SEJARAH KESENIAN JALANTUR DI DUSUN KETEP

KABUPATEN MAGELANG

Eko Wahyu Widodo

Wahyu Purwiyastuti

Emy Wuryani

Pendidikan Sejarah-FKIP Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sejarah kesenian Jalantur di dusun Ketep kabupaten Magelang terkait awal berdirinya, pola regenerasi, kostum, gerak tari, instrumen serta faktor-faktor penyebab berakhirnya kesenian Jalantur. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, dengan langkah-langkah: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumen. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesenian Jalantur di dusun Ketep berdiri pada tahun 1961 dan pola regenerasi kesenian Jalantur diwariskan dari senior sebagai pelatih kepada junior sebagai peserta didik. Karena namanya Jalan Teratur, tarian ini fokus pada koreografi baris berbaris dipadu instrumen musik yang sederhana yaitu trunthung yang dipukul dengan bilah bambu tipis dipadu dengan bendhe. Pada awal pementasan kesenian Jalantur disajikan adegan tari oleh para penari Jalantur membentuk huruf-huruf dan angka-angka, kemudian pada pertengahan pementasan ada adegan perang penari Angkrik, Batak, Toyak, dan Pengapit yang menggambarkan kekuatan dua kelompok prajurit lalu pada ahir pementasan dua kelompok prajurit tersebut berbaris menjadi satu yang menggambarkan persatuan/perdamaian. Setelah bergabungnya kedua kelompok prajurit tersebut kedalam satu barisan maka sekaligus mengakhiri pertunjukan kesenian Jalantur. Adapun faktor-faktor penyebab kesenian jalantur berahir adalah kegagalan regenerasi pemain, munculnya kesenian baru, transmigrasi dan kematian.

Kata kunci: Kesenian Jalantur, Desa Ketep.


PENDAHULUAN

Pulau Jawa terbagi dalam 4 wila-yah administrasi pemerintahan provinsi, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten serta dua wilayah khusus yaitu, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai macam budaya, adat-istiadat, makanan tradisional dan berbagai kesenian tradi-sional, berkembang pesat di kota ini. Hal ini disebabkan karena letak geografis Magelang berada di dekat Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara historis Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bekas kerajaan Mataram yang merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Kebudayan Jawa adalah kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa dengan beberapa variasi dan heterogenitas masyarakat yang berkembang, baik di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur (Moh Roqib, 2007:36).

Menurut Koentjaraningrat, budaya manusia terdiri dari tujuh unsur yang disebut sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1984:207) salah satu dari ketujuh unsur tersebut adalah kesenian. Dalam memenuhi kebu-tuhan keindahan dalam kehidupannya, manusia menciptakan berbagai macam bentuk kesenian. Kesenian merupakan keahlian dan keterampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan hal-hal yang indah serta bernilai. Kesenian itu berupa kesenian tradisional dan kesenian non tradisional atau kesenian modern (Soedarsono, 1999:28).

Pada saat ini popularitas kesenian tradisional secara lambat laun lenyap tergerus oleh modernisasi zaman. Hanya sebagian kecil saja kesenian tradisional yang masih dapat bertahan dan berkem-bang hingga saat ini. Salah satu kesenian tradisional yang hilang ditelan oleh perkembangan zaman adalah kesenian tradisional Jalantur di Dusun Ketep, Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Jalantur merupakan seni tari tradisional kerakyatan yang berkembang pada kalangan rakyat golongan bawah. Kesenian Jalantur sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Pada awalnya Kesenian Jalantur dipentaskan untuk menyalurkan semangat perjuangan bagi para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu sedang berjuang melawan penjajahan Belanda. Dalam perkembanga-nya tari Jalantur dikemas oleh para koreografer menjadi lebih eksklusif ke dalam sebuah seni pertunjukan tari yang dipertontonkan secara umum dan bertu-juan untuk menghibur masyarakat oleh penyandang dananya. Selain hiburan untuk masyarakat, tari Jalantur juga ikut berperan serta sebagai sarana program pemerintah pada masa Orde Baru yaitu pemberantasan buta aksara. Hal ini nampak pada gerakan-gerakan yang ada dalam gerak tari Jalantur. Di desa Ketep, tari Jalantur sudah berdiri sejak tahun 1961 dan mengalami regenerasi pemain seba-nyak tiga kali. Seperti halnya kesenian tradisional lainnya, Kesenian Jalantur berasal dari warisan nenek moyang dengan pola pewarisannya secara turun temurun yaitu dari generasi tua kepada generasi muda. Pada awal mulanya Kesenian Jalantur ini sangat diminati masyarakat khususnya para penggemarnya yang berasal dari dusun Ketep dan daerah lainnya. Bahkan Kesenian Jalantur di dusun Ketep ini pada tahun 1986 sudah mendapatkan piagam peresmian dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, namun dalam perkembangan-nya Kesenian Jalantur di dusun Ketep sudah tidak pernah dipentaskan lagi. Berakhirnya Kesenian Jalantur di dusun Ketep antara lain disebabkan oleh masalah sumber daya manusia, pengaruh dari luar, dan kebijakan nasional dari pemerintah.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu: Bagaimanakah sejarah Kesenian Ja-lantur di Dusun Ketep, Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Mage-lang.

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: Mendeskripsikan ten-tang sejarah Kesenian Jalantur pada tahun 1961-1997 yang menyangkut tentang awal berdirinya, pola regenerasi, kostum, gerak tari, instrumen serta faktor-faktor penye-bab berakhirnya kesenian Jalantur Dusun Ketep Kabupaten Magelang.

KAJIAN PUSTAKA

Kebudayaan

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”. Sedangkan kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Kussunarti, Laela, Rukoyah 2009:1).

Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat uni-versal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemu-kan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: a. Sistem religi, b. Sistem kemasya-rakatan, c. Sistem pengetahuan, d. Bahasa, e. Sistem mata pencaharian hidup, f. Sistem peralatan hidup atau teknologi dan g. Kesenian. Dengan demikian seni Jalantur merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang pada umumnya dimiliki oleh masyarakat. Seni Jalantur adalah suatu seni pertunjukan/teater oleh sebab itu kesenian ini masuk kedalam unsur kebudayaan yang ke tujuh yaitu kesenian.

Kesenian

Kesenian adalah bagian dari buda-ya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengeks-presikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga memiliki fungsi, manfaat dan nilai-nilai edukatif yang ter-kandung didalamnya. Dalam memenuhi kebutuhan keindahan dalam kehidupannya, manusia menciptakan berbagai macam bentuk kesenian kesenian merupakan ke-ahlian dan ketrampilan untuk mengekspre-sikan dan menciptakan hal-hal yang indah serta bernilai. Kesenian tersebut berupa kesenian tradisional dan kesenian modern. (Soedarsono, 2002:28). Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwu-judan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni pertunjukan, seni tari, seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vokal, musik, bangunan, kesusastraan, dan drama. Seseorang dapat memperoleh kenikmatan seni yang dirasakan tidak hanya secara fisik saja, melainkan juga secara batiniah. Kenikmat-an itu timbul apabila kita menangkap simbol-simbol estetik dari penciptanya, sehingga setiap orang menyatakan nilai seni merupakan spiritual atau kejiwaan (Rohindi, 2000: 11).

Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan adalah seni gabungan dari berbagai komponen yang bersatu dan ditampilkan dengan kebersa-maan, hingga dalam penampilannya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. Contoh: untuk menampilkan sebu-ah tari, diperlukan penari, busana tari (kostum), penata rias, pemain musik, alat musik, panggung pertunjukan, dan penge-ras suara (Soedarsono, 2002: 216). Seni pertunjukan sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, dalam perkembanganya seni pertunjukan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor non seni, dan yang paling berpengaruh adalah faktor politik, sosial dan ekonomi. Menurut Soedarsono (dalam Kussunarti ddk, 2009: 50) ada tiga fungsi primer dari seni pertunjukan yaitu sebagai sarana ritual yang penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata/makhluk astral

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis meng-gunakan metode sejarah dalam bentuk kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis yang berupa kata-kata tertulis terhadap apa yang diteliti, atau dengan kata lain data dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif. Metode penelitian sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik (verifikasi), interpret-tasi, dan historiografi. Penelitian dimulai dengan tahap heuristik yaitu dengan mengumpulkan sumber data yaitu menemukan subjek yang akan diteliti terlebih dahulu. Setelah itu, dikumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan tema penulisan. Sumber-sumber penulisan yang terkait dengan permasalahan, yang penulis dapatkan adalah sumber primer dan sumber sekunder. Setelah menemukan sumber sejarah tahapan yang harus dilakukan adalah tahap kedua yaitu tahap kritik (verifikasi) sumber yang terdiri dari kritik intern dan kritik ekstern. Tahapan ketiga adalah interpretasi, yaitu memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah ditemukan. Tahapan akhir dalam metode penelitian sejarah adalah historiografi atau penulisan sejarah. Dalam tahap ini penulis memproses data-data yang telah ditafsirkan secara kronologis dan sitematis agar tersusun sebuah cerita tentang perkembangan sejarah kesenian Jalantur di Dusun Ketep, Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Mage-lang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Kesenian Jalantur di Dusun Ketep tahun 1961

Kesenian Jalantur di Dusun Ketep mulai dirintis setelah Marsan melihat pementasan Kesenian Jalantur dari Dusun Glondong yang terletak di sebelah utara Dusun Ketep. Pada saat melihat pertunjukan Kesenian Jalantur tersebut Marsan tertarik pada keindahan gerak tari, keunikan pakaian yang digunakan pemain dan kesederhanaan peralatan gamelan. Setelah peristiwa tersebut, Marsan memutuskan untuk mengajak para pemuda masayarakat Dusun Ketep mendirikan Kesenian Jalantur. Untuk itu Marsan mengadakan musyawarah di rumah Kepala Dusun. Meskipun tidak semua masyarakat menghadiri dan berpartisipasi dalam musyawarah tersebut. Namun pada akhirnya masyarakat Dusun Ketep melalui musyawarah tersebut sepakat untuk mendirikan Kesenian Jalantur yang beranggotakan 25 orang.

Pada awal tahun 1961 masyarakat Dusun Ketep mendatangkan 3 pelatih Kesenian Jalantur dari Dusun Garon, Desa Banyuroto yaitu Darmo, Tamrih, Ngadeli dan 1 pelatih dari Dusun Sobleman, Desa Banyuroto yaitu Sumar. Pada awalnya latihan dilakukan sekali setiap minggu pada hari sabtu pukul 20.00 WIB selama 4 (empat) bulan. Tempat yang digunakan untuk berlatih adalah halaman rumah Raminem. Setelah semua pemain dapat menirukan gerak tari Jalantur selanjutnya melakukan latihan secara mandiri. Peralatan gamelan yang digunakan untuk latihan pada saat itu masih meminjam dari pelatih. Sehingga setiap anggota yang mengikuti pelatihan wajib membayar uang iuran sebesar 25 rupiah untuk biaya konsumsi latihan dan untuk pembayaran biaya pelatih termasuk penyewaan peralatan gamelan. Baru kemudian pada pertengahan tahun 1962 Kesenian Jalantur Dusun Ketep bisa membeli peralatan gamelan dan kostum Kesenian Jalantur dengan hasil uang iuran, uang hasil swadaya dari anggota kelompok yang didapatkan dari bekerja bakti bersama-sama untuk mencangkul sawah milik masyarakat yang mengundangnya. Selain itu dana juga didapatkan dari sumbangan masyarakat dusun Ketep maupun kelompok pendukung. (Marsan dan Suyat, Wawancara 12 Juni 2014)

Sistem Organisasi dan Pola Pewarisan Kesenian Jalantur

Kesenian Jalantur merupakan kese-nian kelompok dimana anggotanya terdiri dari beberapa orang, oleh sebab itu untuk mempermudah kepengurusan anggota maka dibentuklah struktur keorganisasian. Organisasi kelompok kesenian tersebut bernama “Kelompok Kesenian Jalantur Dusun Ketep”. Kesenian Jalantur dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara. Sejak awal berdirinya sampai berahirnya kelompok kesenian Jalantur tersebut telah banyak mengalami perubahan sistem keorganisasian berikut rinciannya. Pada tahun 1961-1971 ketua kelompok Kesenian Jalantur adalah Sudiharjo dan Raminem sebagai bendahara kesenian ini beranggotakan 25 orang dengan kantor sekertariat dirumah Raminem. Kemudian pada tahun 1971-1980 ketua digantikan oleh Suyat dan Narto sebagai bendahara anggota bertambah 8 orang, kantor sekertariat berada dirumah Suyat dan pada tahun 1980-1997 ketua kelompok Kesenian Jalantur digantikan oleh Darmo Sampyuh dengan bendahara Supomo, anggota hanya bertambah 4 orang. Kantor sekertariat pada periode ini berada di tempat ketua kelompok yaitu Darmo Sampyuh. Setiap bendahara sekaligus merangkap jabatan sebagai sekretaris kesenian. Selain dari anggota terdapat kelompok pendukung dari masyarakat yang siap membantu jika Kesenian Jalantur akan pentas ke suatu tempat. Kelompok tersebut selain membantu tenaga juga seringkali memberikan bantuan berupa dana untuk keperluan memperbarui alat-alat gamelan maupun kostum Kesenian Jalantur.

Dalam regenerasi suatu kelompok kesenian terdapat 2 aspek penting yaitu regenerasi pemain dan regenerasi materi. Secara umum kesenian tradisional banyak diwariskan secara turun temurun dari generasi tua kepada generasi muda, begitu pula dengan Kesenian Jalantur di Dusun Ketep juga diwariskan secara turun temurun secara informal kekeluargaan yang melibatkan senior sebagai sumber belajar dan junior sebagai peserta didik. Begitu pula dengan materi dalam Kesenian Jalantur yang diwariskan adalah: gerak tari, iringan, tata rias dan busana, tempat dan waktu pertunjukan yang dalam proses-nya menggunakan pendekatan mengajar dan belajar sambil bekerja (Suyat, Wawancara 14 Oktober 2014)

Instrumen/Alat-Alat Musik

Pementasan suatu pertunjukan akan lebih hidup apabila didukung dengan adanya instrumen. Instrumen merupakan elemen dalam pertunjukan tari, berupa musik atau bunyi-bunyian yang mengan-dung irama atau ritme. Untuk menunjuk-kan ritme adalah dengan melihat detail-detail dari gerakan kaki pada tari tersebut. Sedangkan tempo digunakan untuk mengukur sejumlah waktu dalam menye-suaikan gerakan, misalnya panjang dan pendeknya suatu gerakan atau cepat lambatnya gerak tersebut. Pada pertunjuk-an Kesenian Jalantur gamelan dimainkan sebagai irama pengiring di saat pertunjuk-an sedang berlangsung tanpa diiringi oleh sinden. Dalam Kesenian Jalantur, gamelan yang digunakan adalah: 1. Bendhe, 2. Trunthung dan 3. Peluit.

Faktor –Faktor Berakhirnya Kesenian Jalantur.

Berbagai kesenian tradisional telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang jatuh ba-ngunnya kesenian itu tampak sebagai gejala sosial seirama dengan kemajuan jaman. Gelombang pasang surutnya kese-nian tradisional sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik serta kurangnya peran serta kaum muda sebagai generasi penerus dalam menggalakan ke-senian tradisional (Kuntowijoyo dkk, 1986: 23). Kesenian Jalantur di Dusun Ketep telah menggalami banyak rintangan sejak tahun 1961,salah satunya ketika terjadi kerusuhan akibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Akan tetapi, sampai tahun 1997 kesenian ini sudah tidak dipentaskan lagi/berakhir. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya Kesenian Jalan-tur di Desa Ketep adalah:

1. Kegagalan Re-generasi Pemain.

Kesenian tradisional diwariskan Se-cara turun-temurun. Begitu pula dengan Kesenian Jalantur di Dusun Ketep. Kese-nian Jalantur diwariskan dari generasi tua kepada generasi muda. Selama proses pewarisan muncul kendala yang sangat besar, antara lain faktor kegagalan Re-generasi pemain sehingga Kesenian Jalantur ini berakhir. Kesenian Jalantur di Dusun Ketep hanya dapat bertahan selama 2 (dua) generasi dan setelah 2 generasi tersebut Kesenian Jalantur berakhir. Hal ini disebabkan karena tidak adanya generasi penerusnya. Seiring perkembangan zaman modern, para generasi muda Dusun Ketep menganggap bahwa Kesenian Jalantur merupakan kesenian kuno, sehingga mereka tidak lagi ikut berpartisipasi dalam kesenian tersebut. (Sujak, Wawancara, 19 Juni 2014).

Maryanto salah satu pemuda Du-sun Ketep mengatakan “aku isin melu gabung Kesenian Jalantur, soale kesenian kui wes ora modern. Aku yo ra patio seneng karo gerakane Jalantur koyo wong nyengeti waloh. aku yo waktu kui (1997) iseh remaja dadi yo ora cedak karo wong-wong tuo neng ndeso” artinya: saya malu ikut bergabung Kesenian Jalantur, soalnya kesenian itu sudah tidak modern. Saya juga tidak begitu suka sama gerak tari Jalantur seperti orang menyuluh papaya. Saya waktu itu (1997) masih remaja jadi tidak begitu dekat dengan orang-orang tua di Desa (Maryanto, Wawancara 5 September 2014).

2. Munculnya Kesenian Baru

Pasca terjadi kekacauan sosial, politik dan ekonomi akibat pelengseran Presiden Soeharto pada ahir masa orde baru. Akibat kekacauan ini negara mengalami krisis moneter yang sangat berdampak langsung bagi perekonomian rakyat kecil salah satunya di dusun Ketep. Karena keadaan perekonomian yang sangat memburuk, maka masyarakat dusun Ketep banyak yang mencari pekerjaan keluar daerah. Akibatnya kesenian yang ada di dusun Ketep banyak yang tidak berjalan kembali salah satunya kesenian Jalantur, Baru kemudian pada orde reformasi pemerintah memperbaiki situasi akibat kekacauan tersebut salah satunya adalah dalam bidang Kebudayaan. Pada saat itu mulai kesenian-kesenian tradisional mulai berkembang kembali salah saatunya adalah kesenian Cakar Lele. Kesenian Cakar Lele merupakan kesenian tradisional yang diadopsi dari kesenian tradisional Maluku yaitu Cakalele (tarian sakral atau tarian pemujaan sebelum perang). Setelah masuk di Jawa kesenian cakalele diubah dan ditambahkan karakter Bugis dan Raja yang membawa badhong. Tarian ini dimainkan oleh pria dan wanita dengan iringan musik kendhang, demung, saron, bonang barung, dan kempul dengan ritme/gendhing musik yang stabil. Pada kesenian Cakar Lele ada seorang komando (pemberi aba-aba) yang berperan mengatur perubahan gerak tari. Misalnya aba-aba persiapan, 1 (satu) banjar menjadi 2 (dua) banjar, artinya penari yang berbaris dari 1 (satu) baris kemudian bergerak membentuk 2 (dua) barisan namun pada akhirnya kesenian Cakar Lele juga tergeserkan oleh kedatangan kesenian yang baru yaitu kesenian soreng. (Supomo, Wawancara 17 Juni 2014).

Kesenian Cakar Lele merupakan kesenian pendatang baru. Di sekitar wilayah kecamatan sawangan dan pakis kesenian ini pada tahun 1995-an baru popular sehingga banyak kesenian yang berdiri di kawasan ini salah satunya di Dusun Ketep yang berdiri pada tahun 1996-an. (Wardi dan Sarto, Wawancara 05 Juni 2014).

3. Transmigrasi

Selain faktor diatas, transmigrasi merupakan faktor lain yang mempengaruhi berakhirnya Kesenian Jalantur. Pada masa Orde Baru, Indonesia mengalami krisis perekonomian yang menyebabkan per-ekonomian masyarakat Indonesia semakin terpuruk hingga ke pelosok-pelosok Dusun. Salah satunya adalah Dusun Ketep juga mengalami kesulitan perekonomian yang sangat berdampak bagi keberlangsungan hidupnya. Kesulitan perekonomian ini menyebabkan sebagian masyarakat Dusun Ketep termasuk 3 (tiga) anggota Kesenian Jalantur melakukan transmigrasi ke Kali-mantan. Ketiga anggota tersebut adalah Parsih dan Sipon yang berperan sebagai angkrik dan Nanto Ribut berperan sebagai rontek. Transmigrasi ini sangat berdampak pada Kesenian Jalantur yang menyebabkan berkurangnya anggota kesenian ini. (Nuryanto, Wawancara 20 Juli 2014)

4. Kematian

Kesenian Jalantur Dusun Ketep berdiri Sejak tahun 1961 sehingga seba-gian pemain/pemeran sudah lanjut usia, bahkan banyak diantara mereka yang sudah meninggal dunia diantaranya adalah Tumin dan Kawit yang berperan sebagai toyak berkurangnya kedua anggota ini mengakibatkan pemain/pemeran pada Kesenian Jalantur semakin berkurang. Yang berdampak pada kekurangan pemain karena kedua penari ini adalah dapukan (penari inti) yang paling bagus dalam memerankan adegan penari toyak dalam Kesenian Jalantur.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, ana-lisa dan interprestasi data yang penulis paparkan dalam kajian “Sejarah Kesenian Jalantur di Dusun Ketep, Kabupaten Magelang” dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada tahun 1961 Kesenian Jalantur di Dusun Ketep resmi didirikan melalui musyawarah dusun. Pada awal berdirinya kesenian ini baru berang-gotakan 25 orang dan untuk pelatihan gerak tari mendatangkan pelatih dari dusun Garon, Banyuroto dan Sobleman. Pada pertengahan tahun 1962 Kesenian Jalantur Dusun Ketep mempunyai peralatan gamelan dan kostum Kesenian Jalantur yang dibeli dengan hasil uang iuran dan uang hasil swadaya dari anggota kelompok yang didapatkan dari bekerja bakti bersama-sama untuk mencangkul sawah milik masyarakat yang mengundangnya. Selain itu dana juga didapatkan dari sumbangan masyarakat Dusun Ketep maupun kelompok pendukung.

2. Kesenian Jalantur merupakan kesenian kelompok dimana anggotanya terdiri dari beberapa orang, oleh sebab itu untuk mempermudah kepengurusan anggota maka dibentuklah struktur keorganisasian. Organisasi tersebut bernama “Kelompok Kesenian Jalantur Dusun Ketep. Kesenian Jalantur dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang dibantu oleh seorang bendahara yang sekaligus merangkap jabatan sebagai sekretaris kesenian. Sejak awal berdirinya sampai berahirnya kelompok kesenian Jalantur tersebut telah mengalami tiga kali perubahan sistem keorganisasian yaitu pada tahun 1961, 1971 dan tahun 1980.

3. Kesenian Jalantur dalam pertunjukannya memiliki berbagai nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya, antara lain adalah 1. Nilai Pendidikan dan Edukasi, Ketika penari melakukan ade-gan gerak membentuk formasi huruf atau angka penonton bisa menebak huruf atau angka apa yang sedang dibentuk. Secara tidak formal, dalam adegan tari Kesenian Jalantur ini berfungsi sebagai sarana pendidikan dan edukasi dalam pemberantasan buta aksara dan buta huruf bagi masyarakat, khususnya masyarakat Dusun Ketep. 2. Nilai Estetika, dapat dilihat dari pakaian dan kostum yang dikenakan penari dan juga dapat dilihat dari gerak-gerak yang diperagakan dalam Kesenian Jalantur. Selain itu juga terdapat nilai-nilai keindahan makna gerakan tari sebagai wujud dari pengekspresian kemampuan masyara-kat dalam bidang kesenian.

4. Kesenian tradisional Jalantur dusun Ketep merupakan kesenian warisan leluhur yang tidak dapat bertahan menghadapi arus globalisasi. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut: 1. Kegagalan Regenerasi pemain. 2. Munculnya kesenian baru. 3. Transmigrasi. 4. Kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kussunarti, Laila Nurhayati Dewi, Rukoyah. 2009. Kesenian Barong Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah.

Koentowijoyo, dkk. 1986. Tema Islam Dalam Pertunjukan rakyat Jawa: Kajian Aspek Sosial, Keagamaan, Dan Kesenian. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Koentjaraningrat. 1984.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

_____________. 1987. Kebudayaan Mentalitet Dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Nurhayati Dewi, Rukhoyah. 2010. Kesenian sintren dijawa tengah. Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah.

Rohidi, T.R. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STSI Press.

Roqib, Moh. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa:Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Jakarta: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi Dekdikbud.

Wawancara

Maryanto, wawancara pada tanggal 5 September 2014

Marsan dan Suyat, wawancara pada tanggal 12 Juni 2014

Nuryanto, wawancara pada tanggal 20 Juni 2014

Sujak, wawancara pada tanggal 19 Juni 2014

Supomo, wawancara pada tanggal 17 Juni 2014

 

Suyat, wawacara pada tanggal 14 Oktober 2014