Emy Wuryani

Wahyu Purwiyastuti

Pendidikan Sejarah FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna kesenian Baleganjur bagi kehidupan masyarakat dusun Ceto, desa Gumeng, kecamatan Jenawi, kabupaten Karanganyar. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesenian Baleganjur di dusun Ceto, Karanganyar bukan kesenian tradisional asli dusun Ceto. Baleganjur merupakan warisan kesenian musik yang berasal dari kabupaten Gianyar, Bali. Kesenian Baleganjur mempunyai banyak nilai positif yang dapat dipergunakan dalam kehidupan masyarakat dusun Ceto baik dalam segi keagamaan maupun dalam kehidupan sosial mereka. Peralatan musik yang dipakai sebagai instrument pengiring adalah kendang lanang, kendang wadon, reong, ponggang, cengceng, kajar, kempli, kempur, gong (lanang’wadon), dan bende.

Kata kunci: Kesenian, Baleganjur, Dusun Ceto


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara multikultural yang mempunyai banyak keberagaman suku, pulau, budaya, dan masih banyak lagi keberagaman lain, sehingga melahirkan budaya etnik yang berbeda-beda. Keberagaman tersebut dilatar belakangi oleh pikiran, pandangan, dan berbagai pengaruh tata cara kehidupan masyarakat yang plural. Keberagaman yang berasal dari berbagai daerah tersebut menghasilkan bentuk-bentuk seni yang beragam.

Manusia adalah makhluk yang paling mulia memiliki kemampuan untuk membuat dan menghasilkan budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi daya kreatif kegiatan manusia perorangan ataupun sebagai kelompok manusia. Ini dapat dilihat melalui seni, ilmu pengetahuan, agama, arsitektur, musik, dan politik (Sutrisno, 2009: 363).

Kesenian merupakan unsur kebudayaan yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu didasari oleh pandangan manusia yang dinamis dan semakin lama semakin berkembang dalam konsep proses dan hasil karya berkesenian. Hal tersebut dapat dimengerti karena kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan dan manusia adalah pencipta sekaligus penikmatnya. Oleh karena itu, sepanjang sejarahnya manusia tidak akan lepas dari seni, karena hal tersebut mengandung nilai estetis (keindahan), sedangkan manusia menyukai keindahan (Rohindi, 2000: 3).

Kesenian dari masyarakat, dipelihara oleh masyarakat, serta mendapatkan pengembangannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakatlah yang menentukan perubahan pada kesenian tersebut. Pandangan masyarakat tentang kesenian hanya diartikan hanya sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan tanpa pengamatan yang lebih dalam, serta mencerminkan makna dan simbol yang terdapat didalamnya. Kesenian sangat dirasakan masyarakat pendukungnya sebagai sarana untuk mencapai suatu kebutuhan baik moril maupun spiritual. Mereka sangat percaya bahwa keinginannya akhirnya akan dapat terpenuhi, akan tetapi makna yang terkandung dalam kesenian pada umumnya berhubungan dengan kebutuhan pendukungnya (Sedyawati, 1981: 48).

Description: kerangka pikir.pngDusun Ceto memiliki potensi yang selama ini telah menjadi tempat tujuan wisata. Tempat-tempat tersebut adalah Candi Ceto, Candi Kethek, Puri Saraswati, dan keindahan alam yang sangat mempesona. Wisatawan yang berkunjung ke lokasi ini berasal dari berbagai negara, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Pada umumnya kedatangan mereka ternyata tidak hanya mengunjungi khususnya Candi Ceto tetapi juga menikmati pemandangan alam yang sangat menakjubkan dan mengamati berbagai aktivitas budaya baik yang berhubungan dengan tradisi keagamaan maupun tradisi lainnya (Emy Wuryani, Wahyu Purwiyastuti. 2012: 1).

Khasanah budaya Ceto sangat kaya dan penuh nilai. Karya seni tidak hanya merepresentasikan kehidupan sosial semata, tetapi juga religi dan tata nilai. Kesenian Baleganjur merupakan salah satu kesenian masyarakat Dusun Ceto yang sampai sekarang masih dilestarikan dan dikembangkan. Baleganjur adalah sebuah seni pertunjukan musik yang digunakan oleh masyarakat Ceto untuk mengiringi sebuah prosesi keagamaan yang mempunyai banyak kegunaan. Baik di Bali sebagai tempat asal kesenian Baleganjur juga di Dusun Ceto bersifat sama, selain untuk keperluan upacara keagamaan dan upacara adat juga sebagai kesenian yang berfungsi sebagai kesenian yang bersifat komersial.

Adapun kerangka pikir penelitian ini tergambar dalam diagram berikut:

GEOGRAFIS DUSUN CETO

Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah Barat: Dusun Gumeng, sebelah Utara: Dusun Babar, sebelah Timur: Provinsi Jawa Timur, sebelah Selatan: Desa Segara Gunung.

Dusun Ceto merupakan salah satu dari 3 dusun di desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Daerah ini memiliki ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut (dpl) dan terletak di sebelah Barat lereng Gunung Lawu. Dusun Ceto berhawa sejuk karena merupakan dusun tertinggi sebagai pintu masuk menuju puncak Gunung Lawu dari arah Gumeng. Dusun Ceto berada di kaki Gunung Lawu. Jarak menuju puncak Gunung Lawu sekitar 7 km dan dapat ditempuh dengan jalan kaki kirakira 6 jam perjalanan dari Dusun Ceto. Suhu rata-rata 190C. Jarak tempuh dusun Ceto dari kota kabupaten adalah 22 km. (Emy Wuryani, Wahyu Purwiyastuti. 2012: 40-45).

Akulturasi antara budaya Jawa dan agama Hindu sangat terasa di Ceto. Akulturasi antara budaya Jawa dan agama Hindu ada dalam sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dusun Ceto. Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme, dengan masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia maka masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut.

Agama Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lain mengalami sinkritisme. Proses sinkritisme tersebut menghasilkan perpaduan antara agama Hindu-Budha dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, sehingga agama Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia berbeda dengan agama Hindu-Budha yang dianut oleh masyarakat India.

DESKRIPSI UMUM KESENIAN BALEGANJUR

Gamelan Baleganjur adalah satu kesenian umat Hindu dari Bali yang hingga sekarang masih tetap eksis. Hingga kini ada dua pengertian berbeda melekat dengan gamelan prosesi ini. Yang pertama adalah musik pengusir Bhuta Kala sehingga disebut Kalaganjur. Yang kedua adalah sebagai musik pembangkit semangat sehingga disebut Balaganjur. Namun, secara historis Baleganjur itu berasal dari Bebonangan, yaitu sebuah perangkat gamelan kuno yang lahir pada masa pemerintahan raja-raja di Bali (I Made Bandem, 2013: 266).

Jenis-jenis instrumen yang diguna-kan pada gamelan Baleganjur antara lain: Kendang, Reong, Keponggang, Tawa-tawa/Kajar, Kempli, Cengceng, Gong, dan Suling. Hampir setiap desa di Bali memiliki gamelan Baleganjur. Hal ini disebabkan karena berkembang pesatnya Gong Kebyar di seluruh Bali. Karena sebagian dari instrument kebyar dapat digunakan sebagai ensambel Baleganjur. Hanya perlu ditambahkan instrument Cengceng kopyak (semacam symbal), sebuah Bebende (semacam tambur cina), dan sebuah tawa-tawa/Kajar.

Kesenian Baleganjur di Bali dapat dibilang eksis karena mayoritas penduduk beragama Hindu dan Kesenian Baleganjur merupakan bagian penting dalam upacara keagamaan dan adat masyarakat. Berbagai kompetisi sering diadakan dan kompetisi tersebut mempunyai kontribusi cukup besar dalam menarik minat generasi muda untuk terus menekuni dan melestarikan Kesenian Baleganjur di Bali. Berbeda dengan Kesenian Baleganjur Dusun Ceto yang dapat dibilang baru.

DESKRIPSI KHUSUS KESENIAN BALEGANJUR DUSUN CETO

Kesenian Baleganjur di Dusun Ceto pertama kali ada bersamaan dengan datangnya Patung Saraswati yang didatangkan langsung dari Pulau Bali. Kehadiran Patung Saraswati dari Pulau Bali ke Dusun Ceto merupakan kerjasama antar pemerintah kabupaten antara pemerintah Kabupaten Gianyar yang saat itu menjabat Bupati ialah A.A.G. Agung Bharata dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar yang waktu itu menjabat bupati ialah Rina Iriani Sri Ratnaningsih (http://www.karanganyarkab.go.id).

Menurut penuturan beberapa orang narasumber yakni masyarakat asli Dusun Ceto pada awalnya Dusun Ceto, belum mengenal Kesenian Baleganjur sampai pemerintah Kabupaten Gianyar mengenalkan kesenian ini sebagai wujud kerjasama antar umat Hindu. Dari situ warga Dusun Ceto mulai mengenal dan mengembangkan kesenian Baleganjur.

SISTEM ORGANISASI DAN PERTUNJUKAN DUSUN CETO

Para Pemain

Pemain Baleganjur merupakan warga asli Dusun Ceto, terutama para pemuda dan anak-anak. Pelatih utama Kesenian Baleganjur adalah dua orang Dosen ISI Surakarta yaitu Nengah dan Nyoman, pelatih untuk anak-anak adalah para pemuda dusun Ceto khususnya Suroto dan Teguh sebagai pengurus kesenian Baleganjur Dusun Ceto. Para pemain tidak hanya menguasai atau memainkan satu alat saja, akan tetapi mereka memainkan satu alat dengan alat yang lain secara bergantian. Para Pemain Kesenian Baleganjur terdiri dari para pemuda dan anak-anak.

Tempat berlatih dan menyimpan alat

Tempat berlatih kesenian Baleganjur yaitu Pasraman. Pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang Agama Hindu. Lembaga ini merupakan pendidikan alternatif atau pendidikan non formal. Pada sekolah formal Agama Hindu diajarkan ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.

Berdirinya Pasraman berkat usaha para pemuda Dusun Ceto yang diprakarsai oleh Teguh yang berusaha membuat proposal pengajuan dana pembuatan Pasraman ke Dinas Pariwisata, dengan disetujuinya proposal tersebut, maka keluarga Teguh menyumbangkan halaman depan rumah mereka sebagai tempat berdirinya bangunan Pasraman. Sampai sekarang Pasraman dirawat dan digunakan dengan baik oleh warga masyarakat Dusun Ceto.

Latihan rutin dilaksanakan oleh para pemain Baleganjur pada hari selasa malam untuk para pemuda dan hari minggu malam untuk anak-anak. Para pemain selalu melaksanakan pemantapan permainan tepat sebelum pementasan dilaksanakan. Latihan juga diadakan saat mereka akan melakukan pentas baik di pasraman apabila pentas dilaksanakan di Dusun Ceto, maupun diluar pasraman apabila pentas dilakukan diluar daerah.

Regenerasi

Masyarakat melestarikan kesenian Baleganjur dengan berlatih Kesenian Baleganjur, menggunakannya sebagai pengiring kegiatan serta melatih anak-anak untuk memainkan kesenian Baleganjur. Harapan masyarakat dengan melatih anak-anak adalah supaya anak-anak dapat mengenal dan menyukai kesenian Baleganjur sejak dini. Cara tersebut ditempuh agar proses regenerasi dapat berjalan dengan baik. Bila proses regenerasi berhasil maka kesenian Baleganjur tidak akan tergantikan dengan kesenian lain yang belum tentu sesuai dengan budaya dan kepribadian mereka. Saat ada kesenian lain masuk ke Dusun Ceto harapannya kesenian tersebut dapat berjalan beriringan dengan Kesenian Baleganjur. Masyarakat tidak menganggap kesenian lain sebagai ancaman untuk menggeser keberadaan kesenian yang sudah ada, akan tetapi kesenian baru tersebut dapat untuk menambah ragam budaya di tempat mereka tinggal.

Suatu kesenian akan dapat tetap lestari apabila ada komunitas masyarakat yang mendukungnya, para pemuda, anak-anak dan masyarakat Dusun Ceto sangat mendukung keberadaan Baleganjur. Proses regenerasi berlangsung dengan baik. Mereka saling bekerja sama dan sikap yang ditunjukkan para pemuda dan anak-anak sama antusiasnya untuk dapat memainkan serta mengembangkan keahlian mereka untuk bermain Kesenian Baleganjur.

FUNGSI MUSIK BALEGANJUR

Keagamaan/Pemujaan

Fungsi Kesenian Baleganjur adalah sebagai pemujaan yaitu pengiring prosesi/ upacara keagamaan bagi Umat Hindu Dusun Ceto. Suara yang keluar dari alat musik Baleganjur saat dipukul dalam prosesi upacara keagamaan dipercaya dapat mendatangkan roh leluhur. Datangnya roh leluhur, masyarakat yakin bahwa leluhur merestui apa yang menjadi harapan masyarakat dalam prosesi yang mereka lakukan.

Kesenian Baleganjur dipahami tidak hanya sebagai sebuah bentuk kesenian yang digunakan untuk melengkapi sebuah ritual atau hiburan saja. Lebih dari itu, Kesenian Baleganjur memiliki potensi untuk melengkapi kehidupan mereka yang dilingkupi oleh budaya mitos.

Non Keagamaan/Kesenian Tradisional

Kesenian Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara keagamaan. Tapi dalam perkembangan-nya, peranan Kesenian Baleganjur makin melebar. Kini Kesenian Baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian, ikut dalam iringan pawai olahraga, mengiringi lomba bahkan dapat sebagai kesenian komersial, yaitu untuk mengiringi pesta/hajatan yang diadakan masyarakat seperti mengiringi acara 17 Agustus, pernikahan, ulang tahun, khitanan, dan sebagainya.

Fungsi Kesenian Baleganjur dalam perkembangannya dapat menjadi sebuah kesenian komersial karena permintaan penikmat seni pertunjukan. Sebagai contoh Kelompok Kesenian Baleganjur Pasraman Dusun Ceto pernah diminta tampil dalam sebuah acara pertemuan sebuah organisasi masyarakat dengan pertunjukan utama tarian daerah. Tugas dari kelompok Kesenian Baleganjur Pasraman Dusun Ceto adalah mengiringi pertunjukan tari tersebut supaya pertunjukan tari menjadi lebih meriah.

Melihat perkembangan Kesenian Baleganjur di Bali penulis mempunyai pendapat bahwa, Kesenian Baleganjur kedepannya dapat berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan kebudayaan, hiburan kepada masyarakat, sebagai mata penca-harian, serta memperkuat rasa persatuan dan kerukunan di Dusun Ceto.

MAKNA

Makna Spiritual

Makna Kesenian Baleganjur secara spiritual sebagai pemujaan yaitu pengiring prosesi/upacara keagamaan bagi Umat Hindu di Dusun Ceto. Masyarakat memahami Kesenian Baleganjur tidak hanya sebagai hiburan atau pelengkap ritual saja. Lebih dari itu, Baleganjur memiliki potensi untuk melengkapi kehidupan mereka yang dilingkupi oleh budaya mitos.

Makna Kerukunan

Kebudayaan tidak akan dapat dihasilkan secara individual, melainkan oleh sekelompok orang yang bersama-sama dapat menikmati hasil dari budaya tersebut. Untuk dapat saling bekerja bersama-sama dibutuhkan kerukunan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Begitu pula dengan Kesenian Baleganjur. Tanpa kerukunan Kesenian Baleganjur tidak akan dapat berjalan dengan baik di Dusun Ceto. Baik dari para pemain, para warga masyarakat, juga para wisatawan yang melihat kesenian Baleganjur. Mereka saling bekerja sama untuk menjaga terciptanya kerukunan dilingkungan Dusun Ceto.

Makna Sosial

Kebudayaan bersifat sosial dalam artian kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama. Kesenian Baleganjur tidak akan dapat berjalan hanya dengan usaha salah satu tokoh masyarakat Dusun Ceto saja melainkan dapat berjalan dengan baik melalui kerja sama masyarakat Dusun Ceto. Itu merupakan bukti bahwa Kesenian Baleganjur mempunyai makna sosial yang penting dalam menjalin kerjasama masyarakat dalam bidang sosial.

Unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto salah satunya yaitu sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya (Soerjono Soekanto, 1970: 43). Dengan Kesenian Baleganjur masyarakat Dusun Ceto sebagai makhluk sosial dapat menjalin kerja sama dengan baik antar warga. Terbukti saat diadakan latihan rutin Kesenian Baleganjur dapat berjalan dengan baik serta saat pementasan dan pengiringan upacara keagamaan musik Baleganjur dapat berjalan dengan baik berkat kerja sama antar pemain dengan warga masyarakat.

Makna Estetika

Nilai estetika yang berhubungan dengan Baleganjur adalah kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan kesenian musik Baleganjur baik dari suara yang dihasilkan juga dari keindahan pakaian/kostum para pemain juga tentang bagaimana para pemain memposisikan diri mereka saat memainkan Baleganjur.

Saat memainkan alat musik Baleganjur warga Dusun Ceto secara tidak langsung mendengarkan suara yang merdu dari alat musik Baleganjur. Dengan begitu nuansa keindahan dari suara yang hadir dapat memanjakan telinga mereka dengan alunan yang berirama. Selain dapat memanjakan telinga kesenian Baleganjur juga dapat memanjakan mata dengan melihat kekompakan para pemain serta kerapian pakaian/kostum yang dipakai para pemain Baleganjur.

Makna Budaya

Kesenian Baleganjur adalah sebagai bentuk budaya seni, agama, dan musik masyarakat Dusun Ceto. Melalui seni musik masyarakat menyalurkan daya kreatif mereka untuk menciptakan berbagai kreasi suara yang mempunyai irama yang berbeda-beda. Dengan adanya regenerasi kepada anak-anak berarti masyarakat juga sadar akan nilai budaya yang mereka miliki sangat penting untuk terus dikembangkan, dipelihara, dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Makna Edukasi atau Pendidikan

Kebudayaan tidak bersifat statis, karena kebudayaan itu selalu berubah. Perubahan kebudayaan disebabkan karena beberapa faktor antara lain: adanya unsur invention atau penemuan baru yang dilakukan oleh anggota dalam masyarakat pendukung kebudayaan, serta adanya unsur kontak dengan masyarakat lain. Begitu pula dengan Kesenian Baleganjur selalu berkembang dari penemuan baru, berkembangnya karena inovasi masyarakat Bali sampai dengan kontak dengan masyarakat Dusun Ceto dan akhirnya berkembang pula Kesenian Baleganjur di Dusun Ceto. Penemuan-penemuan irama baru juga merupakan nilai pendidikan yang harus diajarkan kepada generasi muda untuk selalu berusaha untuk mengembangkan Kesenian Baleganjur supaya masyarakat tidak bosan dengan irama yang statis dan akhirnya meninggalkan dan menggantinya dengan kesenian modern baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat setempat.

KESIMPULAN

Kesenian Baleganjur di Dusun Ceto, Karanganyar merupakan warisan kesenian musik yang berasal dari Kabupaten Gianyar, Bali. Kesenian Baleganjur pada awalnya merupakan kesenian yang dipergunakan dalam mengiringi upacara adat, Baleganjur biasanya digunakan untuk mengiringi upacara seperti Melasti, Ngaben, Mapeed, Ogoh-ogoh, dll. Seiring perkembangan jaman kesenian Baleganjur tidak hanya sebagai pengiring upacara keagamaan tapi juga dapat mengiringi pesta perkawinan, pesta ulang tahun, pawai karnaval, dan lain-lain.

Kesenian Baleganjur mengandung berbagai makna yang luas dalam kehidupan masyarakat dusun Cetho seperti makna spiritual, kerukunan, sosial, estetika, budaya, pendidikan. Kesenian Baleganjur mempunyai banyak nilai positif yang dapat dipergunakan dalam kehidupan masyarakat Dusun Ceto baik dalam segi keagamaan maupun dalam kehidupan sosial mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Agust, Jati, Kurniyardi. 2008. Fungsi Kesenian Lengger di Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Bandem, I Made. 2013 .Ensiklopedi Gamelan Bali. Bali: Akademi Seni Tari Indonesia. Denpasar Bali

Bondet, Wrahatnala. tt. “Kentrung Dalam Kehidupan Masyarakat Jepara”. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia. Surakarta.

Emy, Wuryani. Wahyu, Purwiyastuti. 2012. “Mengungkap Kearifan Lokal Masyarakat Ceto”. Jurnal Ilmiah Pendidikan, Sejarah dan Sosial Budaya, Widya Sari Volume 14 No. 2 Bulan Mei Tahun 2012. Salatiga: Widya Sari Press.

Emy, Wuryani. Wahyu, Purwiyastuti. 2012. “Penyusunan Blue Print Model Pengembangan Ekowisata Berbasis Potensi Komunitas Perdusunan”. Jurnal Ilmiah Pendidikan, Sejarah dan Sosial Budaya, Widya Sari Volume 14 No. 3 Bulan September Tahun 2012. Salatiga: Widya Sari Press.

Rohindi, T.R. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Banung: STSI Press.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Soediro Satoto. tt. “Perkembangan Bentuk, Makna, Dan Fungsi Kesenian Kentrung Tutur Sebagai Warisan Tradisi Budaya Nusantara. Seminar Reaktualisasi Warisan Seni Budaya: “Cerita Kentrung: dan: Wayang Dakwah: pada hari Sabtu, 24 Mei 2014 di UNS Surakarta Universitas Negeri Surakarta Surakarta.

Soekanto, Soerjono. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Univ Indonesia.

Sutrisno. 2009. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

http://www.karanganyarkab.go.id/ Diakses Senin, 19 Mei 2014 Pukul 20.30